Anjuran Untuk Menikah
Anjuran Untuk Menikah
DEFINISI NIKAH
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Abu ‘Ali al-Farisi berkata: “Bangsa Arab membedakan keduanya dengan perbedaan
yang sangat tipis. Jika mereka mengatakan: ‘ُ( نَ َك َحُفَالَنَةmenikahi fulanah) atau ُبِّنتَ ُفالَن
(puteri si fulanah) atau ُ( أ ْخت َهsaudarinya),’ maka yang mereka maksud ialah melakukan
akad terhadapnya. Jika mereka mengatakan: ‘ُـرأَت َه َ نَ َك َحُا ْمatau ُ( نَ َك َحُزَ ُْو َجـت َهmenikahi
isterinya),’ maka yang mereka maksud tidak lain adalah persetubuhan. Karena dengan
menyebut isterinya, maka tidak perlu menyebutkan akadnya.”
Al-Qadhi berkata: “Yang paling mirip dengan prinsip kami bahwa pernikahan pada
hakikatnya berkenaan dengan akad dan persetubuhan sekaligus; berdasarkan firman
Allah Ta’ala:
ُاء
ِّ س
َ ُالن ِّ َو ََلُتَ ْن ِّكحواُ َماُنَ َك َحُآ َباؤك ْم
ِّ َُمن
‘Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu…’” [An-
Nisaa’/4: 22].[3]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin
Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z,
Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. Dinyatakan oleh Syaikh Muhammad Fu-ad ‘Abdul Baqi, dalam komentarnya atas
Shahiih Muslim (II/1018).
[2]. Al-Mughni bisy Syarhil Kabiir (VII/333).
[3]. Ibid.
Seperti yang telah diketahui bahwa agama kita banyak memberikan anjuran untuk
menikah.
Allah menyebutkannya dalam banyak ayat di Kitab-Nya dan menganjurkan kepada kita
untuk melaksanakannya. Di antaranya, firman Allah Ta’ala dalam surat Ali ‘Imran
tentang ucapan Zakariya Alaihissallam :
ُاء
ِّ س ِّميعُالد َع َ ُيُم ْنُلَد ْنكَ ُذ ِّريَّة
َ ُ َط ِّيبَةُُۖ ِّإنَّك ِّ بُهَبْ ُ ِّل
ِّ َر
“Ya Rabb-ku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya
Engkau Maha Pendengar do’a.” [Ali ‘Imran/3: 38].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Rabb-nya: ‘Ya Rabb-ku janganlah
Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkau-lah Waris Yang Paling Baik.’”
[Al-Anbiyaa’/21: 89].
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan…” [Ar-Ra’d/13: 38]
ْ َُم ْنُف
ُض ِّل ِّه َُّ ُو ِّإ َمائِّك ْمُُۚ ِّإ ْنُيَكونواُفقَ َرا َءُي ْغنِّ ِّهم
ِّ ُّللا َ ُم ْنُ ِّعبَادِّك ْم
ِّ َصا ِّل ِّحين َ ُم ْنك ْم
َّ ُوال ْ َوأ َ ْن ِّكح
ِّ واُاْلَيَا َم ٰى
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka
mampu dengan karunia-Nya…” [An-Nuur/24: 32].
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
ُي
َ ُهللاُفِّ ْي َمـاُ َب ِّق
َ ق ِّ َّ ُفَ ْل َيت،ْـن
ِّ ُالدي
ِّ ف َ ص ْ ِّإذَاُت َزَ َّو َج.
ْ ُِّفَقَدُِّاسْـت َ ْك َملَُن،ُال َعبْد
ُُرجْ لَ ْي ِّه
ِّ َُو َمـاُبَيْـن، ْ ُولَ َج
َ ُ َمـاُبَيْنَُُلَحْ يَ ْي ِّه:َُال َجنَّة َ ُوقَاهُهللاُش ََّرُاثْنَي ِّْن
َ َم ْن.
“Barangsiapa yang dipelihara oleh Allah dari keburukan dua perkara, niscaya ia masuk
Surga: Apa yang terdapat di antara kedua tulang dagunya (mulutnya) dan apa yang
berada di antara kedua kakinya (kemaluannya).”[2]
Jadi, masuk ke dalam Surga itu -wahai saudaraku- karena engkau memelihara dirimu
dari keburukan apa yang ada di antara kedua kakimu, dan ini dengan cara menikah
atau berpuasa.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita -dengan sabdanya- untuk menikah
dan mencari keturunan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah
Radhiyallahu anhu:
ارى
َ صَ َُّوَلَُت َك ْون ْواُك ََر ْهبَانِّيَّ ِّةُالن، ْ ت َزَ َّوج ْواُفَإِّنِّيُمكَاثِّ ٌرُ ِّبكمُاْْل َم َمُيَ ْو َم.
َ ُال ِّقيَـا َم ِّة
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita dalam banyak hadits agar
menikah dan melahirkan anak. Beliau menganjurkan kita mengenai hal itu dan
melarang kita hidup membujang, karena perbuatan ini menyelisihi Sunnahnya.
Saya kemukakan kepadamu, saudaraku yang budiman, sejumlah hadits yang
menunjukkan hal itu:
ُُوالنِّكَاح،
َ الس َواك
ِّ ُو، َ ُا َ ْل َحيَـاء: َس ِّليْن
َ ُوالت َّ َُعطر، ْ ُم ْنُسـن َِّن
َ ُالم ْر ِّ أ َ ْربَ ٌع.
“Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa-malu, memakai
wewangian, bersiwak, dan menikah.”[4]
‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka
menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara
kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena
puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).'”[5]
3. Orang yang menikah dengan niat menjaga kesucian dirinya, maka Allah pasti
menolongnya.
Saudaraku yang budiman, jika engkau ingin menikah, maka ketahuilah bahwa Allah
akan menolongmu atas perkara itu.
“Ada tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah; seorang budak yang ingin
menebus dirinya dengan mencicil kepada tuannya, orang yang menikah karena ingin
memelihara kesucian, dan pejuang di jalan Allah.”[6]
4. Menikahi wanita yang berbelas kasih dan subur (banyak anak) adalah kebanggaan
bagimu pada hari Kiamat.
Saudaraku yang budiman, jika kamu hendak menikah, carilah dari keluarga yang
wanita-wanitanya dikenal subur (banyak anak) dan berbelas kasih kepada suaminya,
karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membanggakanmu mengenai hal itu pada
hari Kiamat.
Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu
anhu, ia menuturkan: “Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
mengatakan: ‘Aku mendapatkan seorang wanita (dalam satu riwayat lain (disebutkan),
‘memiliki kedudukan dan kecantikan’), tetapi ia tidak dapat melahirkan anak (mandul);
apakah aku boleh menikahinya?’ Beliau menjawab: ‘Tidak.’ Kemudian dia datang
kepada beliau untuk kedua kalinya, tapi beliau melarangnya. Kemudian dia datang
kepada beliau untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ‘Nikahilah wanita yang
berbelas kasih lagi banyak anak, karena aku akan membangga-banggakan jumlah
kalian kepada umat-umat yang lain.’”[7]
Beliau bersabda: “Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian apa yang dapat kalian
shadaqahkan. Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap
tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada yang ma’ruf
adalah shadaqah, mencegah dari yang munkar adalah shadaqah, dan persetubuhan
salah seorang dari kalian (dengan isterinya) adalah shadaqah.”
Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang
melampiaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?”
Dalam riwayat Muslim (disebutkan): “Aku bersumpah kepada Rabb yang jiwa
Muhammad berada di tangan-Nya! ‘Seandainya dia mengucapkan ‘insya Allah’, niscaya
mereka berjihad di jalan Allah sebagai prajurit semuanya.'”[11]
Ibnu Majah meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau
bersabda:
“Nikahlah dengan gadis perawan; sebab mereka itu lebih manis bibirnya, lebih subur
rahimnya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.”[14]
Sebagian manusia memutuskan untuk beribadah dan menjadi “pendeta” serta tidak
menikah, dengan alasan bahwa semua ini adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada
Allah. Kita sebutkan kepada mereka dua hadits berikut ini, agar mereka mengetahui
ajaran-ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keharusan mengikuti Sunnahnya
pada apa yang disabdakannya. Inilah point yang kesembilan:
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu,
ia menuturkan: Ada tiga orang yang datang ke rumah isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika
mereka diberi kabar, mereka seakan-akan merasa tidak berarti. Mereka mengatakan:
“Apa artinya kita dibandingkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah telah
mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan terkemudian?” Salah seorang dari
mereka berkata: “Aku akan shalat malam selamanya.” Orang kedua mengatakan: “Aku
akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan pernah berbuka.” Orang ketiga
mengatakan: “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang lalu bertanya: “Apakah kalian
yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sesungguhnya aku lebih takut
kepada Allah dan lebih bertakwa daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka,
shalat dan tidur, serta menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci Sunnah-ku, maka
ia bukan termasuk golonganku.'”[16]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui Salman Radhiyallahu anhu atas apa yang
dikatakannya kepada saudaranya, Abud Darda’ Radhiyallahu anhu yang telah beristeri,
agar tidak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menjauhi isterinya, yaitu
Ummud Darda’ Radhiyallahu anha. Dia menceritakan kepada kita peristiwa yang telah
terjadi.
Kemudian Abud Darda’ datang lalu Salman dibuatkan ma-kanan. “Makanlah, karena
aku sedang berpuasa,” kata Abud Darda’. Ia menjawab: “Aku tidak akan makan hingga
engkau makan.” Abud Darda’ pun makan. Ketika malam datang, Abud Darda’ pergi
untuk mengerjakan shalat.
Salman berkata kepadanya: “Tidurlah!” Ia pun tidur. Kemudian ia pergi untuk shalat,
maka Salman berkata kepadanya: “Tidurlah!” Ketika pada akhir malam, Salman
berkata: “Bangunlah sekarang.” Lantas keduanya melakukan shalat bersama.
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, ia
menuturkan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai ‘Abdullah, aku
diberi kabar, bukankah engkau selalu berpuasa di siang hari dan shalat pada malam
hari?” Aku menjawab: “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Jangan engkau
lakukan! Berpuasa dan berbukalah, bangun dan tidurlah. Sebab jasadmu mempunyai
hak atasmu, matamu mempunyai hak atasmu, dan isterimu mempunyai hak
atasmu.'”[19]
10. Berikut ini sebagian ucapan para Sahabat dan Tabi’in yang menganjurkan untuk
menikah.
a. Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Ibnu ‘Abbas bertanya kepadaku:
“Apakah engkau sudah menikah?” Aku menjawab: “Belum.” Dia mengatakan:
“Menikahlah, karena sebaik-baik umat ini adalah yang paling banyak isterinya.”[20]
b. ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: “Seandainya aku tahu bahwa ajalku tinggal 10 hari
lagi, niscaya aku ingin pada malam-malam yang tersisa tersebut seorang isteri tidak
berpisah dariku.”[21]
c. Imam Ahmad ditanya: “Apakah seseorang diberi pahala bila mendatangi isterinya,
sedangkan dia tidak memiliki syahwat?” Ia menjawab: “Ya, demi Allah, karena ia
menginginkan anak. Jika tidak menginginkan anak, maka ia mengatakan: ‘Ini adalah
wanita muda.’ Jadi, mengapa ia tidak diberi pahala?”[22]
e. Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata: “Bujangan itu seperti pohon di tanah
gersang yang diombang-ambingkan angin, demikian dan demikian.”[24]
Sungguh indah ucapan seorang penya’ir:
Pertama, menikah atau mengambil gundik (hamba sahaya yang menjadi miliknya).
Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُفَإِّنَّ َماُ َمعَ َهاُ َماُ َمعَ َها،ظ َرُأ َ َحدك ْمُإِّلَىُ َم َحا ِّس ِّنُا ْم َرأَةُفَ ْليَأْتُِّأ َ ْهلَه
َُ َإِّذَاُن.
Inilah yang dapat mengurangi syahwat dan melemahkan cinta yang menggelora.
Kedua, senantiasa menunaikan shalat lima waktu, berdo’a, dan bertadharru’ di malam
hari. Shalatnya dilakukan dengan konsentrasi dan khusyu’, dan memperbanyak berdo’a
dengan ucapannya:
Sebab, selama dia terus berdo’a dan bertadharru’ kepada Allah, maka Dia
memalingkan hatinya dari keburukan, sebagaimana firman-Nya:
Ketiga, jauh dari kediaman orang ini dan berkumpul dengan orang yang biasa
berkumpul dengannya; di mana dia tidak mendengar beritanya dan tidak melihat
dengan matanya; karena berjauhan itu dapat membuat lupa. Selama sesuatu itu jarang
diingat, maka pengaruhnya menjadi lemah dalam hati.
ُُفَإِّنَّهُلَه،ص ْو ِّم
َُّ ُو َم ْنُلَ ْمُيَ ْست َِّط ْعُفَعَلَ ْي ِّهُبِّال. ْ َُصنُ ِّل ْلف
َ ِّـرج َ ُْوأَح، َ َُفَإِّنَّهُأَغَضُ ِّل ْلب،ُالبَا َءة َُفَ ْليَت َزَ َّو ْج
َ ص ِّـر ْ ُم ْنكم
ِّ ع َ َ ُ َم ِّنُا ْست،ب
َ طا َّ يَاُ َم ْعش ََرُال
ِّ شبَا
ِّو َجا ٌُء.
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka
menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara
kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; sebab
puasa dapat menekan syahwatnya.”[27]
Hadits ini hanyalah perintah yang ditujukan kepada orang yang mampu melakukan
hubungan badan. Karena itu beliau memerintahkan siapa yang tidak mampu untuk
menikah agar berpuasa; sebab puasa dapat mengekang syahwatnya.
Bagi siapa yang tidak mempunyai harta; apakah dianjurkan untuk meminjam lalu
menikah? Mengenai hal ini diperselisihkan dalam madzhab Imam Ahmad dan
selainnya.
ْ َُم ْنُف
ُض ِّل ِّه ِّ ُّللا ِّ َو ْليَ ْست َ ْع ِّف
َ َفُالَّذِّين
َّ َُلُيَ ِّجدونَ ُنِّكَاحاُ َحتَّ ٰىُي ْغنِّ َيهم
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya…” [An-Nuur/24: 33].
Adapun ‘laki-laki yang shalih’ adalah orang yang melakukan kewajibannya, baik hak-
hak Allah maupun hak-hak para hamba-Nya.[28]