Anda di halaman 1dari 142

PENUNTUN

KETERAMPILAN KLINIK 6
TAHUN AKADEMIK
2019/2020

JUDUL KETERAMPILAN KLINIK 6:

SERI KETERAMPILAN KOMUNIKASI:


ANAMNESIS PEDIATRIK (ALLOANAMNESIS)

SERI KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIK:

PEMERIKSAAN ORTHOPEDI UMUM DAN REGIONAL


PEMERIKSAAN PADA SISTEM INDRA KHUSUS (MATA)
PEMERIKSAAN PADA SISTEM INDRA KHUSUS (KULIT)
PEMERIKSAAN PADA SISTEM INDRA KHUSUS (THT)
PEMERIKSAAN REFLEKS PRIMITIF PADA BAYI
PEMERIKSAAN FISIK BAYI BARU LAHIR

II. SERI KETERAMPILAN PROSEDURAL:

STABILITAS FRAKTUR, DRESSING DAN REMOVAL OF SPLINTER


KETERAMPILAN MEMBACA X-RAY TULANG TENGKORAK DAN TULANG
BELAKANG
MENGOBATI ULKUS TUNGKAI
TATALAKSANA MALNUTRISI AKUT BERAT/GIZI BURUK AKUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH


Jl H. MEUNASAH UTEUN KOT CUNDA, LHOKSEUMAWE – ACEH
Telp/ Fax: +62645 40549. Email: info@pspd.unimal.ac.id

3
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE

Tim Penyusun Buku Panduan


Keterampilan Klinik 6

Ketua : dr. Mauliza, M.Ked(Ped), Sp.A


Wakil Ketua : dr. Adi Rizka, Sp.B
Anggota : dr. Nora Maulina, M.Biomed
dr. Juwita Sahputri

4
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirabbil „alamin, segenap puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT
atas tersusunnya Buku Panduan Keterampilan Klinik 6 untuk instruktur dan mahasiswa tahun
akademik 2016/2017. Panduan ini digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan
keterampilan klinik 6 sesuai dengan jadwal yang telah diatur. Panduan KK 6 ini terdiri dari
11 judul keterampilan yang tersebar dalam seri keterampilan komunikasi, keterampilan
pemeriksaan fisik, dan seri keterampilan prosedural.
Terima kasih, kami sampaikan kepada tim penyusun dan editor yang telah menyusun buku
panduan ini. Kami menyadari bahwa panduan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun sangat kami perlukan.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Lhokseumawe, Februari 2017

Tim penyusun

4
DAFTAR ISI

Halaman Depan i
Judul Keterampilan Klinik 6 ii
Daftar Tim Penyusun Panduan Keterampilan Klinik 6 iii
Kata Pengantar iv
Daftar Isi v
Pemeriksaan orthopedi umum dan regional 18
Stabilitas fraktur, dressing dan removal of splinter 31
Keterampilan membaca x-ray tulang tengkorak dan tulang belakang 36
Mengobati ulkus tungkai 44
Pemeriksaan pada sistem indra khusus (mata)
Pemeriksaan pada sistem indra khusus (kulit)
Pemeriksaan pada sistem indra khusus (tht)
Pemeriksaan refleks primitif pada bayi
Pemeriksaan fisik bayi baru lahir
Anamnesis Pediatrik (Alloanamnesis)
Tatalaksana Malnutrisi Akut Berat/Gizi Buruk Akut

5
Seri Ketrampilan Pemeriksaan Fisik
PEMERIKSAAN ORTHOPEDI UMUM DAN REGIONAL

TUJUAN UMUM
Mahasiswa mampu melakukan anamnesis, pemeriksaan orthopedi umum dan regional

II. TUJUAN KHUSUS

I. Kemampuan melakukan anamnesa untuk mendapatkan kelainan orthopaedi


Mengetahui tiga keluhan utama (nyeri, disfungsi, dan deformitas) pada kelainan
orthopedi.
Dapat mendeskripsikan keluhan nyeri
Dapat mendeskripsikan keluhan disfungsi muskuloskeletal
Dapat mendeskripsikan tentang deformitas muskuloskeletal
Mampu melakukan anamnesa tentang riwayat penyakit sekarang pada kelainan
orthopaedi.
Mampu menanyakan kesadarn penderita waktu mengemukakan keluhan utama
Mampu menanyakan urutan kronologis kelainan yang sesuai dengan keluhan utama
Mampu menanyakan penyakit – penyakit lain yang menyertai keluhan utama
Mampu menyusun riwayat penyakit sekarang sesuai waktu keluhan
Mampu melakukan anamnesa tentang riwayat penyakit dahulu yang dapat menunjang
keluhan utama.
Menanyakan riwayat penyakit famili yang berhubungan dengan keluhan utama
Mampu menanyakan tentang hubungan kelainan dengan riwayat kelahiran, penyakit
sebelumnya, kebiasaan penderita seperti perokok, alkoholik, riwayat menstruasi,
menopause, dan lain - lainnya

II. Dapat melakukan pemeriksaan fisik umum dan lokal kelainan orthopedi
Dapat melakukan inspeksi terhadap keadaan umum, bentuk dan penampilan, cara
berjalan dan bentuk badan penderita
Mengenal keadaan umum penderita apakah kelihatan sakit sedang atau berat
Melakukan inspeksi postur dan penampilan tubuh penderita apakah
pendek, bungkuk, simetris tubuh kiri dan kanan mulai dari anggota atas,
bawah, bahu dan panggul dan punggung

6
Dapat melakukan inspeksi terhadap cara berjalan penderita baik normal atau tidak
normal (gait analyzed)
Dapat melakukan pemeriksaan postur penderita
Dapat membedakan kelainan pada kulit seperti warna, gangguan sirkulasi, scar, callus ,
eczeme dan naevus.
Dapat menjelaskan alat-alat penyangga kelainan orthopaedi yang sering dipergunakan
penderita seperti korset, crutch, prostesis dan lain-lainnya.
Mampu melakukan palpasi pada kelainan orthopaedi muskuloskeletal secara benar
Dapat melakukan palpasi kulit dan jaringan subkutan
Dapat melakukan palpasi temperatur kulit apakah panas atau dingin
Dapat memeriksa kelainan sekresi kelenjar apakah basah, kering
Dapat mendeteksi kelainan subkutan pada kulit
Dapat melakukan palpasi otot dan tendon
Dapat membedakan antara origo dan insersi otot
Dapat menentukan tonus otot.
Dapat menilai atrofi otot
Dapat melakukan palpasi pada tulang dan sendi
Dapat meraba permukaan tulang
Dapat meraba sendi seperti joint space, kapsul sendi
Dapat memeriksa kelaianan tendon dan ligamen
Dapat menilai ruang gerak sendi yang normal
Dapat melakukan palpasi kelainan saraf dan pembuluh darah.

III. Dapat melakukan pemeriksaan kelainan regional pada orthopedi


6. Dapat melakukan pemeriksaan leher
Dapat melakukan pemeriksaan gerakan leher seperti ante dan dorso fleksi.
Dapat melakukan pemeriksaan lateral bending
7. Dapat melakukan pemeriksaan sendi bahu
Dapat memeriksa sendi bahu yang normal bahu
Dapat melakukan tes pergerakan sendi bahu yang normal serta besarnya ROM sendi
bahu.
8. Dapat melakukan pemeriksaan sendi siku
7
Dapat memeriksa sendi bahu yang normal siku
Dapat melakukan tes pergerakan sendi siku yang normal serta besarnya ROM sendi
bahu.
9. Dapat melakukan pemeriksaan antebrachii dan pergerakannya
Dapat melakukan pemeriksaan tonjolan –tonjolan tulang dan otot pada antebrachii
Dapat melakukan tes pergerakan antebrachii yang normal (pronasi dan supinasi) serta
derajat gerakannya.
10. Dapat melakukan pemeriksaan sendi tangan dan tangan
Dapat memeriksa tangan dan persendian tangan yang normal
Dapat melakukan tes pergerakan sendi tangan berupa radial and ulnar deviasion.
11. Dapat melakukan pemeriksaan sendi panggul
Dapat memeriksa sendi panggul yang normal
Dapat melakukan tes pergerakan sendi panggul yang normal serta besarnya ROM
sendi panggul
12. Dapat melakukan pemeriksaan sendi lutut
Dapat memeriksa sendi lutut yang normal
Dapat memeriksa ROM normal lutut.
13. Dapat melakukan pemeriksaan sendi ankle dan kaki
Dapat memeriksa sendi ankle dan kaki yang normal
Dapat melakukan tes pergerakan ROM sendi ankle yang normal
Alat yang diperlukan :
Tape measure
Reflex Hammer

TEORI

Anamnesa Kelainan Orthopaedi

A. Keluhan Utama
Terdapat tiga keluhan utama di bidang orthopedi yang sering dikeluhkan penderita yang
mengalami gangguan muskuloskeletal, yaitu:
Deskripsi Nyeri, dapat disingkat dengan PQRST, yaitu:
8
Position; yaitu pasien dapat menentukan posisi dan lokasi nyeri
Quality; merupakan derajat kualitas nyeri seperti rasa menusuk dan panas
Radiation; merupakan deskripsi penjalaran nyeri
Severity; merupakan tingkat beratnya nyeri, sering dihubungkan dengan gangguan
Activity Daily Living (ADL)
Timing, merupakan penjelasan kapan nyeri muncul, apakah siang, malam, waktu istirahat,
dan lain-lain
Perubahan bentuk (Deformitas)
Bengkak, biasanya karena radang, tumor, pasca trauma, dan lain-lain
Bengkok, misanya pada
Varus; bengkok keluar
Valgus; bengkok kedalam seperti kaki X
Genu varum; kaki seperti O

Pendek; dapat dibandingkan dengan kontralateral yang normal


Gangguan Fungsi (Disfungsi); Penurunan / hilangnya fungsi
- Afungsi (Tak bisa digerakkan sama sekali)
- Kaku (stiffnesss)
- Cacat (disability)
- Gerakan tak stabil (instability)

B. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma sebelumnya
Riwayat infeksi tulang dan sendi seperti osteomielitis / arthritis
Riwayat pembengkakan / tumor yang diderita
Riwayat kelainan kongenital muskuloskeletal seperti CTEV
Riwayat penyakit –penyakit diturunkan seperti skoliosis, dan lain-lain

Pemeriksaan Fisik Umum Dan Cara Berjalan Normal

1. Pemeriksaan umum dan tanda-tanda vital

9
Keadaan umum; tampak sehat, sakit, sakit berat
Tanda – tanda vital; seperti tekanan darah, frekuensi nadi, nafas, dan temperatur
2. Bentuk dan penampilan tubuh sewaktu datang
a. Bentuk tubuh
Normal
Athletic
Cebol
Bongkok
Miring
b. Cara penderita datang
Normal
Pincang
Digendong
3. Cara berjalan penderita yang normal dan kelainan cara berjalan
fase jalan normal:
Meletakkan tumit atau Heel strike
Fase menapak atau Stance Phase
Ujung jari bertumpu atau Toe Off
Mengayun langkah atau Swing Phase

Fase berjalan normal terlihat pada gambar 1. berikut:

Gambar 1 Fase Berjalan

Kelainan cara berjalan


Antalgic gait (anti = against, algic = pain). Kelainan ini disebabkan adanya rasa nyeri
waktu menapak sehingga langkah memendek
Tredelenberg gait , kelainan berjalan karena paralise n. ischiadicus.
Stepage gait, kelainan berjalan berupa langkah pendek-pendek
10
Antalgic gait Steppage gait

Tredelenberg gait

Gambar 2. Kelainan cara berjalan

11
4. Pemeriksaan tonus otot
Pemeriksaan tonus otot biasanya dilakukan pada otot-otot ekstremitas dalam keadaan
relaksasi. Pemeriksaan dengan cara perabaan dan dibandingkan dengan otot pada sisi
lateral tubuh penderita, atau otot lainnya. Dapat juga dibandingkan dengan otot pemeriksa
yang tonusnya normal. Tonus otot bisa disebut sebagai:
Eutonus; bila tonus normal
Hipertonus; bila tonus meninggi
Hipotonus; bila tonus melemah atau menurun

5. Pemeriksaan atrofi otot


Otot atrofi atau tidak dapat dinilai dengan cara:
Membandingkan dengan ukuran otot pada sisi lateralnya
Mengukur lingkaran anggota yang atropi dan membandingkannya dengan anggota
sebelahnya

12
LEMBAR PENILAIAN
KETERAMPILAN ANAMNESIS, PEMERIKSAAN UMUM DAN CARA
BERJALAN PADA KELAINAN ORTHOPAEDI

Nama : ....................................... Kelompok : .....................


NIM : ......................................
Aspek Yang dinilai Skor
No
0 1 2 3
1 Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri*
Anamnesis
Menanyakan keluhan utama orthopaedi (nyeri, deformitas
2
dan disfungsi)
3 Menanyakankan keluhan nyeri (PQRST )
4 Menanyakan keluhan deformitas
5 Menanyakan keluhan disfungsi
Menanyakan riwayat penyakit dahulu  riwayat famili ,
6 penyakit bawaan, dan penyakit lainnya yang menunjang
keluhan utama
Pemeriksaan fisik
7 Dapat memeriksa bentuk tubuh
8 Dapat memeriksa tonus otot
9 Dapat memeriksa gangguan cara berjalan
Total

Keterangan :
Skor 0 : Tidak dilakukan
Skor 1 : Dilakukan dengan banyak perbaikan/dilakukan
Skor 2 : Dilakukan dengan sedikit perbaikan
Skor 3 : Dilakukan dengan sempurna

Keterampilan rata-rata = total skor /25 x 100 % = ……….

Lhokseumawe, ………………2017
Instruktur,

( )
NIP

13
PEMERIKSAAN FISIK REGIONAL PADA KELAINAN ORTHOPEDI

Pemeriksaan Palpasi
Pemeriksaan palpasi meliputi:
Suhu; dibandingkan dengan anggota gerak kontralateral
Nadi /pulsasi; terutama pada tumor
Nadi distal; terutama pada fraktur akibat trauma
Nyeri; nyeri tekan & nyeri sumbu; terutama pada fraktur
Krepitasi; sering ditemukan pada fraktur (missal: fraktur klavikula) dan pada OA sendi
Fungsi saraf ; dinilai fungsi sensorik, motorik, dan refleks

Pemeriksaan Sendi
- Membandingkan sendi kiri dan kanan tentang bentuk, ukuran, tanda radang, dan
lain-lain
- Menilai ada/ tidak nyeri tekan, nyeri gerak, nyeri sumbu, dan lain-lain
- Menilai Range of Motion (ROM) secara aktif atau pasif
- Memeriksa ada/ tidak krepitasi, biasanya ditandai dengan bunyi “klik”
- Menilai ada/ tidak kontraktur sendi

A. Pemeriksaan Leher
Inspeksi
- Minta penderita duduk atau berdiri dengan posisi relaks. Pemeriksa
memperhatikan dari arah depan, samping dan belakang.
- Dari inspeksi akan terlihat:
Leher normal; sama kiri dan kanan
Lordosis hebat; jika leher lebih ante fleksi
Miring; seperti pada tortikolis

14
Palpasi
melakukan perabaan pada leher untuk mengetahui adanya tonjolan tulang yang abnormal

Gambar 3: palpasi leher

Pemeriksaan gerakan leher

Gambar 4: gerakan leher normal

15
Gambar 5: gerakan leher normal
(2)

16
B. Pemeriksaan Bahu

Inspeksi

Menilai bahu simetris atau tidak

Gambar 6: inspeksi bahu

Palpasi bahu

Gambar 7

17
Abduksi N : 0 – 170 Adduksi N : 0 – 500

0-165ᵒ 0-60ᵒ

Forward Fleksi Normal: 0 – Backward ekstensi Normal:0 –


165ᵒ 60ᵒ
Gambar 8: ROM Sendi
bahu

18
Pemeriksaan siku
Inspeksi

Gambar 9: Inspeksi siku

Palpasi

Gambar 10: Palpasi siku

19
3. Pergerakan :

Fleksi dan ekstensi 15ᵒ

D. Pemeriksaan gerakan pergelangan tangan

1. Inspeksi

22
2. Palpasi

3. Pergerakan

22
E. Pemeriksaan gerakan punggung

1. Inspeksi

Fixed kyphosis Gibbus Scoliosis

Gambar 21: inspeksi bentuk punggung

2. Palpasi

22
3. Pergerakan

Pada keadaan normal pasien bisa menyentuh lantai sampai 7 cm dari lantai

22
40o

30o

22
F. Pemeriksaan gerakan panggul

1. Inspeksi 2. Palpasi

3. Pergerakan

29
G. Pengukuran discrepancy (kesenjangan panjang anggota gerak)

Pengukuran anggota badan baik ektremitas atas atau bawah bertujuan untuk melihat
kelaianan sendi atau pemendekan akibat suatu kelainan
Caranya:

- Membandingkan ukuran kiri dan kanan dengan melihat perbedaan tonjolan


atau sendi-sendi tertentu, seperti lutut kiri dengan lutut kanan, siku kiri dengan siku
kanan, ankle kiri dengan ankle kanan . Misalnya contoh gambar dibawah dimana A

tampak perbedaan ukuran tibia, dan B tampak perbedaan femur

- Mengukur dengan pasti seperti

 Appereance length  perbedaan jarak ukuran antara pusat dan maleolus


kiri dan kanan
 True length  perbedaan jarak antara SIAS dan maleolus kiri dan

kanan

29
A B.

29
H. Pemeriksaan gerakan lutut

Inspeksi

Palpasi

29
Pergerakan

I. Pemeriksaan gerakan ankle dan kaki

Inspeksi

29
Palpasi

Pergerakan

29
LEMBARAN PENILAIAN SKILLS LAB BLOK 3.4

KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIK REGIONAL KELAINAN


ORTHOPAEDI

Nama : ....................................... Kelompok : .....................


NIM : ......................................

SKOR
No Aspek Yang dinilai
0 1 2 3

PEMERIKSAAN ANGGOTA GERAK ATAS DAN PUNGGUNG

1 Menilai pergerakan leher

2 Dapat melakukan pemeriksaan bahu

3 Dapat memeriksa pergerakan sendi bahu

4 Dapat melakukan pemeriksaan siku

5 Dapat memeriksa pergerakan sendi siku

6 Dapat melakukan pemeriksaan antebrachii

7 Dapat melakukan pemeriksaan pergelangan


tangan dan jari

8 Dapat memeriksa sendi pergelangan tangan


dan jari-jari

9 Dapat memeriksa gerakan punggung

29
SKOR
No Aspek Yang dinilai 0 1 2 3

PEMERIKSAAN ANGGOTA GERAK BAWAH DAN PANGGUL

10 Dapat memeriksa pergerakan sendi panggul

11 Dapat memeriksa gerakan sendi lutut

12 Dapat memeriksa discrepency kesenjangan


anggota gerak

13 Dapat memeriksa otot paha (atrofi)

14 Dapat memeriksa gerakan ankle dan kaki

TOTAL
Keterangan :
Skor 0 : Tidak dilakukan
Skor 1 : Dilakukan dengan banyak perbaikan/dilakukan* Skor 2 : Dilakukan dengan sedikit
perbaikan
Skor 3 : Dilakukan dengan sempurna

Keterampilan rata-rata = total skor /42x 100 % = ……….

Lhokseumawe, …………………. 2017

Instruktur

(NIP )

40
SERI KETERAMPILAN PROSEDURAL/ DIAGNOSTIK

STABILITAS FRAKTUR TANPA GIPS, REDUKSI DISLOKASI, REPOSISI


FRAKTUR TERTUTUP, DRESSING (SLING, BANDAGE) DAN REMOVAL OF
SPLINTER

Kasus traumatologi seiring dengan kemajuan jaman akan cenderung semakin meningkat,
sehingga seorang dokter umum dituntut mampu memberikan pertolongan pertama pada kasus
kecelakaan yang menimpa pasien. Di antara kasus traumatologi tersebut sering dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari, misalnya kaki tergelincir saat menuruni tangga, seorang peragawati yang
menggunakan sepatu berhak tinggi tergelincir saat berjalan di atas cat walk, bahkan kasus
patah tulang leher akibat kecelakaan lalu-lintas yang dapat menyebabkan kematian.
Pemberian pertolongan pertama dengan imobilisasi yang benar akan sangat bermanfaat dan
menentukan prognosis penyakit.
Sebagian besar kasus traumatologi membutuhkan pertolongan dengan pembebatan dan
pembidaian. Pembebatan adalah keterampilan medis yang harus dikuasai oleh seorang dokter
umum. Bebat memiliki peranan penting dalam membantu mengurangi pembengkakan,
mengurangi kontaminasi oleh mikroorganisme dan membantu mengurangi ketegangan jaringan
luka.
Pertolongan pertama yang harus diberikan pada patah tulang adalah berupaya agar tulang yang
patah tidak saling bergeser (mengusahakan imobilisasi), apabila tulang saling bergeser akan
terjadi kerusakan lebih lanjut. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memasang
bidai yang dipasang melalui dua sendi. Dengan prosedur yang benar, apabila dilakukan
dengan cara yang salah akan menyebabkan cedera yang lebih parah.
Pembebatan dan pembidaian memegang peranan penting dalam manajemen awal dari trauma
muskuloskeletal, seperti fraktur ekstremitas, dislokasi sendi dan sprain (terseleo).
Pemasangan bebat dan bidai yang adekuat akan menstabilkan ekstremitas yang mengalami
trauma, mengurangi ketidaknyamanan pasien dan memfasilitasi proses penyembuhan jaringan.
Tegantung kepada tipe trauma atau kerusakan, pembebatan atau pembidaian dapat menjadi
satu-satunya terapi atau menjadi tindakan pertolongan awal sebelum dilakukan proses
diagnostik atau intervensi bedah lebih lanjut.

B. TUJUAN

1. Umum

a. Mahasiswa terampil dalam melakukan berbagai teknik membebat pada berbagai


organ tubuh manusia sesuai dengan prosedur.
b. Mahasiswa terampil dalam melakukan pemasangan bidai dengan tepat.

2. Khusus

a. Persiapan

1) Pembebatan

40
Mahasiswa mampu membangun komunikasi efektif dengan pasien.

Mahasiswa mampu mengidentifikasi bagian tubuh yang mengalami cedera melalui


pemeriksaan inspeksi dan palpasi serta mampu memeriksa ROM (Range of Movement).
Mahasiswa mengenal dengan baik bermacam-macam jenis bebat dan mampu memilihnya
dengan tepat sesuai kasus.
Mahasiswa mampu melakukan disinfeksi luka dengan baik sebelum melakukan pembebatan.
2) Pembidaian

Mahasiswa mampu membangun komunikasi efektif dengan pasien.


Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan inspeksi dan palpasi pada daerah cedera
dan memeriksa ROM (Range of Movement).
Mahasiswa dapat memilih bidai yang benar sesuai kasus.
b. Pemasangan

1) Pembebatan

Mahasiswa mampu melakukan pembebatan sesuai prosedur.

Mahasiswa mampu melakukan evaluasi hasil pembebatan dengan tepat

(terutama mengenai tekanan bebat).

Mahasiswa mampu menilai kondisi fisik dan psikologis pasien, serta daerah di bawah lokasi
luka (meliputi warna, suhu, respon sensorik) karena gangguan sirkulasi.
2) Pembidaian

Mahasiswa mampu memasang bidai dengan benar.

Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan hasil pemasangan bidai dan menilainya dengan
benar (apakah bidai terlalu longgar atau terlalu ketat).
Mahasiswa mampu menilai kondisi fisik dan psikologis pasien.

C. DASAR TEORI

PEMBEBATAN (BANDAGE)

a. Prinsip Dasar Pembebatan


Dalam melakukan pembebatan, sangatv penting untuk memperhatikan derajat
penekanan bebat pada daerah luka. Pembebatan yang dilakukan tidak boleh terlalu ketat karena
akan mengakibatkan hambatan pada aliran darah didaerah luka dan sekitar luka, atau
mengakibatkan peningkatan tekanan hidrostatik yang dapat menyebabkan terjadinya edema
jaringan.

40
Derajat penekanan tersebut ditentukan oleh interaksi yang kompleks antara empat faktor
utama yaitu :
1) Struktur fisik dan keelastisan dari pembebat.

2) Ukuran dan bentuk ekstremitas yang akan dibebat.

3) Keterampilan dan keahlian dari orang yang melakukan pembebatan.

4) Bentuk semua aktivitas fisik yang dilakukan pasien.

b. Pentingnya pemilihan lebar pembebat yang tepat.

Pada pembebatan diperlukan pemilihan pembebat yang tepat karena hal ini sangat
mempengaruhi besarnya tekanan yang diberikan oleh pembebat pada bagian yang dibebat,
semakin lebar pembebat tekanan yang dihasilkan makin kecil.

c. Pentingnya jumlah lapisan pembebatan yang diberikan.

Pada pembebatan diperlukan penentuan jumlah lapisan pembebat yang tepat karena hal ini
sangat mempengaruhi besarnya tekanan yang diberikan oleh pembebat pada bagian yang
dibebat, semakin banyak lapisan pembebatan yang dilakukan tekanan yang dihasilkan makin
besar.

d. Manfaat Pembebatan (Bandage)

1) Menopang suatu luka, misalnya tulang yang patah.

2) Mengimobilisasi suatu luka, misalnya bahu yang keseleo.

3) Memberikan tekanan, misalnya dengan bebat elastik pada ekstremitas inferior untuk
meningkatkan laju darah vena.
4) Menutup luka, misalnya pada luka setelah operasi abdomen yang luas.

5) Menopang bidai (dibungkuskan pada bidai).

6) Memberikan kehangatan, misalnya bandage flanel pada sendi yang rematik.

e. Putaran Dasar Dalam Pembebatan

1) Putaran Spiral (Spiral Turns)

40
Digunakan untuk membebat bagian tubuh yang memiliki lingkaran yang sama, misalnya
pada lengan atas, bagian dari kaki. Putaran dibuat dengan sudut yang kecil, ± 300 dan setiap
putaran menutup 2/3-lebar bandage dari putaran sebelumnya.

Gambar 2 Putaran Spiral (Spiral Turns)

2) Putaran Sirkuler (Circular Turns)


Biasanya digunakan untuk mengunci bebat sebelum mulai memutar bebat, mengakhiri
pembebatan, dan untuk menutup bagian tubuh yang berbentuk silinder/tabung misalnya pada
bagian proksimal dari jari kelima. Biasanya tidak digunakan untuk menutup daerah luka karena
menimbulkan ketidaknyamanan. Bebat ditutupkan pada bagian tubuh sehingga setiap
putaran akan menutup dengan tepat bagian putaran sebelumnya.

Gambar 3 Putaran Sirkuler (Circular Turns)

40
3). Putaran Spiral terbalik (Spiral Reverse Turns)

Digunakan untuk membebat bagian tubuh dengan bentuk silinder yang panjang kelilingnya
tidak sama, misalnya pada tungkai bawah kaki yang berotot. Bebat diarahkan ke atas dengan
sudut 30, kemudian letakkan ibu jari dari tangan yang bebas di sudut bagian atas dari bebat.
Bebat diputarkan membalik sepanjang 14 cm (6 inch), dan tangan yang membawa bebat
diposisikan pronasi, sehingga bebat menekuk di atas bebat tersebut dan lanjutkan putaran
seperti sebelumnya.

Gambar 4 Putaran Spiral terbalik (Spiral Reverse Turns)

4). Putaran Berulang (Recurrent Turns)

Digunakan untuk menutup bagian bawah dari tubuh misalnya tangan, jari, atau pada bagian
tubuh yang diamputasi. Bebat diputar secara sirkuler di bagian proksimal, kemudian
ditekuk membalik dan dibawa ke arah sentral menutup semua bagian distal. Kemudian
kebagian inferior, dengan dipegang dengan tangan yang lain dan dibawa kembali menutupi
bagian distal tapi kali ini menuju ke bagian kanan dari sentral bebat. Putaran kembali dibawa
ke arah kiri dari bagian sentral bebat. Pola ini dilanjutkan bergantian ke arah kanan dan kiri,
saling tumpang-tindih pada putaran awal dengan 2/3 lebar bebat. Bebat kemudian diakhiri
dengan dua putaran sirkuler yang bersatu di sudut lekukan dari bebat.

40
Gambar 5 Putaran Berulang (Recurrent Turns)

5). Putaran seperti angka Delapan (Figure-Eight Turns)

Biasanya digunakan untuk membebat siku, lutut, atau tumit. Bebat diakhiri dengan dua putaran
sirkuler menutupi bagian sentral sendi. Kemudian bebat dibawa menuju ke atas persendian,
mengelilinginya, dan menuju kebawah persendian, membuat putaran seperti angka delapan.
Setiap putaran dilakukan ke atas dan ke bawah dari persendian dengan menutup putaran
sebelumnya dengan 2/3 lebar bebat. Lalu diakhiri dengan dua putaran sirkuler di atas
persendian.

Gambar 6 Putaran Seperti Angka delapan (Figure-Eight Turns)

f. Prinsip Pembebatan (Bandage)

Memilih bebat berdasarkan jenis bahan, panjang, dan lebarnya.


Bila memungkinkan, menggunakan bebat baru; bebat elastik kadangkala elastisitasnya
berkurang setelah digunakan atau dicuci.
40
Memastikan bahwa kulit pasien di daerah yang terluka bersih dan kering.
Menutup luka sebelum pembebatan dilakukan di daerah yang terluka.
Memeriksa neurovaskuler di bagian distal luka, bila relevan.
Bila diperlukan, pasang bantalan untuk menekan daerah yang terluka.
Mencari asisten bila bagian dari tubuh yang terluka perlu ditopang selama prosedur
pembebatan dilakukan.
Meminta pasien memilih posisi senyaman mungkin, dengan bagian yang akan dibebat
ditopang pada posisi segaris dengan sendi sedikit flexi, kecuali bila hal ini merupakan
kontraindikasi.
Melakukan pembebatan berhadapan dengan bagian tubuh yang akan dibebat kecuali pada
pembebatan kepala dilakukan dari belakang pasien).
Memegang rol bebat dengan rol menghadap ke atas di satu tangan, ujung bebat dipegang
tangan yang lain.
Mulai melakukan pembebatan dari bagian distal menuju proximal, dari bagian dengan
diameter terkecil menuju diameter yang lebih besar dan dari medial menuju lateral dari
bagian tubuh yang terluka. Jangan mulai membebat di daerah yang terluka.
Untuk memperkuat posisi bebat, supaya bebat tidak mudah terlepas/ bergeser, lakukan
penguncian ujung bebat sebelum mulai memutar bebat.

Gambar 7 Mengunci bebat sebelum memulai memutar

Bila memungkinkan, pembebatan dilakukan searah dengan pengembalian darah vena untuk
mencegah pengumpulan darah.
Memutar bebat saling tumpang tindih dengan 2/3 lebar bebat, pasang bebat dengan
lembut meskipun sambil menekan.
Menjaga ketegangan dari bebat, hal ini dibantu dengan memastikan bagian bebat yang bukan
rol tetap dekat dengan permukaaan tubuh.
Memastikan bebat yang saling tumpang tindih tidak menekuk atau berkerut.
Memastikan bahwa bebat terpasang dengan baik dibagian atas dan bawah daerah yang terluka,
namun jari atau ibu jari jangan dibebat supaya dapat mengobservasi neurovaskuler daerah
tersebut.
Memotong bebat bila terlalu panjang sisanya; jangan memutar berlebih di akhir pembebatan.
40
Mengunci atau menutup bagian akhir bebat, dan memastikan pasien tidak akan melukai
dirinya. Mengunci bagian akhir bebat bisa dilakukan dengan :

- Melakukan beberapa kali putaran sirkuler kemudian dijepit dengan pin atau
diplester.
- Menggunakan simpul (gambar di bawah)

Gambar 8 Atas : Mengunci atau menutup bagian akhir bebat; bawah : square knot

g. Prosedur Pembebatan

1) Perhatikan hal-hal berikut :

- Lokasi/ tempat cidera

- Luka terbuka atau tertutup

- Perkiraan lebar atau diameter luka

- Gangguan terhadap pergerakan sendi akibat luka

2) Pilihlah pembebat yang benar, dan dapat memakai kombinasi lebih dari satu jenis
pembebat.
40
3) Jika terdapat luka dibersihkan dahulu dengan disinfektan, jika terdapat dislokasi sendi
diposisikan seanatomis mungkin.
4) Tentukan posisi pembebat dengan benar berdasarkan :

a) Pembatasan semua gerakan sendi yang perlu imobilisasi b) Tidak boleh mengganggu
pergerakan sendi yang normal
c) Buatlah pasien senyaman mungkin pada saat pembebatan d) Jangan sampai mengganggu
peredaran darah
e) Pastikan pembebat tidak mudah lepas.

PEMBIDAIAN (SPLINT)

Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan adalah bantuan pertama yang diberikan kepada orang
yang cedera akibat kecelakaan dengan tujuan menyelamatkan nyawa, menghindari cedera atau
kondisi yang lebih parah dan mempercepat penyembuhan. Ekstremitas yang mengalami trauma
harus diimobilisasi dengan bidai. Bidai (Splint atau spalk) adalah alat yang terbuat dari kayu,
logam atau bahan lain yang kuat tetapi ringan untuk imobilisasi tulang yang patah dengan
tujuan mengistirahatkan tulang tersebut dan mencegah timbulnya rasa nyeri.

Tanda tanda fraktur atau patah tulang :

Bagian yang patah membengkak (oedema).

Daerah yang patah terasa nyeri (dolor).

Terjadi perubahan bentuk pada anggota badan yang patah.

Anggota badan yang patah mengalami gangguan fungsi (fungsiolesia).

a. Tujuan Pembidaian

1) Mencegah pergerakan atau pergeseran fragmen atau bagian tulang yang patah.

2) Menghindari trauma soft tissue (terutama syaraf dan pembuluh darah pada bagian distal
yang cedera) akibat pecahan ujung fragmen tulang yang tajam.
3) Mengurangi nyeri

4) Mempermudah transportasi dan pembuatan foto rontgen.

5) Mengistirahatkan anggota badan yang patah.

b. Persiapan Pembidaian

40
1) Periksa bagian tubuh yang akan dipasang bidai dengan teliti dan periksa status vaskuler
dan neurologis serta jangkauan gerakan.
2) Pilihlah bidai yang tepat.

c. Alat alat pokok yang dibutuhkan untuk pembidaian

1) Bidai atau spalk terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat tetapi ringan.

2) Pembalut segitiga.

3) Kasa steril.

d. Prinsip Pembidaian

1) Pembidaian menggunakan pendekatan atau prinsip melalui dua sendi, sendi di sebelah
proksimal dan distal fraktur.
2) Pakaian yang menutupi anggota gerak yang dicurigai cedera dilepas, periksa

adanya luka terbuka atau tanda-tanda patah dan dislokasi.

3) Periksa dan catat ada tidaknya gangguan vaskuler dan neurologis (status vaskuler dan
neurologis) pada bagian distal yang mengalami cedera spebelum dan sesudah pembidaian

40
4) Tutup luka terbuka dengan kassa steril.

5) Pembidaian dilakukan pada bagian proximal dan distal daerah trauma (dicurigai patah atau
dislokasi).
6) Jangan memindahkan penderita sebelum dilakukan pembidaian kecuali ada di tempat
bahaya.
7) Beri bantalan yang lembut pada pemakaian bidai yang kaku.

Periksa hasil pembidaian supaya tidak terlalu longgar ataupun terlalu ketat sehingga
menjamin pemakaian bidai yang baik
Perhatikan respons fisik dan psikis pasien.
e. Syarat-syarat pembidaian

1) Siapkan alat alat selengkapnya.

2) Sepatu dan seluruh aksesoris korban yang mengikat harus dilepas.

3) Bidai meliputi dua sendi tulang yang patah, sebelumnya bidai diukur dulu pada anggota
badan kontralateral korban yang sehat.
4) Ikatan jangan terlalu keras atau terlalu longgar.

5) Sebelum dipasang, bidai dibalut dengan kain pembalut.

6) Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tulang yang patah.
7) Kalau memungkinkan anggota gerak tersebut ditinggikan setelah dibidai.

f. Prosedur Pembidaian

1) Persiapkan alat-alat yang dibutuhkan.

2) Lepas sepatu, jam atau asesoris pasien sebelum memasang bidai.

3) Pembidaian melalui dua sendi, sebelumnya ukur panjang bidai pada sisi
kontralateral pasien yang tidak mengalami kelainan.
4) Pastikan bidai tidak terlalu ketat ataupun longgar

5) Bungkus bidai dengan pembalut sebelum digunakan

6) Ikat bidai pada pasien dengan pembalut di sebelah proksimal dan distal dari tulang
yang patah
7) Setelah penggunaan bidai cobalah mengangkat bagian tubuh yang dibidai.

41
g. Contoh penggunaan bidai

1). Fraktur humerus (patah tulang lengan atas).

Pertolongan :

- Letakkan lengan bawah di dada dengan telapak tangan menghadap ke dalam.

- Pasang bidai dari siku sampai ke atas bahu.

- Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang yang patah.

- Lengan bawah digendong.

- Jika siku juga patah dan tangan tak dapat dilipat, pasang spalk ke lengan bawah dan
biarkan tangan tergantung tidak usah digendong.
- Bawa korban ke rumah sakit

Gambar 9 Pemasangan bidai pada fraktur humerus, atas : hanya fraktur humerus, siku
bisa dilipat, bawah : siku tidak bisa dilipat, juga fraktur antebrachii

42
2). Fraktur Antebrachii (patah tulang lengan bawah).

Pertolongan:

- Letakkan tangan pada dada.

- Pasang bidai dari siku sampai punggung tangan.

- Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang yang patah.

- Lengan digendong.

- Bawa korban ke rumah sakit.

Gambar 10 Pemasangan bidai pada fraktur antebrachii

3) Fraktur clavicula (patah tulang selangka). a) Tanda-tanda patah tulang selangka


:
- Korban tidak dapat mengangkat tangan sampai ke atas bahu.

- Nyeri tekan daerah yang patah.

b) Pertolongan :

- Dipasang ransel verban.

- Bagian yang patah diberi alas lebih dahulu.

- Pembalut dipasang dari pundak kiri disilangkan melalui punggung ke ketiak kanan.
- Dari ketiak kanan ke depan dan atas pundak kanan, dari pundak kanan
disilangkan ke ketiak kiri, lalu ke pundak kanan,akhirnya diberi peniti/ diikat.
- Bawa korban ke rumah sakit.
44
Gambar 11 Kanan atau kiri : Ransel perban

4) Fraktur Femur (patah tulang paha)

Gambar 12 Pemasangan bidai pada fraktur femur

Pertolongan :

- Pasang 2 bidai dari :

a.Ketiak sampai sedikit melewati mata kaki. b.Lipat paha sampai sedikit melewati mata kaki.
- Beri bantalan kapas atau kain antara bidai dengan tungkai yang patah.
44
- Bila perlu ikat kedua kaki di atas lutut dengan pembalut untuk mengurangi pergerakan.
- Bawa korban ke rumah sakit.

5) Fraktur Cruris (patah tulang tungkai bawah).

Pertolongan :

- Pasang 2 bidai sebelah dalam dan sebelah luar tungkai kaki yang patah.

- Di antara bidai dan tungkai beri kapas atau kain sebagai alas.

- Bidai dipasang di antara mata kaki sampai beberapa cm di atas lutut.

- Bawa korban ke rumah sakit.

Gambar 13 Pemasangan bidai pada fraktur cruris

D. OBSERVASI SETELAH TINDAKAN

Tanyakan kepada pasien apakah sudah merasa nyaman dengan bebat dan bidai yang dipasang,
apakah nyeri sudah berkurang, apakah terlalu ketat atau terlalu longgar. Bila pasien masih
merasakan bidai terlalu keras, tambahkan kapas di bawah bidai. Longgarkan bebat jika dirasakan
terlalu kencang. Lakukan re-evaluasi terhadap ekstremitas di sebelah distal segera setelah
memasang bebat dan bidai, meliputi :
- Warna kulit di distal

- Fungsi sensorik dan motorik ekstremitas.

- Pulsasi arteri

- Pengisian kapiler

Perawatan rutin terhadap pasien pasca pemasangan bebat dan bidai adalah elevasi ekstremitas
secara rutin, pemberian obat analgetika dan anti inflamasi, serta anti pruritik untuk mengurangi rasa
gatal dan untuk mengurangi nyeri. Berikan instruksi kepada pasien untuk menjaga bebatnya dalam
keadaan bersih dan kering serta tidak melepasnya lebih awal dari waktu yang diinstruksikan
dokter.

46
E. KOMPLIKASI PEMASANGAN

Dalam 1-2 hari pasien kemungkinan akan merasakan bebatnya menjadi lebih kencang karena
berkembangnya oedema jaringan. Berikan instruksi secara jelas kepada pasien untuk datang
kembali ke dokter bila muncul gejala atau tanda gangguan neurovaskuler atau compartment
syndrome, seperti bertambahnya pembengkakan atau rasa nyeri, kesulitan menggerakkan jari,
dan gangguan fungsi sensorik.

F. REPOSISI FRAKTUR TERTUTUP DAN DISLOKASI

Penatalaksanaan fraktur terdiri dari manipulasi untuk memperbaiki posisi fragmen dan splintage
untuk menahan fragmen sampai menyatu. Penyembuhan fraktur didukung oleh pemadatan tulang
secara fisiologis, sehingga aktivitas otot dan pemberian beban awal penting untuk dilakukan.
Tujuan ini didukung oleh 3 proses yaitu reduksi, imobilisasi dan latihan. Dua masalah yang penting
yaitu bagaimana mengimobilisasi fraktur namun tetap memungkinkan pasien menggunakan
anggota gerak dengan cukup; hal ini adalah dua hal yang berlawanan (menahan versus
menggerakkan) yang dinginkan ahli bedah untuk mempercepat kesembuhan (misalnya dengan
fiksasi internal). Akan tetapi, ahli bedah juga ingin menghindari resiko yang tidak diinginkan; ini
adalah konflik kedua ( kecepatan versus keamanan). Faktor yang paling penting dalam menentukan
kecenderungan untuk sembuh secara alami adalah kondisi jaringan lunak sekitar dan suplai darah
lokal. Fraktur energi rendah ( atau velositas rendah) hanya menyebabkan kerusakan jaringan
lunak yang parah, walaupun fraktur terbuka ataupun tertutup.
Tscheme (Oestern and Tscherne, 1984) mengklasifikasikan luka tertutup sebagai berikut :
Grade 0 : Fraktur simple dengan sedikit atau tidak ada luka jaringan lunak
Grade 1 : Fraktur dengan abrasi superfisial atau memar pada jaringan kulit dan jaringan
subkutan
Grade 2 : Fraktur yang lebih parah dengan tanda kerusakan jaringan lunak dan
ancaman sindrom compartment.
Grade 3 : Luka berat dengan kerusakan jaringan halus yang jelas.

Semakin parah tingkatan luka makan semakin besar kemungkinan membutuhkan beberapa
bentuk fiksasi mekanis; stabilitas tulang yang baik membantu penyembuhan jaringan lunak.

REDUKSI
Walaupun penatalaksanaan umum dan resusitasi harus didahulukan, namun penanganan
fraktur diharapkan tidak terlambat; pembengkakan bagian lunak selama 12 jam pertama
menyebabkan reduksi semakin sulit. Walaupun demikian, terdapat beberapa kondisi di mana
reduksi tidak dibutuhkan yaitu : 1. Saat hanya sedikit atau tidak ada dislokasi; 2. Saat
dislokasi bukan suatu masalah ( contoh: fraktur clavicula) dan 3. Saat reduksi tidak mungkin
berhasil ( contoh: fraktur kompresi pada vertebra)
Reduksi harus ditujukan untuk fragmen tulang dengan apposisi yang cukup dan garis fraktur yang
normal. Semakin besar area permukaan kontak antarfragmen semakin besar kemungkinan
terjadinya penyembuhan. Adanya jarak antara ujung fragmen merupakan penyebab sering union
yang terlambat atau nonunion. Di sisi lain, selama ada kontak dan fragmen segaris (alignment)
sedikit overlap pada permukaan fraktur masih diperbolehkan. Pada fraktur yang meliputi
pemukaan sendi, reduksi harus sedekat mungkin mendekati sempurna karena adanya irreguleritas
akan menyebabkan distribusi muatan yang abnormal antarpermukaan yang akan berpredispoisisi
46
pada perubahan degenaratif pada kartilago sendi. Terdapat 2 metode reduksi yaitu tertutup dan
terbuka.

Reduksi Tertutup

Di bawah anestesi dan relaksasi otot, fraktur direduksi dengan 3 maneuver:

1. Bagian distal anggota gerak ditarik pada garis tulang;

2. Karena fragment terpisah, maka direduksi dengan melawan arah gaya awal

3. Garis fraktur yang lurus diusahakan pada setiap bidang.

Hal ini lebih efektif dilakukan ketika periosteum dan otot pada satu sisi fraktur tetap utuh
karena ikatan jaringan lunak mencegah over-reduction dan menstabilkan fraktur setelah direduksi
(Charnley 1961).
Beberapa fraktur sulit untuk direduksi dengan manipulasi karena tarikan otot yg terlalu kuat
sehingga membutuhkan traksi yg lama. Traksi tulang atau kulit selama beberapa hari menyebabkan
tegangan jaringan lunak menurun dan memudahkan tejadinya alingment yg lebih baik; sebagai
contoh hal dapat dilakukan untuk fraktur femur, fraktur shaft tibia dan fraktur humerus
supracondylus pada anak. Pada umumnya reduksi tertutup digunakan untuk semua fraktur
dislokasi minimal, untuk sebagian besar fraktur pada anak, untuk fraktur yg tidak stabil setelah
reduksi dan dapat digunakan untuk beberapa bidai dan gips. Fraktur tidak stabil dapat direduksi
juga dengan metode tertutup sebelum dengan fiksasi internal atau eksternal. Hal ini dilakukan
untuk menghindari manipulasi langsung sisi fraktur oleh reduksi terbuka yang merusak
suplai darah lokal dan mungkin menyebabkan waktu penyembuhan lebih lambat. Traksi yg
mereduksi fragmen fraktur melalui ligamentotaxis (tarikan ligament) biasanya dapat diaplikasikan
menggunakan fracture table atau bone distraktor.

48
Gambar 14 Reposisi tertutup (a) Traksi pada garis tulang (b) Disimpaksi (c) Menekan
fragmen pada posisi reduksi ( Sumber : Solomon L. Warwick DJ. Nayagam S. Principles of
Fracture. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures, 8th ed. Oxford University
Press Inc. New York. 2001)

48
Reduksi terbuka
Indikasi reduksi operatif yaitu : 1) reduksi tertutup gagal, baik karena kesulitan mengontrol
fragmen atau karena jaringan lunak berada diantaranya, 2) terdapat fragmen sendi yang
membutuhkan pengaturan posisi yang akurat, 3) untuk traksi (avulsi) fraktur dengan
fragmen yang terpisah.
Dislokasi
Dislokasi berarti permukaan sendi bergeser secara lengkap dan tidak utuh lagi.
Subluksasi menekankan pada pergeseran dengan derajat yang lebih ringan dengan
permukaan sendi sebagian masih berapposisi.

Gambaran Klinis

Oleh karena cedera, sendi terasa nyeri dan pasien berusaha untuk menghindari pergerakan
sendi. Bentuk sendi abnormal dan penanda tulang dapat bergeser. Anggota gerak yang
mengalami dislokasi sering ditahan pada posisi tertentu karena pergerakan menyebabkan
rasa nyeri dan juga terbatas. Foto sinar-X biasanya memperjelas diagnosis, dan juga
menunjukkan apakah ada luka tulang yang mempengaruhi stabilitas sendi- misalnya
dislokasi fraktur. Sendi yang dicurigai terjadi dislokasi dapat dites dengan menekannya, dan
bila terjadi dislokasi pada lokasi tersebut pasien akan merasakan rasa nyeri menetap
yang tidak tertahankan lebih jauh.
Jika batas sendi dan ligamen rusak, dislokasi berulang dapat terjadi. Hal ini terutama pada
dislokasi sendi bahu dan sendi patellofemoral. Pada dislokasi habitual (voluntary), pasien
mengalami dislokasi atau subluksasi sendi karena kontraksi otot secara volunter.
Kelemahan ligament dapat mempermudah terjadinya hal ini.
Penatalaksanaan

Dislokasi harus direposisi sesegera mungkin; anestesi umum dan muscle relaxant
kadang dibutuhkan. Sendi kemudian diistirahatkan atau diimobilisasi sampai
pembengkakan jaringan lunak berkurang, biasanya setelah 2 minggu. Latihan gerakan
terkontrol dimulai dengan penguatan fungsi kemudian bertahap berkembang dengan
monitor fisioterapi. Biasanya rekonstruksi bedah dibutuhkan untuk kondisi ketidakstabilan
sendi yang masih tersisa.
Komplikasi pada fraktur juga terlihat setelah dislokasi yaitu kerusakan pembuluh darah,
kerusakan saraf, nekrosis avaskular tulang, osifikasi heterotopic, kaku sendi dan
osteoarthritis sekunder.
Mitella
Mitella adalah suatu teknik immobilisasi ekstremitas ataf menggunakan balutan berbentuk
segitiga. Mitella biasa digunakan untuk mengimmobilisasi cedera pada bahu, lengan atas
dan lengan bawah. Mitella dilakukan dengan menggunakan balutan segitiga yang berukuran
50-100 cm yang terbuat dari cotton.

Tujuan Mitella
Terdapat lima tujuan pemasangan mitella pada cedera muskuloskeletal :
Untuk menggimmobilisati lengan atas.
Untuk memberikan efek elevasi pada ekstremitas atas.
Untuk memberikan efek anti grafitasi pada cedera sendi bahu.

Tujuan Umum

52
Dapat memberikan pemahaman dan keterampilan pada mahasiswa cara melakukan
pemasangan mitella yang benar.

Tujuan Khusus
Mampu merencanakan dan mempersiapkan alat dan bahan untuk pemasangan mitella.
Mampu menerangkan ke pasien (inform consent) tentang tindakan yang akan dilakukan dan
persetujuan atas tindakan tersebut.
Mampu melakukan tindakan pemasangan mitella.
Mampu mengajarkan kepada petugas kesehatan lainnya bagaiman cara melakukan
pemasangan mitella.
Bahan dan Alat :
Sarung tangan.
Balutan berbentuk segi tiga ukuran 50-100 cm yang terbuat dari cotton.
Peniti
Prosedur
Melakukan inform consent.
Mempersiapkan alat balutan dengan ukuran yang tepat sesuai ekstremitas yang akan
dipasang mitella.
Harus melakukan proteksi diri sebelum melakukan pembalutan.
Melakukan pemeriksaan neurovaskuler distal.
Memposisikan ekstremitas atas pada posisi adduksi dan rotasi interna sendi bahu, fleksi 90
0
sendi siku.
Lakukan pemasangan mitella dengan sisi runcing ke arah sendi siku, dan dua sisi runcing
lainnya diikatkan ke samping leher.
7. Bagian akral diusahakan tidak tertutup mitella. Periksa kembali neurovaskuler distal.

52
CHECKLIST PENILAIAN KETERAMPILAN PEMBEBATAN (BANDAGE)
Nama : ....................................... Kelompok : .....................
NIM : ......................................

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai Bobot 0 1 2
1. Berkomunikasi dengan pasien dan menjelaskan tujuan dari 1
pembebatan dan meminta persetujuan tertulis pasien dan/atau
keluarga (informed consent)
2. Cuci tangan sesuai prosedur (sebelum dan setelah tindakan) 1
3. Inspeksi dan palpasi bagian tubuh yang terluka, memeriksa 1
neurovaskuler di bagian distal luka dan range of motion.
4. Perlindungan diri (sarung tangan steril) 1
5. Memberikan perawatan pertama pada luka (dengan 1
disinfektan, kasa steril, reposisi)
6. Memilih bebat yang sesuai dengan luka 2
7. Melakukan pembebatan sesuai prosedur dan posisi anatomis 2
yang benar
8. Memeriksa hasil pembebatan : terlalu kencang? Mudah 2
lepas? Membatasi gerakan sendi normal?
9. Memeriksa ulang bagian distal dan proximal dari daerah 2
yang dibebat (pulsasi, oedema, sensasi rasa, suhu, dan gerakan)

10.Menasehati pasien untuk merawat luka dengan baik, 1


menjelaskan akibat dari luka dan follow up (kapan bebat
harus diperiksa)
11. Edukasi pada pasien dan keluarga saat merujuk pasien pada 1
kondisi terpasang bebat
SKOR TOTAL
Penjelasan :
0 Tidak dilakukan mahasiswa
1 Dilakukan, tapi belum sempurna
2 Dilakukan dengan sempurna,
Nilai Mahasiswa = Skor Total x 100%
30
Lhokseumawe, …………………. 2017

Instruktur

( )

NIP.

52
CHECK LIST PENILAIAN KETERAMPILAN PEMBIDAIAN

Nama : ....................................... Kelompok : .....................


NIM : ......................................
Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai Bobot 0 1 2
1. Berkomunikasi dengan pasien dan menjelaskan tujuan dari 1
tindakan dan meminta persetujuan tertulis pasien dan/atau
keluarga (informed consent)
2. Cuci tangan sesuai prosedur (sebelum dan setelah 1
tindakan)
2. Inspeksi dan palpasi bagian tubuh yang terluka, 1
memeriksa neurovaskuler bagian distal luka, dan range
of motion
3. Perlindungan diri (sarung tangan steril) 1
4. Memberikan perawatan I pada luka (dengan disinfektan, kasa 1
steril, reposisi, menutup luka / pembebatan)
5. Memilih splint yang tepat dengan tulang yang patah 2
6. Melakukan prosedur pemasangan splint dengan benar 2
meliputi dua sendi di proksimal dan distal tulang yang
patah
7. Memeriksa hasil pemasangan splint: terlalu kencang? 2
Mudah lepas? Membatasi gerakan sendi normal?
Mengimobilisasi ekstremitas yang terluka?
8. Memeriksa ulang bagian distal dan proximal dari daerah yang 2
dibebat (pulsasi, oedema, sensasi rasa, suhu, dan
gerakan)
9. Menasehati pasien untuk mengimobilisasi tulang yang patah 1

11. Edukasi pada pasien dan keluarga saat merujuk pasien pada 1
kondisi terpasang bidai
12. Menjelaskan masa penyembuhan tulang, waktu serta 1
keuntungan dan kerugian pemasangan bidai
SKOR TOTAL
Penjelasan :
0 Tidak dilakukan mahasiswa
1 Dilakukan, tapi belum sempurna
2 Dilakukan dengan sempurna
Nilai Mahasiswa = Skor Total x 100%
32
Lhokseumawe, …………………. 2017
Instruktur

( )
NIP.

52
LEMBARAN PENILAIAN SKILLS LAB BLOK 3.4
KETERAMPILAN MITELLA

Aspek Yang dinilai SKOR


No. 0 1 2 3
Mempersiapkan alat yang sesuai dengan ukuran ekstremitas
Melakukan pemeriksaan neurovaskuler distal
Memposisikan ekstremitas atas pada posisi adduksi dan rotasi
interna sendi bahu, fleksi 900 sendi siku.
Lakukan pemasangan mitella dengan sisi runcing ke arah sendi
siku, dan dua sisi runcing lainnya diikatkan ke samping leher.
Bagian aklar diusahankan tidak tertutup mitella.
Periksa kembali neurovaskuler distal
TOTAL

Keterangan :
Skor 0 : Tidak dilakukan
Skor 1 : Dilakukan dengan banyak perbaikan/dilakukan*
Skor 2 : Dilakukan dengan sedikit perbaikan
Skor 3 : Dilakukan dengan sempurna
Nilai Mahasiswa = Skor Total x 100%
18

Lhokseumawe, …………………. 2017


Instruktur

( __________________________ )
NIP.

53
Ketrampilan membaca X-ray tulang tengkorak dan tulang belakang

A. Tujuan

Umum

Mahasiswa Mampu mengenal jenis foto tulang tengkorak dan tulang belakan

Mahasiswa mampu membaca foto tulang tengkorak dan tulang belakang

Khusus

Mahasiswa mampu menilai foto layak baca atau tidak

Mahasiswa mampu menilai jenis posisi foto pada tulang tengkoarak dan tulang belakang

Mahasiswa mampu menilai jenis sinus paranasal pada foto tengkorak

Mahasiswa mampu minilai jenis- jenis tulang pada foto tulang tengkorak dan tulang
belakang

Mahasiswa mampu menilai kelainan pada tulang tengkorak dan tulang belakang

Mahasiswa mampu menilai adanya fraktur dan dislokasi pada tulang tengkorak dan tulang
belakang

Mahasiswa mampu menilai adanya lordosis, kifosis , dan scoliosis pada tulang belakang

Dasar Teori

Penilaian radiologi muskuloskeletal

Hal- hal yang perlu diperhatikan :


adequency : pada radiografi muskuloskeletal yang adekuat, dapat di bedakan korteks,
medula tulang, terlihat trabekula, dan jaringan lunak
aligenment : di nilai kesegarisan antara tulang satu dengan yang lain pada persendian
Bones : dinilai bentuk, ukuran, batass, kontur dan densitas tulang
cartilage : dinilai tulang rawan dan persendian
soft tissues : di periksa adanya benda asing, pembengkakan, klasifikasi, penulangan

Posisi X- ray tulang tengkorak

Posisi AP ( Antero Posterior )


Struktur yg ditampakkan :

54
PA : orbita terisi oleh bayangan piramid petrosum , posterior etmoidal air cell, crista galli,
frontal bone, frontal sinus. Dorsum sellae tampak seperti kurva yang berada diantara 2
orbita tepat dibawah etmoid air cell.
PA Cadwell : hampir sama dengan PA, anterior etmoidal air cell Schuller yang pertama kali
menemukan proyeksi ini, dengan penyudutan 24 deratajat ke caudad.

Kriteria Evaluasi :
Jarak antara sisi lateral skull ke sisi lateral orbita sama pada kedua sisi.
Petrous ridge symetris
Tulang petrosum berada 1/3 bagian posterior foramen orbital apabila dilakukan penyudutan
15 derajat ke caudad.

Posisi Lateral

55
Klinis :

Fracture
Neoplastic process
3. Paget's disease
4. Infeksi
5. Tumor
Degenerasi tulang

Persiapan pasien:
Lepaskan semua bahan logam, plastik dan benda-benda lain yang dapat mengganggu
gambaran pada daerah kepala

56
Posisi Waters

Pada Posisi seperti ini digunakan lebih dominan untuk melihat tulang maxila dan
sinus paranasal .

Sinus paranasal adalah sinus (rongga) pada tulang berada sekitar nasal (hidung).

Rongga-rongga pada tengkorak ini berhubungan dengan hidung, dan secara terus menerus
menghasilkan lendir yang dialirkan ke hidung. Gangguan aliran ini karena berbagai sebab
akan menyebabkan penumpukan lendir di rongga sinus, jika terinfeksi oleh kuman akan
menyebabkan infeksi sinus yang disebut sinusitis.
Sampai saat ini belum diketahui secara jelas fungsi dari sinus ini, meskipun banyak teori
yang menerangkan fungsinya.
Ada 4 sinus paranasal:
Sinus Maksila
Sinus etmoid
Sinus frontal
4. Sinus Spenoid

X- ray tulang belakang

Tulang belakang adalah susunan terintegrasi dari jaringan tulang, ligamen, otot,
saraf dan pembuluh darah yang terbentang mulai dari dasar tengkorak (basis cranii), leher,
dada, pinggang bawah hingga panggul dan tulang ekor. Fungsinya adalah sebagai penopang

57
tubuh bagian atas serta pelindung bagi struktur saraf dan pembuluh-pembuluh darah yang
melewatinya.

Tulang belakang terdiri dari 4 segmen, yaitu segmen servikal (terdiri dari 7 ruas
tulang), segmen torakal (terdiri dari 12 ruas tulang), segmen lumbal (terdiri dari 5 ruas
tulang) serta segmen sakrococygeus (terdiri dari 9 ruas tulang). Diskus intervertebra terletak
mulai dari ruas tulang servikal ke-2 (C2) hingga ruas tulang sakrum pertama (S1).

Kelainan dari susunan anatomis maupun perbedaan posisi tulang belakang yang
normal tersebut, dapat berakibat berbagai keluhan dan gangguan yang bervariasi. Keluhan
dan gangguan tersebut akan berakibat terganggunya produktivitas dan kualitas hidup
seseorang. Tidak jarang keluhan tersebut berakibat nyeri yang hebat, impotensi, hilangnya
rasa (sensasi) hingga kelumpuhan.

Beberapa kelainan pada tulang belakang :


1. Scoliosis

Skoliosis adalah kelengkungan tulang belakang yang abnormal ke arah samping,
yang dapat terjadi pada segmen servikal (leher), torakal (dada) maupun lumbal (pinggang).
Sekitar 4% dari seluruh anak-anak yang berumur 10-14 tahun mengalami skoliosis; 40-60%
diantaranya ditemukan pada anak perempuan.
58
GEJALA

Gejalanya berupa:
– tulang belakang melengkung secara abnormal ke arah samping
– bahu dan/atau pinggul kiri dan kanan tidak sama tingginya
– nyeri punggung
– kelelahan pada tulang belakang setelah duduk atau berdiri lama
– skoliosis yang berat (dengan kelengkungan yang lebih besar dari 60?) bisa menyebabkan
gangguan pernafasan.
Kebanyakan pada punggung bagian atas, tulang belakang membengkok ke kanan dan pada
punggung bagian bawah, tulang belakang membengkok ke kiri; sehingga bahu kanan lebih
tinggi dari bahu kiri. Pinggul kanan juga mungkin lebih tinggi dari pinggul kiri.
DIAGNOSA
Pada pemeriksaan fisik penderita biasanya diminta untuk membungkuk ke depan sehingga
pemeriksa dapat menentukan kelengkungan yang terjadi.
Pemeriksaan neurologis (saraf)
dilakukan untuk menilai kekuatan, sensasi atau refleks.
Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:
 Rontgen tulang belakang
Pengukuran dengan skoliometer (alat untuk mengukur kelengkungan tulang belakang)
 MRI (jika ditemukan kelainan saraf atau kelainan pada rontgen).
Kifosis
DEFINISI
Penyakit Scheuermann adalah suatu keadaan yang ditandai dengan nyeri
punggung dan adanya bonggol di punggung (kifosis).
Kifosis adalah suatu kelainan bentuk pada tulang belakang yang bisa terjadi akibat trauma,
gangguan perkembangan atau penyakit degeneratif. Kifosis pada masa remaja juga disebut
penyakit Scheuermann.

59
PENYEBAB
Penyebab dari penyakit Scheuermann tidak diketahui. Penyakit ini muncul
pada masa remaja dan lebih banyak menyerang anak laki-laki.
GEJALA
Gejalanya berupa:
– nyeri punggung yang menetap tetapi sifatnya ringan
– kelelahan
– nyeri bila ditekan dan kekakuan pada tulang belakang
– punggung tampak melengkung
– lengkung tulang belakang bagian atas lebih besar dari normal.
DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik (lengkungan
punggung yang abnormal). Juga dilakukan pemeriksaan neurologis (saraf) untuk
mengetahui adanya kelemahan atau perubahan sensasi).
Rontgen tulang belakang dilakukan untuk mengetahui beratnya lengkungan tulang
belakang.

Lordosis
Tulang belakang yang normal jika dilihat dari belakang akan tampak lurus. Lain halnya
pada tulang belakang penderita lordosis, akan tampak bengkok terutama di punggung
bagian bawah .
Gejala yang timbul akibat lordosis berbeda-beda untuk tiap orang. Gejala lordosis yang
paling sering adalah penonjolan bokong. Gejala lain bervariasi sesuai dengan gangguan lain
yang menyertainya seperti distrofi muskuler, gangguan perkembangan paha, dan gangguan
neuromuskuler.
Nyeri pinggang, nyeri yang menjalar ke tungkai, dan perubahan pola buang air besar dan
buang air kecil dapat terjadi pada lordosis, tetapi jarang. Jika terjadi gejala ini, dibutuhkan
pemeriksaan lanjut oleh dokter.

60
Selain itu, gejala lordosis juga seringkali menyerupai gejala gangguan atau deformitas
tulang belakang lainnya, atau dapat diakibatkan oleh infeksi atau cedera tulang belakang.
Untuk membedakannya dilakukan beberapa pemeriksaan seperti :
Sinar X. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengukur dan menilai kebengkokan, serta
sudutnya.
Magnetic resonance imaging (MRI)
Computed tomography scan (CT Scan)
Pemeriksaan darah

61
CHEKLIST PENILAIAN MEMBACA FOTO TULANG TENGKORAK DAN TULANG
BELAKANG

Nama :........ kelompok : .......


NIM :.......

No. Aspek ketrampilan yang dinilai Bobot skor


0 1 2
1 Menilai foto layak baca atau tidak 2
2 Menentukan posisi dari jenis foto tulang kepala 2

3 Menentukan macam- macam sinus paranasal 2


4 Memeriksa apakah adanya fracture pada tulang kepala 2
5 Menyebutkan jenis segmen dari tulang belakang 1
6 Menentukan kelainan lordosis dan pengertiannya 1
7 Menentukan kelainan kifosis dan pengertiaannya 1
8 Menentukan kelainan scoliosis dan pengertiaannya 1

SKOR TOTAL
P enjelasan:
0 Tidak dilakukan mahasiswa
1 Dilakukan,tapi belum sempurna
2 Dilakukan dengan sempurna
Nilai Mahasiswa = Skor Total x 100%
12

Lhokseumawe,………………2017

( )

62
MENGOBATI ULKUS TUNGKAI

Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik diabetes mellitus berupa luka
terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat.
Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi
makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut
terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi
infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob (Tambunan, 2006).

3.2 Klasifikasi Kaki Diabetes

Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari klasifikasi oleh Edmonds dari
King’s College Hospital London, klasifikasi Liverpool, klasifikasi wagner, klasifikasi texas,
serta yang lebih banyak digunakan adalah yang dianjurkan oleh International Working
Group On Diabetic Foot karena dapat menentukan kelainan apa yang lebih dominan,
vascular, infeksi, neuropatik,

Universitas Sumatera Utara

sehingga arah pengelolaan dalam pengobatan dapat tertuju dengan baik (Waspadji, 2006).

1 Klasifikasi Edmonds (2004 – 2005)

- Stage 1 : Normal foot

- Stage 2 : High Risk Foot

- Stage 3 : Ulcerated Foot

- Stage 4 : Infected Foot

- Stage 5 : Necrotic Foot

- Stage 6 : Unsalvable Foot

2 Derajat keparahan ulkus kaki diabetes menurut Wagner

Grade 1 : Ulkus superfisial tanpa terlibat jaringan dibawah kulit Grade 2 : Ulkus dalam
tanpa terlibat tulang / pembentukan abses. Grade 3 : Ulkus dalam dengan selulitis/abses
atau osteomielitis Grade 4 : Tukak dengan Gangren lokal

Grade 5 : Tukak dengan Gangren luas / melibatkan keseluruhan kaki

3 Klasifikasi Liverpool

Klasifikasi primer

Klasifikasi sekunder

63
: - Vascular
- Neuropati
- Neuroiskemik

: - Tukak sederhana, tanpa komplikasi - Tukak dengan komplikasi

4 Klasifikasi PEDIS menurut International Consensus On The Diabetic Foot (2003)

Impaired Perfusion

1 = None
2 = PAD + but not critical
3 = Critical limb ischemia

subcutaneous structures, fascia, muscle or tendon

1= Superficial fullthickness, not deeper than dermis

2 = Deep ulcer, below dermis. Involving


3 = All subsequent layers of the foot involved including bone and or joint Infection

1 = No symptoms or signs of infection

2 = Infection of skin and subcutaneous tissue only

3 = Erythema > 2 cm or infection involving subcutaneous structure, no systemic sign of


inflammatory response 4 = Infection with systemic manifestation : fever, leucocytosis, shift
to the left metabolic instability, hypotension, azotemia Impaired sensation

1= Absent
2 = Present (Waspadji, 2006).

3.3 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala ulkus kaki diabetes seperti sering kesemutan, nyeri kaki saat istirahat.,
sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan denyut nadi arteri dorsalis
pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal dan kulit kering
(Misnadiarly, 2006 ; Subekti, 2006)

3.4. Diagnosis Kaki Diabetes


Diagnosis kaki diabetes meliputi :

1. Pemeriksaan Fisik :

Inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka / ulkus pada kulit atau jaringan tubuh pada
kaki, pemeriksaan sensasi vibrasi / rasa berkurang atau hilang, palpasi denyut nadi arteri
dorsalis pedis menurun atau hilang.

64
2 Pemeriksaan Penunjang :

X-ray, EMG (Electromyographi) dan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah


ulkus kaki diabetes menjadi infeksi dan menentukan kuman penyebabnya (Waspadji, 2006).
3.5 Patogenesis Kaki Diabetes

Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang diabetes mellitus adalah ulkus kaki
diabetes. Ulkus kaki diabetes disebabkan adanya tiga faktor yang sering disebut trias yaitu :
iskemik, neuropati, dan infeksi. Pada penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa
darah tidak terkendali akan terjadi komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan
perubahan jaringan syaraf karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga
mengakibatkan akson menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya
reflek otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila penderita
diabetes mellitus tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan meneybabkan lesi dan
menjadi ulkus kaki diabetes (Waspadji, 2006).

Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan darah dalam
jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan adanya proses
makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan menurun yang ditandai
oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea,
kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.
Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan menyempit karena
penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat
mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai darah, sehingga mengakibatkan
kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan
kematian jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati
pada penderita diabetes mellitus berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah
perifer, sering terjadi pada tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian
distal dari tungkai menjadi berkurang kemudian timbul ulkus kaki diabetes (Tambunan,
2006). Pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali kadar gula darahnya akan
menyebabkan penebalan tunika intima (hiperplasia membram basalis arteri) pada pembuluh
darah besar dan pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran albumin keluar kapiler
sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan dan timbul nekrosis jaringan yang
mengakibatkan ulkus diabetika. Eritrosit pada penderita diabetes mellitus yang tidak
terkendali akan meningkatkan HbA1C yang menyebabkan deformabilitas eritrosit dan
pelepasan oksigen di jaringan oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang
menggangu sirkulasi jaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan
yang selanjutnya timbul ulkus kaki diabetes. Peningkatan kadar fibrinogen dan
bertambahnya reaktivitas trombosit menyebabkan tingginya agregasi sel darah merah
sehingga sirkulasi darah menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya trombosit pada
dinding pembuluh darah yang akan mengganggu sirkulasi darah. Penderita diabetes mellitus
biasanya kadar kolesterol total, LDL, trigliserida plasma tinggi. Buruknya sirkulasi ke
sebagian besar jaringan akan menyebabkan hipoksia dan cedera jaringan, merangsang
reaksi peradangan yang akan merangsang terjadinya aterosklerosis. Perubahan / inflamasi
pada dinding pembuluh darah, akan terjadi penumpukan lemak pada lumen pembuluh
darah, konsentrasi HDL (highdensity- lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rendah.
Adanya faktor risiko lain yaitu hipertensi akan meningkatkan kerentanan terhadap
aterosklerosis (Tambunan, 2006).

65
Konsekuensi adanya aterosklerosis yaitu sirkulasi jaringan menurun sehingga kaki menjadi
atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga
timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. Pada penderita diabetes
mellitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali menyebabkan abnormalitas lekosit
sehingga fungsi khemotoksis di lokasi radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis
dan bakterisid menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme sukar untuk
dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid intra selluler. Pada penderita ulkus kaki
diabetes, 50 % akan mengalami infeksi akibat adanya glukosa darah yang tinggi karena
merupakan media pertumbuhan bakteri yang subur. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus
diabetika yaitu kuman aerobik Staphylococcus atau Streptococcus serta kuman anaerob
yaitu Clostridium Perfringens, Clostridium Novy, dan Clostridium Septikum (Tambunan,
2006; Waspadji, 2006).

3.6 Faktor Risiko Terjadinya Kaki Diabetes

Faktor risiko terjadi ulkus diabetika yang menjadi gambaran dari kaki diabetes pada
penderita diabetes mellitus terdiri atas faktor-faktor risiko yang tidak dapat diubah dan
faktor-faktor risiko yang dapat diubah (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

Faktor - faktor risiko yang tidak dapat diubah :

1. Umur
Pada usia tua fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging

terjadi penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga kemampuan fungsi tubuh terhadap
pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal . proses aging menyebabkan
penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga terjadi makroangiopati, yang akan
mempengaruhi penurunan sirkulasi darah salah satunya pembuluh darah besar atau sedang
di tungkai yang lebih mudah terjadi ulkus kaki diabetes (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

2. Lama Menderita Diabetes Mellitus ≥ 10 tahun.

Ulkus kaki diabetes terutama terjadi pada penderita diabetes mellitus yang telah menderita
10 tahun atau lebih, apabila kadar glukosa darah tidak terkendali, karena akan muncul
komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler sehingga mengalami makroangiopati dan
mikroangiopati yang akan terjadi vaskulopati dan neuropati yang mengakibatkan
menurunnya sirkulasi darah dan adanya robekan /luka pada kaki penderita diabetes mellitus
yang sering tidak dirasakan karena terjadinya gangguan neurophati perifer (Tambunan,
2006; Waspadji, 2006).

Faktor-faktor risiko yang dapat diubah :

1. Neurophati (sensorik, motorik, perifer).


Kadar glukosa darah yang tinggi semakin lama akan terjadi gangguan

mikro sirkulasi, berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut saraf yang
mengakibatkan degenerasi pada serabut syaraf yang lebih lanjut akan terjadi neuropati.
Syaraf yang rusak tidak dapat mengirimkan sinyal ke otak dengan baik, sehingga penderita
66
dapat kehilangan indra perasa selain itu juga kelenjar keringat menjadi berkurang, kulit
kering dan mudah robek. Neuropati perifer berupa hilangnya sensasi rasa yang berisiko
tinggi menjadi penyebab terjadinya lesi yang kemudian berkembang menjadi ulkus kaki
diabetes (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

2. Obesitas.
Pada obesitas dengan index massa tubuh ≥ 23 kg/m2 (wanita) dan IMT

(index massa tubuh) ≥ 25 kg/m2 (pria) atau berat badan ideal yang berlebih akan sering
terjadi resistensi insulin. Apabila kadar insulin melebihi 10 μU/ml, keadaan ini
menunjukkan hiperinsulinmia yang dapat menyebabkan aterosklerosis yang berdampak
pada vaskulopati, sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah sedang / besar pada tungkai
yang menyebabkan tungkai akan mudah terjadi ulkus / ganggren sebagai bentuk dari kaki
diabetes (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

3. Hipertensi.
Hipertensi (TD > 130/80 mm Hg) pada penderita diabetes mellitus karena

adanya viskositas darah yang tinggi akan berakibat menurunnya aliran darah sehingga
terjadi defesiensi vaskuler, selain itu hipertensi yang tekanan darah lebih dari 130/80 mmHg
dapat merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel. Kerusakan pada endotel akan
berpengaruh terhadap makroangiopati melalui proses adhesi dan agregasi trombosit yang
berakibat vaskuler defisiensi sehingga dapat terjadi hipoksia pada jaringan yang akan
mengakibatkan terjadinya ulkus (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

4. Glikosilasi Hemoglobin adalah terikatnya glukosa yang masuk dalam

sirkulasi sistemik dengan protein plasma termasuk hemoglobin dalam sel darah merah.
Apabila Glikosilasi Hemoglobin (HbA1c) ≥ 6,5 % akan menurunkan kemampuan
pengikatan oksigen oleh sel darah merah yang mengakibatkan hipoksia jaringan yang
selanjutnya terjadi proliferasi pada dinding sel otot polos sub endotel (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).

5. Kadar Glukosa Darah Tidak Terkontrol.


Pada penderita diabetes mellitus sering dijumpai adanya peningkatan

kadar trigliserida dan kolesterol plasma, sedangkan konsentrasi HDL (highdensity -


lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rend≤ah45( mg/dl). Kadar trigliserida ≥ 150
mg/dl, kolesterol total≥ 200 mg/dl dan HDL ≤ 45 mg/dl akan mengakibatkan buruknya
sirkulasi ke sebagian besar jaringan dan menyebabkan hipoksia serta cedera jaringan,
merangsang reaksi peradangan dan terjadinya aterosklerosis. Konsekuensi adanya
aterosklerosis adalah penyempitan lumen

pembuluh darah yang akan menyebabkan gangguan sirkulasi jaringan sehingga suplai darah
ke pembuluh darah menurun ditandai dengan hilang atau berkurangnya denyut nadi pada
arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal.
Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai
dari ujung kaki atau tungkai (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

67
6. Kebiasaan Merokok.
Pada penderita diabetes mellitus yang merokok ≥ 12 batang per hari mempunyai risiko 3x
untuk menjadi ulkus kaki diabetes dibandingkan dengan penderita diabetes mellitus yang
tidak merokok. Kebiasaan merokok akibat dari nikotin yang terkandung di dalam rokok
akan dapat menyebabkan kerusakan endotel kemudian terjadi penempelan dan agregasi
trombosit yang selanjutnya terjadi kebocoran sehingga lipoprotein lipase akan
memperlambat clearance lemak darah dan mempermudah timbulnya aterosklerosis.
Aterosklerosis berakibat insufisiensi vaskuler sehingga aliran darah ke arteri dorsalis pedis,
poplitea, dan tibialis juga akan menurun (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

7. Ketidakpatuhan Diet Diabetes Mellitus.


Kepatuhan diet diabetes mellitus merupakan upaya yang sangat penting dalam
pengendalian kadar glukosa darah, kolesterol, dan trigliserida mendekati normal sehingga
dapat mencegah komplikasi kronik, seperti ulkus kaki diabetes. Kepatuhan diet penderita
diabetes mellitus mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu mempertahankan berat
badan normal, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, menurunkan kadar glukosa
darah, memperbaiki profil lipid,meningkatkan sensitivitas reseptor insulin dan memperbaiki
sistem koagulasi darah (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

8. Kurangnya Aktivitas Fisik.

Aktivitas fisik (olah raga) sangat bermanfaat untuk meningkatkan sirkulasi darah,
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, sehingga akan
memperbaiki kadar glukosa darah. Dengan kadar glukosa darah terkendali maka akan
mencegah komplikasi kronik diabetes mellitus. Olah raga rutin (lebih 3 kali dalam
seminggu selama 30 menit) akan memperbaiki metabolisme karbohidrat, berpengaruh
positif terhadap metabolisme lipid dan sumbangan terhadap penurunan berat badan.
Aktivitas fisik yang dilakukan termasuk senam kaki. Senam kaki dapat membantu
memperbaiki sirkualsi darah dan memperkuat otot - otot kecil kaki dan mencegah
terjadinya kelainan bentuk kaki (deformitas), selain itu dapat meningkatkan kekuatan otot
betis dan otot paha (Gastrocnemeus, Hamsring, Quadriceps) dan juga mengatasi
keterbatasan gerak sendi. Latihan senam kaki dapat dilakukan dengan posisi berdiri, duduk
dan tidur, dengan cara menggerakkan kaki dan sendi-sendi kaki misalnya berdiri dengan
kedua tumit diangkat, mengangkat kaki dan menurunkan kaki. Gerakan dapat berupa
gerakan menekuk, meluruskan, mengangkat, memutar keluar atau kedalam dan
mencengkram pada jari – jari kaki. Latihan dilakukan sesering mungkin dan teratur
terutama pada saat kaki terasa dingin. (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

9. Pengobatan Tidak Teratur.


Pengobatan rutin dan pengobatan intensif akan dapat mencegah dan menghambat timbulnya
komplikasi kronik, seperti ulkus diabetika. Sampai pada saat ini belum ada obat yang dapat
dianjurkan secara tepat untuk memperbaiki vaskularisasi perifer pada penderita Diabetes
Mellitus, namun bila dilihat dari penelitian tentang kelainan akibat arterosklerosis ditemapt
lain seperti jantung dan otak, obat seperti aspirin dan lainnya yang sejenis dapat digunakan
pada pasien Diabetes Mellitus meskipun belum ada bukti yang cukup kuat untuk
menganjurkan penggunaan secara rutin (Waspadji, 2006).

68
Pengobatan tidak teratur termasuk di dalamnya pemeriksaan terhadap kaki Penggolongan
dari kaki diabetes berdasarkan risiko terjadinya yang dapat dijadikan acuan dalam
memeriksa kaki penderita diabetes mellitus dan tindakan pencegahan yang dilakukan
adalah sebagai berikut :

Sensasi normal tanpa deformitas

Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar

tinggi

Insensitivitas tanpa deformitas

Iskemia tanpa deformitas

Kombinasi antara adanya insensitivitas, deformitas dan / atau iskemia (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).

10. Perawatan Kaki Tidak Teratur.


Perawatan kaki penderita diabetes mellitus yang teratur akan mencegah atau mengurangi
terjadinya komplikasi kronik pada kaki. Acuan dalam perawatan kaki pada penderita
diabetes mellitus yaitu meliputi seperti selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih,
membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air suam-suam kuku dengan memakai
sabun lembut dan mengeringkan dengan sempurna dan hati-hati terutama diantara jari-jari
kaki, memakai krem kaki yang baik pada kulit yang kering atau tumit yang retak-retak,
supaya kulit tetap mulus, dan jangan menggosok antara jari-jari kaki (contoh: krem
sorbolene), tidak memakai bedak, sebab ini akan menyebabkan kulit menjadi kering dan
retak- retak. menggunting kuku hanya boleh digunakan untuk memotong kuku kaki secara
lurus dan kemudian mengikir agar licin. Memotong kuku lebih mudah dilakukan sesudah
mandi, sewaktu kuku lembut, kuku kaki yang menusuk daging dan kalus, hendaknya
diobati oleh podiatrist. Jangan menggunakan pisau cukur atau pisau biasa, yang bias
tergelincir; dan ini dapat menyebabkan luka pada kaki, jangan menggunakan penutup
kornus/corns. Kornus-kornus ini seharusnya diobati hanya oleh podiatrist, memeriksa kaki
dan celah kaki setiap hari apakah terdapat kalus, bula, luka dan lecet dan menghindari
penggunaan air panas atau bantal panas (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

Perawatan luka sejak pasien datang harus ditangani dengan baik dan teliti, klasifikasi ulkus
PEDIS dilakukan setelah debridement yang adekuat. Saat ini terdapat banyak sekali macam
Dressing (pembalut) yang masing – masing dapat dimanfaatkan sesuai dengan keadaan luka
dan letak luka tersebut, teapi jangan lupa tindakan debridement merupakan syarat mutlak
yang harus dikerjakan dahulu sebelum menilai dan mengklasifikasikan luka, debridement
yang baik and adekuat tentu akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang
harus dikeluarkan tubuh sehingga membantu mengurangi produksi pus/ cairan dari ulkus /
gangrene diabetik (Waspadji, 2006).

Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka. Selama
proses inflamsi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan beranjak pada proses
selanjutnya yaitu proses granulasi sampai epitealisasi. Untuk menacapai suasana kondusif
bagi kesembuhan luka dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan salin

69
11. Penggunaan Alas Kaki Tidak Tepat

Penderita diabetes mellitus tidak boleh berjalan tanpa alas kaki karena tanpa menggunakan
alas kaki yang tepat memudahkan terjadi trauma yang mengakibatkan ulkus kaki diabetes
yang diawali dari timbulnya lesi pada tungkai kaki, terutama apabila terjadi neuropati yang
mengakibatkan sensasi rasa berkurang atau hilang. Pencegahan dalam faktor mekanik
dengan memberikan alas kaki yang pas dan nyaman untuk penderita diabetes mellitus.
Penggunaan alas kaki yang tepat harus memperhatikan hal hal berupa tidak boleh berjalan
tanpa alas kaki, termasuk di pasir, memakai sepatu yang sesuai atau sepatu khusus untuk
kaki dan nyaman dipakai, sebelum memakai sepatu, memerika sepatu terlebih dahulu, kalau
ada batu dan lain-lain, karena dapat menyebabkan iritasi/gangguan dan luka terhadap kulit,
sepatu harus terbuat dari kulit, kuat, pas (cukup ruang untuk ibu jari kaki) dan tidak boleh
dipakai tanpa kaus kaki, sepatu baru harus dipakai secara berangsur-angsur dan hati-hati,
memakai kaus kaki yang bersih dan mengganti setiap hari, kaus kaki terbuat dari bahan wol
atau katun. Jangan memakai bahan sintetis, karena bahan ini menyebabkan kaki berkeringat
dan memakai kaus kaki apabila kaki terasa dingin (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

Edukasi sangat penting untuk setiap tahap pengelolaan kaki diabetes. Dengan penyuluhan
yang baik penderita diabetes mellitus dengan kaki diabetes maupun keluarganya diharapkan
akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk
kesembuhan luka yang optimal. Rehabilitasi merupakan program yang sangat penting yang
harus dilaksanakan unutk pengelolaan kaki diabetes, bahkan sejak pencegahan terjadinya
ulkus kaki diabetes, keterlibatan ahli rehabilitasi medis sangat diperlukan untuk mengurangi
kecacatan yang mungkin timbul pada pasien. Keterlibatan ahli rehabilitasi medis berlanjut
sampai jauh sesudah amputasi, untuk memberikan bantuan bagi para penderita kaki
diabetes yang mengalami amputasi untuk menghindari terjadinya ulkus baru. Pemakaian
alas kaki khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan sangat membantu mencegah
terbentuknya ulkus baru yang akan memberikan prognosis yang lebih buruk dari ulkus
sebelumnya

Debridemen
Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting pada kasus ulkus diabetika.
Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya pembersihkan benda asing dan jaringan
nekrotik pada luka. Luka tidak akan sembuh apabila masih didapatkan jaringan nekrotik,
debris, calus, fistula/rongga yang memungkinkan kuman berkembang. Setelah dilakukan
debridemen luka harus diirigasi dengan larutan garam fisiologis atau pembersih lain dan
dilakukan dressing (kompres).
Ada beberapa pilihan dalam tindakan debridemen, yaitu
- debridemen mekanik, enzimatik, autolitik, biologik, debridement bedah.
- Debridemen mekanik dilakukan menggunakan irigasi luka cairan fisiolofis,
ultrasonic laser, dan sebagainya, dalam rangka untuk membersihkan jaringan nekrotik.
- Debridemen secara enzimatik dilakukan dengan pemberian enzim eksogen secara
topikal pada permukaan lesi. Enzim tersebut akan menghancurkan residu residu protein.
Contohnya, kolagenasi
akan melisikan kolagen dan elastin. Beberapa jenis debridement yang sering dipakai adalah
papin, DNAse dan fibrinolisin.

70
Debridemen autolitik terjadi secara alami apabila seseorang terkena luka. Proses ini
melibatkan makrofag dan enzim proteolitik endogen yang secara alami akan melisiskan
jaringan nekrotik. Secara sintetis preparat hidrogel dan hydrocolloid dapat menciptakan
kondisi lingkungan yang optimal bagi fagosit tubuh dan bertindak sebagai agent yang
melisiskan jaringan nekrotik serta memacu proses granulasi. Belatung (Lucilla serricata)
yang disterilkan sering digunakan untuk debridemen biologi. Belatung menghasilkan enzim
yang dapat menghancurkan jaringan nekrotik.
Debridemen bedah merupakan jenis debridemen yang paling cepat dan efisien. Tujuan
debridemen bedah adalah untuk :
Mengevakuasi bakteri kontaminasi,
Mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat penyembuhan,
Menghilangkan jaringan kalus,
Mengurangi risiko infeksi lokal.

71
CHECK LIST PENILAIAN KETERAMPILAN Pemeriksaan ulkus pedis

Nama : ....................................... Kelompok : .....................


NIM : ......................................
Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai Bobot 0 1 2
1. Berkomunikasi dengan pasien dan menjelaskan tujuan 1
dari tindakan dan meminta persetujuan tertulis pasien
dan/atau keluarga (informed consent)
2. Cuci tangan sesuai prosedur (sebelum dan 1
setelah tindakan)
3. Inspeksi dan palpasi bagian tubuh yang 1
terluka, memeriksa neurovaskuler bagian distal luka,
dan range
4. Perlindungan
of motion diri (sarung tangan steril) 1
5. Menentukan klasifikasi ulcus pedis menurut wagner 1

6. Menyebutkan factor resiko terjadinya ulkus 2


7. Menjelaskan beberapa teknik debridemen ulkus 2

8. Edukasi pada pasien dan keluarga untuk berobat 1


rutin dan rutin membersihkan luka
9. Merujuk pasien ke dokter internis dan bedah untuk 1
penenganan lanjutan
SKOR TOTAL
Penjelasan :
0 Tidak dilakukan mahasiswa
1 Dilakukan, tapi belum sempurna
2 Dilakukan dengan sempurna

Nilai Mahasiswa = Skor Total x 100%


11
Lhokseumawe, …………………. 2017
Instruktur

Nip

72
Fakultas Kedokteran Unimal

DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun Penuntun Skill lab Blok 18. 2013. Panduan Skill Lab Blok 18.
Lhokseumawe: FK UNIMAL.
Skills Laboratory Manual. 2003. Vital sign Examination and Bandages and
Splints, Skills Laboratory. Yogyakarta: School of Medicine Gadjah Mada
University,

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
73
Fakultas Kedokteran Unimal

PEMERIKSAAN PADA SISTEM INDRA KHUSUS


(MATA, KULIT,THT)

Modul ini dibuat untuk para mahasiswa dalam mencapai kemampuan tertentu
didalam pemeriksaan pada sistem indra khusus (Mata, Kulit dan THT). Dengan
mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan mempunyai kemampuan yang baik
tentang aplikasi sistem indra khusus (Mata, Kulit dan THT) dalam pemeriksaan
fisik dalam mencapai suatu diagnosis yang tepat

Tujuan pembelajaran umum


Mempersiapkan pasien untuk pemeriksaan system indra khusus (Mata, Kulit dan
THT)
Melakukan pemeriksaan fisik mata berupa pemeriksaan visus sederhana dan
reflek pupil
Melakukan pemeriksaan status dermatologikus berdasarkan efloresensi primer
dan sekunder.
Melakukan pemeriksaan fisik THT sederhana dan pemeriksaan tes pendengaran
dengan garpu tala

Tujuan pembelajaran khusus


Mampu mempersiapkan pasien untuk melakukan pemeriksaan
Mampu menginformasikan kepada pasien tentang tujuan dari pemeriksaan/tes
Mampu memberikan instruksi pada pasien untuk membuka matanya, membuka
bajunya, membuka mulutnya dengan cara baik
Mampu memotivasi pasien agar melakukan apa-apa yang diinstruksikan oleh
pemeriksa
Mampu menginstruksikan pasien tidur telentang dan duduk untuk dilakukan
pemeriksaan sistem indra khusus (mata, kulit, THT)
Mampu melakukan inspeksi mata, kulit dan THT untuk menilai kelainan yang
ditemukan
Mampu melakukan palpasi kulit untuk menilai kelainan yang ditemukan
Mampu melakukan perkusi pada mastoid dan daerah sinus untuk menilai
kelainan yang ditemukan
Pelatihan pemeriksaan Indra dalam kondisi fisiologis merupakan bagian
dari pelatihan ketrampilan klinik dasar, sebagai bekal untuk proses pembelajaran
selanjutnya. Sedangkan pelatihan pemeriksaan Indra dalam kondisi patologis
dilakukan dengan cara simulasi menggunakan kasus.
Pelatihan dilakukan menggunakan model pemeriksaan antar teman (role
play) dengan dibantu alat-alat pemeriksaan yang sederhana dan disesuaikan
dengan kompetensi dokter untuk pelayanan primer.

Kompetensi yang diharapkan:


Mahasiswa diharapkan mampu untuk melakukan pemeriksaan Indra dalam
kondisi fisiologis dan patologis (simulasi) dengan menerapkan komunikasi efektif
serta prosedur yang benar dan legeartis.

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
74
Fakultas Kedokteran Unimal

PEMERIKSAAN PADA SISTEM INDRA KHUSUS

MATA

Kategori Uji Kompetensi 4

Tujuan Instruksional Umum : Mahasiswa mampu melakukan

1. Pemeriksaan visus
2. Pemeriksaan reflek pupil
3. Pemeriksaan funduskopi
4. Pemeriksaan sensibilitas kornea
4. Pemeriksaan eversi kelopak mata
5. Pemeriksaan lapang pandang
6. Pemeriksaan TIO
7. Pemeriksaan penglihatan warna

ANATOMI MATA
Perhatikan bahwa kelopak mata atas biasanya menutupi sebagian (kurang
lebih 2mm) dari iris, tetapi tidak menutupi pupil. Daerah yang terbuka di antara
kelopak atas dan kelopak bawah sebut fisura palpebra. Sklera di daerah perifer
kadang-kadang berwarna agak kekuningan, yang harus dibedakan dengan warna
kuning pada ikterus. Pada orang kulit berwarna kadang terdapat beberapa bercak
coklat.
Selain kornea, bagian dari bola mata yang tampak dari depan dilapisi
konjungtiva. Pada tepi kornea (limbus), konjungtiva menyatu dengan epitel
kornea. Sebagian dari konjungtiva beserta pembuluh darahnya melapisi sclera
dengan longgar dan disebut konjungtiva bulbi. Ke atas dan ke bawah konjungtiva
bulbi membentuk cekungan yang kemudian melipat ke depan menyatu dengan
jaringan pada kelopak mata (konjungtiva palpebra).
Kelopak mata diberi bentuk oleh suatu pita jaringan pengikat yang tipis
dan disebut tarsus. Di dalam tiap tarsus terdapat barisan kelenjar Meibom yang
bermuara di dekat tepi posterior kelopak mata. Kelenjar ini mensekresikan
material sebaceous yang membatasi kelopak mata. Otot levator palpebra yang
bertugas mengangkat kelopak mata atas inervasi oleh dua macam saraf, yaitu n.
oculomotorius dan sistem saraf simpatis.

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
75
Fakultas Kedokteran Unimal

Kornea dan konjungtiva dibasahi oleh sekresi kelenjar air mata dan dari
konjungtiva sendiri. Kelenjar air mata terletak di dalam tulang orbita, di sebelah
atas dan lateral bola mata. Air msata akan disebarkan ke seluruh permukaan bola
mata dan keluar melalui dua buah lubang kecil disebut puncta lakrimalis,
kemudian masuk ke suatu kantong (sacus lakrimalis), dan mengalir ke hidung
melalui kanalis sakrolakrimalis.

Pada polus posterior mata, permukaan retina mengalami suatu cekungan


kecil, yaitu fovea sentralis yang merupakan titik pusat penglihatan. Retina di
sekitar titik disebut macula. Nervus opticus bersama dengan pembuluh darah
retina masuk bola mata di sebelah medial titik tersebut.

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
76
Fakultas Kedokteran Unimal

Suatu cairan jernih yang disebut humour akuos mengisi kamera oculi anterior dan
kamera oculi posterior. Humor akuos diproduksi korpus siliaris, mengalir dari
kamera oculi posterior ke kamera oculi anterior melalui pupil dan kemudian
keluar melalui kanalis Schlemm. Tekanan bola mata sebagian besar dipengaruhi
oleh aliran humor akuos ini.

LINTASAN VISUAL
Agar terjadi bayangan yang jelas, sinar yang dipantulkan oleh suatu objek harus
melewati kornea, humos akuos, lensa dan vitreus, lalu difokuskan pada retina.
Bayangan yang terbentuk adalah terbalik

Sebagai respon atas ransangan ini, impuls saraf akan berjalan lewat retina,
nervus optikus ke midbrain dan kemudian ke korteks visualis di lobus oksipitalis.
Pada chiasma serabut nasal atau medial akan saling bersilangan . Camera oculi
posterior ke kamera oculi anterior melalui pupil dan kemudian keluar melalui
kanalis Schlemm. Tekanan bola mata sebagian besar juga dapat dipengaruhi oleh
adanya aliran humorakuos ini.

I. PEMERIKSAAN VISUS
1. Memeriksa Visus sentral (dan perifer) secara sederhana
2. Mampu menentukan derajat penilaian visus

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
77
Fakultas Kedokteran Unimal

Visus seseorang ditentukan dengan cara membandingkan ketajaman orang


tersebut dengan orang normal. Alat yang dipakai untuk memeriksa visus adalah
kartu Snellen. Kartu ini digunakan pada jarak 5 atau 6 meter dari penderita. Pada
pinggir tiap baris ada kode angka yang menunjukkan berapa meter huruf sebesar
itu oleh mata normal masih bisa dibaca. Sebagai contoh : huruf terkecil yang
masih bisa terbaca jelas adalah pada 10 meter , maka visus penderita itu adalah
6/10 (artinya penderita tersebut membaca huruf dengan jelas pada jarak 6 meter
sedangkan mata normal mampu membaca sejauh 10 meter).
Untuk penderita yang visusnya sangat buruk, digunakan objek hitungan
jari tangan, goyangan tangan dan berkas cahaya. Masing-masing tanda tersebut
dapat dilihat mata normal pada jarak 60m, 300m dan tidak terhingga jauhnya.
Teknis
Menggunakan kartu Snellen dan penerangan cukup.
Pasien didudukkan jarak 6 meter, paling sedikit jarak 5 meter dari kartu Snellen.
Kartu Snellen di digantungkan sejajar setinggi / lebih tinggi dari mata pasien.
Pemeriksaan dimulai pada mata kanan terlebih dahulu, mata kiri ditutup. Pasien
disuruh membaca huruf SNELLEN dari baris paling atas ke bawah.
Hasil pemeriksaan dicatat, kemudian diulangi untuk mata sebelahnya.
Hasil dapat sebagai berikut misal :
VOD : 6/6
VOS : 6/6
6/6 pasien dapat membaca seluruh huruf dideretan 6/6 pada snellen chart
6/12 pasien bisa membaca sampai baris 6/12 pada snellen chart
6/30 pasien bisa membaca sampai baris 6/30 pada snellen chart
6/60 pasien bisa membaca barisan huruf 6/60 biasanya huruf yang paling
atas.
Visus yang tidak 5/5 atau yang tidak 6/6 dilakukan pemeriksaan lanjutan
dengan memakai tyr lens

Apabila tidak bisa membaca huruf Snellen pasien diminta menghitung jari
pemeriksa.
5/60 pasien bisa hitung jari pada jarak 5 meter
1/60 pasien bisa hitung jari pada jarak 1 meter.

Apabila pasien tidak bisa juga hitung jari, maka dilakukan pemeriksaan
selanjutnya dengan menilai gerakan tangan di depan pasien dengan latar belakang
terang. Jika pasien dapat menentukan arah gerakan tangan pada jarak 1 m, maka
tajam penglihatan dicatat sebagai:
VISUS 1/300 (Hand Movement/HM).

Jika tidak bisa melihat gerakan tangan dilakukan penyinaran dengan


penlight ke arah mata pasien dan pasien diminta untuk menentukan arah
proyeksinya.

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
78
Fakultas Kedokteran Unimal

Apabila pasien dapat mengenali saat disinari dan tidak disinari dari segala
posisi (nasal, temporal, atas, bawah) maka tajam penglihatan V = 1/ ~
(Light Perception/LP, proyeksi baik).
Jika tidak bisa menentukan arah sinar maka penilaian V = 1/ ~ (LP,
proyeksi salah).
Jika sinar tidak bisa dikenali maka tajam penglihatan dinilai V= 0 (NLP).

II. REFLEKS PUPIL


Pupil merupakan tempat masuknya cahaya ke dalam bola mata
Jalur refleks cahaya: Rangsangan yang di terima oleh neuron afferent sel
ganglion retina diteruskan ke area pretektal, nukleus Edinger – Westphal.
Saraf Parasimpatis keluar bersama dengan nervus okulomotorius menuju
ganglion siliaris dan terus ke m.spinter pupil.

CARA PEMERIKSAAN :
Mata pasien fiksasi pada jarak tertentu
Berikan objek yang bisa di lihat dan dikenali ( Gambar atau benda )
Sumber cahaya haruslah terang dan mudah dimanipulasi
Observasi general pupil : bentuk, ukuran, lokasi, warna iris, kelainan bawaan,
dan kelainan lain.
Rangsangan cahaya diberikan 2-5 detik.

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
79
Fakultas Kedokteran Unimal

Refleks pupil langsung (Unconsensual)


Respon pupil langsung dinilai ketika diberikan cahaya yang terang, pupil akan
konstriksi (mengecil). Dilakukan pada masing-masing mata.
Refleks pupil tidak langsung (Consensual )
Dinilai bila cahaya diberikan pada salah satu mata, maka fellow eye akan
memberikan respon yang sama. Observasi dengan sumber cahaya lain yang lebih
redup.

Isokoria fisiologis
dapat ditemukan pada 20% populasi perbedaan ke 2 pupil < 1mm.

RAPD (Relative Afferent Pupillary Defect)


- Kelainan pupil pada kerusakan aferen (nervus optikus).
- Teknik pemeriksaan dengan swinging light reflect.
- Pada mata dengan RAPD (+) terjadi penurunan konstriksi pupil
bila diberikan cahaya langsung sekitar lima detik

Abnormal pupil
Apabila ditemukan pupil yang :
- Anisokoria (beda , 1mm dianggap fisiologis)
- Kecil atau besar dari normal (3-4 mm)

III. FUNDUSKOPI
Cara pemeriksaan funduskopi:
- Periksa oftalmoskop terlebih dahulu, sesuaikan dengan kelainan refraksi
pemeriksan dengan kekuatan dioptri pada oftalmoskop
- Berdiri dengan sopan disamping pasien, beritahu apa yang akan dikerjakan
- Mata kanan pasien diperiksa dengan mata kanan pemeriksa
- Teliti segmen posterior yang diperiksa
Hasil Pemeriksaan Funduskopi:
1. Gambaran media ( termasuk Vitreus posterior)
2. Gambaran Papil N. Optik, pembuluh darah, retina, makula dan fovea
3. Lakukan pada kedua mata

IV. PEMERIKSAAN SENSIBILITAS KORNEA

TUJUAN :

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
80
Fakultas Kedokteran Unimal

Untuk mengetahui apakah sensasi kornea normal, atau menurun


CARA MANUAL
Alat : Kapas steril
Caranya :
Bentuk ujung kapas dengan pinset steril agar runcing dan halus
Fiksasi mata pasien keatas agar bulu mata tidak tersentuh saat kornea disentuh
Fiksasi jari pemeriksa pada pipi pasien dan ujung kapas yang halus dan runcing
Disentuhkan dengan hati-hati pada kornea, mulai pada mata yang tidak sakit.
Hasil
Pada tingkat sentuhan tertentu reflek mengedip akan terjadi penilaian dengan
membandingkan sensibilitas kedua mata pada pasien tersebut.

AESTESIOMETER
Alat : Aestesiometer
Hasil : Hipoestesi bila panjang filamen <12 mm

IV. EVERSI KELOPAK MATA


Pemeriksaan untuk menilai konjungtiva tarsalis
Cara:
Cuci tangan hingga bersih
Pasien duduk didepan slit lamp
Sebaiknya mata kanan pasien diperiksa dengan tangan kanan pemeriksa.
Ibu jari memegang margo, telunjuk memegang kelopak bagian atas dan
meraba tarsus, lalu balikkan
Setelah pemeriksaan selesai kembalikan posisi kelopak mata. Biasakan
memeriksa kedua mata.

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
81
Fakultas Kedokteran Unimal

V. PEMERIKSAAN LAPANG PANDANG


Cara Pemeriksaan
Cara ini merupakan cara pemeriksaan kasar untuk lapang pandang.
1. Mintalah penderita untuk menutup satu mata tanpa menekannya, duduklah tepat
di depan penderita dan sama tinggi dengan penderita.
2. Tutuplah mata anda yang tepat berada di depan mata penderita yang ditutup
(bila penderita menutup mata kanannya, anda menutup mata kiri anda)
3. Dengan perlahan, gerakkan pensil atau objek kecil lainnya dari perifer ke arah
tengah dari ke delapan arah dan mintalah penderita memberi tanda tepat ketika ia
mulai melihat objek tersebut.

4. Selama pemeriksaan, jagalah agar objek selalu berjarak sama dari mata anda
dan mata penderita, agar anda dapat membandingkan lapang pandang anda
dengan lapang pandang pasien anda

VI. PEMERIKSAAN TEKANAN INTRA OKULER


Tonometer adalah sebuah alat yang mengeksploitasi sifat fisik mata untuk
mendapatkan tekanan intra ocular tanpa perlu mengkanulasi mata.
Sifat fisik kornea mata member batasan keakuratan tonometer untuk
mengukur tekanan intra ocular dan sejumlah usaha telah dilakukan untuk
mendiseign tonometer yang dapat diaplikasikan juga pada konjungtiva atau
kelopak mata.Aqueous humor adalah cairan jernih yang dibentuk oleh korpus
siliaris dan mengisi bilik mata anterior dan posterior. Aqueous humor mengalir

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
82
Fakultas Kedokteran Unimal

dari korpus siliaris melewati bilik mata posterior dan anterior menuju sudut
kamera okuli anterior. Aqueous humor diekskresikan oleh trabecular meshwork.
Aqueous humor diproduksi dengan kecepatan 2-3 μL/menit dan mengisi
bilik anterior sebanyak 250 μL serta bilik posterior sebanyak 60 μL. Aqueous
humor berfungsi memberikan nutrisi (berupa glukosa dan asam amino) kepada
jaringan-jaringan mata di segmen anterior, seperti lensa, kornea dan trabecular
meshwork. Selain itu, zat sisa metabolisme (seperti asam piruvat dan asam laktat)
juga dibuang dari jaringan-jaringan tersebut. Fungsi yang tidak kalah penting
adalah menjaga kestabilan tekanan intraokuli, yang penting untuk menjaga
integritas struktur mata. Aqueous humor juga menjadi media transmisi cahaya ke
jaras penglihatan. Tekanan normal tekanan intra okuli adalah10-22 mmHg
Tekhnik tonometer
1. Tonometer digital palpasi
Merupakan pengukuran tekanan intra okular dengan jari pemeriksa
Alat : Jari telunjuk kedua tangan
Tekhnik :
1. Menjelaskan prosedur pemeriksaan
2. Pasien disuruh menutup mata
3. Pandangan mata pasien seolah-olah menghadap kebawah
4. Jari-jari pemeriksa bersnadar di dahi dan pipi pasien
5. Kedua jari telunjuk menekan bola mata pada bagian mata kornea bergantian
6. Satu telunjuk mengimbangi tekanan saat telunjuk lainnya menekan bola mata

Penilaian: Cara ini memerlukan pengalaman pemeriksa karena terdapat faktor


subjektif
Penilaian dapat dicatat, mata: N+1, N+2, N+3 atau N-1, N-2, N-3 yang
menyatakan tekanan lebih tinggi atau lebih rendah dari normal
Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah sangat baik digunakan pada kelainan
mata bila tonometer tidak dapat dipakai atau sulit. Kekurangannya adalah
memerlukan pengalaman pemeriksa karena terdapat faktor subjektif
2.Pemeriksaan tonometer Shiotz
Merupakan tonmeter indentasi atau menekan permukaan kornea (bagian
kornea yang dipipihkan) dengan suatu bebas yang dapat bergerak bebas pada
sumbunya. Bila tekanan bola mata lebih rendah maka beban akan mengidentasi
lebih dalam permukaan kornea disbanding tekanan bola mata lebih tinggi
Alat:
Tonometer terdiri dari bagian

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
83
Fakultas Kedokteran Unimal

Frame : Skala, penunjuk, pemegang, tapak berbentuk konkaf


Pencelup
Beban : 5,5 mg, 7,5 mg, 10 mg, 15 mg.

Tekhnik pemeriksaan :
1. Menjelaskan prosedur pemeriksaan
2. Pasien diarahkan pada posisi duduk miring atau terlentang dengan kepala dan
mata berada pada posisi vertical
3. Mata diteteskan anastesi local, (panthocain) 1-2 tetes ditunggu saat pasien tidak
meraskan perih pada matanya lagi
4. Tonometer dibersihkan, diberi beban 5,5 mg dan diperiksa dengan batang
penguji
5. Kelopak mata pasien dibuka dengan telunjuk dan ibu jari diusahakan jangan
menekan bola mata
6. Pasien diarahkan untuk menatap vertical dapat dibantu dengan menggunakan
alat (sinar fiksasi berkedip atau dengan ibu jari)
7. Alat tonometer direndahkan hampir menyentuh kornea, diberitahu agar pasien
rileks, sambil pemeriksa mengarahkan alat tonometer berada diatas kornea dan
skala penunjuk menghadap pemeriksa
8. Tonometer Schiotz dipastikan terletak diatas kornea mata dan pemeriksa
membaca skala nya
9. Alat diangkat dan pasien diizinkan untuk mengedipka matanya
10. Melakukan pemeriksaan pada mata sebelahnya dengan sesuai prosedur
Penilaian :
Hasil pembacaan skala dikonversikan dengan table yang telah ditentukan untuk
mengetahui tekanan bola mata dalam millimeter air raksa

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
84
Fakultas Kedokteran Unimal

VII. PENGLIHATAN WARNA


Berdasarkan uji penglihatan warna, pada manusia dapat dibuktikan adanya
sensitivitas terhadap ketiga sel kerucut yang sangat diperlukan seperti halnya
kurva absorbsi cahaya dari ketiga tipe pigmen, yang dapat dijumpai pada sel
kerucut. Bila mata manusia tidak mempunyai sekelompok sel kerucut yang dapat
menerima warna, maka orang tersebut tidak dapat membedakan suatu warna
dengan warna lainnya. Sebagai contoh, warna hijau, kuning, jingga dan merah
adalah warna dengan panjang gelombang antara 525 sampai 675 nanometer, yang
secara normal dibedakan oleh sel kerucut merah dan hijau. Jika salah satu dari
kedua sel kerucut tersebut hilang, seseorang tidak akan dapat lagi menggunakan
mekanisme ini untuk membedakan warna tersebut khususnya warna merah dan
hijau, sehungga disebut buta warna merah-hijau. Buta warna sebenarnya adalah
ketidakmampuan seseorang untuk membedakan warna-warna tertentu. Orang
tersebut biasanya tidak buta semua warna melainkan warna-warna tertentu saja
(buta warna parsial). Meskipun demikian ada juga orang yang sama sekali tidak
bisa melihat warna (buta warna total), jadi hanya tampak sebagai hitam, putih dan
abu-abu saja (kasus seperti ini sangat jarang terjadi).
Normalnya sel kerucut (cone) di retina mata mempunyai spektrum
terhadap tiga warna dasar, yaitu merah, hijau dan biru. Metode yang dapat dipakai
untuk menentukan dengan cepat suatu kelainan buta warna adalah dengan
menggunakan tes warna Ishihara (Ishihara color test). Tes ini menggunakan kartu-
kartu yang terdiri dari lempengan angka atau pola berwarna yang terbentuk dari
titik-titik berbagai warna dan ukuran
Seluruh kartu tes berjumlah 38. Umumnya kartu terdiri dari lingkaran dengan
bayangan hijau dan biru muda dengan satu bentukan bayangan coklat atau
lingkaran dengan bayangan titik-titik merah, jingga dan kuning dengan bentukan
bayangan hijau. Contoh salah satu kartu Ishihara terlihat pada Gambar 2 di bawah
ini. Pada buta warna total tidak dapat melihat apa-apa. Pada orang normal, untuk
gambar A akan terlihat jelas dan menyebutkan angka 74, sedangkan pada
penderita buta warna merah-hijau menyebutkan angka 21. Pada gambar B, orang
normal akan menyebutkan angka 42, sedangkan pada penderita protanopia akan
menyebutkan 2, dan pada penderita deuteranopia akan menyebutkan angka 4.

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
85
Fakultas Kedokteran Unimal

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
86
Fakultas Kedokteran Unimal

PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK BLOK 3.5 GANGGUAN


SISTEM INDERA PEMERIKSAAN VISUS

Nama Mahasiswa :
Kelompok :

SKOR
No Aspek yang dinilai
0 1 2 3
1 Mempersiapkan dan memasangkan SnellenChart
Menerangkan tujuan dan cara pemeriksaan kepada
2
pasien
3 Menilai visus normal
4 Menilai visus yang tidak normal
5 Dapat membedakan kelainan refraksi dan non refraksi

Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................


15

Lhokseumawe, 2017
Instruktur Mahasiswa

(……………………………..) (………………………………)
NIP. NIM.

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan sama sekali
1 = Dilakukan dengan banyak perbaikan
2 = Dilakukan dengan sedikit perbaikan
3 = Dilakukan dengan sempurna

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
87
Fakultas Kedokteran Unimal

PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK BLOK 3.5 GANGGUAN


SISTEM INDERA PEMERIKSAAN SENSIBILITAS KORNEA

Nama Mahasiswa :
Kelompok :
SKOR
No Aspek yang dinilai
0 1 2 3
Mempersiapkan alat dan bahan untuk pemeriksaan
1
sensibilitas kornea
Menerangkan tujuan dan cara pemeriksaan kepada
2
pasien
3 Fiksasi mata pasien keatas
4 Fiksasi jari pemeriksa pada pipi pasien
5 Menyentuhkan ujung kapas pada kornea pasien
6 Melakukan hal yang sama pada mata sebelahnya
7 Menyatakan sensainya pada kedua mata

Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................


21
Lhokseumawe, 2017
Instruktur Mahasiswa

(……………………………..) (………………………………)
NIP. NIM.

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan sama sekali
1 = Dilakukan dengan banyak perbaikan
2 = Dilakukan dengan sedikit perbaikan
3 = Dilakukan dengan sempurna

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
88
Fakultas Kedokteran Unimal

PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK BLOK 3.5 GANGGUAN


SISTEM INDERA PEMERIKSAAN REFLEKS PUPIL

Nama Mahasiswa :
Kelompok :

SKOR
No Aspek yang dinilai
0 1 2 3
1 Menerangkan tujuan dan cara pemeriksaan
kepada pasien
2 Fiksasi mata pada jarak tertentu
3 Menilai bentuk, ukuran dan warna pupil
4 Menilai refleks pupil langsung
5 Menilai refleks pupil tidak langsung

Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................


15

Lhokseumawe, 2017
Instruktur Mahasiswa

(……………………………..) (………………………………)
NIP. NIM.
Keterangan :
0 = Tidak dilakukan sama sekali
1 = Dilakukan dengan banyak perbaikan
2 = Dilakukan dengan sedikit perbaikan
3 = Dilakukan dengan sempurna

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
89
Fakultas Kedokteran Unimal

PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK 6 GANGGUAN SISTEM


INDERA PEMERIKSAAN EVERSI KELOPAK MATA

Nama Mahasiswa :
Kelompok :
SKOR
No Aspek yang dinilai
0 1 2 3
Menerangkan tujuan dan cara pemeriksaan
1
kepada pasien
2 Mencuci kedua tangan
3 Membalikan kedua kelopak mata
Mengembalikan posisi kelopak mata seperti
4
semula

Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................


12

Lhokseumawe, 2017
Instruktur Mahasiswa

(……………………………..) (………………………………)
NIP. NIM.

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan sama sekali
1 = Dilakukan dengan banyak perbaikan
2 = Dilakukan dengan sedikit perbaikan

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
90
Fakultas Kedokteran Unimal

PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK 6 GANGGUAN SISTEM


INDERA PEMERIKSAAN FUNDUSKOPI
Nama Mahasiswa :
Kelompok :
SKOR
No Aspek yang dinilai
0 1 2 3
Menerangkan tujuan dan cara pemeriksaan
1
kepada pasien
Menyesuaikan kelainan refraksi pemeriksa
2
dengan kekuatan dioptri oftalmoskop
3 Menyuruh pasien melihat jauh
Memeriksa fundus mata kanan pasien dengan
4
mata kanan pemeriksa dan sebaliknya
5 Mampu menilai gambaran funduskopi normal

Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................


15

Lhokseumawe, 2017
Instruktur Mahasiswa

(……………………………..) (………………………………)
NIP. NIM.

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan sama sekali
1 = Dilakukan dengan banyak perbaikan
2 = Dilakukan dengan sedikit perbaikan
3 = Dilakukan dengan sempurna

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
91
Fakultas Kedokteran Unimal

PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK 6 GANGGUAN SISTEM


INDERA
PEMERIKSAAN FUNDUSKOPI
Nama Mahasiswa :
Kelompok :
SKOR
No Aspek yang dinilai
0 1 2 3
Melakukan Persiapan :
1 Memberikan penjelasan kepada pasien tentang
pemeriksaan yang akan dilakukan
2 Set ruangan dalam keadaan terang
Mahasiswa duduk berhadapan dengan pasien
3
pada jarak 1 meter
4 Pasien harus dapat melihat jari pemeriksa
Melakukan Pemeriksaan :
5
Melakukan pemeriksaan pada mata kanan dulu
Saat memeriksa mata kanan, mahasiswa meminta
pasien menutup mata kiri dengan telapak tangan
kiri, mahasiswa menutup mata kanannya dan
6
meminta pasien untuk melihat mata kiri
pemeriksa

Dengan perlahan, gerakkan pensil atau objek


kecil lainnya dari perifer ke arah tengah dari ke
7 delapan arah dan mintalah penderita memberi
tanda tepat ketika ia mulai melihat objek tersebut.

Selama pemeriksaan, jagalah agar objek selalu


berjarak sama dari mata anda dan mata penderita,
8 agar anda dapat membandingkan lapang pandang
anda dengan lapang pandang pasien anda

Melakukan pemeriksaan pada sisi mata yang


9 belum diperiksa

Melaporkan hasil pemeriksaan kepada pasien dan


10 mencatat dalam rekam medis

Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................


15
Lhokseumawe, 2017
Instruktur Mahasiswa

(……………………………..) (………………………………)
NIP. NIM.

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
92
Fakultas Kedokteran Unimal

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan sama sekali
1 = Dilakukan dengan banyak perbaikan
2 = Dilakukan dengan sedikit perbaikan
3 = Dilakukan dengan sempurna

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
93
Fakultas Kedokteran Unimal

PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK 6 GANGGUAN SISTEM


INDERA
PEMERIKSAAN TEKANAN INTRA OKULER
Nama Mahasiswa :
Kelompok :
SKOR
No Aspek yang dinilai
0 1 2 3
Melakukan Persiapan :
1 Memberikan penjelasan kepada pasien tentang
pemeriksaan yang akan dilakukan
Pemeriksaan tekanan intra okuler palpasi
Pasien disuruh menutup mata dan Pandangan
3
mata pasien seolah-olah menghadap kebawah
Jari-jari pemeriksa bersnadar di dahi dan pipi
4 pasien, Kedua jari telunjuk menekan bola mata
pada bagian mata kornea bergantian
Satu telunjuk mengimbangi tekanan saat telunjuk
5
lainnya menekan bola mata
Melaporkan hasil pemeriksaan kepada pasien dan
6
penguji
Pemeriksaan tonometer Shiotz
Pasien diarahkan pada posisi duduk miring atau
8 terlentang dengan kepala dan mata berada pada
posisi vertical
9 Mata diteteskan anastesi local
10 Pemilihan beban tonometer
Kelopak mata pasien dibuka dengan telunjuk dan
11
ibu jari diusahakan jangan menekan bola mata
Alat tonometer direndahkan hampir menyentuh
12
kornea, skala menghadap pemeriksa
13 Interpretasi hasil
Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................
15

Lhokseumawe, 2017
Instruktur Mahasiswa

(……………………………..) (………………………………)
NIP. NIM.

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan sama sekali
1 = Dilakukan dengan banyak perbaikan
2 = Dilakukan dengan sedikit perbaikan
3 = Dilakukan dengan sempurna

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
94
Fakultas Kedokteran Unimal

PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK BLOK 3.5 GANGGUAN


SISTEM INDERA
PENGLIHATAN WARNA
Nama Mahasiswa :
Kelompok :

SKOR
No Aspek yang dinilai
0 1 2 3
1 Mempersiapkan ishchiara test
Menerangkan tujuan dan cara pemeriksaan kepada
2
pasien
3 Menilai kemampuan pasien
Mencocokkan hasil tes dengan tabel pada kartu ishiara
4
untuk menentukan tipe kebutaan
5 Menginterpretasikan hasil ischiara test
6 Menyampaikan kepada pasien

Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................


15

Lhokseumawe, 2017
Instruktur Mahasiswa

(……………………………..) (………………………………)
NIP. NIM.
Keterangan :
0 = Tidak dilakukan sama sekali
1 = Dilakukan dengan banyak perbaikan
2 = Dilakukan dengan sedikit perbaikan
3 = Dilakukan dengan sempurna

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
95
Fakultas Kedokteran Unimal

KULIT
ANATOMI SISTEM KULIT

Terdiri atas :
1. Lapisan – lapisan kulit :
epidermis : stratum basalis, stratum spinosum, stratum granulosum,
stratum lusidum, stratum korneum
dermis : stratum papilare, stratum retikulare
subkutis : lemak

2. Adneksa kulit :
kuku
rambut
kelenjar : kelenjar keringat ekrin dan apokrin, kelenjar sebase

FISIOLOGI KULIT
Yaitu :
Untuk proteksi organ dalam dari lingkungan luar
Untuk absorbsi
Untuk mengatur suhu
Untuk ekskresi sisa-sisa metabolik
Pembentukan pigmen
Pembentukan vit D

Sistematik Pemeriksaan Fisik Sistem Indra Khusus (Mata, Kulit, THT)

Tujuan Pembelajaran Umum :


Mempersiapkan pasien untuk pemeriksaan penyakit kulit dan kelamin.
Melakukan anamnesis dan pemeriksaan status dermatologikus.

Tujuan Pembelajaran Khusus :


Mampu melakukan anamnesis pasien penyakit kulit dan kelamin.
Mampu mempersiapkan pasien untuk dilakukan pemeriksaan dengan cahaya
terang.
Mampu menginformasikan kepada pasien tentang tujuan dari pemeriksaan/ tes.
Mampu memotivasi pasien agar melakukan apa-apa yang disuruh oleh pemeriksa.
Mampu memberikan instruksi kepada pasien membuka bajunya dengan cara yang
baik.
Mampu melakukan pemeriksaan status dermatologikus dengan kaca pembesar.
Mampu menentukan pemeriksaan penunjang.

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
96
Fakultas Kedokteran Unimal

Anamnesis Penyakit Kulit dan Kelamin :


Dapat menanyakan identitas pasien (umur, jenis kelamin, pekerjaan,
pendidikan,suku, alamat tempat tinggal tetap).
Dapat menanyakan keluhan utama pasien :
Lokasi keluhan
Lama keluhan
Gatal / nyeri / mati rasa / tumor / tukak
RPS
Lokasi timbul lesi pertama kali
Bagaimana perluasan lesi tersebut
Ada atau tidak pengaruh makanan/ lingkungan
Keluarga lain ada yang menderita penyakit seperti ini / turunan
Sudah diobati atau belum
RPD
Apakah pernah menderita penyakit yang sama
Apakah ada menanyakan riwayat alergi

Sistematika Pemeriksaan Status Dermatologikus


Status Dermatologikus :
Lokasi : tempat dimana ada lesi
Distribusi :
Bilateral : mengenai kedua belah badan
Unilateral : mengenai sebelah badan
Simetrik : mengenai kedua belah badan yang sama
Soliter : hanya satu lesi
Herptiformis : vesikel berkelompok
Konfluens : dua atau lebih lesi yang menjadi satu
Diskret : terpisah satu dengan yang lain
Regional : mengenai daerah tertentu badan
Generalisata : tersebar pada sebagian besar tubuh
Universal : seluruh atau hampir seluruh tubuh (90%-100%)

Bentuk/susunan :
Betuk : khas ( bentuk yang dapat dimisalkan, seperti : bulat, lonjong,
seperti ginjal, dll), dan tidak khas ( tidak dapat dimisalkan)
Susunan :
Liniar : seperti garis lurus
Sirsinar/anular : seperti lingkaran
Polisiklik : bentuk pinggir yang sambung menyambung membentuk lingkaran.
Korimbiformis : susunan seperti induk ayam yang dikelilingi anak-anaknya
4. Batas : tegas dan tidak tegas
5. Ukuran:
Milier : sebesar kepala jarum pentul
Lentikular : sebesar biji jagung
Numular : sebesar uang logam dengan Ø 3 cm – 5 cm
Plakat : lebih besar dari numular
6. Efloresensi :
Primer :

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
97
Fakultas Kedokteran Unimal

Makula : bercak pada kulit berbatas tegas berupa perubahan warna


semata, tanpa penonjolan atau cekungan.
Papul : penonjolan di atas permukaan kulit, sikumskrip, Ø kecil dari
0,5 cm, bersisikan zat padat.
Plak : papul datar, Ø lebih dari 1 cm
Urtika : penonjolan yang disebabkan edema setempat yang timbul
mendadak dan hilang perlahan-lahan.
Nodus : tonjolan berupa massa padat yang sirkumskrip, terletak
dikutan atau subkutan, dapat menonjol
Nodulus : nodus yang kecil dari 1 cm.
Vesikel : gelembung berisi cairan serum, memiliki atap dan dasar, Ø
kurang dari 0,5 cm.
Bula : vesikel yang berukuran lebih besar.
Pustul : vesikel yang berisi nanah, bila nanah mengendap dibagian
bawah vesikel disebut hipopion.
Kista : ruangan berdinding dan berisi cairan, sel, maupun sisa sel.

Sekunder :
Skuama : sisik berupa lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit.
Krusta : kerak, keropeng, yang menunjukan cairan badan yang mengering
Erosi : lecet kulit yang disebabkan kehilangan jaringan yang tidak
melampaui stratum basal, ditandai dengan keluarnya serum.
Ekskoriasi : lecet kulit yang disebabkan kehilangan jaringan
melewati stratum basal (sampai ke stratum papilare), ditandai dengan
keluarnya darah selain serum.
Ulkus : tukak, borok disebabkan hilangnya jaringan lebih dalam dari
ekskoriasi, memiliki tepi, dinding, dasar, dan isi.
Likenifikasi : penebalan kulit disertai relief kulit yang makin jelas.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang : sesuai dengan jenis penyakit, seperti pemeriksaan KOH
(Potasium hidroksida) 10 – 20% untuk infeksi jamur, pemeriksaan sinar wood
untuk pityriasis versikolor, dan pemeriksaan BTA untuk Morbus Hansen,
pewarnaan gram dan NaCl untuk pemeriksaan duh genitalia.

Sistematika Pemeriksaan Status Dermatologikus


Inspeksi Kulit
Status Dermatolgikus :
Penderita bisa dalam posisi duduk dan bisa dalam posisi tidur
Lokasi : tempat dimana ada lesi
Distribusi :
Bilateral : mengenai kedua belah badan
Unilateral : mengenai sebelah badan
Simetrik : mengenai kedua belah badan yang sama
Soliter : hanya satu lesi
Herptiformis : vesikel berkelompok
Konfluens : dua atau lebih lesi yang menjadi satu
Diskret : terpisah satu dengan yang lain

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
98
Fakultas Kedokteran Unimal

Regional : mengenai daerah tertentu badan


Generalisata : tersebar pada sebagian besar tubuh
Universal : seluruh atau hampir seluruh tubuh (90%-100%)
Bentuk/susunan :
Betuk : khas ( bentuk yang dapat dimisalkan, seperti : bulat, lonjong,seperti ginjal,
dll), dan tidak khas ( tidak dapat dimisalkan)
Susunan :
Liniar : seperti garis lurus
Sirsinar/anular : seperti lingkaran
Polisiklik : bentuk pinggir yang sambung menyambung membentuk lingkaran.
Korimbiformis : susunan seperti induk ayam yang dikelilingi anak-anaknya
Batas : tegas dan tidak tegas
Ukuran :
Milier : sebesar kepala jarum pentul
Lentikular : sebesar biji jagung
Numular : sebesar uang logam dengan Ø 3 cm – 5 cm
Plakat : lebih besar dari numular
Efloresensi :
Primer :
Makula : bercak pada kulit berbatas tegas berupa perubahan warna
semata, tanpa penonjolan atau cekungan.
Papul : penonjolan di atas permukaan kulit, sikumskrip, Ø kecil dari 0,5
cm, bersisikan zat padat.
Plak : papul datar, Ø lebih dari 1 cm
Urtika : penonjolan yang disebabkan edema setempat yang timbul
mendadak dan hilang perlahan-lahan.
Nodus : tonjolan berupa massa padat yang sirkumskrip, terletak dikutan
atau subkutan, dapat menonjol
Nodulus : nodus yang kecil dari 1 cm.
Vesikel : gelembung berisi cairan serum, memiliki atap dan dasar, Ø
kurang dari 0,5 cm.
Bula : vesikel yang berukuran lebih besar.
Pustul : vesikel yang berisi nanah, bila nanah mengendap dibagian bawah
vesikel disebut hipopion.
Kista : ruangan berdinding dan berisi cairan, sel, maupun sisa sel.
Sekunder :
Skuama : sisik berupa lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit.
Krusta : kerak, keropeng, yang menunjukan cairan badan yang
mengering
Erosi : lecet kulit yang disebabkan kehilangan jaringan yang tidak melampaui
stratum basal, ditandai dengan keluarnya serum.
Ekskoriasi : lecet kulit yang disebabkan kehilangan jaringan melewati
stratum basal (sampai ke stratum papilare), ditandai dengan keluarnya
darah selain serum.
Ulkus : tukak, borok disebabkan hilangnya jaringan lebih dalam dari
ekskoriasi, memiliki tepi, dinding, dasar, dan isi.
Likenifikasi : penebalan kulit disertai relief kulit yang makin jelas.
Kelainan mukosa

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
99
Fakultas Kedokteran Unimal

Kelainan rambut
Kelainan kuku
Pembesaran kelenjar getah bening regional (sesuai dengan status dermatologikus)
Palpasi Kulit
Penderita bisa dalam posisi duduk dan bisa posisi tidur.
Pemeriksa menggunakan jari telunjuk tangan kanan yang ditekankan pada
permukaan lesi. Kemudian jari tersebut diangkat, tampak permukaan lesi
berwarna
pucat sesaat, kemudian warna lesi kembali ke warna semula (merah/eritem). Atau
dapat juga dilakukan dengan tekhnik diaskopi dengan cara menggunakan gelas
objek. Gelas objek dipegang dengan jari-jari tangan kanan kemudian ditekankan
pada permukaan lesi. Tampak lesi berwarna pucat waktu penekanan dengan gelas
objek.Dan waktu gelas objek diangkat, warna lesi kembali seperti semula
(merah/eritem).

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
100
Fakultas Kedokteran Unimal

PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK BLOK 3.5 GANGGUAN


SISTEM INDERA
ANAMNESIS PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

Nama Mahasiswa :
Kelompok :
SKOR
No POINT PENILAIAN
0 1 2 3
Dapat menanyakan identitas pasien ( umur, jenis
1 kelamin,pekerjaan, pendidikan, suku, alamat
tempat tinggal tetap).
Dapat menanyakan keluhan utama pasien :
 Lokasi keluhan
2
 Lama keluhan
 Gatal / nyeri / mati rasa / tumor / tukak
Dapat menanyakan Riwayat Penyakit Sekarang
(RPS)
 Lokasi timbul lesi pertama kali
 Bagaimana perluasan lesi tersebut
3  Ada atau tidak pengaruh makanan / lingkungan
 Keluarga lain ada yang menderita penyakit
seperti ini /
turunan
 Sudah diobati atau belum
Dapat menanyakan Riwayat Penyakit Dahulu
(RPD)
4
 Apakah pernah menderita penyakit yang sama
 Apakah ada menanyakan riwayat alergi

Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................


12
Lhokseumawe, 2017
Instruktur Mahasiswa

(……………………………..) (………………………………)
NIP. NIM.

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan sama sekali
1 = Dilakukan dengan banyak perbaikan
2 = Dilakukan dengan sedikit perbaikan
3 = Dilakukan dengan sempurna

Penuntun Ketrampilan Klinik 3.5 Gangguan Sistem Indera (Mata, Kulit dan THT) 2016/2017
101
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK BLOK 3.5 GANGGUAN SISTEM


INDERA
PEMERIKSAAN STATUS DERMATOLOGIKUS
Nama Mahasiswa :
Kelompok :
SKOR
No POINT PENILAIAN
0 1 2 3
Memberikan salam dan memperkenalkan diri
1
kepada pasien
2 Dapat menyebutkan lokasi lesi
3 Dapat menyebutkan distribusi lesi
4 Dapat menyebutkan bentuk/susunan lesi
5 Dapat menyebutkan batas lesi
6 Dapat menyebutkan ukuran lesi
7 Dapat menentukan efloresensi
Dapat menentukan pemeriksaan anjuran yang
8
dibutuhkan
9 Mampu menegakkan diagnosis

Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................


27
Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan sama sekali
1. dilakukan dengan banyak perbaikan
2. dilakukan dengan sedikit perbaikan
3. dilakukan dengan sempurna
Lhokseumawe, 2017
Instruktur Mahasiswa
(……………………………..) (………………………………)
NIP. NIM.

102
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

PEMERIKSAAN FISIK TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROK

KAMAR PERIKSA THT


Kamar periksa THT memerlukan sebuah meja alat yang berisi alat-alat THT
serta obat-obatan dalam botol yang diperlukan untuk pemeriksaan.
Di samping meja alat harus disiapkan kursi yang dapat diputar, ditinggikan serta dapat
direbahkan sebagai tempat berbaring untuk pasien sesuai dengan posisi yang diinginkan
pada pemeriksaan dan kursi dokter yang diletakkan saling berhadapan. Jika kursi pasien
seperti itu tidak ada sebaiknya selain dari kursi pasien, disediakan juga sebuah tempat
tidur.
Diperlukan lampu kepala yang arah sinarnya dapat disesuaikan dengan posisi organ yang
akan diperiksa.

ALAT-ALAT PEMERIKSAAN THT

TELINGA
Corong telinga
Otoskop
Aplikator (alat pelilit) kapas
Pengait serumen
Pinset telinga
Garpu tala (512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz)

Obat-obatan yang diperlukan untuk pemeriksaan


Alkohol 70%
Larutan rivanol 1/1000
Merkurokrom atau betadine
Salep kloramfenikol, salep kortikosteroid

HIDUNG
spekulum hidung
kaca tenggorok no 2-4
pinset bayonet
alat pengisap
alat pengait benda asing hidung
spatula lidah
lampu transluminasi di kamar gelap

Obat-obatan yang diperlukan :


adrenalin 1/10.000
pantokain 2% atau xilokain 4%
salep antibiotika atau vaselin dan kapas

TENGGOROK
spatula lidah
kaca tenggorok No 5-8

103
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

PEMERIKSAAN FISIK THT

Tujuan Instruksional Khusus


Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan status lokalis THT dengan lampu
kepala
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan telinga dengan otoskop
Mahasiswa mampu melakukan tes pendengaran dengan garpu tala
Mahasiswa mampu menginterprestasikan hasil pemeriksaan di atas

TEKNIK PEMERIKSAAN
Pemeriksa mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
Pemeriksa menerangkan pemeriksaan yang akan dilakukan
Pemeriksa mengatur:
Posisi pasien :
Pasien duduk berhadapan dengan pemeriksa
Pasien anak dipangku dengan posisi yang sama dengan ibu
Pasien bayi ditidurkan di pangkuan (paha) orang tua
Mengucapkan terimakasih pada pasien/ op

PEMERIKSAAN TELINGA

Pasien duduk dengan posisi badan condong ke depan dan kepala lebih tinggi
sedikit dari kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat liang telinga dan membran
timpani.
Untuk memeriksa telinga, harus diingat bahwa liang telinga tidak lurus. Untuk
meluruskannya maka daun telinga ditarik ke atas belakang atau pada anak, ditarik
kebawah. Dengan demikian liang telinga dan membran timpani akan tampak lebih jelas.
Seringkali terdapat banyak rambut di liang telinga, sehingga perlu dipakai
corong telinga. Pada anak oleh karena liang telinganya sempit lebih baik dipakai corong
telinga.
Kadang-kadang membran timpani sukar dinilai. Dalam hal demikian, lebih baik
dipergunakan otoskop. Otoskop dipegang seperti memegang pensil. Dipegang dengan
tangan kanan untuk memeriksa telinga kanan dan dengan tangan kiri bila memeriksa
telinga kiri. Supaya posisi otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang memegang
otoskop ditekankan pada pipi pasien. Gerakan membran timpani jelas terlihat apabila
memakai otoskop pneumatic.

DAUN TELINGA
Diperhatikan bentuk serta tanda-tanda peradangan atau pembengkakan.
Tragus di tarik untuk menentukan nyeri tarik.

DAERAH MASTOID
Adakah abses atau fistel di belakang telinga.
Mastoid diperkusi untuk menentukan nyeri ketok.

LIANG TELINGA

104
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Dindingnya adakah edema, hiperemis atau ada furunkel. Perhatikan adanya polip atau
jaringan granulasi, tentukan dari mana asalnya. Apakah ada serumen atau sekret.

MEMBRAN TIMPANI
Warna membran timpani yang normal putih seperti mutiara.
Refleks cahaya normal berbentuk kerucut
Bayangan kaki maleus jelas kelihatan bila terdapat retraksi membrane timpani kearah
dalam.
Perforasi umumnya berbentuk bulat. Bila disebabkan oleh trauma biasanya
berbentuk robekan dan di sekitarnya terdapat bercak darah. Lokasi perforasi
dapat di atik (di daerah pars flaksida), di sentral (di pars tensa dan di sekitar
perforasi masih terdapat membran) dan di marginal (perforasi terdapat di pars tensa
dengan salah satu sisinya langsung berhubungan dengan sulkus
timpanikus) Gerakan membran timpani normal dapat dilihat dengan memakai balon
otoskop. Pada sumbatan tuba Eustachius tidak terdapat gerakan membrane timpani ini.

PEMERIKSAAN HIDUNG, NASOFARING DAN SINUS PARANASAL


HIDUNG LUAR
Bentuk hidung luar diperhatikan apakah ada deviasi atau depresi tulang hidung. Apakah
ada pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal. Dengan jari dapat dipalpasi
adanya krepitasi tulang hidung atau rasa nyeri tekan pada peradangan hidung dan sinus
paranasal.

RINOSKOPI ANTERIOR
Pasien duduk menghadap pemeriksa. Spekulum hidung dipegang dengan tangan kiri
(right handed), dengan jari telunjuk ditempelkan pada dorsum nasi. Tangan kanan untuk
fiksasi kepala. Spekulum dimasukkan ke dalam rongga hidung dalam posisi tertutup, dan
dikeluarkan dalam posisi terbuka.
Kemudian diperhatikan keadaan :
Rongga hidung, luasnya, adanya sekret, lokasi serta asal sekret tersebut.
Konka inferior, konka media dan konka superior warnanya merah muda (normal), pucat
atau hiperemis. Besarnya, edema atau hipertrofi.
Septum nasi lurus, deviasi, krista dan spina.
Meatus superior, meatus medius dan meatus inferior.
Jika terdapat sekret kental yang keluar dari meatus medius berarti sekret berasal dari
sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior, sedangkan sekret yang terdapat di
meatus superior berarti sekret berasal dari sinus etmoid posterior atau sinus sphenoid.
Massa dalam rongga hidung, seperti polip atau tumor perlu diperhatikan keberadaannya.
Asal perdarahan di rongga hidung, krusta yang bau dan lain-lain perlu diperhatikan.

RINOSKOPI POSTERIOR
Untuk pemeriksaan ini dipakai kaca tenggorok no.2-4. Kaca ini dipanaskan dulu dengan
lampu spritus atau dengan merendamkannya di air panas supaya kaca tidak menjadi
kabur oleh nafas pasien. Sebelum dipakai harus diuji dulu pada punggung tangan
pemeriksa apakah tidak terlalu panas.

105
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Lidah pasien ditekan dengan spatula lidah, pasien bernafas melalui mulut kemudian kaca
tenggorok dimasukkan ke belakang uvula dengan arah kaca ke atas. Setelah itu pasien
diminta bernafas melalui hidung. Perlu diperhatikan kaca tidak boleh menyentuh dinding
faring posterior supaya pasien tidak terangsang untuk muntah. Sinar lampu kepala
diarahkan ke kaca tenggorok dan diperhatikan :
septum nasi bagian belakang
nares posterior (koana)
sekret di dinding belakang faring (post nasal drip)
dengan memutar kaca tenggorok lebih ke lateral maka tampak konka
superior, konka media dan konka inferior.
Meatus superior dan meatus medius yang terletak masing-masing di bawah
Konkanya

PEMERIKSAAN RONGGA MULUT DAN FARING

Dua per tiga bagian depan lidah ditekan dengan spatula lidah kemudian diperhatikan :
Dinding belakang faring : warnanya, licin atau bergranula, sekret ada atau tidak dan
gerakan arkus faring.
Tonsil : besar, warna, kripti, apakah ada detritus, adakah perlekatan
Rongga mulut, uvula, gusi dan gigi geligi
Lidah : gerakannya dan apakah ada massa tumor, atau adakah berselaput
Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista dan lain-lain.

PEMERIKSAAN HIPOFARING DAN LARING

Pasien duduk lurus agak condong ke depan dengan leher agak fleksi. Lidah pasien
dijulurkan kemudian dipegang dengan tangan kiri memakai kasa. Pasien diminta bernafas
melalui mulut denggan tenang. Kaca tenggorok yang telah dihangatkan dipegang dengan
tangan kanan seperti memegang pensil, diarahkan ke bawah, dimasukkan ke dalam mulut
dan diletakkan di muka uvula.
Diperhatikan :
Epiglotis yang berberbentuk omega
Aritenoid berupa tonjolan 2 buah
Plika ariepiglotika yaitu lipatan yang menghubungkan aritenoid dengan epiglottis
Pita suara (plika vokalis): warna, gerakan adduksi pada waktu fonasi dan abduksi pada
waktu inspirasi, tumor dan lain-lain
Pita suara palsu (plika ventrikularis) : warna, edema atau tidak, tumor.
Valekula : adakah benda asing
Sinus piriformis : apakah banyak secret

PEMERIKSAAN KELENJAR LIMFA LEHER

Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba dengan kedua belah tangan seluruh
daerah leher dari atas ke bawah. Bila terdapat pembesaran kelenjar limfa, tentukan
ukuran, bentuk, konsistensi,perlekatan dengan jaringan sekitarnya.

106
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

PEMERIKSAAN GARPU TALA (PENALA)


Manfaat : mengetahui jenis ketulian
Prosedur : cara menggetarkan dan penempatan garpu tala
Jenis tes : Rinne, Weber, Schwabach
Mekanisme cross over hearing
Masking pada tes garpu tala
Interprestasi

Cara Menggetarkan Garpu Tala


Arah getaran kedua kaki garpu tala searah dengan kedua kaki garpu tala
Getarkan kedua kaki garpu tala dengan jari telunjuk dan ibu jari
Atau ketukkan ke tumit sepatu, benda keras yang dilapisi bantalan lunak, agar
vibrasi tak berlebihan

Posisi / Letak Garpu Tala


Penting : kaca mata, giwang dilepas
Hantaran udara (AC) : arah kedua kaki garpu tala sejajar dengan arah liang
telinga
Hantaran tulang (BC) : pada prosesus mastoid, tidak boleh menyinggung daun
Telinga

Masking Tes Garpu Tala


Perlu masking ?
Getaran di telinga akan menyeberang ke telinga sisi yang lain (terutama pada
gangguan konduksi yang lebih dari 50 dB) sehingga akan menghasilkan respons BC yang
bukan sebenarnya (shadow respons).

Tes RINNE
Membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga
Garpu tala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoid. Setelah tidak terdengar
garpu tala dipindahkan dan dipegang kira-kira 2,5 cm di depan liang telinga
Masih terdengar : Rinne (+), tidak terdengar : Rinne (-)

Tes WEBER
Garpu tala digetarkan di linea mediana, dahi atau di gigi insisivus atas
Vibrator BC : tes Weber audiometric
Prinsip tes Weber : bunyi terdengar di mana ?
di tengah kepala

107
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

sama keras di kedua telinga


terdengar lebih keras di salah satu telinga

Tes Schwabach
Membedakan kepekaan BC antara pasien dan pemeriksa
Interprestasi :
Schwabach memanjang → gangguan konduksi
Schwabach memendek → normal

Masking Pada Tes Penala


Telinga yang tidak dites diberi gangguan (masker) dengan : Barany box, plastic diremas-
remas
Pada kasus , BC pada tes Rinne sisi yang dites menyeberang ke sisi yang lain → BC >
AC. Ini bukan respons BC yang sebenarnya → Shadow response → perlu MASKING
kanan > kiri : Weber lateralisasi ke kanan, Rinne kiri BC > AC : Rinne negative palsu

108
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK 6 GANGGUAN SISTEM INDERA


Nama Mahasiswa :
Kelompok :
1. Pemeriksaan THT secara umum
SKOR
No POINT PENILAIAN
0 1 2 3
Memberikan salam pembuka,
1
mempperkenalkan diri
2 Mengatur cara duduk pasien
Mengatur letak lampu kepala dan alat periksa
3
Lainnya
Memberi tahu pasien tentang tidakan yang akan
4
dilakukan dan caranya
5 Membuat pasien dalam posisi rileks.

Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................


15
Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan sama sekali
1. dilakukan dengan banyak perbaikan
2. dilakukan dengan sedikit perbaikan
3. dilakukan dengan sempurna

Lhokseumawe, 2017
Instruktur Mahasiswa

(……………………………..) (………………………………)
NIP. NIM.

109
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK 6 GANGGUAN SISTEM INDERA


Nama Mahasiswa :
Kelompok :

2. Pemeriksaan Telinga
SKOR
No POINT PENILAIAN
0 1 2 3
1 Pasien pada posisi yang benar (Cara duduk)
2 Melihat liang telinga dengan lampu kepala
Memeriksa telinga luar, menentukan nyeri ketok/
3
tarik
4 Memeriksa telinga dengan otoskopi
5 Mempresentasikan membrane timpani

Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................


15

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan sama sekali
1. dilakukan dengan banyak perbaikan
2. dilakukan dengan sedikit perbaikan
3. dilakukan dengan sempurna

Lhokseumawe, 2017
Instruktur Mahasiswa

(……………………………..) (………………………………)
NIP. NIM.

110
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK 6 GANGGUAN SISTEM INDERA


Nama Mahasiswa :
BP. :
Kelompok :
3. Pemeriksaan Hidung dan Tenggorok
SKOR
No POINT PENILAIAN
0 1 2 3
1 Mengatur posisi pasien
2 Mengatur posisi lampu kepala
3 Memegang speculum dengan benar
Melakukan perkusi pada sinus maksila dan
4
etmoid
5 Melakukan pemeriksaan rinoskopi anterior
6 Melakukan pemeriksaan rinoskopi posterior
Melakukan pemeriksaan tonsil dan melihat
7
ukurannya
8 Melakukan pemeriksaan laringoskopi indirek
Melakukan palpasi pada kelenjar getah bening
9
leher

Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................


27
Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan sama sekali
1. dilakukan dengan banyak perbaikan
2. dilakukan dengan sedikit perbaikan
3. dilakukan dengan sempurna

Lhokseumawe, 2017

Instruktur Mahasiswa

(……………………………..) (………………………………)

Nip. Nim.

111
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

PENILAIAN KETRAMPILAM KLINIK (INDRA KHUSUS)

Nama Mahasiswa :
BP. :
Kelompok :
4. Pemeriksaan Garpu tala
SKOR
No POINT PENILAIAN
0 1 2 3
1 Mengetahui frekwensi garputala
2 Menggetarkan garputala dengan benar
Melakukan pemeriksaan Rhinne pada kedua
3
telinga
4 Melakukan pemeriksaan Weber
5 Melakukan pemeriksaan schwabach
6 Mampu melakukan interpretasi sederhana
7 Menerangkan pada pasien

Nilai = TOTAL SKOR X 100 = ..................................


21

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan sama sekali
1. dilakukan dengan banyak perbaikan
2. dilakukan dengan sedikit perbaikan
3. dilakukan dengan sempurna

Lhokseumawe, 2017

Instruktur Mahasiswa

(……………………………..) (………………………………)
NIP. NIM.

112
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

ANAMNESIS PEDIATRIK (ALLOANAMNESIS)


PENGANTAR
Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis dapat
dilakukan langsung kepada pasien yang disebut sebagai autoanamnesis atau yang
dilakukan terhadap orangtua, wali, orang yang dekat dengan pasien atau sumber lain
disebut dengan aloanamnesis.

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Mahasiswa mampu melakukan anamnesis pediatrik (alloanamnesis) dengan baik dan
benar

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Mahasiswa dapat mengawali dan mengakhiri anamnesis secaraurut
Mahasiswamengucapkansalampembukadiawaldanpenutupdiakhir
Mahasiswa dapat menggali informasi dengan detail, namun relevan dengan permasalahan
Mahasiswa dapat menunjukkan penampilan yangbaik
Mahasiswadapatmenjagasuasanaprosesanamnesisyangbaik
Mahasiswadapatmemahamidanmenggunakanbahasayangdipahamiresponden
Mahasiswa dapat menghindari sikapinterogasi
Mahasiswa dapat melakukan crosscheck
Mahasiswa dapat bersikapnetral
Mahasiswa dapat melaksanakan umpanbalik
Mahasiswadapatmencatathasilanamnesisdenganjelassertamenyimpulkanhasil anamnesis

PRASYARAT
Pengetahuan dan keterampilan pengukuran antropometri pada anak
Pengetahuan dan keterampilan pemeriksaan perkembangan anak menggunakan kuesioner
pra skrining perkembangan (KPSP)
Pengetahuan dan keterampilan tentang penilaian status gizi pada anak dengan
menggunakan grafik pertumbuhan CDC 2000 dan grafik pertumbuhan WHO 2006
PERSIAPAN ANAMNESIS PEDIATRIK
Formulir KPSP menurut umur
Grafik pertumbuhan CDC 2000 dan grafik pertumbuhan WHO 2006

TEORI

Peran anamnesis dalam diagnosis


Pada seorang pasien, sebagian besar data yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
(diperkirakan tidak kurang dari 80%) diperoleh dari anamnesis. Oleh karena pada bayi
dan sebagian besar anak belum dapat memberikan keterangan, maka dalam bidang
kesehatan anak aloanamnesis menduduki tempat yang jauh lebih penting daripada
autonamnesis. Perlu dicatat dari siapa anamnesis diambil dan siapa yang menjadi sumber
informasi.

113
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Teknik anamnesis
Dalam melaukan anamnesis pemeriksa harus berupaya agar tercipta suasana yang
kondusif agar orangtua, pengantar atau pasien dapat mengemukakan keadaan pasien
dengan spontan, wajar namun tidak berkepanjangan. Anak yang sudah besar (usia
sekolah-lanjut) seringkali dapat menceritakan sendiri keadaan sakitnya sehingga
membantu pembuatan anamnesis.
Anamnesis dilakukan dengan wawancara secara tatap muka. Pemeriksa harus bersikap
empatik dan menyesuaiakandiri dengan keadaan sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan
memperhatikan kepribadian serta keadaan emosi orang yang diwawancara, misal:
seorang ibu yang sedang dalam keadaan bingung dan sedih karena keadaan anaknya
mungkin akan memberikan informasi yang kurang akurat. Demikian pula hambatan yang
timbul karena yang diwawancara berpendidikan rendah atau hanya mampu berbahasa
daerah.Pertanyaan yang diajukan oleh pemeriksa sebaiknya tidak sugestif dan sedapat
mungkin dihindari pertanyaan yang jawabannya hanya'ya' atau 'tidak', berikanlah
kesempatan untuk menceritakan riwayat penyakit pasien sesuai dengan persepsinya.
Dalam melakukan anamnesis pemeriksa harus memperhatikan keadaan pasien.Pada kasus
gawat darurat, anamnesis terbatas pada keluhan utama dan hal-hal yang sangat penting
untuk mengatasi keadaan darurat.Pada kesempatan berikutnya, setelah keadaan pasien
stabil, barulah anamnesis dilengkapi.
Langkah-langkah dalam pembuatan anamnesis :

1. Identitas pasien:
- Nama
- Umur (sebaiknya didapat dari tanggal lahir)
- Jenis kelamin
- Nama orangtua
- Alamat
- Umur, pendidikan dan pekerjaan orangtua
- Agama dan suku bangsa
2. Riwayat penyakit sekarang
a. Keluhan utama
Yaitu keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat.Perlu diperhatikan
bahwa keluhan utama tidak selalu merupakan keluhan yang pertama disampaikan oleh
orangtua pasien; hal ini terutama pada orangtua yang pendidikannya rendah, yang kurang
dapat mengemukakan esensi masalah.

b. Keluhan tambahan
Keluhan tambahan merupakan keluhan/gejala lain selain keluhan utama.

c. Riwayat perjalanan penyakit


Pada riwayat perjalanan penyakit disusun cerita yang kronologis, terinci dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum terdapat keluhan sampai dibawa
berobat. Bila pasien telah dibawa berobat sebelumnya, hendaknya ditanyakan kapan
berobat, kepada siapa, dan obat apa yang telah diberikan serta bagaimana hasil dari
pengobatan tersebut. Bila orangtua mempunyai salinan resep, pemeriksa dapat

114
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

memproleh informasi yang cukup lengkap; tetapi bila tidak, dapat ditanyakan nama,
jenis, warna atau kemasan obat (kapsul, tablet, sirup, puyer), serta dosis obat yang
diminum (berapa tablet/bungkus/sendok dan berapa kali diberikan dalam satu hari).
Hendaknya juga ditanyakan efek samping dan kemungkinan alergi.
Pada umumnya, hal-hal berikut yang perlu ditanyakan dan diketahui pada riwayat
perjalanan penyakit:
Lamanya keluhanberlangsung
Bagaimana sifat terjadinyagejala
Lokalisasi dan sifat keluhanlokal
Berat-ringannya keluhan danperkembangannya
Terdapatnya hal yang mendahuluikeluhan
Apakah keluhan tersebut baru pertama kali dirasakan ataukah sudah pernah sebelumnya;
bila sudah pernah, dirinci apakah intensitas dan karakteristiknya sama atau berbeda, dan
interval antara keluhan-keluhantersebut.
Apakah terdapat saudara sedarah, orang serumah atau sekeliling pasien yang menderita
keluhan yangsama.
Upaya yang dilakukan dan bagaimanahasilnya.

d. Riwayat penyakit yang pernahdiderita


Penyakit yang pernah diderita anak sebelumnya perlu diketahui, karena mungkin ada
hubungannya dengan penyakit sekarang, atau setidak-tidaknya memberikan informasi
untuk membantu penegakan diagnosis dan tatalaksana penyakitnya sekarang.Misalnya
anak yang pernah mengalami kejang demam kompleks bila sekarang datang dengan
tanda-tanda kejang demam, besar kemungkinan anak tersebut sekarang mengalami
kejang demam kompleks berulang.

e. Riwayat kehamilanibu
Umur ibu saathamil
Keadaan kesehatan ibu selama hamil, ada atau tidaknya penyakit, serta upaya yang
dilakukan untuk mengatasi penyakittersebut.
Berapa kali ibu melakukan kunjungan antenatal dan kepada siapa (dokter spesialis, dokter
umum, bidan, perawat/mantri,dukun).
ApakahibumendapatTT/toksoidtetanus(terutamapadakasustetanusneonatarum).
Obat-obat yang diminum pada usia kehamilan muda/ TM I(kemungkinan menderita cacat
bawaan).
Kebiasaan ibu selama hamil: ditanyakan apakah ibu merokok, minuman keras, dan
catatan makanan ibu selama kehamilan (khususnyaBBLR).
Jarak kelahiran (jarak kelahiran yang dekat berhubungan dengan KEP, infeksi berulang
seperti diare dan ISPA setaBBLR)
Jumlah kelahiran, termasuk aborsi (paritas yang tinggi berhubungan dengan KEP, infeksi
berulang seperti diare dan ISPA sertaBBLR)

f. Riwayatkelahiran
Yang harus ditanyakan pada riwayat kelahiran mencakup:
Tanggal dan tempatkelahiran
Siapa yangmenolong

115
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Cara kelahiran (spontan, ekstraksi cunam, vakum, bedah Caesar). Pada kelahiran dengan
instrumentditanyakanindikasidaritindakantersebut.
Adanya kehamilanganda
Keadaan segera setelah kelahiran/ APGAR; lebih baik bila bisa melihat catatan medis
dari rumah bersalin, puskesmas,dll. Kalau tidak ada cukup ditanyakan apakah bayi
langsung menangisatautidak,warnakulitkemerahan/biru/merahdanbiru,gerakanaktif/tidak.
Morbiditas pada hari-hari pertama setelah lahir (asfiksia, trauma lahir, infeksi
intrapartum, ikterusdsbyangmungkinberhubungandengankeadaansekarang).
Masakehamilan(apakahcukupbulan,kurangbulan,ataulebihbulan)
Berat dan panjang bayi (mengetahui masa gestasi dan menilai kesesuaian masa gestasi
denganBB/PB)

g. Riwayatmakanan
Pada anamnesis tentang riwayat makan diharapkan dapat diperoleh data tentang:
Makanan yang dikonsumsi oleh anak, baik dalam jangka waktu pendek (beberapa waktu
sebelum
sakit) ataupun jangka panjang (sejakbayi).
Kualitas dan kuantitas; apakah adekuat atau tidak; yaitu memenuhi angka kecukupan gizi
(AKG)
yangdianjurkan.

Pada bayi untuk memperkirakan kuantitas dan kualitas makanan yang diterima perlu
ditanyakan:
Susuapayangdiberikan:ASIataukahPASI(penggantiASI),ataukeduanya.
Apabila diberikan ASI apakah secaraeksklusif
Cara pemberian ASI/PASI
On demand atau ad libitum, ataukah dengan jadwaltertentu.
Volume pemberianASI/PASI.
Untuk PASI tanyakan jenis dan mereknya, takaran, frekuensi, dan jumlah setiap kali
pemberian.
Pemberian makanan tambahan (MPASI): umur berapa mulai, jenis dan jumlahnya, serta
jadwalpemberian.
Pada hakekatnya anamnesis tentang ambilan (intake) makanan ini merupakan analisis
makanan secara kasar.Hasil analisis ini berperan terutama pada kasus kelainan gizi dan
gangguan tumbuh kembang, serta harus digabungkan dengan data lain, yaitu hasil
pemeriksaan fisis, laboratorium, dan antropometris, sehingga akhirnya dapat disimpulkan
status nutrisi pasien secara lebih akurat.

h. Riwayat Imunisasi
Status imunisasi pasien penting untuk ditanyakan, meliputi:
Imunisasi Dasar : BCG, polio, DPT, Campak danHepatitis-B
Imunisasi ini dikenal juga dengan Imunisasi wajib oleh pemerintah melalui Program
Pengembangan Imunisasi (PPI)
Imunisasi lain: MMR (mumps, measles, rubella), hepatitis-A, Hib (untuk mencegah
infeksi Haemophilus influenza tipe b), Influenza, Pneumokokus (PCV), HPV (Human
Papilloma Virus) danTifoid. Imunisasi ini dikenal juga sebagai Imunisasi Non-PPI

116
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Imunisasi ulangan/booster
Informasi tentang imunisasi diperlukan untuk mengetahui status perlindungan pediatrik
yang diperoleh, mungkin dapat membantu diagnosis pada beberapa keadaan tertentu
(misalnya penyakit polio hampir tidak pernah terjadi pada anak yang sudah mendapat
imunisasi polio secara benar).Informasi tentang imunisasi juga dapat dipakai sebagai
umpan balik tentang perlindungan pediatrik yang diberikan.

i. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan


Riwayat pertumbuhan
Status pertumbuhan anak terutama pada usia balita dapat ditelaah dari kurva berat badan
terhadap umur dan panjang badan/ tinggi badan terhadap umur. Data ini dapat diperoleh
dari KMS atau kartu pemeriksaan kesehatan lainnya (dari dokter umum, podiatrist,
BKIA).Dari kartu ini dapat diperoleh data berat badan dan panjang badan sebelumnya,
yang kemudian dipetakan pada peta pertumbuhan (growth chart) berat dan panjang/tinggi
badan. Bila tidak ada data tertulis, tanyakan BB saat lahir, usia 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun
dan 3 tahun; apakah sesuai dengan standar normal (NCHS, depkes,WHO)
Kurva panjang/ tinggi badan pasien menggambarkan status pertumbuhan yang
sebenarnya dan dapat mendeteksi riwayat penyakit kronik, KEP, penyakit endokrin,
dll.Kurva BB penting diketahui pada balita khususnya bayi, untuk mengetahui riwayat
pertumbuhan, riwayat kesehatan anak (BB anak mudah sekali turun, terutama pada
keadaan krisis baik aspek fisik maupun psikososial. Penilaian kurva BB dan TB/PB
hendaknya disepadankan dengan data riwayat penyakit yang pernah diderita dan riwayat
makan pasien.

Riwayat Perkembangan
Status perkembangan pasien perlu ditelaah secara rinci untuk mengetahui apakah semua
tahapan perkembangan dilalui dengan mulus atau terdapat penyimpangan.

Pada anak balita perlu ditanyakan:


Perkembangan motorikkasar
Perkembangan motorikhalus
Perkembangan social -personal
Perkembangan bahasa –adaptif

Pada anak usia sekolah perlu ditanyakan:


Perkembangan, yang secara kasar dapat diketahui dengan menelaah prestasi belajar
anak
Menars dan telars (berhubungan dengan kelainanendokrin)
Umurpadasaattumbuhrambutpubik(berhubungandengankelainanendokrin)
Ada atau tidaknya kelainan tingkah laku danemosi

117
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

LEMBAR PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK


ANAMNESIS PEDIATRIK
Nama mahasiswa :
NIM :
Kelompok :

NO Aspek yang dinilai Nilai


1 2 3 4
1 Mengucapkan salam pada awal
wawancara
2 Mempersilakan duduk berhadapan
3 Memperkenalkan diri
4 Informed :
Menjelaskan kepentingan penggalian
informasiyang benar tentang sakit
pasien(anak)
5 Consent :
Meminta waktu & izin untuk
melakukanalloanamnesis

6 Menanyakan identitas pasien :


Nama (anak dan orang tua)
Umur (anak dan orang tua)
Jenis kelamin
Alamat
Pendidikan & pekerjaan orang tua
Agama dan suku bangsa

Pastikan menggali identitas tidak


terkesan interogasi.
Menanyakan Riwayat Penyakit
Sekarang
7 a. Menanyakan keluhan utama
8 b. Menanyakan keluhan lain/tambahan
9 c. Menggali informasi tentang riwayat
penyakit sekarang (Lama, sifat,
lokalisasi, berat-ringan gejala, hal yang
mendahului, pertama kali/ tidak, saudara
lain yang terkena, upaya pengobatan &
hasilnya)
10 Menanyakan riwayat penyakit yang
pernah diderita
11 Menggali informasi tentang Riwayat
kehamilan ibu :
Faktor resiko selama kehamilan

118
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Umur saat hamil


Penyakit saat kehamilan
ANC berapa kali
TT
obat-obatan
dll
12 Menanyakan riwayat kelahiran pasien
(per vaginam/bukan, normal/tidak, yang
membantu persalinan siapa?, dimana?
BB/PB bayi, APGAR skor bayi.)
13 Menggali informasi tentang riwayat
makan (kuantitas dan kualitas makanan
jangka pendek dan jangka panjang), ASI
ekslusif, PASI, MPASI, dll.
14 Menanyakan riwayat imunisasi
(5 imunisasi wajib PPI)
15 Menggali informasi tentang riwayat
pertumbuhan pasien (BB/PB /Umur).
Tanyakan apakah mempunyai
KMS/kartu pemeriksaan kesehatan yang
lain untuk memperoleh data berat badan
dan panjang badan sebelumnya
16 Menggali informasi tentang riwayat
perkembangan pasien (motorik kasar,
halus, sosial dan bahasa)
17 Melakukan cross check (paraphrase atau
pengulangan terhadap apa yang
dikatakan pasien)
18 Melakukan umpan balik (menanyakan
hal-hal yang kurang jelas, atau
pertanyaan yang kurang jelas)
19 Mencatat semua hasil anamnesis
20 Percaya diri, bersikap empati, tidak
menginterogasi
21 Mengakhiri anamnesis dengan sikap
yang baik

Keterangan :
1 = Tidak dilakukan
2 = Dilakukan dengan banyak perbaikan
3 = Dilakukan dengan sedikit perbaikan
4 = Dilakukan dengan sempurna
Referensi
Matondang CS, dkk. Diagnosis Fisik pada Anak. Edisi 2.Jakarta

119
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

PEMERIKSAAN FISIK BAYI BARU LAHIR

PENGANTAR
Kehidupan pada masa bayi baru lahir (BBL) sangat rawan oleh karena memerlukan
penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini
dapat dilihat dari tingginya angka morbiditas dan mortalitas bayi baru lahir. Peralihan
dari kehidupan intrauterine ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan
faali. Terpisahnya bayi dari ibu merupakan awal proses fisiologis:
Pertukaran gas melalui plasenta digantikan oleh aktifnya fungsi paru untuk bernafas
(pertukaran oksigen dengan karbondioksida)
Saluran cerna berfungsi untuk menyerap makanan
Ginjal berfungsi untuk mengeluarkan bahan yang tidak terpakai lagi oleh tubuh untuk
mempertahankan homeostasis kimia darah
Hati berfungsi untuk menetralisasi dan mengekskresi bahan racun yang tidak diperlukan
Sistem imunologiberfungsi untuk mencegah infeksi
Sistem kardiovaskular serta endokrin bayi menyesuaikan dengan perubahan fungsi organ
tersebut diatas

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Mahasiswa mampu melakukan teknik pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir
secara sistematis dan benar
Mahasiswa dapat mendeteksi kelainan kongenital pada bayi baru lahir

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Mahasiswa mampu melakukan anamnesis lengkap tentang riwayat kehamilan
sebelumnya, riwayat kehamilan sekarang, riwayat kelahiran bayi dan riwayat
penyakit keturunan pada keluarga
Mahasiswa mampu melakukan persiapan pemeriksaan bayi baru lahir
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaaan nilai APGAR

PRASYARAT
Pengetahuan dan keterampilan yang adekuat sehingga tidak menimbulkan risiko
yang dapat membahayakan bayi
Pengetahuan tentang kehamilan, persalinan dan kelahiran untuk memahami
pentingnya hasil temuan fisik bayi baru lahir

PERSIAPAN PEMERIKSAAN BAYI BARU LAHIR


Periksa catatan antenatal, kelahiran dan persalinan maternal
Peralatan : Infant warmer, meteran pengukur, timbangan berat badan bayi, alat
pengukur panjang bayi
Lingkungan : Ruangan yang bersih, pencahayaan yang cukup,

TEORI

120
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Sebelum melakukan pemeriksaan pada bayi baru lahir perlu dilakukan anamnesis
yang cermat untuk mengetahui hal-hal berikut:
Riwayat keluarga (misal: terdapatnya penyakit keturunan)
Riwayat kehamilan sekarang dan sebelumnya
Riwayat persalinan sekarang

Pemeriksaan bayi baru lahir dilakukan dalam keadaan telanjang dibawah lampu yang
terang. Yang berfungsi juga sebagai pemanas untuk mencegah kehilangan panas. Tangan
serta alat yang diperlukan untuk pemeriksaan fisis harus bersih dan hangat. Pemeriksaan
fisik pada bayi baru lahir dilakukan paling kurang 3 kali, yaitu:
1. Pada saat lahir, dilakukan di kamar bersalin
Tujuannya:
Menilai gangguan adaptasi BBL dari kehidupa intrauterin ke ekstrauterin yang
memerlukanresusitasi
Menemukan kelainan seperti cacat bawaan yang perlu tindakan segera (atresia
ani, atresia esofagus), traumalahir

Menentukan apakah BBL tersebut dapat rawat gabung atau ditempat perawatan khusus
untuk diawasi atau di ruang intensif, atau segera dioperasi
Pemeriksaan di kamar bersalin :
Menilai adaptasi
Perlu segera diperiksa apakah bayi beradaptasi dengan baik atau memerlukan resusitasi.

Tabel nilai APGAR


0 1 2
Appearance Warna kulit Seluruh badan biru Ekstremitas biru Seluruh tubuh
merah muda
Pulse Tidak ada <100x/mnt >100x/mnt
Denyut jantung
Grimace Refleks Tidak merespon Merintih/ Menangis kuat
stimulasi menangis lemah
Activity Tonus Otot Lemah/Tidak ada Sedikit gerakan Aktif
Respiration Tidak ada Lemah, tidak Menangis kuat,
Pernafasan/Usaha Nafas teratur pernafasan teratur

Mencari kelainan kongenital


- Mulut : apakah terdapat labio-gnato-palatoschizis
- Anus : apakah terdapat anus imperforatus, dengan memasukkan thermometer ke dalam
anus
- Kelainan pada garis tengah : apakah terdapat spina bifida, meningonielokel
- Jenis kelamin : bila terdapat keraguan, misal: pembesaran klitoris pada bayi perempuan,
hipospadia, epispadia
2. Pemeriksaan yang dilakukan dalam 24 jam di ruang perawatan
Tujuannya agar kelainan yang luput dari pemeriksaan pertama akan ditempatkan pada
pemeriksaan ini. Pemeriksaan bayi di ruang rawat harus dilakukan didepan ibunya.
121
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Kelaina yangditemukan harus diterangkan kepada ibunya dan harus dijelaskan apakah
kelainan tersebut berbahaya atau tidak agar si ibu dapat memahaminya dan merasa
tenang.
Pemeriksaan meliputi:
Aktivitas fisik : melihat posisi dan gerakan tungkai dan lengan
Tangisan bayi : tangisan melengking ditemukan pada bayi dengan kelainan
neurologis, sedangkan tangisan yang lemah/merintih dijumpai pada bayi dengan
kesulitan pernafasan
Wajah : dapat menunjukkan kelainan yang khas (sindrom Down, sindrom Pierre-
Robin, sindrom de Lange)
Keadaan gizi : dinilai dari berat badan dan panjang badan, disesuaikan dengan
masa kehamilan.
Pemeriksaan suhu : diukur pada aksila, suhu BBL normal 36,5 – 37,5 C

3. Pemeriksaan pada waktu pulang


Bayi tidak boleh dipulangkan sebelum diperiksa kembali pada pemeriksaan terakhir.
Pada saat memulangkan dilakukan lagi pemeriksaan untuk meyakinkan bahwa tidak ada
kelainan kongenital atau kelainan akibat trauma yang terlewatkan. Perlu diperhatikan :
Susunan saraf pusat : aktivitas bayi, ketegangan ubun-ubun
Kulit : icterus, pioderma
Jantung : adanya bising jantung
Abdomen : adanya tumor yang tidak terdeteksi sebelumnya
Tali pusat : adanya infeksi
Perhatikan apakah bayi sudah pandai menyusu dan ibu sudah mengerti cara
pemberian ASI yang benar.

122
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

LEMBAR PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK


PEMERIKSAAN FISIK PADA BAYI BARU LAHIR
Nama mahasiswa :
NIM :
Kelompok :

N Aspek yang dinilai Nilai


O 1 2 3 4
1 Anamnesis: riwayat kehamilan
sebelumnya, riwayat kehamilan sekarang,
riwayat kelahiran bayi, penyakit
keturunan pada keluarga
2 Melakukan persiapan pemeriksaan bayi
baru lahir
3 Mencuci tangan sebelum dan sesudah
memeriksa BBL
4 Melakukan pemeriksaan pada saat lahir
5 Melakukan pemeriksaan lanjutan yang
dilakukan dalam 24 jam setelah lahir
6 Melakukan pemeriksan saat bayi akan
dibawa pulang
7 Mengkomunikasikan semua hasil
pemeriksaan kepada orangtua bayi dan
rencana pemeriksaan selanjutnya

Keterangan :
1 = Tidak dilakukan
2 = Dilakukan dengan banyak perbaikan
3 = Dilakukan dengan sedikit perbaikan
4 = Dilakukan dengan sempurna

Referensi
Kosim, MS, dkk. Buku Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta. 2014

123
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

PEMERIKSAAN REFLEKS PRIMITIF PADA BAYI

PENGANTAR
Perkembangan sistem saraf pusat pada bayi dapat dinilai dengan pemeriksaan otomatisme
infantile, biasa disebut dengan refleks primitif. Refleks-refleks ini berkembang selama
dalam kandungan, umumnya muncul setelah lahir dan menghilang pada umur tertentu.
Kelainan ada refleks-refleks ini menandakan penyakit neurologis dan mengindikasikan
investigasi lebih intensif.
Refleks primer atau primitif mencerminkan aktivitas batang otak. Refleks ini
merupakan manifestasi dari pemrograman sistem saraf pusat dengan penekanan oleh
fungsi kortikal yang lebih tinggi di kemudian hari. Jika refleks ini tidak dapat
dibangkitkan, maka hal ini menunjukkan adanya depresi susunan saraf pusat, dan yang
lebih penting adalah bahwa menetapnya refleks ini menunjukkan adanya kerusakan pada
kontrol kortikal yang lebih tinggi.

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan refleks primitif pada bayi.
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Mahasiswa mengetahui usia mulai dan menghilangnya refleks pada bayi normal.
Mahasiswa mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan refleks primitive pada bayi.
PRASYARAT
Pengetahuan dan keterampilan yang adekuat sehingga tidak menimbulkan risiko yang
dapat membahayakan bayi
TEORI
Refleks-refleks yang timbul pada bayi sebagian besar menujukkan tahap
perkembangan susunan somatomotorik, sehingga banyak informasi yang dapat diperoleh
dengan melakukan pemeriksaan tersebut.

Tabel 1. Usia mulai dan menghilangnya refleks pada bayi normal


Jenis Refleks Usia Mulai Usia Menghilang
Refleks Moro Sejak lahir 6 bulan
Refleks memegang (Grasp)
Palmar Sejak lahir 6 bulan
Plantar Sejak lahir 9-10 bulan
Refleks Snout Sejak lahir 3 bulan
Refleks Tonic Neck Sejak lahir 5-6 bulan
Refleks Berjalan (Stepping) Sejak lahir 12 bulan
Reaksi Penempatan Taktil 5 bulan -
(Placing response)
Refleks Terjun (Parachute) 8-9 bulan Seterusnya ada

124
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Refleks Landau 3 bulan ulan

Refleks Moro
Merupakan suatu reaksi kejutan dengan menimbulkan perasaan jatuh pada bayi atau
mengubah posisi secara tiba-tiba
Caranya : Bayi dalam posisi telentang, kemudian kepala dijatuhkan dengan cepat
beberapa sentimeter dengan hati-hati ke tangan pemeriksa
Kondisi normal: bayi akan kaget dengan lengan ekstensi, jari-jari mengembang, kepala
terlempar ke belakang, tungkai sedikit ekstensi. Kemudian lengan kembali ke tengah
dengan tangan menggenggam dan ekstremitas bawah ekstensi

Gambar 1. Refleks Moro

Refleks Palmar Grasp


Caranya : Bayi atau anak ditidurkan dalam posisi supinasi, kepala menghadap ke depan
dan tangan dalam keadaan setengah fleksi. Dengan memakai jari telunjuk pemeriksa
menyentuh sisi luar tangan menuju bagian tengah telapak tangan secara cepat dan hat-
hati, sambil menekan permukaan telapak tangan.
Refleks Palmar Grasp dikatakan positif : apabila didapatkan fleksi sekuruh jari
(memegang tangan pemeriksa)
Refleks Palmar Grasp asimetris menunjukkan kelemahan otot-ototo fleksor jari tangan
yang dapat disebabkan akibat adanya palsi pleksus brakhialis inferior atau disebut
“Klumpke’s Paralyse”
Refleks Palmar Grasp yang menetap setelah 6 bulan khas dijumpai pada penderita
cerebral palsy.

125
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Gambar 2. Refleks Palmar Grasp

Refleks Plantar Grasp


Caranya : Bayi atau anak ditidurkan dalam posisi supinasi kemudian ibu jari tanagn
pemeriksa menekan pangkal ibu jari bayi atau anak di daerah plantar.
Refleks Plantar Grasp dikatakan positif apabila didapatkan fleksi plantar seluruh jari
kaki.
Refleks Plantar Grasp negatif dijumpai pada bayi atau anak dengan kelainan medulla
spinalis bawah.

Gambar 3. Refleks Plantar Grasp

Refleks Snout
Caranya : Dilakukan perkusi pada bibir atas
Refleks Snout dikatakan positif apabila didapatkan respon bibir atas dan bawah
menyengir atau kontraksi otot-otot di sekitar bibir dan dibawah hidung.
Refleks Snout yang menetap pada anak besar menunjukkan regresi SSP.

Gambar 4. Refleks Snout

Refleks leher tonik asimetrik (Asymmetric tonic neck reflex/ATNR)


Caranya : Bayi diletakkan dalam posisi telentang, kepala di garis tengah dan anggota
gerak dalam posisi fleksi, kemudian kepala ditolehkan ke kanan, maka akan terjadi
ekstensi pada anggota gerak sebelah kanan dan fleksi anggota gerak sebelah kiri

126
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Bila refleks menetap setelah umur tersebut, hati-hati akan kemungkinan terdapatnya palsi
serebral

Gambar 5. Refleks leher tonik asimetrik

Refleks Berjalan (Stepping)


Caranya : Bayi dipegang pada daerah thoraks dengan kedua tangan pemeriksa. Kemudian
pemeriksa mendaratkan bayi dalam posisi berdiri di atas tempat periksa.
Pada bayi berusia urang dari 3 bulan, salah satu kaki yang menyentuh alas tempat periksa
akan berjingkat sedangkan pada yang berusia lebih dari 3 bulan akan menapakkan
kakinya. Kemudian diikuti oleh kaki lainnya dan kaki yang sudah menyentuh alas periksa
akan berekstensi seolah-olah melangkah untuk melakukan gerakan berjalan otomatis.
Refleks berjalan tidak dijumpai atau negatif pada penderita cerebral palsy, mental
retardasi, hipotoni, hipertoni dan keadaan dimana fungi SSP tertekan.

Gambar 6. Refleks Berjalan (Stepping)

Reaksi Penempatan Taktil (Placing Response)


Caranya: Seperti pada refleks berjalan, kemudian bagian dorsal kaki bayi disentuhkan
pada tepi meja periksa.
Respons dikatakan positif bila bayi meletakkan kakinya pada meja periksa.
Respons yang negatif dijumpai pada bayi dengan paralise ekstremitas bawah.

127
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Gambar 7. Placing Response

Refleks Terjun (Parachute)


Caranya: Bayi dipegang pada daerah thoraks dengan kedua tangan pemeriksa dan
kemudian diposisikan seolah-olah akan terjun menuju meja periksa dengan posisi kepala
lebih rendah dari kaki.
Refleks terjun tidak dipengaruhi oleh kemampuan visual, karena pada bayi buta dengan
fungsi motorik normal akan memberikan hasil yang positif.
Refleks terjun negatif dijumpai pada bayi tetraplegia atau SSP yang tertekan.

Gambar 8. Refleks Terjun (Parachute)

Refleks Landau
Jika bayi dipegang horizontal dengan wajahnya ke bawah, ia akan meluruskan kedua kaki
dan punggungnya akan mencoba untuk mengangkat kepala.
Cara : Pegang pasien pada bagian depan untuk menyangga thoraks. Posisi tengkurap.
Angkat kepala secara aktif atau pasif.
Reaksi positif : Jika kepala ventrofleksi/fleksi ke depan, punggung dan kedua tungkai
fleksi.

Gambar 9. Refleks Landau

128
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

LEMBAR PENILAIAN KETERAMPILAN KLINIK


PEMERIKSAAN REFLEKS PRIMITIF PADA BAYI
Nama mahasiswa :
NIM :
Kelompok :

NO Aspek yang dinilai Nilai


1 2 3 4
1 Mencuci tangan sebelum dan sesudah
melakukan pemeriksaan
2 Melakukan pemeriksaan Refleks Moro

3 Melakukan pemeriksaan Palmar Grasp


4 Melakukan pemeriksaan Plantar Grasp
5 Melakukan pemeriksaan Refleks Snout
6 Melakukan pemeriksaan Refleks leher
tonik asimetrik (Asymmetric tonic neck
reflex/ATNR)
7 Melakukan pemeriksaan Refleks
Berjalan (Stepping)
8 Melakukan pemeriksaan Reaksi
Penempatan Taktil (Placing Response)
9 Melakukan pemeriksaan Refleks
Terjun (Parachute)
10 Melakukan pemeriksaan Refleks
Landau
11 Mengkomunikasikan semua hasil
pemeriksaan kepada orangtua bayi

Keterangan :
1 = Tidak dilakukan
2 = Dilakukan dengan banyak perbaikan
3 = Dilakukan dengan sedikit perbaikan
4 = Dilakukan dengan sempurna

Referensi
1. Lissauer T, Fanafoff A. Selayang Neonatologi. Edisi kedua. PT Indeks. Jakarta. 2013
2. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku Ajar Neurologi Anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
Jakarta

129
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

TATALAKSANA MALNUTRISI AKUT BERAT / GIZI BURUK AKUT

PENGANTAR
Malnutrisi masih merupakan masalah kesehatan utama di negara sedang berkembang
dan melatarbelakangi (underlying factor) lebih dari 50% kematian balita. Severe acute
malnutrition atau malnutrisi berat akut (MAB) atau disebut juga gizi buruk akut adalah
keadaan dimana seorang anak tampak sangat kurus, ditandai dengan BB/PB < -3 SD dari
median WHO child growth standard, atau didapatka edema nutrisional, dan pada anak
umur 5 – 59 bulan Lingkar Lengan Atas (LLA) < 110 mm3.
Masalah besar dalam menangani penderita gizi buruk adalah belum ditemukannya
strategi yang efektif dalam skala yang luas untuk mencegah kematian karena gizi buruk.
Semula WHO menganjurkan tatalaksana penderita gizi buruk dengan rawat inap di
Rumah Sakit (RS) dalam jangka waktu setidaknya satu bulan. Keterbatasan tatalaksana
berbasis perawatan di RS ini sangat banyak. Rumah sakit tidak mungkin merawat
penderita gizi buruk dalam jumlah besar karena keterbatasan kapasitas, sarana dan tenaga
yang terampil. Perawatan di RS bersama dengan penderita penyakit lain akan
memudahkan penularan karena daya tahan tubuh penderita gizi buruk rendah sehingga
justru akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu memperkenalkan
terapi nutrisi berbasis komunitas merupakan hal penting dalam penanggulanagan masalah
MAB.

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Mahasiswa mampu melakukan tatalaksana MAB / gizi buruk pada anak
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Mahasiswa mampu menjelaskan kriteria diagnosis MAB
Mahasiswa menyebutkan dan menjelaskan 10 langkah tatalaksana MAB dan perkiraan
waktu setiap fase
PRASYARAT
Pengetahuan dan keterampilan pengukuran antropometri pada anak
Pengetahuan dan keterampilan tentang penilaian status gizi pada anak dengan
menggunakan grafik pertumbuhan CDC 2000 dan grafik pertumbuhan WHO 2006
Mengetahui tanda dan gejala klinis anak gizi buruk
Pengetahuan tentang imunisasi dan jadwal imunisasi pada anak

TEORI
Diagnosis malnutrisi berat (MAB) berdasarkan kriteria :
Terlihat sangat kurus
Edema nutrisional
BB/TB < -3 SD
LILA < 115 mm
Marasmus dan kwashiorkor adalah hasil akhir dari tingkat keparahan penderita gizi
buruk. Marasmus ditandai dengan tubuh yang sangat kurus dengan berbagai tanda
ikutannya, sedangkan kwashiorkor ditandai dengan edema, diawali edema pada
punggung kaki yang dapat menyebar ke seluruh tubuh.

130
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Gambar 1. Gizi buruk kwashiorkor

Gambar 2. Gizi buruk marasmus

Tatalaksana malnutrisi akut berat


Tatalaksana penderita MAB dibagi 2 yaitu MAB dengan komplikasi yang harus dirawat
inap di RS atau Puskesmas dan MAB tanpa komplikasi yag tidak perlu dirawat inap.

131
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Gambar 3. Tatalaksana malnutrisi akut berat yang digunakan pada program Community-
based Therapeutic Care

Rawat inap pada penderita gizi buruk


Saat anak gizi buruk tiba di RS, seringkali terdapat komplikasi berat yang mengancam
jiwa seperti hipoglikemia, hipotermia, dehidrasi, dll, sehingga memerlukan tindakan
segera. Pada penderita gizi buruk seluruh organ tubuhnya mengalami atrofi (otot, usus,
liver, pancreas, dll), lemak subkutan sebagai cadangan energi sangat tipis, kemampuan
memproduksi enzim sangat terbatas, kekebalan sangat terganggu dan reaksi tubuh sangat
kacau (terdapat infeksi tetapi justru hipotermi dan leukopenia) dan didapatkan gangguan
elektrolit.
Tindakan pada fase stabilisasi bertujuan untuk mengatasi kedaruratan medis dan
menstabilkan kondisi klinis anak, sedangkan tujuan fase rehabilitasi adalah pemuihan
serta tumbuh-kejar yang memerlukan waktu lebih lama.

132
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Tabel 1. Sepuluh langkah tatalaksana MAB dan perkiraan waktu setiap fase

Langkah 1. Atasi/cegah hipoglikemia

Bila anak sadar dan dapat minum Bila anak tidak sadar
Bolus 50 ml larutan Glukosa 10% atau Glukosa 10% intravena (5 mg/ml), diikuti
sukrosa 10% (1 sendok teh penuh gula dengan 50 ml Glukosa 10% atau sukrosa
dengan 50 ml air), baik per oral maupun lewat pipa NGT. Kemudian mulai pemberian
dengan pipa nasogastric. Kemudian mulai F 75 (lihat langkah 7)
pemberian F75 (lihat langkah 7) setiap 2 jam, setiap 2 jam, untuk 2 jam pertama berikan ¼
untuk 2 jam pertama berikan ¼ dari dosis dari dosis makanan setiap 30 menit
makanan setiap 30 menit Antibiotik spectrum luas (lihat langkah 5)
Antibiotik spectrum luas (lihat langkah 5) Pemberian makan per 2 jam, siang dan
Pemberian makan per 2 jam, siang dan malam
malam (lihat langkah 7)

Monitor :
Kadar gula darah : setelah 2 jam, ulangi pemeriksaan kadar gula darah (menggunakan
darah dari jari atau tumit). Bila gula darah masih rendah, ulangi pemberian 50 ml bolus
glukosa 10% atau laruan sukrosa, kemudian lanjutkan pmberian makan F-75 setiap 2 jam
hingga anak stabil
Suhu : jika turun < 35,5 C, ulang pengukuran kadar gula darah
Tingkat kesadaran : bila belum pulih, ulang pengukuran kadar gula darh sambil mencari
penyebabnya
Bila pengukuran kadar gula darah tidak dapat dilakukan, anggaplah semua anak dengan
MAB mengalami hipoglikemia dan lakukan penanganan.

Pencegahan :
Berikan makanan F-75 setiap 2 jam, mulai secara langsung (lihat langkah 7) atau bila
perlu lakukan rehidrasi terlebih dahulu
Selalu berikan makanan padamalam hari

Langkah 2. Atasi/cegah hipotermia


Jika suhu aksila< 35.5 C, lakukan pemeriksaan suhu rektal menggunakan termometer air
raksa.

133
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Jika suhu rektal < 35.5 C :


Berikan makanan secara langsung (mulai rehidrasi bila dierlukan)
Hangatkan anak : selain memakaikan pakaian, tutupi dengan selimut hangat
hingga kepala kecuali wajah atau tempatkan di dekat penghangat atau lampu, atau
letakkan pada dada ibu (cara kanguru) lalu tutupi selimut keduanya
Berikan antibiotik spektrum luas (lihat langkah 5)

Monitor:
Suhu tubuh : lakukan pemeriksaan suhu rektal setiap 30 menit hingga mencapai
suhu > 36.5C
Yakinkan bahwa anak telah tertutupi seluruh permukaan tubuhnya, terutama pada
malam hari
Kadar gula darah : ukur kadar gula darah ketika didapati adanya hipotermia

Pencegahan :
Berikan makanan tiap dua jam (lihat langkah 7 )
Selalu berikan makanan (F75 atau F100)
Tetap tutupi anak dan hindari paparan langsung dengan udara
Jaga anak tetap kering, segera ganti popok, pakaian dan alas tidur jika basah
Biarkan anak tidur dengan ibu/pengsuh pada malam hari agar kehangatan tetap
terjaga

Langkah 3. Atasi/cegah dehidrasi


Tidak mudah menentukan adanya dehidrasi pada anak gizi buruk karena tanda
dan gejala dehidrasi seperti turgor kulit dan mata cekung sering didapati pada gizi
buruk walaupun tidak dehidrasi. Diagnosis pasti adanya dhidrasi adalah dengan
pengukuran berat jenis urin (>1.030) selain tanda dan gejala klinis khas bila ada,
antara lain rasa haus dan mukosa mulut kering.

Sulituntuk memperkirakan status dehidrasi dengan meihat klinis saja pada


anak malnutisi berat. Maka diasumsikan bahwa setiap anak dengan diare cair
dapat mengalami dehidrasi dan diberikan :
ReSoMal 5ml/kg setiap 30 menit selama dua jampertama, baik per oral maupun
lewat NGT
Kemudian : 5 -10 ml/kg/jam selama 4 -10 jam berikutnya
Bila sudah rehidrasi, hentikan pemerian Resomal dan lanjutkan F75 setiap 2 jam
(lihat langkah 7)
Bila masih diare: beri Resomal setiap anak diare
Anak < 2 tahun : 5 – 10 ml dan anak > 2 tahun: 100-200 ml
Jangan menggunakan jalur intravena untuk rehidrasi kecuali pada kasus syok

134
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Monitor kemajuan rehidrasi :


Observasi tiap 30 menit selama 2 jam pertama, kemudian tiap 1 jam untuk 6-12 jam
berikutnya, catat :
Denyut jantung
Frekuensi nafas
Frekuensi miksi
Frekuensi defekasi/muntah

Langkah 4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit


Semua anak dengan malnutrisi berat mengalami kelebihan Natrium walaupun
kadar Natrium darah rendah. Defisiensi kalium dan magnesium juga terjadi dan
membutuhkan waktu dua minggu untuk melakukan koreksi.
Berikan :
Ekstra Kalium 3-4 mmol/kg/hari
Ekstra Magnesium 0.4-0.6 mmol/kg/hari
Saat rehidrasi berikan ReSoMal
Siapkan makanan tanpa garam

Langkah 5. Obati/cegah infeksi


Pilihan antibiotika spektrum luas :
Jika pada anak tidak terdapat komplikasi atau infeksi tidak nyata, beri :
Kotrimoksazol 5 ml peroral dua kali sehari selama 5 hari (2.5 ml jika berat < 6
kg)
Jika anak terlihat sangat sakit (apatis,letargi) atau terdapat komplikasi
(hipoglikemi, hipotermi, dermatosis, infeksi traktus respiratorius atau urinarius),
beri :
Ampicillin 50 mg/kg IM/IV per 6 jam selama 2 hari, dilanjutkan dengan
amoksisilin per oral 15 mg/kg per 8 jam selama 5 hari atau bila amoksisilin tidak
tersedia, lanjutkan dengan ampisilin per oral 50 mg/kg per 6 jam
DAN ditambah dengan :
Gentamisin 7.5 mg/kg/IM/IV sekali sehari selama 7 hari

Jika anak tidak ada perbaikan klinis selama 48 jam, tambahkan:


Kloramfenikol 25 mg/kg/IM/IV per 8 jam selama 5 hari

Jika infeksi spesifik teridentifikasi, tambahkan: Antibiotik spesifik yang sesuai

Langkah 6. Koreksi defisiensi mikronutrien

135
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Pemberian hari 1:
Vitamin A per oral

Dosis: > 12 bulan 200.000 SI, 6-12 bulan 100.000 SI, 0-5 bulan 50.000 IU
Ditunda bila kondisi klinis buruk
Asam folat 5 mg, oral

Pemberian harian selama 2 minggu :


Suplemen multivitamin
Asam folat 1 mg/hari
Zinc 2 mg/Kgbb/hari
Copper 0.3 mg/Kgbb/hari
Preparat besi 3 mg/kg/hari (pada fase rehabilitasi)

Langkah 7. Pemberian Makan


Pemberian makanan dimulai sesegera mungkin seteah pasien masuk dan harus dirancang
untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein secukupnya untuk mempertahankan
prosesfisiologi dasar:
Pemberian makanan dengan porsi kecil dan sering dengan osmolaritas rendah dan
rendah laktosa (F75)
Pemberian makanan secara oral atau lewat pipa nasogastrik
Energi : 80-100 kcal/kgbb/hari
Protein : 1-1.5 g/kgbb/hari
Cairan : 130 ml/kgbb/hari (100 ml/kgbb/hari bila anak mengalami edema berat)
Apabila anak minum ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi setelah formula
dihabiskan

Pemberian formula awal (F-75) dan jadwal pemberian makanan yang disarankan
Hari Frekuensi Volume/kgbb/pemberian Volume/kg/hari
1–2 tiap 2 jam 11 cc 130
3–5 tiap 3 jam 16 cc 130
6 – 7+ tiap 4 jam 22 cc 130

Perubahan frekuensi makan dari tiap 2 jam menjadi 3 jam dan 4 jam dilakukan bila anak
mampu menghabiskan porsinya.

Langkah 8. Mencapai tumbuh-kejar


Untuk mengubah dari pemberian makanan awal ke makanan tumbuh-kejar (transisi) :
Ganti formula F-75 dengan F-100 dalam jumlah yang sama selama 48 jam
Kemudian volume dapat ditambah bertahap sebanyak 10 -15 m per kali, hingga
mencapai 150 kkal/kgbb/hari
Energi : 100 – 150 kkal/kgbb/hari

136
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Protein : 2 – 3 g/kgbb/hari
Bila anak masih mendapat ASI, tetap berikan diantara pemberian formula

Setelah fase transisi, anak masuk ke fase rehabilitasi :


Lanjutkan menambah volume pemberian F-100 hingga anak tidak mampu
menghabiskan porsinya, biasanya terjadi pada saat pemberian makanan mencapai
30 ml/kgbb/makan (200ml/kgbb/hari)
Pemberian makanan yang sering (sedikitnya tiap 4 jam)
Energi : 150 -220 kkal/kg/hari
Protein : 4 – 6 gram /kgbb/hari
Bila anak masih mendapat ASI, tetap berikan diantara pemberian formula

Monitor kemajuan setelah transisi dengan menilai peningkatan berat badan :


Timbang berta badan tiap pagi sebelum makan, plot pada formulir pemantauan
berat badan
Tiap minggu hitung dan catat pertambahan berat badan dalam satuan
gram/kgbb/hari

Bila kenaikan berat badan :


Buruk (< 5 gram/kgbb/hari), perlu penilaian ulang secara menyeluruh
Sedang (5 – 10 gram/kgbb/hari), lanjutkan tatalaksana
Baik (>10 gram/kgbb/hari), lanjutkan tatalaksana

Langkah 9. Memberikan stimuli fisik, sensorik dan dukungan emosional


Perawatan dengan kasih sayang
Kegembiraan dan lingkungan nyaman
Terapi bermain yang terstruktur 15 – 30 menit/hari
Aktivitas fisik sesuai dengan kemampuan psikomotor anak
Keterlibatan ibu

Langkah 10. Persiapan tindak lanjut setelah perawatan


Bila anak sudah mencapai persentil 90% BB/TB maka anak sudah pulih dari keadaan
malnutisi, walaupun mungkin BB/U maih rendah karena umumnya anak pendek (TB/U
rendah).
Pola makan yang baik dan stimulasi fisik dan sensorik dapat dilanjutkan di rumah.
Tunjukkan kepada orangtua atau pengasuh bagaimana :
Pemberian makan secara sering dengan kandungan energi dan nutrien memadai
Berikan terapi bermain yang terstruktur

137
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Saran untuk orangtua atau pengasuh :


Membawa anak kontrol secara teratur
Memberikan imunisasi booster
Memberikan vitamin A setiap 6 bula

138
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

JADWAL KETRAMPILA KLINIK 6


TAHUN AKADEMIK 2016/2017

MG K HARI/TAN TEKNISI
WAKTU JUDUL INSTRUKTUR
GU LP GGAL
1 Senin/30/1/17 10.30-12.10 dr. Meutia Kamalat Shah
Selasa/31/1/1 Keterampilan
2 09.30-11.10 dr. Meutia Kamalat Shah
7 Melakukan
3 Senin/30/1/17 13.30-15.10 Anamnesis,Pemeriksa dr. Meutia Kamalat Shah
I
4 Rabu/1/2/17 13.30-15.10 an Orthopedi Umum dr. Sufri Halwi,M.Kes
Selasa/31/1/1 dan Regional
5 14.30-16.10 dr. Sufri Halwi,M.Kes
7
6 Kamis/2/2/17 10.30-12.10 dr. Sufri Halwi,M.Kes
1 Selasa/7/2/17 09.30-11.10 Stabilitas Fraktur dr. Adi Rizka, Sp.B
2 Senin/6/2/17 09.30-11.10 tanpa dr. Adi Rizka, Sp.B
3 Rabu/8/2/17 09.30-11.10 Gips,ReduksiDislokas dr. Adi Rizka, Sp.B
II
4 Rabu/8/2/17 13.30-15.10 i,Reposisi Fraktur dr. Adi Rizka, Sp.B
5 Senin/6/2/17 13.30-15.10 tertutup,Dressing dan dr. Adi Rizka, Sp.B
6 Kamis/9/2/17 13.30-15.10 Removal of Splinter dr. Adi Rizka, Sp.B
1 Senin/13/2/17 13.30-15.10 dr. M.Sayuti, Sp.B.KBD Fahrul
Kamis/16/2/1 Rizal,Amd
2 10.30-12.10 dr. M.Sayuti, Sp.B.KBD .Kep
7
Selasa/14/2/1
3 13.30-15.10 Keterampilan dr. M.Sayuti, Sp.B.KBD
7
membaca X-ray
III Selasa/14/2/1
4 09.30-11.10 tulang tengkorak dan dr. M.Sayuti, Sp.B.KBD
7
tulang belakang
Kamis/16/2/1
5 13.30-15.10 dr. M.Sayuti, Sp.B.KBD
7
Jum‟at/17/2/1
6 13.30-15.10 dr. M.Sayuti, Sp.B.KBD
7
1 Senin/20/2/17 13.30-15.10 dr. M.Sayuti, Sp.B.KBD
Selasa/21/2/1
2 09.30-11.10 dr. M.Sayuti, Sp.B.KBD
7
Selasa/21/2/1
3 13.30-15.10 Mengobati Ulkus dr. M.Sayuti, Sp.B.KBD
IV 7
Tungkai
4 Rabu/22/2/17 13.30-15.10 dr. M.Sayuti, Sp.B.KBD
5 Rabu/22/2/17 09.30-11.10 dr. M.Sayuti, Sp.B.KBD
Jum‟at/24/2/1
6 09.30-11.10 dr. M.Sayuti, Sp.B.KBD
7
Pemeriksaan pada dr.Nora
1 Senin/27/2/17 10.30-12.10
V Sistem Indra Khusus Maulina,M.Biomed
2 Senin/27/2/17 13.30-15.10 (Mata) dr.Nora

139
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

Maulina,M.Biomed
Selasa/28/2/1 dr.Nora
3 09.30-11.10
7 Maulina,M.Biomed
Selasa/28/2/1
4 13.30-15.10 dr.Fury Maulina,MPH
7
5 Rabu/1/3/17 13.30-15.10 dr.Fury Maulina,MPH
6 Kamis/2/3/17 09.30-11.10 dr.Fury Maulina,MPH
1 Senin/6/3/17 10.30-12.10 dr.Meutia Kamalat S
2 Senin/6/3/17 13.30-15.10 dr.Meutia Kamalat S
Pemeriksaan pada
3 Selasa/7/3/17 09.30-11.10 dr.Meutia Kamalat S
VI Sistem Indra Khusus
4 Selasa/7/3/17 13.30-15.10 dr.Noviana Zara
(Kulit)
5 Rabu/8/3/17 09.30-11.10 dr.Noviana Zara
6 Rabu/8/3/17 dr.Noviana Zara
Dr.dr.Indra
1 Senin/13/3/17 10.30-12.20
Zachreini,Sp.THT-KL
Dr.dr.Indra
2 Senin/13/3/17 13.30-15.10
Zachreini,Sp.THT-KL
Dr.dr.Indra
3 Rabu/15/3/17 10.30-12.20 Pemeriksaan pada
Zachreini,Sp.THT-KL
VII Sistem Indra Khusus
Kami/s16/3/1 Dr.dr.Indra
4 10.30-12.20 (THT)
7 Zachreini,Sp.THT-KL
Dr.dr.Indra
5 Jumát/17/3/17 9.30-11.20
Zachreini,Sp.THT-KL
Dr.dr.Indra
6 Jumát/17/3/17 13.30-15.10
Zachreini,Sp.THT-KLs
dr.Mardiati,M.Ked(Ped),
1 Senin/20/3/17 10.30-12.20
Sp.A
Selasa/21/3/1 dr.Mardiati,M.Ked(Ped),
2 10.30-12.20
7 Sp.A
dr.Mardiati,M.Ked(Ped),
3 Rabu/22/3/17 7.30-9.20
Anamnesis Pediatrik Sp.A
VIII
(AlloAnamnesis) dr.Mardiati,M.Ked(Ped),
4 Rabu/22/3/17 10.30-12.20
Sp.A
Kamis/23/3/1 dr.Mardiati,M.Ked(Ped),
5 10.30-12.20
7 Sp.A
dr.Mardiati,M.Ked(Ped),
6 Jumát/24/3/17 9.30-11.20
Sp.A
dr.Mardiati,M.Ked(Ped),
1 Senin/27/3/17 10.30-12.20
Sp.A
Pemeriksaan Fisik dr.Mardiati,M.Ked(Ped),
IX 2 Senin/27/3/17 13.30-15.10
Bayi Baru Lahir Sp.A
dr.Mardiati,M.Ked(Ped),
3 Rabu/29/3/17 10.30-12.20
Sp.A

140
Panduan Keterampilan Klinik Blok 3.4 FK Universitas Malikussaleh

dr.Mardiati,M.Ked(Ped),
4 Rabu/29/3/17 13.30-15.10
Sp.A
Kamis/30/3/1 dr.Mardiati,M.Ked(Ped),
5 9.30-11.20
7 Sp.A
Kamis/30/3/1 dr.Mardiati,M.Ked(Ped),
6 13.30-15.10
7 Sp.A
1 Senin/3/4/17 9.30-11.20 dr.Fury Maulina,MPH
2 Selasa/4/4/17 9.30-11.20 dr.Fury Maulina,MPH
3 Rabu/5/4/17 8.30-10.20 Pemeriksaan Refleks dr.Fury Maulina,MPH
X
4 Rabu/5/4/17 13.30-15.10 Primitif pada Bayi dr.Fury Maulina,MPH
5 Kamis/6/4/17 8.30-10.20 dr.Fury Maulina,MPH
6 Jumát/7/4/17 13.30-15.10 dr.Fury Maulina,MPH
1 Senin/10/4/17 9.30-11.20 dr.Nur Fardian,M.Gizi
Selasa/11/4/1
2 9.30-11.20 dr.Nur Fardian,M.Gizi
7
Selasa/11/4/1 Tatalaksana
3 13.30-15.10 Malnutrisi Akut dr.Nur Fardian,M.Gizi
XI 7
Berat/Gizi Buruk
4 Rabu/12/4/17 9.30-11.20 dr.Noviana Zara
Akut
5 Rabu/12/4/17 13.30-15.10 dr.Noviana Zara
Kamis/13/4/1
6 9.30-11.20 dr.Noviana Zara
7

141

Anda mungkin juga menyukai