Anda di halaman 1dari 11

Anjuran Untuk Menikah

DEFINISI NIKAH

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Nikah Menurut Bahasa.


ُ‫ النِّكَـاح‬menurut bahasa berarti ُ‫( الضَّم‬menghimpun). Kata ini dimutlakkan untuk akad atau
persetubuhan.

Al-Imam Abul Hasan an-Naisaburi berkata: “Menurut al-Azhari, an-nikaah dalam


bahasa Arab pada asalnya bermakna al-wath-u (persetubuhan). Perkawinan disebut
nikaah karena menjadi sebab persetubuhan.”

Abu ‘Ali al-Farisi berkata: “Bangsa Arab membedakan keduanya dengan perbedaan
yang sangat tipis. Jika mereka mengatakan: ‘ُ‫( نَ َك َحُفَالَنَة‬menikahi fulanah) atau ُ‫بِّنتَ ُفالَن‬
(puteri si fulanah) atau ُ‫( أ ْخت َه‬saudarinya),’ maka yang mereka maksud ialah melakukan
akad terhadapnya. Jika mereka mengatakan: ‘ُ‫ـرأَت َه‬ َ ‫ نَ َك َحُا ْم‬atau ُ‫( نَ َك َحُزَ ُْو َجـت َه‬menikahi
isterinya),’ maka yang mereka maksud tidak lain adalah persetubuhan. Karena dengan
menyebut isterinya, maka tidak perlu menyebutkan akadnya.”

ْ ‫( ن ِّك َح‬wanita yang dinikahi)’ dengan


Al-Farra’ berkata: “Bangsa Arab mengatakan: ‘َُ‫ُال َم ْرأَة‬
nun didhammah, berarti (menyetubuhi) kemaluannya. Ini adalah ungkapan tentang
kemaluan. Jika mereka mengatakan: ‫نَ َك َح َها‬, maka yang mereka maksud ialah
menyetubuhi kemaluannya. Tetapi jarang sekali diucapkan: ‫( نَا َك َح َها‬dengan nun
dipanjangkan), sebagaimana diucapkan [1]: ‘‫ضعَ َها‬ َ ‫”’بَا‬

Nikah Menurut Syari’at.


Ibnu Qudamah berkata: “Nikah menurut syari’at adalah akad perkawinan. Ketika kata
nikah diucapkan secara mutlak, maka kata itu bermakna demikian, selagi tidak satu
dalil pun yang memalingkan darinya.”[2]

Al-Qadhi berkata: “Yang paling mirip dengan prinsip kami bahwa pernikahan pada
hakikatnya berkenaan dengan akad dan persetubuhan sekaligus; berdasarkan firman
Allah Ta’ala:

ُ‫اء‬
ِّ ‫س‬
َ ‫ُالن‬ ِّ ‫َو ََلُتَ ْن ِّكحواُ َماُنَ َك َحُآ َباؤك ْم‬
ِّ َ‫ُمن‬

‘Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu…’” [An-
Nisaa’/4: 22].[3]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin
Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z,
Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. Dinyatakan oleh Syaikh Muhammad Fu-ad ‘Abdul Baqi, dalam komentarnya atas
Shahiih Muslim (II/1018).
[2]. Al-Mughni bisy Syarhil Kabiir (VII/333).
[3]. Ibid.

ANJURAN UNTUK MENIKAH

Seperti yang telah diketahui bahwa agama kita banyak memberikan anjuran untuk
menikah.

Allah menyebutkannya dalam banyak ayat di Kitab-Nya dan menganjurkan kepada kita
untuk melaksanakannya. Di antaranya, firman Allah Ta’ala dalam surat Ali ‘Imran
tentang ucapan Zakariya Alaihissallam :

ُ‫اء‬
ِّ ‫س ِّميعُالد َع‬ َ ُ‫يُم ْنُلَد ْنكَ ُذ ِّريَّة‬
َ ُ َ‫ط ِّيبَةُُۖ ِّإنَّك‬ ِّ ‫بُهَبْ ُ ِّل‬
ِّ ‫َر‬

“Ya Rabb-ku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya
Engkau Maha Pendengar do’a.” [Ali ‘Imran/3: 38].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ْ ‫اُوأ َ ْنتَ ُ َخيْر‬


َُ‫ُال َو ِّارثِّين‬ َ ‫َُلُتَذَ ْرنِّيُفَ ْرد‬
َ ‫ب‬ِّ ‫ُر‬ َ ‫َوزَ ك َِّريَّاُإِّ ْذُنَا َد ٰى‬
َ ‫ُربَّه‬

“Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Rabb-nya: ‘Ya Rabb-ku janganlah
Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkau-lah Waris Yang Paling Baik.’”
[Al-Anbiyaa’/21: 89].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ ‫ُو َجعَ ْلنَاُلَه ْمُأَ ْز َواج‬


ُ‫اُوذ ِّريَّة‬ ِّ ‫س ْلنَاُرسال‬
َ َ‫ُم ْنُقَ ْبلِّك‬ َ ‫َولَقَدُْأ َ ْر‬

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan…” [Ar-Ra’d/13: 38]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ْ َ‫ُم ْنُف‬
ُ‫ض ِّل ِّه‬ َُّ ‫ُو ِّإ َمائِّك ْمُُۚ ِّإ ْنُيَكونواُفقَ َرا َءُي ْغنِّ ِّهم‬
ِّ ‫ُّللا‬ َ ‫ُم ْنُ ِّعبَادِّك ْم‬
ِّ َ‫صا ِّل ِّحين‬ َ ‫ُم ْنك ْم‬
َّ ‫ُوال‬ ْ ‫َوأ َ ْن ِّكح‬
ِّ ‫واُاْلَيَا َم ٰى‬

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka
mampu dengan karunia-Nya…” [An-Nuur/24: 32].

Dan hadits-hadits mengenai hal itu sangatlah banyak.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

ُ‫ي‬
َ ‫ُهللاُفِّ ْي َمـاُ َب ِّق‬
َ ‫ق‬ ِّ َّ ‫ُفَ ْل َيت‬،‫ْـن‬
ِّ ‫ُالدي‬
ِّ ‫ف‬ َ ‫ص‬ ْ ‫ ِّإذَاُت َزَ َّو َج‬.
ْ ِّ‫ُفَقَدُِّاسْـت َ ْك َملَُن‬،‫ُال َعبْد‬

“Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya;


oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.”[1]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫ُرجْ لَ ْي ِّه‬
ِّ َ‫ُو َمـاُبَيْـن‬، ْ ‫ُولَ َج‬
َ ‫ُ َمـاُبَيْنَُُلَحْ يَ ْي ِّه‬:َ‫ُال َجنَّة‬ َ ‫ُوقَاهُهللاُش ََّرُاثْنَي ِّْن‬
َ ‫ َم ْن‬.

“Barangsiapa yang dipelihara oleh Allah dari keburukan dua perkara, niscaya ia masuk
Surga: Apa yang terdapat di antara kedua tulang dagunya (mulutnya) dan apa yang
berada di antara kedua kakinya (kemaluannya).”[2]

Jadi, masuk ke dalam Surga itu -wahai saudaraku- karena engkau memelihara dirimu
dari keburukan apa yang ada di antara kedua kakimu, dan ini dengan cara menikah
atau berpuasa.

Saudaraku yang budiman! Pernikahan adalah sarana terbesar untuk memelihara


manusia agar tidak terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan Allah, seperti zina,
liwath (homoseksual) dan selainnya. Penjelasan mengenai hal ini akan disampaikan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita -dengan sabdanya- untuk menikah
dan mencari keturunan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah
Radhiyallahu anhu:

‫ارى‬
َ ‫ص‬َ َّ‫ُوَلَُت َك ْون ْواُك ََر ْهبَانِّيَّ ِّةُالن‬، ْ ‫ت َزَ َّوج ْواُفَإِّنِّيُمكَاثِّ ٌرُ ِّبكمُاْْل َم َمُيَ ْو َم‬.
َ ‫ُال ِّقيَـا َم ِّة‬

“Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-banggakan jumlah kalian


kepada umat-umat lain pada hari Kiamat, dan janganlah kalian seperti para pendeta
Nasrani.”[3]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita dalam banyak hadits agar
menikah dan melahirkan anak. Beliau menganjurkan kita mengenai hal itu dan
melarang kita hidup membujang, karena perbuatan ini menyelisihi Sunnahnya.
Saya kemukakan kepadamu, saudaraku yang budiman, sejumlah hadits yang
menunjukkan hal itu:

1. Nikah adalah Sunnah para Rasul.


Nikah adalah salah satu Sunnah para Rasul, lantas apakah engkau akan menjauhinya,
wahai saudaraku yang budiman?

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Ayyub Radhiyallahu anhu, ia menuturkan bahwa


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫ُوالنِّكَاح‬،
َ ‫الس َواك‬
ِّ ‫ُو‬، َ ‫ُا َ ْل َحيَـاء‬: َ‫س ِّليْن‬
َ ‫ُوالت َّ َُعطر‬، ْ ‫ُم ْنُسـن َِّن‬
َ ‫ُالم ْر‬ ِّ ‫أ َ ْربَ ٌع‬.

“Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa-malu, memakai
wewangian, bersiwak, dan menikah.”[4]

2. Siapa yang mampu di antara kalian untuk menikah, maka menikahlah.


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita demikian, sebagaimana
diriwayat-kan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Ia
menuturkan: “Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang
tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami:

َّ ‫ُ َو َم ْنُلَ ْمُيَ ْست َِّط ْعُفَعَلَ ْي ِّهُبِّال‬،ِّ‫صنُ ِّل ْلفَ ْرج‬


ُ‫ُفَإِّنَّهُلَه‬،‫ص ْو ِّم‬ َ ْ‫ُوأَح‬ َ َ‫ُفَإِّنَّهُأَغَضُ ِّل ْلب‬،‫ُالبَا َءة َُفَ ْليَت َزَ َّو ْج‬
َ ‫ص ِّر‬ ْ ‫ُم ْنكم‬
ِّ ‫ع‬ َ َ ‫ُ َم ِّنُا ْست‬،‫ب‬
َ ‫طا‬ َّ ‫يَاُ َُم ْعش ََرُال‬
ِّ ‫شبَا‬
‫ ِّو َجا ٌُء‬.

‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka
menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara
kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena
puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).'”[5]

3. Orang yang menikah dengan niat menjaga kesucian dirinya, maka Allah pasti
menolongnya.
Saudaraku yang budiman, jika engkau ingin menikah, maka ketahuilah bahwa Allah
akan menolongmu atas perkara itu.

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ُ‫ُ َو ْالم َجاهِّدُفِّي‬،‫اف‬


ُِّ‫سبِّ ْي ِّلُهللا‬ ْ ‫ُوالنَّا ِّكحُالَّذِّيُي ِّريْد‬،
َ َ‫ُال َعف‬ َ ‫ُا َ ْلمكَـات َبُالَّذِّيُي ِّريْدُاْْل َ َدا َء‬:‫ثَالَثَةٌُ َح ٌّقُ َعلَىُهللاُِّ َع ْونه ْم‬.

“Ada tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah; seorang budak yang ingin
menebus dirinya dengan mencicil kepada tuannya, orang yang menikah karena ingin
memelihara kesucian, dan pejuang di jalan Allah.”[6]
4. Menikahi wanita yang berbelas kasih dan subur (banyak anak) adalah kebanggaan
bagimu pada hari Kiamat.
Saudaraku yang budiman, jika kamu hendak menikah, carilah dari keluarga yang
wanita-wanitanya dikenal subur (banyak anak) dan berbelas kasih kepada suaminya,
karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membanggakanmu mengenai hal itu pada
hari Kiamat.

Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu
anhu, ia menuturkan: “Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
mengatakan: ‘Aku mendapatkan seorang wanita (dalam satu riwayat lain (disebutkan),
‘memiliki kedudukan dan kecantikan’), tetapi ia tidak dapat melahirkan anak (mandul);
apakah aku boleh menikahinya?’ Beliau menjawab: ‘Tidak.’ Kemudian dia datang
kepada beliau untuk kedua kalinya, tapi beliau melarangnya. Kemudian dia datang
kepada beliau untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ‘Nikahilah wanita yang
berbelas kasih lagi banyak anak, karena aku akan membangga-banggakan jumlah
kalian kepada umat-umat yang lain.’”[7]

5. Persetubuhan salah seorang dari kalian adalah shadaqah.


Saudaraku semuslim, aktivitas seksualmu dengan isterimu guna mendapatkan
keturunan, atau untuk memelihara dirimu atau dirinya, maka engkau mendapatkan
pahala; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzarr Radhiyallahu
anhu, bahwa sejumlah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada
beliau: “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendapatkan banyak pahala.
Mereka melaksanakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa
sebagaimana kami puasa, dan mereka dapat bershadaqah dengan kelebihan harta
mereka.”

Beliau bersabda: “Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian apa yang dapat kalian
shadaqahkan. Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap
tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada yang ma’ruf
adalah shadaqah, mencegah dari yang munkar adalah shadaqah, dan persetubuhan
salah seorang dari kalian (dengan isterinya) adalah shadaqah.”

Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang
melampiaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?”

Beliau bersabda: “Bagaimana pendapat kalian seandainya dia melampiaskan


syahwatnya kepada hal yang haram, apakah dia mendapatkan dosa? Maka demikian
pula jika ia melampiaskannya kepada hal yang halal, maka dia mendapatkan
pahala.”[8]

6. Menikah dapat mengembalikan semangat “kepemudaan”.


Nikah dapat mengembalikan kekuatan dan kepemudaan badan. Karena ketika jiwa
merasa tenteram, tubuh menjadi giat.
Inilah seorang Sahabat yang menjelaskan hal itu kepada kita, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Alqamah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Aku
bersama ‘Abdullah (bin Mas’ud), lalu ‘Utsman bertemu dengannya di Mina, maka ia
mengatakan: ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya aku mempunyai hajat
kepadamu.’ Kemudian keduanya bercakap-cakap (jauh dari ‘Alqamah). ‘Utsman
bertanya kepadanya: ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, maukah aku nikahkan engkau dengan
seorang gadis yang akan mengingatkanmu pada apa yang dahulu pernah engkau
alami?’ Ketika ‘Abdullah merasa dirinya tidak membutuhkannya, maka dia
mengisyaratkan kepadaku seraya mengatakan: ‘Wahai ‘Alqamah!’ Ketika aku
menolaknya, dia mengatakan: ‘Jika memang engkau mengatakan demikian, maka
sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami: ‘Wahai para
pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu untuk menikah, maka menikahlah. Dan
barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah; karena puasa dapat
mengendalikan syahwatnya.’”[9]

7. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan suami isteri agar melakukan


aktivitas seksual guna memperolah keturunan, dan menikah dengan gadis.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan:
“Nabi Sulaiman bin Dawud berkata: ‘Aku benar-benar akan menggilir 70 isteri pada
malam ini, yang masing-masing isteri akan melahirkan seorang mujahid yang berjihad
di jalan Allah.’ Seorang sahabatnya berkata kepadanya: ‘Insya Allah.’ Tetapi Nabi
Sulaiman tidak mengucapkannya, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang hamil
kecuali satu orang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seandainya dia
mengucapkan insya Allah, niscaya mereka menjadi para mujahid di jalan Allah.'”[10]

Dalam riwayat Muslim (disebutkan): “Aku bersumpah kepada Rabb yang jiwa
Muhammad berada di tangan-Nya! ‘Seandainya dia mengucapkan ‘insya Allah’, niscaya
mereka berjihad di jalan Allah sebagai prajurit semuanya.'”[11]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan:


“Aku bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu peperangan, ternyata
untaku berjalan lambat dan kelelahan. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
datang kepadaku lalu menegur: ‘Jabir!’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau bertanya: ‘Ada apa
denganmu?’ Aku menjawab: ‘Untaku berjalan lambat dan kelelahan sehingga aku
tertinggal.’ Lalu beliau turun untuk mengikatnya dengan tali, kemudian bersabda:
‘Naiklah!’ Aku pun naik. Sungguh aku ingin menahannya dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya: ‘Apakah engkau sudah menikah?’ Aku menjawab:
‘Sudah.’ Beliau bertanya: ‘Gadis atau janda?’ Aku menjawab: ‘Janda.’ Beliau bersabda:
‘Mengapa tidak menikahi gadis saja sehingga engkau dapat bermain-main dengannya
dan ia pun bermain-main dengan-mu?’ Aku menjawab: ‘Sesungguhnya aku mempunyai
saudara-saudara perempuan, maka aku ingin menikahi seorang wanita yang bisa
mengumpulkan mereka, menyisir mereka, dan membimbing mereka.’ Beliau bersabda:
‘Engkau akan datang; jika engkau datang, maka demikian, demikian.'[12] Beliau
bertanya: ‘Apakah engkau akan menjual untamu?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Lalu beliau
membelinya dariku dengan satu uqiyah (ons perak). Kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sampai sebelumku, sedangkan aku sampai pada pagi hari. Ketika
kami datang ke masjid, aku menjumpai beliau di depan pintu masjid. Beliau bertanya:
‘Apakah sekarang engkau telah tiba?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau bersabda:
‘Tinggalkan untamu lalu masuklah ke masjid, kemudian kerjakan shalat dua rakaat.’
Kemudian aku masuk, lalu melaksanakan shalat. Setelah itu beliau memerintahkan Bilal
agar membawakan satu uqiyah kepada beliau, lalu Bilal menimbangnya dengan
mantap dalam timbangan. Ketika aku pergi, beliau mengatakan: ‘Panggillah Jabir
kepadaku.’ Aku mengatakan: ‘Sekarang unta dikembalikan kepadaku, padahal tidak
ada sesuatu pun yang lebih aku benci daripada unta ini.’ Beliau bersabda: ‘Ambil-lah
untamu, dan harganya untukmu.'”[13]

Ibnu Majah meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau
bersabda:

ُ‫ضىُبِّ ْاليَ ِّسي ِّْر‬


َ ‫اُوأَ ْر‬
َ ‫اُوأ َ ْنت َقُأَ ْر َحام‬
َ ‫َارُفَإِّنَّه َّنُأ َ ْعذَبُأ َ ْف َواه‬
ِّ ‫ َعلَيْك ْمُبِّاْْل َ ْبك‬.

“Nikahlah dengan gadis perawan; sebab mereka itu lebih manis bibirnya, lebih subur
rahimnya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.”[14]

8. Anak dapat memasukkan bapak dan ibunya ke dalam Surga.


Bagaimana anak memasukkan ayah dan ibunya ke dalam Surga? Mari kita dengarkan
jawabannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits qudsi. Imam
Ahmad meriwayatkan dari sebagian Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa
beliau bersabda:

ُ‫ُ َمـاُ ِّلي‬:ُ‫ُفَيَق ْولُهللا‬:َ‫ُقَال‬. َ‫ُفَيَأْت ْون‬:َ‫ُقَال‬،‫َاُوأ َّم َهاتنَا‬


َ ‫ُ َحتَّىُيَدْخلَُآبَاؤن‬،‫ب‬ ْ ‫ُادْخل‬:‫ُال ِّقيَا َم ِّة‬
َ َ‫ُي‬: َ‫ُفَيَق ْول ْون‬:َ‫ُقَال‬.َ‫واُال َجنَّة‬
ِّ ‫ـاُر‬ ْ ‫انُيَ ْو َم‬
ِّ ‫يقَـالُ ِّل ْل ِّو ْل َد‬
‫ُوآبَاؤك ُْم‬ ْ ‫ُادْخل‬:‫ُفَيَق ْول‬:َ‫ُقَال‬.‫َاُوأُ َّم َهاتنَـا‬
َ ‫واُال َجنَّةَُأ َ ْنت ْم‬ َ ‫ُآبَاؤن‬،‫ب‬ ْ ‫ُادْخل‬، َ‫أ َ َراه ْمُمحْ بَ ْن ِّطئِّيْن‬.
َ َ‫ُي‬: َ‫ُفَيَق ْول ْون‬:َ‫ُقَال‬،َ‫واُال َجنَّة‬
ِّ ‫ـاُر‬

“Di perintahkan kepada anak-anak di Surga: ‘Masuklah ke dalam Surga.’ Mereka


menjawab: ‘Wahai Rabb-ku, (kami tidak masuk) hingga bapak dan ibu kami masuk
(terlebih dahulu).’ Ketika mereka (bapak dan ibu) datang, maka Allah Azza wa Jalla
berfirman kepada mereka: ‘Aku tidak melihat mereka terhalang. Masuklah kalian ke
dalam Surga.’ Mereka mengatakan: ‘Wahai Rabb-ku, bapak dan ibu kami?’ Allah
berfirman: ‘Masuklah ke dalam Surga bersama orang tua kalian.'”[15]

Sebagian manusia memutuskan untuk beribadah dan menjadi “pendeta” serta tidak
menikah, dengan alasan bahwa semua ini adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada
Allah. Kita sebutkan kepada mereka dua hadits berikut ini, agar mereka mengetahui
ajaran-ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keharusan mengikuti Sunnahnya
pada apa yang disabdakannya. Inilah point yang kesembilan:

9. Tidak menikah karena memanfaatkan seluruh waktunya untuk beribadah adalah


menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wahai saudaraku yang budiman. Engkau memutuskan untuk tidak menikah agar dapat
mempergunakan seluruh waktumu untuk beribadah adalah menyelisihi Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, agama kita bukan agama “kependetaan” dan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasi-kan hal itu kepada kita.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu,
ia menuturkan: Ada tiga orang yang datang ke rumah isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika
mereka diberi kabar, mereka seakan-akan merasa tidak berarti. Mereka mengatakan:
“Apa artinya kita dibandingkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah telah
mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan terkemudian?” Salah seorang dari
mereka berkata: “Aku akan shalat malam selamanya.” Orang kedua mengatakan: “Aku
akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan pernah berbuka.” Orang ketiga
mengatakan: “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang lalu bertanya: “Apakah kalian
yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sesungguhnya aku lebih takut
kepada Allah dan lebih bertakwa daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka,
shalat dan tidur, serta menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci Sunnah-ku, maka
ia bukan termasuk golonganku.'”[16]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui Salman Radhiyallahu anhu atas apa yang
dikatakannya kepada saudaranya, Abud Darda’ Radhiyallahu anhu yang telah beristeri,
agar tidak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menjauhi isterinya, yaitu
Ummud Darda’ Radhiyallahu anha. Dia menceritakan kepada kita peristiwa yang telah
terjadi.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Wahb bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan:


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salman dan Abud Darda’.
Ketika Salman mengunjungi Abud Darda’, dia melihat Ummud Darda’ mubtadzilah
(memakai baju apa adanya dan tidak memakai pakaian yang bagus).[17] Dia bertanya:
“Bagaimana keadaanmu?” Ia menjawab: “Saudaramu, Abud Darda’, tidak
membutuhkan dunia ini, (yakni wanita. Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah terdapat
tambahan: ‘Ia berpuasa di siang hari dan shalat di malam hari’).”

Kemudian Abud Darda’ datang lalu Salman dibuatkan ma-kanan. “Makanlah, karena
aku sedang berpuasa,” kata Abud Darda’. Ia menjawab: “Aku tidak akan makan hingga
engkau makan.” Abud Darda’ pun makan. Ketika malam datang, Abud Darda’ pergi
untuk mengerjakan shalat.

Salman berkata kepadanya: “Tidurlah!” Ia pun tidur. Kemudian ia pergi untuk shalat,
maka Salman berkata kepadanya: “Tidurlah!” Ketika pada akhir malam, Salman
berkata: “Bangunlah sekarang.” Lantas keduanya melakukan shalat bersama.

Kemudian Salman berkata kepadanya: “Rabb-mu mempunyai hak atasmu, dirimu


mempunyai hak atasmu, dan keluargamu mempunyai hak atasmu. Oleh karenanya,
berikanlah haknya kepada masing-masing pemiliknya.”
Kemudian Abud Darda’ datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menceritakan hal itu kepada beliau, maka beliau menjawab: “Salman benar.”[18]

Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, ia
menuturkan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai ‘Abdullah, aku
diberi kabar, bukankah engkau selalu berpuasa di siang hari dan shalat pada malam
hari?” Aku menjawab: “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Jangan engkau
lakukan! Berpuasa dan berbukalah, bangun dan tidurlah. Sebab jasadmu mempunyai
hak atasmu, matamu mempunyai hak atasmu, dan isterimu mempunyai hak
atasmu.'”[19]

10. Berikut ini sebagian ucapan para Sahabat dan Tabi’in yang menganjurkan untuk
menikah.
a. Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Ibnu ‘Abbas bertanya kepadaku:
“Apakah engkau sudah menikah?” Aku menjawab: “Belum.” Dia mengatakan:
“Menikahlah, karena sebaik-baik umat ini adalah yang paling banyak isterinya.”[20]

b. ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: “Seandainya aku tahu bahwa ajalku tinggal 10 hari
lagi, niscaya aku ingin pada malam-malam yang tersisa tersebut seorang isteri tidak
berpisah dariku.”[21]

c. Imam Ahmad ditanya: “Apakah seseorang diberi pahala bila mendatangi isterinya,
sedangkan dia tidak memiliki syahwat?” Ia menjawab: “Ya, demi Allah, karena ia
menginginkan anak. Jika tidak menginginkan anak, maka ia mengatakan: ‘Ini adalah
wanita muda.’ Jadi, mengapa ia tidak diberi pahala?”[22]

d. Maisarah berkata, Thawus berkata kepadaku: “Engkau benar-benar menikah atau


aku mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan ‘Umar kepada Abu Zawa-id:
‘Tidak ada yang menghalangimu untuk menikah kecuali kelemahan atau banyak
dosa.'”[23]

e. Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata: “Bujangan itu seperti pohon di tanah
gersang yang diombang-ambingkan angin, demikian dan demikian.”[24]
Sungguh indah ucapan seorang penya’ir:

Renungkan ucapan orang yang mempunyai nasihat dan kasih sayang


Bersegeralah menikah, maka engkau akan mendapatkan kebanggaanmu
Ambillah dari tumbuhan yang merdeka lagi murni
Dan makmurkan rumahmu dengan takwa dan kebajikan
Jangan terpedaya dengan kecantikan, karena ia menumbuhkan
tumbuhan terburuk yang menampakkan kebinasaanmu
Takwa kepada Allah adalah sebaik-baik bekal
Maka makmurkanlah malam dan siangmu dengan berdzikir
11. Menikah dapat membantu menahan pandangan dan meng-alihkan (mengarahkan)
hati untuk mentaati Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -semoga Allah mensucikan ruhnya- ditanya tentang
orang yang terkena panah dari panah-panah iblis yang beracun, beliau menjawab:
“Siapa yang terkena luka beracun, maka untuk mengeluarkan racun dan
menyembuhkan lukanya ialah dengan obat penawar racun dan salep. Dan, itu dengan
beberapa perkara:

Pertama, menikah atau mengambil gundik (hamba sahaya yang menjadi miliknya).
Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ُفَإِّنَّ َماُ َمعَ َهاُ َماُ َمعَ َها‬،‫ظ َرُأ َ َحدك ْمُإِّلَىُ َم َحا ِّس ِّنُا ْم َرأَةُفَ ْليَأْتُِّأ َ ْهلَه‬
َُ َ‫إِّذَاُن‬.

‘Jika salah seorang dari kalian melihat kecantikan wanita,


maka hendaklah ia mendatangi (menggauli) isterinya. Sebab, apa yang dimilikinya
sama dengan yang dimiliki isterinya.’”[25]

Inilah yang dapat mengurangi syahwat dan melemahkan cinta yang menggelora.
Kedua, senantiasa menunaikan shalat lima waktu, berdo’a, dan bertadharru’ di malam
hari. Shalatnya dilakukan dengan konsentrasi dan khusyu’, dan memperbanyak berdo’a
dengan ucapannya:

َُ‫ُرس ْو ِّلك‬ َُ ‫ُو‬


َ ‫طا َع ِّة‬ َ ُ‫فُقَ ْل ِّب ْيُ ِّإلَى‬
َ َ‫طا َعتِّك‬ ْ ‫ص ِّر‬
َ ُ‫ب‬ ْ ‫ف‬
ِّ ‫ُالقل ْو‬ َ ‫تُقَ ْل ِّب ْيُ َعلَـىُ ِّد ْينِّكَ !ُ َيـاُم‬
َ ‫ص ِّر‬ ْ ‫بُث َ ِّب‬ ْ ‫ب‬
ِّ ‫ُالقل ْو‬ َ ‫ َيـاُمقَ ِّل‬.

‘Wahai Rabb Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu.


Wahai Rabb Yang memalingkan hati, palingkanlah hatiku untuk mentaati-Mu dan
mentaati Rasul-Mu.’

Sebab, selama dia terus berdo’a dan bertadharru’ kepada Allah, maka Dia
memalingkan hatinya dari keburukan, sebagaimana firman-Nya:

ْ ‫ُم ْنُ ِّعبَا ِّدن‬


ِّ َ‫َاُالم ْخل‬
َُ‫صين‬ ِّ ‫ُو ُْالفَ ْحشَا َءُُۚإِّنَّه‬
َ ‫فُ َع ْنهُالسو َء‬ ْ َ‫َك ٰذَلِّكَ ُ ِّلن‬
َ ‫ص ِّر‬

‘… Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemunkaran dan kekejian.


Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba -hamba kami yang terpilih.’ [Yusuf/12: 24]

Ketiga, jauh dari kediaman orang ini dan berkumpul dengan orang yang biasa
berkumpul dengannya; di mana dia tidak mendengar beritanya dan tidak melihat
dengan matanya; karena berjauhan itu dapat membuat lupa. Selama sesuatu itu jarang
diingat, maka pengaruhnya menjadi lemah dalam hati.

Oleh karenanya, hendalah dia melakukan perkara-perkara ini dan memperhatikan


perkara yang dapat memperbaharui keadaannya. Wallaahu a’lam.”[26]
Syaikhul Islam ditanya tentang seseorang yang membujang sedangkan dirinya ingin
menikah, namun dia khawatir terbebani oleh wanita apa yang tidak disanggupinya.
Padahal ia berjanji kepada Allah untuk tidak meminta sesuatu pun kepada seseorang
untuk kebutuhan dirinya, dan ia banyak mengamati perkawinan; apakah dia berdosa
karena tidak menikah ataukah tidak?
Beliau menjawab: Termaktub dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, bahwa beliau bersabda:

ُ‫ُفَإِّنَّهُلَه‬،‫ص ْو ِّم‬
َُّ ‫ُو َم ْنُلَ ْمُيَ ْست َِّط ْعُفَعَلَ ْي ِّهُبِّال‬. ْ َُ‫صنُ ِّل ْلف‬
َ ِّ‫ـرج‬ َ ْ‫ُوأَح‬، َ َ‫ُفَإِّنَّهُأَغَضُ ِّل ْلب‬،‫ُالبَا َءة َُفَ ْليَت َزَ َّو ْج‬
َ ‫ص ِّـر‬ ْ ‫ُم ْنكم‬
ِّ ‫ع‬ َ َ ‫ُ َم ِّنُا ْست‬،‫ب‬
َ ‫طا‬ َّ ‫يَاُ َم ْعش ََرُال‬
ِّ ‫شبَا‬
‫ ِّو َجا ٌُء‬.

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka
menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara
kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; sebab
puasa dapat menekan syahwatnya.”[27]

Kemampuan untuk menikah ialah kesanggupan untuk memberi nafkah, bukan


kemampuan untuk berhubungan badan.

Hadits ini hanyalah perintah yang ditujukan kepada orang yang mampu melakukan
hubungan badan. Karena itu beliau memerintahkan siapa yang tidak mampu untuk
menikah agar berpuasa; sebab puasa dapat mengekang syahwatnya.

Bagi siapa yang tidak mempunyai harta; apakah dianjurkan untuk meminjam lalu
menikah? Mengenai hal ini diperselisihkan dalam madzhab Imam Ahmad dan
selainnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ْ َ‫ُم ْنُف‬
ُ‫ض ِّل ِّه‬ ِّ ‫ُّللا‬ ِّ ‫َو ْليَ ْست َ ْع ِّف‬
َ َ‫فُالَّذِّين‬
َّ ‫َُلُيَ ِّجدونَ ُنِّكَاحاُ َحتَّ ٰىُي ْغنِّ َيهم‬

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya…” [An-Nuur/24: 33].

Adapun ‘laki-laki yang shalih’ adalah orang yang melakukan kewajibannya, baik hak-
hak Allah maupun hak-hak para hamba-Nya.[28]

Read more https://almanhaj.or.id/3565-anjuran-untuk-menikah.html

Anda mungkin juga menyukai