budi399.wordpress.com/2010/02/10/kuliah-hukum-kesehatan
Pertemuan I
23-03-2009
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang unjuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan.
Kesehatan matra adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang
berubah secara bermakna baik lingkungan darat, udara, angkasa, maupun air.
Perbedaan hukum kesehatan (Health Law) dan hukum kedokteran (medical law): hanya
terletak pada ruang lingkupnya saja
Ruang lingkup hukum kesehatan meliputi semua aspek yang berkaitan dengan
1/35
kesehatan (yaitu kesehatan badaniah, rohaniah dan sosial secara keseluruhan)
Ruang lingkup hukum kedokteran hanya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan
profesi kedokteran. Oleh karena masalah kedokteran juga termasuk di dalam ruang
lingkup kesehatan, maka sebenarnya hukum kedokteran adalah bagian dari hukum
kesehatan.
Pasal 1 butir (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentgang kesehatan menyatakan
yang disebut sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Menurut Leenen, masalah kesehatan dikelompokkan dalam 15 kelompok: (Pasal 11 UUK)
1. kesehatan keluarga
2. perbaikan gizi
2/35
3. pengemanan makanan dan minuman
4. kesehatan lingkungan
5. kesehatan kerja
6. kesehatan jiwa
7. pemberantasan penyakit
8. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
9. penyuluhan kesehatan
10. pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
11. pengamanan zat adiktif
12. kesehatan sekolah
13. kesehatan olah raga
14. pengobatan tradisional
15. kesehatan matra
hukum kesehatan di Indonesia belum seluruhnya memenuhi runag lingkup yang ideal,
sehingga yang diperlukan adalah:
1. melakukan inventarisasi dan analisis terhadap perundang-undangan yang sudah ada
untuk dikaji sudah cukup atau belum.
2. perlu dilakukan penyuluhan tidak hanya terbatas kepada tenaga kesehatan saja tetapi
juga kalangan penagak hukum dan masyarakat
3. perlu dilakukan identifikasi yang tepat bagi pengaturan masalah-masalah kesehatan
guna pembentukan perundang-undangan yang benar.
Hukum Kesehatan tidak hanya bersumber pada hukum tertulis saja tetapi juga
yurisprudensi, traktat, Konvensi, doktrin, konsensus dan pendapat para ahli hukum
maupun kedokteran.
Hukum tertulis, traktat, Konvensi atau yurisprudensi, mempunyai kekuatan mengikat
(the binding authority), tetapi doktrin, konsensus atau pendapat para ahli tidak
mempunyai kekuatan mengikat, tetapi dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam
melaksanakan kewenangannya, yaitu menemukan hukum baru.
SUMBER-SUMBER HUKUM
Zevenbergen mengartikan sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; sumber
yang menimbulkan hukum. Sedangkan Achmad Ali, sumber hukum adalah tempat di
mana kita dapat menemukan hukum.
Sumber hukum dapat dibedakan ke dalam :
a. Sumber hukum materiil, adalah faktor-faktor yang turut menentukan isi hukum.
Misalnya, hubungan sosial/kemasyarakatan, kondisi atau struktur ekonomi, hubungan
kekuatan politik, pandangan keagamaan, kesusilaan dsb.
b. Sumber hukum formal, merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan
memperoleh kekuatan hukum; melihat sumber hukum dari segi bentuknya.
3/35
Yang termasuk sumber hukum formal, adalah :
1. Undang-undang (UU);
2. Kebiasaan;
3. Yurisprudensi;
4. Traktat (Perjanjian antar negara);
5. Perjanjian;
6. Doktrin.
ad.1. Undang-undang.
Undang-undang ialah peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara
yang berwenang, dan mengikat masyarakat. UU di sini identik dengan hukum tertulis (Ius
scripta) sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis. (Ius non scripta). Istilah tertulis
tidak bisa diaertikan secara harafiah, tetapi dirumuskan secara tertulis oleh pembentuk
hukum khusus (speciali rechtsvormende organen).
UU dapat dibedakan dalam arti :
– UU dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara
terjadinya, sehingga disebut UU. Jadi merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh
sebutan UU karena cara pembentukannya. Di Indonesia UU dalam arti formal dibentuk
oleh Presiden dengan persetujuan DPR (pasal 5 ayat 1 UUD’45).
– UU dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari
isinya dinamai UU dan mengikat semua orang secara umum.
ad.2. Kebiasaan (custom).
Kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang dilakukan berulang-
ulang. Kebiasaan ini kemudian mempunyai kekuatan normatif, kekuatan mengikat.
Kebiasaan biasa disebut dengan istilah adat, yang berasal dari bahasa Arab yang
maksudnya kebiasaan. Adat istiadat merupakan kaidah sosial yang sudah sejak lama ada
dan merupakan tradisi yang mengatur tata kehidupan masyarakat tertentu. Dari adat
kebiasaan itu dapat menimbulkan adanya hukum adat.
Prof.Dr. Sunaryati Hartono, SH, tidak sependapat bahwa hukum kebiasaan itu
disamakan dengan hukum adat, dengan mengatakan :
“Apakah sudah benar dan tepat pemahaman sementara sarjana hukum kita sekarang ini
untuk menyamakan saja, Hukum Kebiasaan dengan hukum Adat ? Karena di negara kita
sudah berkembang hukum kebiasaan dalam arti yang lebih luas, seperti hukum
kebiasaan yang dikembangkan di kalangan eksekutif (Administrasi Negara), di
Pengadilan, hukum kebiasaan dikalangan profesi hukum (notaris dan pengacara),
khususnya dalam bidang hukum kontrak, hukum dagang (hukum bisnis) dan hukum
ekonomi pada umumnya”.
Prof. Ronny Hanitijo Soemitro, SH dan Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, SH, memberikan 3
unsur agar kebiasaan dapat diterima dalam masyarakat, yaitu :
a. Syarat kelayakan, pantas atau masuk akal. Kebiasaan yang yang tidak memenuhi
syarat harus ditinggalkan. Ini berarti bahwa otoritas kebiasaan adalah tidak mutlak tetapi
kondisional, tergantung dari kesesuaiannya pada ukuran keadilan dan kemanfaatan
umum;
b. Pengakuan akan kebenarannya. Ini berarti bahwa kebiasaan itu hendaknya diikuti
secara terbuka dalam masyarakat, tanpa mendasarkan pada bantuan kekuatan di
4/35
belakangnya dan tanpa persetujuan dari dikehendaki oleh mereka yang kepentingannya
dikenal oleh praktek dari kebiasaan tersebut. Persyaratan ini tercermin dalam bentuk
norma yang oleh pemakainya harus tidak dengan kekuatan, tidak secara diam-diam, juga
tidak karena dikehendaki.
c. Mempunyai latar belakang sejarah yang tidak dapat dikenali lagi mulainya. Kebiasaan
adalah bukan praktek yang baru tumbuh kemarin dulu atau beberapa tahun yang lalu,
tetapi telah menjadi mapan karena dibentuk oleh waktu yang panjang.
Ad.3. Yurisprudensi.
Adalah keputusan hakim/ pengadilan terhadap persoalan tertentu, yang menjadi dasar
bagi hakim-hakim yang lain dalam memutuskan perkara, sehingga keputusan hakim itu
menjadi keputusan hakim yang tetap.
Ad.4. Perjanjian.
Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum karena perjanjian yang telah dibuat
oleh kedua belah pihak (para pihak) mengikat para pihak itu sebagai undang-undang. Hal
ini diatur dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.
Ada 3 asas yang berlaku dalam perjanjian, yaitu :
1. Asas konsensualisme (kesepakatan), yaitu perjanjian itu telah terjadi (sah dan
mengikat) apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak yang mengadakan
perjanjian.
2. Asas kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian,
bebas menentukan bentuk perjanjian, bebas menentukan isi perjanjian dan dengan
siapa (subyek hukum) mana ia mengadakan perjanjian, asal tidak bertentangan dengan
kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang.
3. Asas Pacta Sunt Servanda, adalah perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak (telah
disepakati) berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Ad.5. Traktat (Perjanjian Antarnegara)
Dalam pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR
menyatakan perang, membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan negara
lain. Perjanjian antaranegara yang sudah disahkan berlaku dan mengikat negara peserta,
termasuk warga negaranya masing-masing.
Untuk itu suatu traktat untuk bias menjadi sumber hukum (formal) harus disetujui oleh
DPR terlebih dahulu, kemudian baru di RATIFIKASI oleh Presiden dan setelah itu baru
berlaku mengikat terhadap negara peserta dan warganegaranya.
Traktat yang memerlukan persetujuan DPR adalah traktat yang mengandung materi :
1. Soal-soal Politik atau dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri, seperti
perjanjian tentang perubahan wilayah.
2. Soal-soal perjanjian kerjasama ekonomi seperti hutang luar negeri.
3. Soal-soal yang menurut system perundang-undangan Ri harus diatur dengan Undang-
undang, seperti Kewarganegaraan.
Ad.6. Doktrin.
Adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya bagi
pengadilan (hakim) dalam mengambil keputusannya. Doktrin untuk dapat menjadi salah
satu sumber hukum (formal) harus telah menjelma menjadi keputusan hakim.
5/35
SEJARAH HUKUM KESEHATAN
1. pada awalnya masyarakat menganggap penyakit sebagai misteri, sehingga tidak ada
seorangpun yang dapat menjelaskan secara benar tentang mengapa suatu penyakit
menyerang seseorang dan tidak menyerang lainnya.
2. pemahaman yang berkembang selalu dikaitkan dengan kekuatan yang bersifat
supranatural.
3. penyakit dianggap sebagai hukuman Tuhan atas orang-orang yang yang melanggar
hukumNya atau disebabkan oleh perbuatan roh-roh jahat yang berperang melawan
dewa pelindung manusia.
4. pengobatannya hanya bisa dilakukan oleh para pendeta atau pemuka agama melalui
do’a atau upacara pengorbanan
5. pada masa itu profesi kedokteran menjadi monopoli kaum pendeta, oleh karena itu
mereka merupakan kelompok yang tertutup, yang mengajarkan ilmu kesehatan hanya di
kalangan mereka sendiri serta merekrtu muridnya dari kalangan atas.
6. memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang, karena dipercayai sebagai
wakil Tuhan untuk membuat undang-undang di muka bumi.
7. undang-undang yang mereka buat memberi ancaman hukuman yang berat, misalnya
hukuman potong tangan bagi seseorang yang melakukan pekerjaan dokter dengan
menggunakan metode yang menyimpang dari buku yang ditulis sebelumnya, sehingga
orang enggan memasuki profesi ini.
8. Mesir pada tahun 2000 SM tidak hanya maju di bidang kedokteran tetapi juga memiliki
hukum kesehatan.
9. konsep pelayanan kesehatan sudah mulai dikembangkan dimana penderita/psien
tidak ditarik biaya oleh petugas kesehatan yang dibiayai oleh masyarakat.
10. peraturan ketat diberlakukan bagi pengobatan yang bersifat eksperimen
11. tidak ada hukuman bagi dokter atas kegagalannya selama buku standar diikuti.
12. profesi kedokteran masih di dominasi kaum kasta pendeta dan bau mistik tetap saja
mewarnai kedokteran
13. sebenarnya ilmu kedokteran sudah maju di Babylonia (Raja Hammurabi 2200 SM)
dimana praktek pembedahan sudah mulai dikembangkan oleh para dokter, dan sudah
diatur tentang sistem imbalan jasa dokter, status pasien, besar bayarannya. (dari sini lah
Hukum Kesehatan berasal, bukan dari Mesir)
14. dalam Kode Hammurabi diatur ketentuan tentang kelalaian dokter beserta daftar
hukumannya, mulai dari hukuman denda sampai hukuman yang mengerikan. Dan pula
ketentuan yang mengharuskan dokter mengganti budak yang mati akibat kelalian dokter
ketika menangani budak tersebut.
15. salah satu filosof yunani HIPPOCRATES (bapak ilmu kedokteran modern) telah
berhasil menyusun landasan bagi sumpah dokter serta etika kedokteran, yaitu:
a. adanya pemikiran untuk melindungi masyarakat dari penipuan dan praktek
kedokteran yang bersifat coba-coba
b. adanya keharusan dokter untuk berusaha semaksimal mungkin bagi kesembuhan
pasien serta adanya larangan untuk melakukan hal-hal yang dapat merugikannya.
c. Adanya penghormatan terhadap makhluk insani melalui pelarangan terhadap
euthanasia dan aborsi
6/35
d. Menekankan hubungan terapetik sebagai hubungan di mana dokter dilarang
mengambil keuntungan
e. Adanya keharusan memegang teguh rahasia kedokteran bagi setiap dokter.
16. abad 20 an telah terjadi perubahan sosial yang sangat besar, pintu pendidikan bagi
profesi kedokteran telah terbuka lebar dan dibuka di mana-mana, kemajuan di bidang
kedokteran menjadi sangat pesat, sehingga perlu dibatasi dan dikendalikan oleh
perangkat hukum untuk mengontrol profesi kedokteran.
Hukum dan etika berfungsi sebagai alat untuk menilai perilaku manusia, obyek hukum
lebih menitik beratkan pada perbuatan lahir, sedang etika batin, tujuan hukum adalah
untuk kedamaian lahiriah, etika untuk kesempurnaan manusia, sanksi hukum bersifat
memaksa, etika berupa pengucilan dari masyarakat.
Pertemuan II
29-03-2007
7/35
– bersifat memaksa (harus ditaati).
c. Sifat Hukum
– mengatur dan memaksa
Peran hukum
– sebagai “as a tool of social control” dalam arti berperan sebagai alat untuk
mempertahankan stabilitas masyarakat, atau berperan untuk mempertahankan apa
yang tetap dan diterima di dalam masyarakat.
– berperan sebagai “as a tool of social engineering” (sebagai alat untuk merubah
masyarakat), disini hukum berperan untuk mengadakan perubahan di dalam
masyarakat. Prof. Mochtar Kusuma Atmadja, SH, menyatakan “sebagai sarana
pembaharuan masyarakat, hukum bertugas sebagai penyalur kegiatan manusia ke arah
yang dikehendaki oleh pembangunan”.
Tujuan hukum
– Kepastian Hukum
– Keadilan.
8/35
berlaku setelah 30 hari sesudah diundangkan dalam Lembaran Negara, sedangkan
untuk daerah lainnya baru berlaku sesudah 100 hari setelah pengundangan dalam L.N.
Setelah persyaratan itu dipenuhi, maka berlakulah suatu fictie dalam hukum : “Setiap
orang dianggap telah mengetahui adanya sesuatu UU”. Hal itu berarti bahwa jika ada
seorang yang melanggar UU tersebut, ia tidak diperkenankan membela atau
membebaskan diri dengan alasan bahwa :”seseorang itu tidak tahu menahu adanya UU
itu”.
Berakhirnya suatu uu
a. jangka waktu berlakunya sudah lampau
b. keadaan atau hal berlakunya uu itu sudah tidak ada lagi
c. uu itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat
d. telah ada uu yang baru yang sisinya bertentangan dengan yang dulu berlaku.
Lembaran Negara: suatu Lembaran (kertas) tempat mengundangkan (mengumumkan)
semua peraturan negara dan pemerintah agar sah berlaku.
Tambahan Lembaran Negara: Penjelasan daripada suatu uu
2. Kaidah kesopanan
Peraturan hidup yang timbul dari pergaulan sekelompok manusia. Peraturan itu diikuti
dan ditaati sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku manusia terhadap manusia
yang ada disekitarnya. Norma kesopanan dapat dibentuk oleh masyarakat, artinya
masyarakat berdasarkan kesadaran dan kemauannya dapat menentukan apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan seseorang dalam masyarakat. Misalnya:
– Orang muda harus menghormati orang yang lebih tua.
– Murid harus menghargai dan mengormati gurunya.
– Berilah tempat kepada terlebih dahulu kepada wanita di bis, dll. (terutama wanita
hamil, tua, membawa bayi).
Norma kesopanan tidak mempunyai lingkungan pengaruh yang luas dibanding dengan
norma kesusilaan dan agama. Artinya hanya berlaku bagi bagi masyarakat tertentu saja
dan bersifat khusus.
9/35
3. Kaidah kesusilaan
Peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati sanubari manusia. Oleh karena itu
agar manusia menjadi makhluk sempurna, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan
adalah mematuhi dan mentaati peraturan yang bersumber dari hati sanubari.
Hendaklah berlaku jujur
Hendaklah engkau berbuat baik sesamamu manusia
Jangan berbuat jahat.
4. Norma/Kaidah hukum:
Peraturan yang dibuat secara resmi oleh negara yang mengikat setiap orang dan
berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara. misalnya: Pasal 362 KUHP,
barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian kepunyaan
orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Hukum Perdata, Pasal 1471 KUH Perdata “jual beli barang orang lain adalah batal”.
Maksudnya apabila terjadi perselisihan mengenai jual beli tersebut sebagaimana
dimaksud uu, maka negara dapat memaksakan pembatalan tsb agar pihak yang
berselisih bersedia mematuhi (mentaati).
Kesimpulannya:
1. kaidah agama, kesusilaan dan kesopanan bertujuan untuk membina ketertiban di
dalam kehidupan manusia, tetapi ketiga norma tsb belum cukup memberi jaminan
untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat.
2. ketiga norma tersebut tidak mempunyai sanksi yang tegas.
– Pelanggaran norma agama diancam dengan hukuman dari Tuhan, tapi berlakunya
diakhirat.
– Pelanggaran norma kesopanan mengakibatkan celaan atau pengasingan dari
lingkungan masyarakat.
– Pelanggaran norma kesusilaan mengakibatkan perasaan cemas dan kesal kepada si
pelanggar.
3. si pelanggar tidak terikat kepada jenis peraturan hidup ketiga norma tsb, mereka
bebas untuk berbuat sesukanya. Sikap demikian akan membahayakan masyarakat, oleh
karena itu diperlukan norma lain (hukum) yang mempunyai sifat memaksa dan sanksi
yang tegas.
PERTEMUAN III
TANGGAL 5 APRIL 2007
UPAYA KESEHATAN
Upaya kesehatan guna mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat
meliputi:
1. upaya peningkatan kesehatan (promotif)
2. upaya pencegahan penyakit ( preventif)
3. upaya penyembuhan penyakit (kuratif)
4. upaya pemulihan kesehatan (rehabilitatif)
keempat upaya tersebut dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan.
11/35
HAL-HAL PENTING DARI UUK
1. adanya payung bagi tindakan aborsi atas indikasi medik
sebagaimana diketahui bahwa tindakan medik dalam bentuk pengguguran kandungan
dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma agama, kesusilaan,
dan hukum. Namun dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa ibu dapat
dilakukan aborsi.
Aborsi atas indikasi medik tersebut dapat dilakukan dengan syarat:
a. adanya kondisi yang menyebabkan wanita hamil berada dalam keadaan bahaya maut
jika tidak dilakukan aborsi.
b. Sebelumnya harus meminta pertimbangan lebih dahulu dari tim ahli yang terdiri atas
ahli medik, agama, hukum, dan psikologi.
c. Harus ada informed consent dari wanita yang bersangkutan. Jika wanita ybs dalam
keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya, maka informed
consent dapat diminta dari suami atau keluarganya.
d. Pelaksanaan aborsi harus dilakukan oleh dokter ahli kandungan dan kebidanan.
e. Tempat aborsi adalah di sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan fasilitas yang
memadai untuk kepentingan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah.
Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung
sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut rupanya hanya
terlihat superioritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu biomedis; hanya ada
kegiatan pihak dokter sedangkan pasien tetap pasif. Hubungan ini berat sebelah dan
13/35
tidak sempurna, karena merupakan suatu pelaksanaan wewenang oleh yang satu
terhadap lainnya. Oleh karena hubungan dokter-pasien merupakan hubungan antar
manusia, lebih dikehendaki hubungan yang mendekati persamaan hak antar manusia.
Jadi hubungan dokter yang semula bersifat paternalistik akan bergeser menjadi
hubungan yang dilaksanakan dengan saling mengisi dan saling ketergantungan antara
kedua belah pihak yang di tandai dengan suatu kegiatan aktif yang saling
mempengaruhi. Dokter dan pasien akan berhubungan lebih sempurna sebagai ‘partner’.
Sebenamya pola dasar hubungan dokter dan pasien, terutama berdasarkan keadaan
sosial budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan dalam tiga pola hubungan, yaitu:
1. Activity – passivity.
Pola hubungan orangtua-anak seperti ini merupakan pola klasik sejak profesi
kedokteran mulai mengenal kode etik, abad ke 5 S.M. Di sini dokter seolah-olah dapat
sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien.
Biasanya hubungan ini berlaku pada pasien yang keselamatan jiwanya terancam, atau
sedang tidak sadar, atau menderita gangguan mental berat.
2. Guidance – Cooperation.
Hubungan membimbing-kerjasama, seperti hainya orangtua dengan remaja. Pola ini
ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat misalnya penyakit infeksi baru atau
penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien tetap sadar dan memiliki perasaan serta
kemauan sendiri. la berusaha mencari pertolongan pengobatan dan bersedia
bekerjasama. Walau pun dokter rnengetahui lebih banyak, ia tidak semata-rna ta
menjalankan kekuasaan, namun meng harapkan kerjasama pasien yang diwujudkan
dengan menuruti nasihat atau anjuran dokter.
3. Mutual participation.
Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap manusia memiliki martabat dan
hak yang sarna. Pola ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatannya
seperti medical check up atau pada pasien penyakit kronis. Pasien secara sadar dan aktif
berperan dalam pengobatan terhadap dirinya. Hal ini tidak dapat diterapkan pada
pasien dengan latar belakang pendidikan dan sosial yang rendah, juga pada anak atau
pasien dengan gangguan mental tertentu.
Hubungan dokter dan pasien, secara hukum umumnya terjadi melalui suatu perjanjian
atau kontrak. Di mulai dengan tanya jawab (anarnnesis) antara dokter dan pasien,
kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik, akhirnya dokter rnenegakkan suatu
diagnosis. Diagnosis ini dapat merupakan suatu ‘working diagnosis’ atau diagnosis
sementara, bisa juga merupakan diagnosis yang definitif. Setelah itu dokter biasanya
merencanakan suatu terapi dengan memberikan resep obat atau suntikan atau operasi
atau tindakan lain dan disertai nasihat-nasihat yang perlu diikuti agar kesembuhan lebih
segera dicapai oleh pasien. Dalam proses pelaksanaan hubungan dokter pasien
tersebut, sejak tanya jawab sampai dengan Perencanaan terapi, dokter melakukan
pencatatan dalam suatu Medical Records (Rekam Medis). Pembuatan rekam medis ini
merupakan kewajiban dokter sesuai dengan dipenuhinya standar profesi medis. Dalam
upaya menegakkan diagnosis atau melaksanakan terapi, dokter biasanya melakukan
14/35
suatu tindakan medik. Tindakan medik tersebut ada kalanya atau sering dirasa
menyakitkan atau menimbulkan rasa tidak menyenangkan. Secara material, suatu
tindakan medis itu sifatnya tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
1. mempunyai indikasi medis, untuk mencapai suatu tujuan yang konkrit.
2. dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran.
kedua syarat ini dapat juga disebut seba bertindak secara lege artis.
3. harus sudah mendapat persetujuan dahulu dari pasien.
Secara yuridis sering dipermasalahkan apakah tindakan medis itu dapat dimasukkan
dalam pengertian penganiayaan. Akan tetapi dengan dipenuhinya ketiga syarat tersebut
di atas hal ini menjadi jelas. Sebenarnya kualifikasi yuridis mengenai tindakan medis
tidak hanya mempunyai arti bagi hukum pidana saja, melainkan juga bagi hukum
perdata dan hukum administratif.
Dalam hukum administratif, masalahnya berkenaan antara lain dengan kewenangan
yuridis untuk melaku tindakan medis. Dokter yang berpraktek harus mempunyai izin
praktek yang sah.
Ditinjau segi hukum perdata, tindakan medis merupakan pelaksanaan suatu perikatan
(perjanjian) antara dokter dan pasien. Apabila tidak terpenuhinya syarat suatu perikatan,
misalnya pada pasien tidak sadar maka keadaan ini bisa dikaitkan dengan K U H Perdata
pasal 1354 yaitu yang mengatur “zaakwaarneming’atau perwakilan sukarela, yaitu suatu
sikap tindak yang pada dasar nya merupakan pengambil-alihan peranan orang lain yang
sebenarnya bukan merupakan kewajiban si pengambil-alih itu, namun tetap melahirkan
tanggung jawab yang harus dipikul oleh si pengambil-alih tersebut atas segala sikap
tindak yang dilakukannya.
PERTEMUAN IV
TANGGAL 18 APRIL 2007
1. resultaatsverbintenis, yang berdasarkan hasil kerja, artinya suatu perjanjian yang akan
memberikan resultaat atau hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Perbedaan antara kedua jenis perjanjian terse¬but secara yuridis terletak pada beban
pembukti¬annya. Pada inspanningsverbintenis, penggugat yang harus mengajukan
bukti-bukti bahwa ter¬dapat kelalaian pada pihak dokter atau rumah sakit sebagai
15/35
tergugat. Sebaliknya pada resulta¬atverbintenis, beban pembuktian terletak pada
dokter.
Menurut Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji
kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal.
Untuk sahnya perjanjian terapetik, sebagaimana lazimnya ketentuan mengenai
perjanjian, maka harus dipenuhi syarat-syarat (unsur-unsur) yang ditentukan dalam
Pasal 1320 K U H Perdata, sebagai berikut:
Dari keempat syarat tersebut, syarat 1 dan 2 merupakan syarat subyektif yang harus
dipenuhi, yaitu para pihak harus sepakat, dan kesepakatan itu dilakukan oleh pihak-
pihak yang cakap untuk membuat suatu perjanjian (persyaratan dari subjek yang
me¬lakukan kontrak medis), sedangkan syarat 3 dan 4 adalah tentang objek kontrak
medis tersebut. Apabila dilihat terutama dari persyaratan subyektifnya, maka perjanjian
medis mempunyai keunik¬an tersendiri yang berbeda dengan perjanjian pada
umumnya.
Ad. 1. Kesepakatan
Dalam kesepakatan harus memenujhi kriteria Pasal 1321 KUH Perdata, “tiada sepakat
yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan
paksaan atau penipuan”. Jadi secara yuridis bahwa yang dimaksud dengan kesepakatan
adalah tidak adanya kekhilafan, paksaan, atau penipuan dari para pihak yang
mengikatkan dirinya. Sepakat ini merupakan persetujuan yang dilakukan oleh kedua
belah pihak, dimana kedua belah pihak mempunyai persesuaian kehendak yang dalam
transaksi terapetik pihak pasien setuju untuk diobati oleh dokter, dan dokter pun setuju
untuk mengobati pasiennya. Agar kesepakatan ini sah menurut hukum, maka di dalam
kesepakatan ini para pihak harus sadar (tidak ada kekhilafan) terhadap kesepakatan
yang dibuat, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak, dan tidak boleh ada
penipuan di dalamnya. Untuk itulah diperlukan adanya informed consent (persetujuan
tindakan medik)
Dalam perjanjian medis, tidak seperti halnya perjanjian biasa, terdapat hal-hal khusus. Di
sini pasien merupakan pihak yang meminta pertolongan sehingga relatif lemah
kedudukannya dibandingkan dokter. Oleh karena itu syarat ini menjelma dalam bentuk
“informed consent”, suatu hak pasien untuk mengizinkan dilakukannya suatu tindakan
medis. Secara yuridis “informed consent’ merupakan suatu kehendak sepi¬hak, yaitu
dari pihak pasien. Jadi karena surat persetujuan tersebut tidak bersifat sua¬tu
persetujuan yang murni, dokter tidak harus turut menandatanganinya. Di sam¬ping itu
pihak pasien dapat membatalkan pernyataan setujunya setiap saat sebelum tindakan
16/35
medis dilakukan. Padahal menurut K U H Perdata pasal 1320, suatu perjanjian hanya
dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak; pembatalan sepihak da¬pat
mengakibatkan timbulnya gugatan ganti kerugian.
Ad. 2. Kecakapan
Pasal 1329 KUH Perdata: setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-
perikatan, jika ia oleh uu tidak dinyatakan tak cakap.
Seseorang dikatakan cakap-hukum apabila ia pria atau wanita telah berumur minimal 21
tahun, atau bagi pria apabila belum berumur 21 tahun tetapi telah meni¬kah. Pasal 1330
K U H Perdata, menyata¬kan bahwa seseorang yang tidak cakap un¬tuk mernbuat
perjanjian adalah
a. orang yang belum dewasa; ( Pasal 330 K U H Perdata adalah belum ber¬umur 21
tahun dan belum menikah)
b. mereka yang ditaurh dibawah pengampuan (Berada dibawah pengampuan, yaitu
orang yang telah berusia 21 tahun tetapi dianggap tidak mampu karena ada gangguan
mental)
c. orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan (dalarn
hal ini masih berstatus istri) pada umumnya semua orang kepada siapa uu telah
melarang mern¬buat perjanjian-perjanjian tertentu.
Oleh karena perjanjian medis mem¬punyai sifat khusus maka tidak semua ke¬tentuan
hukum perdata di atas dapat dite¬rapkan. Peraturan Menteri Kesehatan RI. No.:
585/MEN-KES/PER/IX/1989 Pasal 8 ayat (2) yang dimaksud dewasa adalah telah berumur
21 tahun atau telah menikah. Jadi untuk orang yang belum berusia 21 tahun dan belum
menikah maka transaksi terapetik harus ditandatangani oleh ortu atau walinya yang
merupakan pihak yang berhak memberikan persetujuannya. Hal ini perlu
diper¬timbangkan dalam prakteknya. Dokter ti¬dak mungkin menolak mengobati pasien
yang belum berusia 21 tahun yang datang sendirian ke tempat prakteknya. Untuk
mengatasi hal tersebut ketentuan hukum adat yang rne¬nyatakan bahwa seseorang
dianggap de¬wasa bila ia telah ‘kuat gawe’ (bekerja), mungkin dapat dipergunakan.
(orang dewasa yang tidak cakap seperti orang gila, tidak sadar maka diperlukan
peresetujuan dari pengampunya) sedang anak dibwah umur dari wali/ortunya.
Pasal 108 K U H Perdata, menyebut¬kan bahwa seorang istri, memerlukan izin tertulis
dari suaminya untuk membuat suatu perjanjian. Akan tetapi surat edaran Mahkamah
Agung No 3/1963 tanggal 4 Agus¬tus 1963 menyatakan bahwa tidak adanya wewenang
seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di pengadilan
tanpa izin atau tanpa bantuan suaminya, tidak berlaku lagi. Jadi wanita yang berstatus
istri yang sah diberi kebebas¬an untuk membuat perjanjian.
Apabila objek perjanjian medis ditinjau dari sudut pandang ilmu kedokteran maka kita
dapat merincinya melalui upaya yang umum dilakukan dalam suatu pelayanan
kesehatan atau pelayanan medis. Tahapan pelayanan kesehatan bisa dimulai dari usaha
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Jadi variasi objek perjanjian medis dapat
merupakan
1. Medical check-up
Upaya ini bertujuan untuk mengetahui apakah seseorang berada dalam kondisi sehat
atau cenderung mengalami suatu kelainan dalam taraf dini. Hal ini berkaitan dengan
usaha promotif yang bertujuan memelihara atau meningkatkan kesehatan secara
umum.
2. Imunisasi
Tindakan ini ditujukan untuk mencegah terhadap suatu penyakit tertentu bagi seseorang
yang mempunyai risiko terkena. Misalnya anggota keluarga dari pasien yang menderita
Hepatitis B, dianjurkan se¬kali untuk mendapatkan vaksinasi Hepati¬tis B. Usaha
preventif ini bersifat spesifik untuk mencegah penularan penyakit Hepatitis B.
18/35
3. Keluarga Berencana
Pasangan suami istri yang ingin mencegah kelahiran atau ingin mempunyai keturunan,
secara umum mereka berada dalam keadaan sehat. Usaha ini bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kebaha¬giaan keluarga secara umum.
5. Meringankan penderitaan
Umumnya dokter memberikan obat-obat yang simptomatis sifatnya, hanya
menghilangkan gejala saja, karena penyebab Penyakitnya belum dapat diatasi. Misalnya
obat-obat penghilang rasa nyeri.
6 . Memperpanjang hidup
Seperti halnya ad.5. , di sini pun penyakit pasien belum dapat diatasi sepenuhnya
sehingga sewaktu-waktu perlu dilakukan tindakan medis tertentu. Misalnya pada pasien
gagal ginjal yang memerlukan ‘cuci darah’.
7. Rehabilitasi
Tindakan medis yang dilakukan untuk re¬habilitasi umumnya dilakukan terhadap pasien
yang cacat akibat kelainan bawaan atau penyakit yang di dapat seperti luka bakar atau
trauma. Ada pula mereka yang sebenamya sehat tetapi merasa kurang cantik sehingga
menginginkan dilakukan suatu bedah kosmetik. Tindakan ini yang kadang menimbulkan
masalah apabila ha¬rapan yang didambakan untuk memper¬oleh kecantikan yang
dijanjikan tidak ter¬penuhi.
Secara yuridis semua upaya tindakan medis tersebut di atas dapat menjadi objek hukum
yang sah. Akan tetapi bentuk perjanjian medisnya harus jelas apakah
inspanningsverbintenis atau suatu resultaatsverbintenis. Hal ini penting dalam kaitamya
dengan ‘beban pembuktian’ apabila ter¬jadi suatu gugatan hukum. Akan tetapi apabila
dokter bekerja sesuai dengan standar profesinya dan tidak ada unsur kelalaian serta
hubungan dok¬ter-pasien merupakan hubungan yang saling pe¬nuh pengertian,
umumnya tidak akan ada perma¬salahan yang menyangkut jalur hukum.
Dengan demikian maka Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata: semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai undang-undang. Oleh karena
itu jika perjanjian terapetik telah memenuhi pasal 1320 KUH Perdata, maka semua
kewajiban yang timbul mengikat baik dokter maupun pasien.
Pasal 1338 (2) perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua
belah pihak, atau karena alasan yang oleh uu dinyatakan cukup untuk itu.
PERTEMUAN V
TANGGAL 10 MEI 2007
19/35
Menurut Subekti suatu Perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji
kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. Untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalain
Pasal 1320 KUHPerdata yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1 . Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya (toestetning van
degenen die zich verbinden
2. Adanya keeakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene
verbintenis aan te gaan);
3. Mengenai sesuatu hal tertentu (een bepaald onderwerp);
4. Suatu sebab yang diperholehkan (eene geoorloofdeoorzaak).
Unsur pertama dan kedua disebut sebagai Syarat subjektif, karena kedua unsur ini
langsung menyangkut orang atau subjek yang rnembuat perjanjian. Apabila salah satu
dari Syarat subjektif ini tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut atas Permohonan pihak
yang bersangkutan dapat dibatalkan oleh hakim. Maksudnya perjanjian tersebut selama
belum dibatalkan tetap berlaku, jadi harus ada putusan hakim untuk membatalkan
pejanjian tersebut. Pembatalan mulai berlaku sejak putusan hakim memperoleh
kekuatan hukum yang tetap jadi perjanjian itu batal tidak sejak semula atau sejak
perjanjian itu dibuat.
Unsur ketiga dan keempat disebut unsur objektif, dikatakan demikian karena kedua
unsur ini menyangkut Objek yang diperanjikan. Jika salah satu dari unsur ini tidak
terpenuhi, perjanjian tersebut atas permohonan pihak yang bersangkutan atau secara ex
officio dalam putusan hakim dapat dinyatakan batal demi hukum oleh hakim. Oleh
karena perjanjian itu dinyatakan batal demi hukum, maka perjanjian tersebut dianggap
tidak pemah ada. Jadi pembatalannya adalah sejak semula (ex tunc), konsekuensi
hukumnya bagi para pihak, posisi kedua belah pihak dikembalikan pada posisi semula
sebelum perjanjian itu dibuat.
Pengertian kesalahan diartikan secara umum, yaitu perbuatan yang secara objektif tidak
patut dilakukan.
kesalahan dapat terjadi akibat:
1. kurangnya pengetahuan,
2. kurangnya pengalaman,
3. kurangnya pengertian, serta
4. mengabaikan suatu perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan.
Apabila hal itu dilakukan oleh dokter, baik dengan sengaja maupun karena kelalaiannya
dalam upaya memberikan perawatan atau pelayanan kesehatan kepada pasien, maka
pasien atau keluarganya dapat minta pertanggungjawaban (responsibility) pada dokter
yang bersangkutan. Bentuk pertanggungjawaban yang dimaksud di sini meliputi
pertanggungjawaban perdata, pertanggungjawaban pidana, dan pertanggungjawaban
hukum administrasi.
Dalam hukum perdata dikenal dua dasar hukum bagi tanggung gugat hukum (liability),
20/35
yaitu:
1. Tanggung gugat berdasarkan wanprestasi atau cedera janji atau ingkar janji
sebagaimana diatur dalarn Pasal 1239 KUHPerdata.
2. Tanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.
Jika seorang dokter melakukan penyimpangan terhadap standar pelaksanaan profesi ini,
secara bukum sang dokter dapat digugat melalui wanprestasi atau perbuatan melanggar
hukum.
Ajaran mengenai wanprestasi atau cederajanji dalam hukum perdata dikatakan, bahwa
seseorang dianggap melakukan wanprestasi apabila (Subekti, 1985 : 45):
1) tidak melakukan apa yang disepakati untuk dilakukan;
2) melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat;
3) melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan;
4) melakukan sesuatu yang menurut hakikat perjanjian tidak boleh dilakukan.
Dari keempat unsur tersebut yang paling erat kaitannya dengan kesalahan yang
dilakukan oleh dokter adalah unsur ketiga, sebab dalam perjanjian terapeutik yang harus
dipenuhi adalah upaya penyembuhan dengan kesungguhan. Dengan demikian apabila
pasien atau keluarganya mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi, pasien harus
membuktikan bahwa pelayanan kesehatan yang diterimanya tidak sesuai dengan
kesepakatan yang dituangkan dalam informed consent atau dokter menggunakan obat
secara keliru atau tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya.
Sedangkan untuk mengajukan gugatan terhadap rumah sakit, dokter, atau tenaga
kesehatan lainnya dengan alasan berdasarkan Perbuatan melanggar hukum harus
dipenuhi empat unsur berikut.
1. Adanya pemberian gaji atau honor tetap yang dibayar secara periodik kepada dokter
atau tenaga kesehatan yang bersangkutan.
2. Majikan atau dokter mempunyai wewenang untuk rnemberikan instruksi yang harus
ditaati oleh bawahannya.
3. Adanya wewenang untuk mengadakan pengawasan.
4. Ada kesalahan atau kelalaian yang diperbuat oleh dokter atau tenaga kesehatan
lainnya, di mana kesalahan atau kelalaian tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien.
Aspek negatif dari bentuk tanggung gugat dalam pelayanan kesehatan, adalah karena
pasien mengalami kesulitan membuktikannya. Pada umumnya pasien tidak bisa
membuktikan bahwa apa yang dideritanya, merupakan akibat dari kesalahan dan atau
keialaian dokter dalam perawatan atau dalam pelayanan kesehatan. Kesulitan dalam
Pembuktian ini karena pasien tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai terapi
dan diagnosa yang dialaminya atau yang dilakukan dokter kepadanya. Menyadari hal ini,
dengan maksud untuk melindungi kepentingan hukum pasien yang dirugikan akibat
Pelayanan kesehatan, beberapa sarjana mengusulkan diterapkannya pembuktian
terbalik bagi kepentingan pasien.
Dengan demikian, dalam kaitannya dengan gugatan atas kesalahan atau keialaian yang
21/35
dilakukan dokter, pasien harus mengajukan bukti-bukti untuk menguatkan dalil
gugatannya. Berdasarkan alat-alat bukti inilah hakim mempertimbangkan apakah
menerima atau menolak gugatan tersebut.
Hubungan antara dokter dengan pasien yang lahir dari transaksi terapeutik, selain
menyangkut aspek hukum perdata juga menyangkut aspek hukum pidana. Aspek pidana
baru timbul apabila dari pelayanan kesehatan yang dilakukan,,berakibat atau
menyebabkan pasien mati atau menderita eacat sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 359, 360, dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila hal ini
terjadi maka sanksinya bukan hanya suatu ganti rugi yang berupa materi, akan tetapi
juga dapat merupakan hukuman badan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP.
Kesalahan dokter dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar terjadi karena kelalaian,
sedangkan kesengajaan jarang terjadi. Sebab apabila seorang dokter sengaja melakukan
suatu kesalahan, hukuman yang akan diberikan kepadanya akan lebih berat. Dalam
hukum pidana, untuk membuktikan adanya kelalaian dalam pelayanan kesehatan harus
ada paling tidak empat unsur (Soekanto, 1987:157).
22/35
4. Timbul kerugian. Akibat dari perbuatan dalam hubungan dokter dengan pasien dapat
timbul kerugian, baik yang bersifat langsung aupun tidak langsung. Kerugian itu dapat
mengenai tubuh pasien sehingga menimbulkan rasa tidak enak.
Terhadap kesalahan dokter yang bersifat melanggar tata nilai surnpah atau kaidah etika
profesi, pemeriksaan dan tindakan, dilakukan oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia
(H)I), dan atau atasan langsung yang berwenang (yaitu pihak Departemen Kesehatan
Republik Indo¬nesia). Pemeriksaan dibantu oleh perangkat Majelis Kode Etik Kedokteran
(MKEK) atau Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK). Lembaga ini
merupakan badan non-struktural Departemen Kesehatan yang dibentuk dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 54/Menkes/Per/Xll/ 1 982.
Tugas lembaga ini memberi pertimbangan etik kedokteran kepada menteri kesehatan,
menyelesaikan persoalan etik kedokteran dengan memberi pertimbangan dan usul
kepada pejabat yang berwenang di bidang kesehatan. Dasar hukum yang digunakan
adalah hukum disiplin dan atau hukum administrasi sesuai dengan peraturan yang
terdapat dalam undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri kesehatan,
surat kepuu~ menteri kesehatan yang bersangkutan. Misalnya seorang dokter berbuat
yang dapat dikualifikasikan melanggar sumpah dokter. setelah diadakan pemeriksaan
dengan teliti dapat dijatuhi sanksi menurut Pasal 54 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Poernomo (1 984: 76); unsur melawan hukum
menjadi dasar bagi suatu tindak pidana, karena selain bertentangan dengan undang-
undang, termasuk pula perbuatan yang bertentangan dengan hak seseorang atau
kepatutan masyarakat.
Pengertian perbuatan melawan hukum seperti apa yang dikemu¬kakan oleh J.B. van
Bemmelen (1 987 : 149 – 150):
1 . Bertentangan dengan ketelitian yang pantas dalam pergaulan masyarakat mengenai
orang lain atau barang.
2. Bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh undang-¬undang.
3. Tanpa hak atau wewenang sendiri.
4. Bertentangan dengan hak orang lain.
5. Bertentangan dengan hukum objektif
Dalam hukum pidana terdapat dua ajaran mengenai sifat melawan hukum, yakni: ajaran
melawan hukum formal dan ajaran melawan hukun materiil. Menurut ajaran melawan
hukum formal, suatu perbuatan telah dapat dipidana apabila perbuatan itu telah
memenuhi semua unsur-unsur dari rumusan suatu tindak pidana (delik) atau telah
cocok dengan rumusan pasal yang bersangkutan.
Pada ajaran melawan hukum materiil untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap suatu
perbuatan tidak cukup hanya dengan melihat: apakah perbuatan itu telah memenuhi
rumusan pasal tertentu dalam KUHP, melainkan perbuatan itu juga harus dilihat secara
materiil. Maksudnya apakah perbuatan itu bersifat melawan hukum secara sungguh-
sungguh yaitu dilakukan dengan bertanggungjawab atau tidak.
23/35
kesalahan selalu ditujukan pada perbuatan yang tidak patut, Yaitu melakukan sesuatu
yang seharusnya tidak dilakukan dan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
mesti dilakukan. Mengenai apa yang dimaksud dengan kesalahan, menurut Simons:
Kesalahan adalah keadaan psikis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya
dengan perbuatan yang dilakukannya yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat
dicela karena perbuatan tersebut.
Kesalahan berarti bukan hanya perbuatan yang dilakukan itu dinilainya secara objektif
tidak patut akan tetapi juga dapat dicelakan kepada pelakunya karena perbuatan itu
“dianggap” jahat. Antara perbuatan dan pelakunya selalu membawa celaan, oleh
karenanya kesalahan itu juga dinamakan sebagai yang dapat dicelakan. Namun harus
diingat bahwa sesuatu yang dapat dicelakan bukanlah merupakan inti dari suatu
kesalahan melainkan merupakan akibat dari kesalahan itu. Bila hal ini dikembahkan
pada asas “Tiada pidana tanpa kesalahan” berarti untuk dapat dijatuhi suatu pidana,
disyaratkan bahwa orang tersebut telah berbuat yang tidak patut secara objektif dan
perbuatan itu dapat dicelakan kepada pelakunya.
Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana bentuk-¬bentuk kesalahan terdiri
dari berikut ini.
1. Kesengajaan, yang dapat dibagi menjadi:
a) kesengajaan dengan maksud, yakni di mana akibat dari perbuatan itu diharapkan
timbul, atau agar peristiwa pidana itu sendiri terjadi
b) kesengajaan dengan kesadaran sebagai suatu keharusan atau kepastian bahwa akibat
dari perbuatan itu sendiri akan terjadi, atau dengan kesadaran sebagai suatu
kemungkinan saja.
c) kesengajaan bersyarat (dolus eventualis). Kesengajaan bersyarat di sini diartikan
sebagai perbuatan yang diakukan dengan sengaja dan diketahui akibatnya, yaitu yang
mengarah pada suatu kesadaran bahwa akibat yang dilarang kemungkinan besar
terjadi.
Menurut Sudarto Kesengajaan bersyarat atau dolus eventualis ini disebutnya dengan
teori “apa boleh buat” sebab di sini keadaan batin dari si pelaku mengalarni dua hal,
yaitu:
1 ) akibat itu sebenamya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan
kemungkinan timbulnya akibat tersebut;
2) akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila akibat atau keadaan
itu timbul juga, apa boleh buat, keadaan itu harus diterima. Jadi berarti bahwa ia sadar
akan risiko yang harus diterimanya. Maka di sini pun terdtpat suatu pertimbangan yang
menimbulkan kesadaran yang sifatnya lebih dari sekadar suatu kemungkinan biasa saja.
Sebab sengaja dalam dolus eventualis ini, juga mengandung unsur¬unsur mengetahui
dan menghendaki, walaupun sifatnya sangat samar st;kali atau dapat dikatakan hampir
tidak terlihat sama sekali.
2. Kealpaan, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 359 KUHP.
24/35
kealpaan itu paling tidak memuat tiga unsur.
1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis
maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan
(termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum.
2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang.
3. Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung jawab
atas akibat perbuatannya tersebut.
Jika dihubungkan dengan profesi dokter dalam pelayanan kesehatan timbul pertanyaan,
apakah unsur kesalahan tersebut dapat diterapkan terhadap perbuatan yang dilakukaii
oleh dokter? Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dilihat apakah kesalahan yang
dilakukan oleh dokter, tedadi karena kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman
dan atau kurangnya kehati-hatian, padahal diketahui bahwa jika dilihat dari segi
profesionalisme, seorang dokter dituntut untuk terus mengembangkan ilmunya. Di
samping itu, kehati-hatian dan ketelitian seorang dokter dalam melakukan perawatan
sangat menentukan, oleh karena itu unsur-unsur sebagaimana tersebut di atas dapat
diterapkan.
25/35
lain sebagian atau seluruhnya. Misal lagi delik tidak memenuhi panggilan pengadilan
sebagai saksi, ahli, juru bahasa (Pasal 224 KUHP). Jadi wujud perbuatan dimaksud adalah
aktif atau pasif, meliputi jenis delik komisi, atau jenis delik omisi, atau delictum
commissionis per ommissionem commissa, atau delik tidak mentaati larangan
dilanjutkan dengan cara tidak berbuat.
A.2. Bersifat Melawan Hukum
Perbuatan yang disyaratkan untuk memenuhi elemen delik obyektif adalah bahwa
dalam melakukan perbuatan itu harus ada elemen melawan hukum
(wedderectelijkheids, unlawfull act, onrechtmatigedaad). Suatu perbuatan melawan
hukum adalah perbuatan yang dilarang untuk dipatuhi, atau diperintahkan untuk tidak
dilakukan seperti yang tercantum dalam aturan pidana.
Contoh : pada waktu ada bahaya banjir, A menolong seorang bayi yang hanyut terbawa
air, bayi itu berhasil diselamatkan dan dipeliharanya dengan baik, sehingga suatu hari
datanglah orangtua bayi itu kapada A untuk meminta kembali bayi tersebut. A tidak
dapat menuntut ganti kerugian atas bayi itu kepada kadua orangtua bayi, sebab pada
saat itu A melaksanakan perbuatan menurut hukum (zakwaarneming). Sebaliknya dalam
bahaya banjir tersebut sementar orang menyelamatkan barang-barangnya, B
berkesempatan untuk masuk rumah orang dan mengambil barang-barang berharga,
maka perbuatan B adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum yakni melakukan delik
pencurian berkualifikasi (Pasal 363 KUHP).
Hukum Pidana membedakan sifat melawan hukum menjadi 2 (dua) macam arti utama,
yaitu :
(1). Melawan hukum dalam arti formil; dan
(2). Melawan hukum dalam arti meteriil.
Zainal Abidin (1995 : 242) menjelaskan bahwa dikatakan formeel (sic) karena undang-
undang pidana melarang atau memerintahkan perbuatan itu disertai ancaman sanksi
kepada barang siapa yang melanggar atau mengabaikannya.
Disebut materiel (sic) oleh karena sekalipun suatu perbuatan telah sesuai dengan uraian
di dalam undang-undang, masih harus diteliti tentang penilaian masyarakat apakah
perbuatan itu memang tercela dan patut dipidana pembuatnya atau tidak tercela,
ataupun dipandang sifatnya terlampau kurang celaannya sehingga pembuatnya tak
perlu dijatuhi sanksi pidana, tetapi cukup dikenakan sanksi dalam kaidah hukum lain,
atau kaidah sosial lain.
Arti perbuatan melawan hukum formil adalah unsur-unsur yang bersifat konstitutif, yang
ada dalam setiap rumusan delik dalam aturan pidana tertulis, walaupun dalam
kenyataanya tidak dituliskan dengan tugas bersifat melawan hukum. Dengan demikian
dalam hal tidak dicantumkan berarti unsur melawan hukum diterima sebagai unsur
kenmerk (diterima secara diam-diam, implicit). Melawan hukum formil lebih
mementingkan kepastian hukum (rechtszekerheids) yang bersumber dari asas legalitas
(principle of legality, legaliteit benginsel).
Arti perbuatan melawan hukum materiil adalah unsur yang berkaitan dengan asas
culpabilitas (penentuan kesalahan pembuat delik), atau nilai keadilan hukum yang ada
dalam masyarakat, dan tingkat kepatutan dan kewajaran.
Sudarto (1990 : 78) menjelaskan bahwa sifat melawan hukum materiil adalah suatu
26/35
perbuatan itu melawan hukum atau tidak; tidak hanya yang terdapat dalm undang-
undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang
tidak tertulis. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan
dengan hukum tertulis dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertilis
termasuk tata susila dan sebagainya.
A.3. Tidak Ada Dasar Pembenar (Rechtsvaadigingsgrond, fait justification)
Suatu perbuatan dikualifikasi sebagai telah terjadi delik, bila dalam perbuatan itu tidak
terkandung Dasar Pembenar, sebagai bagian dari Elemen Delik Obyektif (actus reus).
Dimaksudkan dengan Dasar Pembenar adalah dasar yang menghilangkan sifat melawan
hukum dari perbuatan yang sudah dilakukan pembuat delik. Artinya jika perbuatan itu
mengandung dasar pembenar berarti salah satu unsur delik (elemen delik) obyektif tidak
terpenuhi, yang mengakibatkan pelaku (pembuat) delik tidak dapat dikenakan pidana.
Dalam KUHP terdapat beberapa jenis Dasar Pembenar, yaitu (1) Daya Paksa Relatif (vis
compulsiva), (2) Pembelaan Terpaksa, (3) Melaksanakan Perintah Undang-Undang, dan
(4) Melaksanakan Perintah Jabatan Yang Berwenang.
3.1 Daya Paksa relatif (vis compulsive)
Jenis Dasar Pembenar ini sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP, artinya seseorang
melakukan sesuatu perbuatan karena pengaruh atau tekanan daya paksa yang
sebenarnya masih dapat ditahan, atau masih berwujud alternatif tindakan tindak
dipidana.
Contoh : A mengancam B (kasir bank), dengan meletakkan pistol di dada B untuk
menyerahkan uang yang disimpan oleh B. B dapat menolak. B dapat berpikir dan
menentukan kehendaknya, jadi tidak ada paksaan absolut. Memang ada paksaan, tetapi
masih ada kesempatan bagi B untuk mempertimbangkan; apakah ia melnggar
kewajibannya untuk menyimpan uang/ surat-surat berharga itu dan menyerahkannya
kepada A; atau sebaliknya, ia tidak menyerahkan dan ditembak mati ole A. sifat dari daya
paksa ini harus datang dari luar diri pembuat delik.
Di samping daya paksa relatif atau vis compulsive, atau disebut juga paksa dalam arti
sempit; sebetulnya ada juga yang dinamakan “Keadaan Darurat, atau keadaan Terpaksa
(noodtoestand)”. Noodtoestand ini terbagi dalam 3 (tiga) tipe keadaan darurat, yaitu :
(1). Benturan antara dua kepentingan hukum;
(2). Benturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum;
(3). Benturan antara dua kewajiban hukum.
Contoh (1) :
Kasus Papan Carniades. Ada dua orang yang karena kapal tenggelam, dan untuk
menyelamatkan diri berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tidak mungkin
dapat digunakan oleh dua orang. Bila keduanya berpegangan pada papan itu, maka
keduanya pasti tenggelam. Salah seorang mendorong temannya sehingga mati
tenggelam, dan yang satunya terhindari dari bahaya maut. Orang yang mendorong itu
tidak dapat dipidana, karena dalam keadaan darurat.
Contoh (2) :
Kasus optician. Ada seorang pemilik took kacamata menjual kacamata kepada seoarang
yang kacamatanya hilang, padahal waktu itu sudah saatnya took ditutup. Sebab jika tidak
menutup took pada waktunya dituduh melanggar peraturan penutupan took. Sipembeli
27/35
ternyata tanpa kacamata tidak dapat kembali ke rumahnya sebab tidak dapat
mengendarai kendaraan atau berjalan sama sekali. Penjual kacamata (optician) tidak
dapat dipidana dengan tuduhan melanggar aturan penutupan took, sebab bertindak
dalam keadaan memaksa.
Contoh (3) :
Kasus Kesaksian Dua Pengadilan. Seorang dipanggil menjadi saksi pada dua pengadilan
negeri yang berbeda, tetapi pada hari yang sama dan jam yang sama pula, terpaksa
membatalkan salah satu panggilan pengadilan dan pergi memenuhi panggilan
pengadilan yang satunya. Pengadilan yang tidak didatangi oleh saksi, tak dapat
menuntut dan mengenakan pidana dengan tuduhan melanggar ketentuan Pasal 224
KUHP.
3.2 Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa ini sebagaiman dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, yang
menegaskan bahwa “Tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang
terpaksa dilakukan untuk membela diri sendiri atau orang lain; membela kehormatan
kesusilaan atau harta benda sendiri atau orang lain terhadap serangan atau ancaman
serangan yang sangat dekat saat itu yang melawan hukum”.
3.3 Melaksanakan Perintah undang-undang, jika termasuk dalam Dasar Pembenar,
seperti dimaksud Pasal 50 KUHP yang menegaskan bahwa “Barangsiapa melakukan
perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”.
3.4 Melaksanakan perintah Jabatan Berwenang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1) KUHP, yang menegaskan bahwa “ Barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak
dipidana”.
Unsur (Elemen) Delik Subyektif
Unsur (elemen) delik subyektif dalam Hukum Pidana Common Law dinamakan mens
rea. Daniel Hall (1991 : 56) menjelaskan bahwa Mens rea adalah bagian dari sikap batin
(sikap mental), bagian dari niat (pikiran) yang menjadi bagian pula dari
pertanggungjawaban pidana.
Jadi Mensrea itu berkenaan dengan kesalahan dari pembuat delik (dader), sebab
berkaitan dengan sikap batin yang jahat (criminal intent). Mens rea berkaitan pula
dengan asas geen straf zonder schuld (Tiada pidana tanpa kesalahan). Didalam Hukum
Pidana yang beraliran Anglo-saxon terkenal asas an act does not a person guality unless
his mind is guality (satu perbuatan tidak menjadikan seseorang itu bersalah, terkecuali
pikirannya yang salah).
Elemen Delik Subyektif atau unsur mens rea dari delik atau bagian dari
pertanggungjawaban pidana yang menurut Zainal Abidin (1995 : 235) terdiri dari :
(1). Kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheids);
(2). Kesalahan dalam arti luas, yang terdiri dari :
a). Dolus yang di bagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1). Sengaja sebagai niat (oogmerk)
2). Sengaja sadar akan kepastian atau keharusan (zekerheidsbewustzijn);
3). Sengaja sadar akan kemungkinan (dolus eventualis, mogelijk-bewutstzijn).
b). Culpa, yang di bagi menjadi dua jenis, yaitu :
28/35
1). Culpa lata yang disadari;
2). Culpa lata yang tak disadari (lalai).
(3). Tidak ada dasar pemaaf.
30/35
a.2) Opzet bij Zekerheidsbewustzijn (sengaja sadar akan kepastian)
Sengaja bercorak kepastian atau keharusan adalah sengaja melakukan delik yang dapat
diketahui dan dibayangkan meski tidak dikehendaki ada akibat lain yang menyertai
tindakan pembuat delik.
Contoh Joni menembak Jalil yang sedang duduk dibalik kaca jendela (disebelah warung
kopi dekat pasar Abepura). Joni tidak menghendaki kaca pecah, sebab kesempatan itu
harus dipergunakan sebaik-baiknya. Akibat tembakan Joni kaca jendela warung kopi itu
pecah, peluru Joni mengena kepala Jalil. Kasus ini memperlihatkan bahwa kaca jendela
yang pecah merupakan suatu keharusan atau kepastian yang memang sengaja dilakukan
oleh Joni.
Dalam corak sengaja kedua ini sebetulnya ada dua hal yang perlu dijadikan pegangan,
yaitu :
(1). Ada akibat yang memang dituju oleh pembuat delik;
(2). Ada akibat yang tidak dikehendaki tapi akibat itu harus ada untuk mencapai akibat
pertama
Zainal Abidin (1995 : 293) menerjemahkan Inkauf Nehmen sebagai teori apa boleh buat,
sebab resiko yang diketahui kemungkinan adanya itu (resiko) sungguh-sungguh timbul,
di samping hal yang dimaksud, apa boleh buat pembuat delik berani memikul resiko
yang tidak dikehendaki.
Zainal Abidin (1995) mengajukan dua syarat bagi kelengkapan teori inkauf nehmen, yaitu
:
(a) Terdakwa (pembuat delik) mengetahui kemungkinan adanya akibat atau keadaan
yang merupakan delik;
(b) Sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh timbul akibat, ialah apa boleh
buat, dapat disetujui dan berani mengambil resiko.
Intinya bahwa keadaan tertentu yang kemungkinan dipikir atau dibayangkan terjadi dan
memang benar terjadi.
2.b. Culpa
Culpa adalah kebalikan dari sengaja melakukan delik. Culpa terbagi manjadi culpa lata
dan culpa lepis (kelalaian yang sedemikian ringannya sehingga tidak menyebabkan
seseorang dapat dipidana). Focus yang dibicarakan adalah berkaiatan dengan culpa lata
(kelalaian yang besar, kesalahan berat). Bila dikatakan kesalahan, maksudnya ialah
kesalahan dalam arti sempit yakni hanya merupakan terjemahan dari culpa, bukan
32/35
kesalahan dalam arti luas yang mencakup kesengajaan.
Disamping pembagian culpa lata dan culpa lepis; didalam culpa lata sendiri terbagi dua
yaitu antara culpa lata yang disadari dan culpa lata tak disadari. Pembagian culpa lata ini
sebetulnya terdapat dalam Pasal 7 ayat (3) Criminal Code of Yugoslavia, yaitu :
Culpa lata disadari; bila mana pembuat delik menyadari bahwa dari tindakannya dapat
mewujudkan suatu akibat yangdilarang oleh undang-undang, tetapi dia beranggapan
secara keliru bahwa akibat itu tidak akan terjadi atau ia mampuuntuk mencegahnya;
Culpa lata tak disadari; bilamana pembuat delik tidak menyadari kemungkinan akan
terwujudnya akibat, sedangkan didalam keadaan ia berbuat oleh karena kualitas
pribadinya ia seharusnya dan dapat menyadari kemungkinan itu.
Dalam Buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat delik-delik culpa, contoh :
(1). Pasal 188 KUHP : karena kealpaan menimbulkan letusan, kebakaran.
(2). Pasal 231 KUHP : karena kealpaan sipenyimpan menyebabkan hilangnya barang yang
disita;
(3). Pasal 359 KUHP : karena kelalaian mengakibatkan matinya orang;
(4). Pasal 360 KUHP : karena kelalaian menyebabkan orang luka berat;
(5). Pasal 409 KUHP : karena kealpaan mengakibatkan alat-alat perlengkapan jalan kereta
api hancur.
34/35
pikirannya yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya;
b). Dan oleh sebab itu, ia dapat memahami makna dan akibat perbuatannya;
c). Dan oleh sebab itu, ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.
Ketidakmampuan bertanggungjawab dapat menghapus kesalahan terdakwa, dengan
demikian dikategorikan sebagai dasar pemaaf dan bukan dasar pembenar.
Iklan
Laporkan iklan ini
Iklan
Laporkan iklan ini
35/35