Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kasus HIV-AIDS di dunia saat ini sangat berkembang. Data WHO (2013)
menunjukkan bahwa total jumlah orang yang hidup dengan HIV-AIDS tahun 2013
adalah 35 juta orang. Dimana 16 juta orang diantaranya adalah wanita dan 3,2 juta
orangnya adalah anak-anak dibawah usia 15 tahun, dengan total kematian 1,5 juta
orang. Menurut UNAIDS (2010), ada 33,3 juta orang dewasa dan anak yang hidup
dengan HIV di dunia, dengan akun terbesar di Sub-Sahara Afrika (22,5 juta) dimana
sekitar 60% nya adalah perempuan. 4,1 juta di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di
Indonesia, HIV dan AIDS dalam kurun waktu sembilan tahun yang semula meningkat
perlahan-lahan menjadi sangat tajam sejak tahun 2000. Menurut KPA (2010),
perkembangan jumlah kasus baru HIV positif tahun 2013 mengalami peningkatan
secara signifikan, dengan kenaikan mencapai 35% dibanding tahun 2012 yang telah
dilaporkan oleh 341 dari 497 kabupaten/ kota di 33 provinsi. Berdasarkan laporan
Direktorat Jenderal PP & PL Kementerian Kesehatan RI (2014) secara kumulatif kasus
HIV-AIDS mulai 01 April 1987 sampai dengan 31 Desember 2013 berjumlah 179.764
kasus yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia dimana Sumatera Utara menduduki
urutan kesembilan kasus terbanyak yaitu 7.967 HIV dan 1.301 AIDS. Pada tahun
2016, Indonesia akan mempunyai hampir dua kali jumlah orang yang hidup dengan
HIV dan AIDS di usia dewasa dan anak (812.798 orang) dibandingkan tahun 2008
(411.543 orang). Berdasarkan hasil studi pendahuluan di RSU. Dr. Pirngadi Medan,
jumlah pasien HIV-AIDS tahun 2013 berjumlah 137 orang. Sedangkan untuk Bulan
April sampai Bulan Oktober 2014 didapatkan penderita HIV-AIDS berjumlah 59
orang. dan ditemukan sebanyak 126 kasus HIV positif disepanjang tahun 2015.
Peningkatan jumlah kasus HIV pada anak meningkat setiap tahunnya. Tahun
2010 jumlah anak usia 0-4 tahun terinfeksi meningkat dari 1,8% menjadi 2,6% di
tahun 2011. Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi ke bayinya juga cenderung
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang tertular
baik dari pasangan maupun akibat perilaku yang berisiko. Jumlah perempuan yang
terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya
jumlah laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak aman, yang selanjutnya akan
menularkan pada pasangan seksualnya. Perempuan yang hidup dengan HIV memiliki
tingkat morbiditas dan mortalitas lebih tinggi (Calvert & Ronsmans (2013); Calvert et
al., 2013). Prevalensi HIV pada ibu hamil diproyeksikan meningkat dari 0,38% tahun
2012 menjadi 0,49% pada tahun 2016, demikian pula jumlah anak berusia di bawah 15
tahun yang tertular HIV dari ibunya pada saat dilahirkan ataupun saat menyusui akan
meningkat dari 4.361 pada tahun 2012 menjadi 5.565 pada tahun 2016, yang berarti
terjadi peningkatan angka kematian anak akibat AIDS (Permenkes, 2013). Peningkatan
kasus HIV dan AIDS di kalangan masyarakat, khususnya perempuan usia produktif,
cenderung meningkat sehingga menjadi ancaman potensial terhadap kesehatan
masyarakat di Indonesia yang dapat berdampak luas dan negatif bagi ketahanan bangsa
sehingga pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (Mother to Child HIV
Transmission) merupakan salah satu upaya penanggulangan HIV-AIDS yang
terintegrasi dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak pada fasilitas pelayanan
kesehatan (Permenkes, 2013).
Salah satu upaya untuk mengurangi tingkat penularan HIV dari ibu ke anak dan
untuk mengurangi angka morbiditas serta mortalitas adalah melalui pemilihan metode
persalinan pembedahan yang dikenal dengan istilah bedah caesarea. Suatu metode
persalinan dengan membuat sayatan di kulit perut bagian bawah (NICE, 2012).
Berbagai macam indikasi dilakukannya metode persalinan ini. Salah satunya adalah
ibu hamil positif HIV dengan tujuan menurunkan risiko penularan infeksi melalui jalan
lahir (NHS, 2010). Metode persalinan secara caesarea dapat menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas pada ibu yang terinfeksi HIV-AIDS (Permenkes, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Mrus et al. (2000) berupa uji coba secara acak dari
bedah caesarea elektif diterbitkan oleh The European Mode of Delivery Collaboration
menunjukkan bahwa metode persalinan secara caesarea elektif pada wanita hamil
yang terinfeksi HIV dengan HIV terdeteksi terbukti mengurangi total tarif dan
meningkatkan kualitas harapan hidup pasangan ibu dan anak.
Penelitian yang dilakukan oleh Peters et al. (2008) di 22 rumah sakit di Kota
New York menemukan terjadinya peningkatan kelahiran secara caesarea di antara
seluruh sampel dari 15% menjadi 55%, dimana 5295 kelahirannya terdeteksi virus HIV
(67% dari semua kelahiran) dari tahun 1994 hingga 2003. Dalam 13 tahun terakhir,
tingkat kelahiran caesarea di Amerika Serikat meningkat sebesar 59% dari 20,7%
pada tahun 1996 ke posisi tertinggi sepanjang masa dari 32,9% pada tahun 2009
(Hessol, 2012). Berdasarkan data RIKESDAS (2013), tingkat persalinan melalui bedah
caesarea termasuk kasus HIV-AIDS di Indonesia meningkat 20% dalam kurun waktu
lima tahun terakhir. Hasil survey yang dilakukan di RS. Haji Medan menunjukkan
bahwa jumlah kasus bedah caesarea pada pasien HIV-AIDS berjumlah 16 kasus
sepanjang tahun 2014 dan tiga kasus disepanjang tahun 2013. Survey juga dilakukan di
RSUP H. Adam Malik Medan, dimana ada 16 kasus bedah caesarea elektif pasien
HIV-AIDS sepanjang tahun 2013. Bagi ibu yang terdeteksi HIV-AIDS, proses
melahirkan akan menjadi suatu ketakutan tersendiri terkait dampak yang akan di
timbulkan. Ibu yang terdeteksi HIV dapat menularkan infeksi ke janin yang dikandung
atau bayi yang dilahirkan. (Yayasan Spiritia, 2010). Infeksi HIV pada ibu hamil dapat
mengancam kehidupan ibu serta ibu dapat menularkan virus kepada bayinya. Lebih
dari 90% kasus anak terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke
anak (NHS, 2011).
Menurut Permenkes (2013) tentang pedoman pencegahan penularan HIV dari
ibu ke anak menunjukkan bahwa virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi
HIV kepada anaknya selama kehamilan, saat persalinan dan saat menyusui. Risiko
penularan HIV pada ibu selama proses kehamilan adalah 5-10 %, 10-20% selama
proses persalinan dan 5-20% selama proses menyusui. Perkembangan teknologi
kedokteran, membuat metode persalinan caesarea menjadi pilihan sebagai jenis
persalinan yang dapat mengurangi risiko penularan virus HIV dari ibu ke anak.
Metode persalinan secara pervaginam lebih besar risikonya dibandingkan metode
persalinan melalui caesarea (Permenkes, 2013). Hasil penelitian yang merupakan hasil
awal dari dua penelitian yang dipresentasikan pada Konferensi AIDS Sedunia ke-12 di
Jenewa, Swiss tahun 1999. Penelitian merupakan hasil uji coba secara acak di enam
negara Eropa yang menunjukkan terjadi penurunan 80% pada angka penularan dari ibu
ke anak pada kelompok kelahiran caesarea elektif. Saat cara kelahiran dianalisis,
kelahiran caesarea setelah adanya rasa sakit dan atau setelah pecah ketuban
menghasilkan angka penularan dari ibu ke anak yang menengah (8,8%), dibandingkan
kelahiran vagina (10,2%) dan kelahiran caesarea elektif (2,4%) (Yayasan Spiritia,
2010). Kemajuan teknologi dibidang kesehatan tidak lantas membuat ibu dengan HIV-
AIDS merasa lega. Penularan virus mungkin dapat di minimalisir dengan pemilihan
teknik persalinan, meningkatkan status gizi ibu, pengobatan dengan ARV
(Antiretroviral Therapy), pemantauan Jumlah virus (viral load), CD4 (Cluster of
Differentiation 4), dan lainnya. Namun kekhawatiran ibu dengan HIV-AIDS akan
mempengaruhi kondisi psikologisnya.
Perubahan psikologis dapat terjadi pada ibu khususnya ibu hamil dengan HIV-
AIDS. Selain kekhawatiran akan penularan terhadap janin yang dikandungnya, ibu
hamil dengan HIV-AIDS mempunyai berbagai macam komplikasi yang mungkin
terjadi pada janin maupun ibu sendiri. Komplikasi tersebut antara lain adanya ruptur
saat persalinan, bayi lahir cacat, berat bayi lahir rendah (BBLR), bayi lahir prematur
dan janin tertular HIV (Reeder et al., 2013). Hal ini mengakibatkan perubahan
psikologis pada ibu hamil dengan HIV-AIDS seperti adanya ambivalensi, perasaan
ragu-ragu akan kehamilannya, depresi, kehawatiran yang berlebihan terhadap janin,
bahkan dapat juga terjadi post partum blues. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Kotze di Afrika Selatan, ibu hamil dengan HIV mengalami peningkatan depresi
dan kekhawatiran terhadap stigma masyarakat. Aspek sosial pasien HIV-AIDS
meliputi masalah-masalah yang terjadi pada kehidupan sosial yaitu adanya
stigmatisasi, diskriminasi, isolasi, dapat mempengaruhi kondisi psikologis ibu.
Menurut International Center for Research on Women (2003), ada beberapa bentuk
stigma antara lain pemberian sebutan/nama, menunjuk, mengkambinghitamkan,
sindiran, membuat bahan tertawaan, memberikan lebel, menyalahkan,
mempermalukan, menghakimi, memfitnah, mencurigai, mengabaikan, penolakan,
isolasi, tidak mau berbagi alat/perlengkapan dengan ODHA, menghindari, menjaga
jarak, gangguan, kekerasan fisik dan penyiksaan. Orang yang mengalami stigma dan
diskriminasi melaporkan berbagai efek negatif, termasuk hilangnya pendapatan, isolasi
dari masyarakat dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi sebagai anggota masyarakat
yang produktif sebagai akibat dari status HIV mereka. Menurut survey yang dilakukan
melalui orang dengan indeks stigma HIV, stigma dan diskriminasi membawa efek
psikologis yang mendalam, sehingga perasaan bersalah, malu dan pikiran untuk bunuh
diri muncul sebagai efek negatif dari stigma dan diskriminasi (World Report, 2013).
Kecemasan pada ibu yang terdeteksi HIV juga meliputi kecemasan terhadap kondisi
fisik ibu, kemungkinan kematian, rasa sakit setelah proses melahirkan, dan kondisi
bayinya, apakah bayinya akan tertular, bagaimana cara merawat bayinya, dan lain-lain.
Selain pentingnya memperhatikan kondisi psikologis ibu, perawatan postpartum atau
perawatan nifas setelah dilakukannya bedah caesarea juga memegang peranan penting
dalam mempertahankan kesehatan ibu dengan HIV-AIDS. 50% kematian ibu secara
global di Sub-Sahara Afrika, 70-80% nya disebabkan oleh komplikasi kehamilan,
persalinan, dan periode postpartum (NICE, 2011). Dalam sebuah analisis dari 34
database di seluruh dunia ditemukan penyebab utama kematian ibu secara global
adalah perdarahan postpartum (PPH). Khan et al. menemukan bahwa persentase
kontribusi dari perdarahan postpartum terhadap total kematian ibu bervariasi antara
13,3% dan 43,6% di Afrika (Prata et al., 2010). Charier et al. (2009) menemukan 85%
dari infeksi luka bedah postpartum teridentifikasi setelah operasi caesarea di sebuah
rumah sakit di Italia.
Di Indonesia, komplikasi postpartum paling banyak terjadi diakibatkan
perdarahan dan infeksi (Wiknjosastro, 2001). Data lain juga dikemukakan oleh Ine
(2010) bahwa penyebab langsung kematian ibu postpartum terkait kehamilan dan
persalinan adalah perdarahan (28%), eklampsi (24%), infeksi (11%), partus lama (5%)
dan abortus (5%). Tingginya angka kematian akibat komplikasi postpartum pada ibu
dengan HIV-AIDS menyebabkan perlu dilakukannya perawatan postpartum atau
perawatan masa nifas termasuk pencegahan perdarahan, perawatan luka bekas operasi,
penatalaksanaan nyeri, perbaikan nutrisi, pengawasan pengobatan, pengontrolan
jumlah virus (viral load), CD4, dan lainnya (NICE, 2011). Perlunya pemahaman ibu
terkait perawatan setelah bedah caesarea sangat diperlukan. Salah satu faktor yang
berkontribusi dalam masa adaptasi wanita pada masa persalinan adalah perawatan
postpartum yang dilakukan. Perawatan postpartum khususnya pasien HIV-AIDS
sangat diperlukan, terutama terkait risiko infeksi. Untuk itu perlu di berikan informasi
bagi perempuan yang akan menjalani bedah caesarea terkait risiko infeksi yang
terjadi. Penentuan tingkat infeksi dilakukan melalui pengawasan post discharge
setelah bedah caesarea. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Debra (2001)
terkait efektivitas pengawasan terhadap informed consent rencana pemulangan pasien
menunjukkan sebanyak 32% tingkat respon terhadap infeksi luka operasi ditentukan
oleh pengawasan setelah pembedahan. Perawatan postpartum merupakan perawatan
yang bersifat edukatif sebab individu mampu melakukan perawatan secara mandiri.
Perawatan mandiri (self care) adalah suatu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan
dilakukan oleh individu guna memenuhi kebutuhan untuk mempertahankan kehidupan
dan kesehatan dimana tingkat keberhasilannya ditentukan oleh pengalaman hidup,
kebiasaan, tingkat pengetahuan, tingkat maturitas dan kesehatan mental individu
(Orem, 2001). Pengalaman merupakan bagian dari kehidupan manusia yang sangat
berharga yang dapat diberikan kepada siapa saja untuk digunakan dan menjadi
pedoman serta pembelajaran bagi manusia. Pengalaman merupakan sumber
pengetahuan. Mengenali pentingnya pengalaman seputar persalinan terutama
pengalaman melakukan perawatan masa nifas dan perawatan pada bayinya yang
dilakukan langsung oleh ibu serta memberi kesempatan untuk menceritakannya pada
orang lain sehingga menimbulkan pemahaman yang semakin mendalam (Kirkham,
1997). Pengalaman yang dirasakan ibu yang terinfeksi HIV dalam melakukan
perawatan masa nifas dan perawatan bayinya merupakan pengalaman yang tidak dapat
dirasakan dan di pahami oleh setiap orang. Pengalaman yang berbeda akan memberi
makna yang berbeda pada setiap individu. Oleh karena itu eksplorasi secara mendalam
terkait pengalaman ibu pengidap HIV-AIDS dalam melakukan perawatan setelah
menjalani bedah caesarea sangat penting khususnya untuk menurunkan risiko infeksi
yang dapat berujung pada kematian. Pentingnya kemampuan pasien untuk
berpartisipasi secara aktif dalam perawatan dirinya telah mendapat perhatian beberapa
tahun terakhir ini. Pasien memiliki tanggung jawab utama dalam mengelola
kesehatannya dalam konteks kehidupan mereka lebih luas perlu diakui dalam
penyediaan layanan dan dengan cara profesional oleh pemberi layanan kesehatan yang
berinteraksi dengan pasien. Setengah dari seluruh kematian ibu postpartum terjadi
selama minggu pertama setelah bayi lahir, dan mayoritas ini terjadi selama 24 jam
pertama setelah proses melahirkan. Di Afrika, 34% penyebab utama kematian ibu
adalah karena perdarahan, 10% karena sepsis dan infeksi yang hampir semua terjadi
selama periode postpartum. Kematian pada Ibu HIV positif lebih berisiko pasca
melahirkan dibandingkan perempuan HIV negatif. Akses penggunaan KB pada
periode postpartum dini juga penting, dan kurang efektifnya perawatan postpartum
sering berkontribusi dan jarak kehamilan buruk. Ini adalah waktu yang menegangkan
bagi ibu baru, sehingga dukungan emosional dan psikososial harus tersedia untuk
mengurangi risiko depresi (Warren, 2010).
Namun, angka risiko kematian pada bedah caesarea sangat tinggi akibat
infeksi. Komplikasi infeksi akibat bedah caesarea meliputi demam, wound infection,
endometritis, bakterimia, dan infeksi saluran kemih (Chapman et al., 2009). Pada
dasarnya tidak ada perbedaan yang signifikan terkait perawatan bedah caesarea pada
ibu yang positif AIDS dan ibu negative AIDS. Hanya saja diperlukan pengawasan
ekstra terkait komplikasi yang mungkin terjadi seperti perdarahan ataupun infeksi luka
terkait penyakit-penyakit infeksi yang berisiko tinggi. Oleh karena itu, perlunya
pengawasan perawatan yang ketat pada masa postpartum, khususnya ibu yang positif
HIV-AIDS yang menjalani bedah caesarea. Perawatan postpartum ini mencakup
monitoring setelah kelahiran, cara perawatan luka, pemberian ASI, nutrisi ibu, dan
lainnya yang tentunya memperhatikan risiko yang mungkin dihadapi ibu dengan
penyakit-penyakit infeksi yang berisiko tinggi. Perawatan diri pada masa postpartum
sangat diperlukan khususnya ibu dengan penyakit-penyakit infeksi yang berisiko tinggi
karena pada masa pemulihan ini, ibu diharapkan mampu melakukan pemenuhan
perawatan pada dirinya agar tidak mengalami gangguan kesehatan yang dapat
berdampak langsung pada ibu ataupun bayi yang dilahirkan.
Berdasarkan latar belakang di atas kami tertarik mengambil kasus dengan
penyakit HIV pada ibu post partum karena penyebaran penyakit ini sangat cepat dan
perlu penanganan yang serius. Jadi kami berharap setelah membahas kasus ini kami
bisa memberikan tindakan yang benar kepada pasien HIV/AIDS.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor apa saja yang bisa mempengaruhi terjadinya penyakit
HIV/AIDS dan cara penularannya.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengatahui bagaimana cara melakukan pengkajian, menegakkan
diagnosa, dan melakukan tindakan pada pasien HIV/AIDS

C. WAKTU DAN TEMPAT PENGAMBILAN KASUS


1. Waktu pengambilan kasus ini yaitu pada tanggal 30 oktober 2019
2. Tempat pengambilan kasus ini yaitu di ruang Dara RSUD Wangaya

D. MANFAAT
Menambah pengalaman mahasiswa dalam melakukan asuhan kebidanan patologi
kegawatdaruratan maternal, neonatal dan ginekologi sesuai dengan standar asuhan
kebidanan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR SECTIO CAESAREA


1. DEFINISI
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
perut dan dinding rahim. Sectio caesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan
bayi dengan berat badan di atas 500 gram, melalui sayatan pada dinding uterus
yang masih utuh, (Prawiro, Sarwono, 2011). Sectio caesarea adalah suatu
hesteronia untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Mochtar, 2012).
2. KLASIFIKASI
a. Sectio caesarea transperitonealis profunda dengan insisi di segmen bawah
uterus. Tipe ini yang paling banyak dilakukan. Segmen bawah uterus tidak
begitu banyak mengandung pembuluh darah dibanding segmen atas sehingga
resiko perdarahan lebih kecil. Karena segmen bawah terletak diluar kavum
peritonea, kemungkinan infeksi pasca bedah juga tidak begitu besar.
Disamping itu resiko rupture uteri pada kehamilan dan persalinan berikutnya
akan lebih kecil jika jaringa parut hanya terbatas pada segmen bawah uterus.
Kesembuhan luka biasanya baik karena segmen bawah merupakan bagian
uterus yang tidak begitu aktif.
Indikasi SC yang berasal dari ibu :
1) Sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk
2) Terdapat kesempitan panggul
3) Solusio plasenta tingkat I-II
4) Komplikasi kehamilan yaitu preeklampsia, eklampsia
5) Setelah operasi plastic vaginam :
a) Bekas luka / sikatriks yang luas
b) Fistula vesika-vaginal, rekto-vaginal
6) Gangguan perjalanan persalinan, karena :
a) Kista ovarium
b) Mioma uteri
c) Karsinoma serviks
d) Kekakuan serviks
e) Rupture uteri iminen
7) Kehamilan yang disertai penyakit seperti :
a) Penyakit jantung
b) DM
c) HIV
Indikasi yang berasal dari janin :
1) Fetal distress / gawat janin
2) Malpresentasi dan malposisi kedudukan janin
3) Prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil
4) Kegagalan persalinan vakum atau forseps ekstraksi
Pertolongan sectio caesarea tidak akan dipertimbangkan pada :
1) Janin yang telah meninggal
2) Kelainan kongetinal
3) Terdapat kesempitan panggul absolute (CD < 5 cm )
Keuntungan insisi segmen bawah rahim menurut kehier :
1) Segmen bawah rahim lebih tenang
2) Kesembuhan lebih baik
3) Tidak banyak menimbulkan perlekatan
Kerugiannya :
1) Terdapat kesulitan pada waktu mengeluarkan janin
2) Terjadi perluasan luka insisi dan menimbulkan perdarahan
b. Sectio caesarea klasik (korporal) menurut sanger
Insisi dibuat pada korpus uteri. Dilakukan kala segmen bawah
tidak terjangkau karena melekat eratnya dinding uetrus pada perut
karena section sesarea yang sudah-sudah, insisi disegmen bawah
uterus mengandung bahaya perdarahan banyak berhubung dengan
letaknya plasenta pada plasenta previa, atau apabila dikandung
maksud untuk melakukan histerektomi setelah janin dilahirkan.
Indikasi :

11
1) SC yang dengan sterilisasi
2) Terdapat pembuluh darah besar sehingga diperkirakan akan
terjadi robekan segmen bawah dan perdarahan
3) Janin kepala besar dalam letak lintang
4) Kepala bayi telah masuk pintu atas panggul
Keuntungan :
1) Mudah dilakukan karena lapangan operasi relative luas
Kerugian :
1) Kesembuhan luka operasi relative sulit
2) Kemungkinan terjadinya rupture uteri pada kehamialan
berikutya lebih besar
3) Kemungkinan terjadinya perlekatan dengan dinding abdomen
lebih besar
c. Sectio caesarea ekstraperitoneal
Dahulu dilakukan utuk mengurangi bahaya infeksi puerperal,
sekarang tidak banyak dilakukan karena sulit dalam tekniknya dan
sering kali terjadi sobekan peritoneam.
d. Sectio caesarea histerektomi menurut Porro
Operasi SC histerektomi dilakukan secara histerektomi supra
vaginal untuk menyelamatkan jiwa ibu dan janin dengan indikasi :
1) SC disertai infeksi berat
2) SC dengan antonio uteri dan perdarahan
3) SC disertai uterus coovelaire (solusio plasenta)
3. KOMPLIKASI
a. Pada Ibu
Telah dikemukakan bahwa dengan kemajuan teknik
pembedahan, dengan adanya antibiotika dan dengan persediaan
darah yang cukup, sectio caesarea sekarang jauh lebih aman
daripada dahulu. Angka kematian di rumah sakit dnegan fasilitas
yang baik dan tenaga-tenaga kompeten kurang dari 2 per 1000.
Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas dan
mortalitas pembedahan ialah kelainan atau gangguan yang menjadi

12
indikasi untuk melakukan pembedahan dan lamanya persalinan
berlangsung. Tentang faktor pertama , niscaya seorang wanita
dengan plasenta previa dan perdarahan banyak memikul resiko
yang lebih besar daripada seorang wanita lain yang mengalami
sectio caesarea elektif karena disproporsi sefalopelvik. Demikian
pula makin lama persalinan berlangsung makin meningkat bahaya
infeksi post operatif apalagi setelah ketuban pecah. Komplikasi-
komplikasi yang bisa timbul adalah :
1) Infeksi Puerperal
Komplikasi ini bisa bersifat rigan seperti kenaikan suhu selama
beberapa hari dalam masa nifas atau bersifat berat seperti
peritonitis, sepsis dan sebagainya. Infeksi post operatif terjadi
bila sebelum pembedahan sudah ada gejala-gejala infeksi intra
partum, atau ada faktor-faktor yang merupakan predisposisi
terhadap kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban
pecah, tindakan vaginal sebelumnya). Bahaya infeksi sangat
diperkecil dengan pemberian antibiotika, akan tetapi tidak
dapat dihilangkan sama sekali, terutama sectio caesarea klasik
dalam hal ini lebih berbahaya daripada sectio caesarea
transperitonealis profunda.
2) Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika
cabang- cabang arteria uterine ikut terbuka atau karena atonia
uteri.
3) Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kencing,
embolisme paru-paru, dan sebagainya sangat jarang terjadi.
Suatu komplikasi ynag baru kemudian tampak, ialah kurang
kuatnya perut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi ruptur uteri. Kemungkinan peristiwa ini
lebih banyak ditemukan sesudah sectio caesarea klasik.
b. Pada Anak

13
Seperti halnya dengan ibunya, nasib anak yang dilahirkan dengan
sectio caesarea banyak tergantung dari keadaan yang menjadi
alasan untuk melakukan sectio caesarea. Menurut statistic di
Negara-negara pengawasan antenatal dan intranatal yang baik,
kematian prenatal pasca sectio caesarea berkisar antara 4 dan 7 %.

B. IBU NIFAS DENGAN HIV/AIDS


HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat
menyebabkan AIDS. HIV termasuk keluarga virus retro yaitu virus yang
memasukan materi genetiknya ke dalam sel tuan rumah ketika melakukan
cara infeksi dengan cara yang berbeda (retro) yaitu dari RNA menjadi
DNA, yang kemudian menyatu dalam DNA sel tuan rumah, membentuk
pro virus dan kemudian melakukan replikasi.
Kehamilan dengan HIV sangat mengancam penularan secara
langsung dari ibu ke janin, sehingga kehmailan dengan HIV sangat
berisiko bagi bayi. Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan
antibodi terhadap virus tersebut hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir
karena penyaluran IgG anti-HIV ibu menembus plasenta. Karena itu, uji
terhadap serum bayi untuk mencari ada tidaknya antibodi IgG, merupakan
hal yang sia-sia, karena uji ini tidak dapat membedakan antibodi bayi dari
antibodi ibu. Sebagian besar dari bayi ini, seiring dengan waktu akan
berhenti memperlihatkan antibodi ibu dan juga tidak membentuk sendiri
antibodi terhadap virus, yang menunjukkan status seronegatif. Pada bayi,
infeksi HIV sejati dapat diketahui melalui pemeriksaan-pemeriksaan
seperti biakan virus, antigen p24, atau analisis PCR untuk RNA atau DNA
virus. PCR DNA HIV adalah uji virologik yang dianjurkan karena
sensitive untuk mendiagnosis infeksi HIV selama masa neonatus (Yopan,
2012).
Menurut Yopan (2012), faktor ibu yang berkaitan dengan
peningkatan risiko penularan mencakup penyakit ibu yang lanjut, kadar
virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T CD4+ yang rendah. Pada
tahun 1994, studi 076 dari the pediatric AIDS Clinical Trials Group

14
(PACTG) membuktikan bahwa pemberian zidovudin kepada perempuan
hamil yang terinfeksi HIV mengurangi penularan ibu ke bayi sebesar dua
pertiga dari 25% menjadi 8%. Di Amerika Serikat, insiden AIDS yang
ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun 1992 sampai 1997
akibat uji HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi
zidovudin. Perempuan dari kaum minoritas (Amerika Afrika dan
keturunan Spanyol) lebih banyak terkena, merupakan 85% dari seluruh
kasus AIDS. Selain pemberian zidovudin oral kepada ibu positif HIV
selama masa hamil, tindakan-tindakan lain yang dianjurkan untuk
mengurangi risiko penularan HIV ibu kepada anak antara lain :
1. Sectio caesarea sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban
(mengurangi angka penularan sebesar 50%)
2. Pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran
3. Pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir
4. Tidak memberi ASI
Data menunjukkan bahwa perkembangan penyakit mengalami
percepatan pada anak. Fase asimptomatik lebih singkat pada anak yang
terjangkit virus melalui penularan vertikal. Waktu median sampai awitan
gejala lebih kecil pada anak, dan setelah gejala muncul, progresivitas
penyakit menuju kematian dipercepat. Pada tahun 1994, CDC merevisi
sistem klasifikasi untuk infeksi HIV pada anak berusia kurang dari 13
tahun. Pada sistem ini anak yang terinfeksi diklasifikasikan menjadi
kategori-kategori berdasarkan tiga parameter : status infeksi, status klinis,
dan status imunologik (Yopan, 2012).

C. PENATALAKSANAAN
a. Perawatan selama kelahiran caesarea (pre Op)
1) Persiapan fisik praoperatif dilakukan dengan mencukur rambut
pubis, memasang kateter untuk mengosongkan kandung kemih,
dan memberi obat preoperative sesuai resep. Antasida seringkali
diberikan untuk mencegah aspirasi akibat sekresi asam lambung
kedalam paru-paru klien.

15
2) Cairan intravena mulai diberikan untuk mempertahankan hidrasi
dan menyediakan suatu saluran terbuka (openline) untuk
pemberian darah / obat yang diperlukan.
3) Sampe darah dan urin diambil dan dikirim ke laboratorium untuk
dianalisis
4) Selama preoperative orang terdekat didorong untuk terus bersama
wanita tersebut selama mungkin untuk memberikan dukungan
emosional secara berkelanjutan.
5) Perawat memberikan informasi esensial tentang prosedur,
mengkaji persepsi wanita dan pasangan atau suaminya tentang
kelahiran caesarea. Ketika wanita mengungkapkan, perawat dapat
mengidentifikasi gangguan potensial konsep diri selama periode
pasca partum.
6) Jika ada waktu sebelum melahirkan, perawat dapat mengajari
wanita tersebut tentang harapan pasca operasi, cara meredakan
nyeri, mengubah posisi, batuk dan nafas dalam.
7) Perawat dikamar bedah bisa membantu mengtaur posisi wanita
tersebut diatas meja operasi. Adalah penting untuk mengatur posisi
wanita tersebut sehingga uterus berada pada posisi lateral untuk
menghindari penekanan pada vena cava inferior yang dapat
menurunkan perfusi plasenta.
8) Perawatan bayi didelegasi kepada dokter anak dan perawat yang
melakukan resusitasi neonatus karena bayi ini dianggap beresiko
sampai ada bukti kondisi fisiologis bayi stabil setelah lahir.
b. Perawatan pasca partum (post Op)
1) Pengkajian keperawatan segera setelah melahirkan meliputi
pemulihan dari efek anastesi, status pasca operasi dan pasca
melahirkan serta derajat nyeri
2) Kepatenan jalan napas dipertahankan dan posisi wanita tersebut
diatur untuk mencegah kemungkinan aspirasi

16
3) Tanda-tanda vital diukur setiap 15 menit selama 1-2 jam sampai
wanita itu stabil. Kondisi balutan insisi, fundus dan jumlah lokea
dikaji demikian pul masukan dan pengeluaran.
4) Perawat membantu wanita tersebut untuk mengubah posisi dan
melakukan napas dalam serta melatih gerakan kaki. Obat-obatan
untuk mengatasi nyeri dapat diberikan.
5) Masalah fisiologis selama beberapa hari pertama dapat didominasi
oleh nyeri akibat insisi dan nyeri dari gas di usus halus dan
kebutuhan untuk menghilangkan nyeri.
6) Tindakan lain untuk mengupayakan kenyamanan, seperti
mengubah posisi, mengganjal insisi dengan bantal dan relaksasi.
7) Ambulasi dan upaya menghindari makanan ynag mengahasilkan
gas dan minuman berkarbonat bisa mengurangi nyeri yang
disebabkan gas.
8) Perawatan sehari-hari meliputi perawatan perineum, perawatan
payudara dan perawatan higienis rutin termasuk mandi.
9) Setiap kali berdinas perawat mengkaji tanda-tanda vital, insisi,
fundus uterus, dan lokea. Bunyi napas, bising usus, tanda homan,
eliminasi urine serta defekasi.
10) Pasangan atau suami dapat dilibatkan dalam sesi pengajaran dan
penjelasan tentang pemulihan pasangannya. Beberapa orang tua
akan marah, frustasi atau kecewa karena wanita tidak dapat
melahirkan pervaginam. Beberapa wanita mengungkapkan
perasaan seperti harga diri rendah atau citra diri yang negatif. Akan
sangat berguna bila ada perawat yang hadir selama wanita
melahirkan, mengunjungi dan membantu mengisi kesenjangan
tentang pengalaman tersebut.
11) Rencana pulang terdiri dari informasi tentang diet, latihan fisik,
pembatasan aktifitas, perawatan payudara, aktifitas seksual dan
kontrasepsi, medikasi, dan tanda-tanda komplikasi serta perawatan
bayi.

17
BAB III
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEBIDANAN NIFAS PADA Ny. S USIA 24 TAHUN P0111 4 JAM
POST SC DENGAN IC

I. DATA SUBJEKTIF (tanggal 30/10/19 pk.20.00 wita)


A. BIODATA
Ibu Suami
Nama : Ny. S Tn. K
Umur : 24 tahun 26 tahun
Suku Bangsa : Bali, Indonesia Bali, Indonesia
Agama : Hindu Hindu
Pendidikan : SD SMA
Pekerjaan : Swasta Swasta
Alamat rumah : Br. Tunon Singokerto, Ubud Br.Tunon
Singokerto
No.Hp : 089522243xxx 081237246xxx

B. Keluhan saat ini


Ibu mengeluh nyeri pada luka jahitan
C. Riwayat Kehamilan dan Persalinan Sebelumnya
Ibu mengatakan ini merupakan anak kedua , hamil pertama pada tahun
2015 ibu mengalami kehamilan ektopik terganggu dan dilakukan
operasi. Ibu diketahui HIV sejak tahun 2015, ibu rutin minum obat
ARV. Anak kedua lahir pada tanggal 30 oktober 2019 pukul 16.15
wita. HPHT ibu lupa TP hasil USG tanggal 02 desember 2019 usia
kehamilan 35 minggu 2 hari, jenis persalinan sectio caesarea,
penolongan tenaga kesehatan, jenis kelamin laki-laki dengan berat
2200 gram, keadaan saat ini normal. Ibu datang ke Ruang VK pukul
09.00 wita tanggal 30/10/19 dengan keluhan keluar air sejak pukul
01.00 wita. Dikarenakan hasil pemeriksaan ibu tidak ada his, dan
pengeluaran air dari vagina terus terjadi, dokter memutuskan untuk

18
melakukan operasi SC. Pasien dikirim ke ruang operasi pukul 14.05
wita, bayi lahir pukul 16.15 wita, kemudian pasien dikirim ke ruang
nifas pukul 20.00 wita.
D. Riwayat Persalinan Sekarang
1. Tanggal dan jam persalinan : 30 oktober 2019 pukul 16.15 wita
2. Tempat Penolong Persalinan : RSUD Wangaya
3. Komplikasi pada kala I : tidak ada
4. Komoplikasi pada kala II : tidak ada
5. Komplikasi pada kala III : tidak ada
6. Komplikasi pada kala IV : tidak ada
E. Riwayat Pernikahan
Ibu mengatakan status pernikahannya sah, ini merupakan pernikahan
yang pertama dengan lama pernikahan 2 bulan. Untuk kehamilan
pertama ibu tidak menikah.
F. Riwayat Pemakaian Kontrasepsi
Ibu mengatakan tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi apapun.
G. Kebutuhan Biologis
1. Bernapas
Tidak ada kesulitan dalam bernafas
2. Pola makan
Ibu mengatakan biasa makan 3 kali sehari dengan porsi sedang dan
tidak ada makanan pantangan. Untuk saat ini ibu belum makan
karena masih puasa.
3. Pola minum
Ibu mengatakan biasa minum air mineral 10 gelas per hari dan susu
hamil 1 gelas per hari. Untuk saat ini ibu belum minum.
4. Pola eliminasi
Ibu mengatakan biasa BAK 5 kali perhari dengan warna kuning
pekat dan BAB 1 kali perhari dengan konsistensi lembek.
Terpasang kateter dengan volume urine 150 cc.
5. Istirahat dan tidur

19
Ibu mengatakan biasa istirahat selama 8 jam dan tidur siang 1 jam.
Dan saat ini ibu mengatakan sudah dapat tidur selama 2 jam.
6. Aktivitas saat ini
Ibu mengatakan saat ini ibu sedang istirahat total
7. Mobilisasi
Ibu mengatakan belum bisa mobilisasi, ibu mengatakan kaki masih
keram dan belum bisa digerakan.
8. Kebersihan
Ibu mengatakan biasa mandi 2 kali sehari, menggosok gigi 2 kali
sehari, dan keramas 3 kali dalam seminggu.Ibu juga mengatakan
biasa membersihkan alat kelamin dari arah depan ke belakang, ibu
juga mengatakan biasa mencuci tangan sebelum dan setelah makan
dan juga setelah BAB/BAK.
9. Rasa nyeri
Ibu mengatakan nyeri pada jahitan operasi di daerah abdomen
dengan skala nyeri 5.
10. Kondisi psikologis
Perasaan ibu saat ini senang karena bayi sudah lahir dengan
selamat. Ibu masih dalam keadaan sangat memerlukan bantuan. Ibu
berada dalam fase adaptasi psikologi taking in.
11. Sosial
Ibu mengatakan hubungan suami baik, dengan mertua dan anggota
keluarga lain juga memiliki hubungan yang baik. Suami dan
keluarga lainnya sudah mengetahui bahwa ibu menderita penyakit
HIV. Suami sudah melakukan tes, dengan hasil intermediet, suami
disarankan tes ulang 1 bulan lagi.
12. Rencana
Ibu mengatakan tidak menyusui, ibu juga berencana mengasuh
bayi bersama dengan ibu mertua. Ibu belum merencanakan akan
menggunakan alat kontrasepsi.

20
13. Pengetahuan ibu tentang
Ibu belum tahu bahaya masa nifas, ibu belum tahu cara memeriksa
kontraksi dan masase fundus uteri, ibu juga belum tahu cara
merawat luka jahitan operasi. Ibu juga belum mnegetahui cara
merawat bayi dengan ibu yang mengidap HIV.

II. DATA OBJEKTIF (tanggal 30/10/19 pk.20.10 wita)


a. Pemeriksaan Umum
KU : baik Kesadaran : komposmentis
TD : 110/70 mmHg S : 360C N : 80x/menit R:
20x/menit
b. Pemeriksaan Fisik
1) Wajah
Wajah terlihat normal tidak ada oedema
2) Mata
Konjungtiva merah muda, sklera putih
3) Mulut
Bibir warna merah muda
4) Leher
Kelenjar limfe normal tidak ada pembesaran, kelenjar tiroid
normal tidak ada pembesaran, vena jugularis normal tidak ada
pelebaran.
5) Payudara
Bentuk simetris, puting menonjol, tidak ada lecet, pengeluaran
kolostrum, kebersihan baik, tidak ada bengkak.
6) Dada
Bentuk simetris tidak ada retraksi
7) Perut
Bentuk simetris, terdapat luka dan jahitan operasi, tidak ada
perdarahan luka operasi.
Kandung kemih tidak penuh, TFU 2 jari dibawah pusat ,
kontraksi baik

21
8) Ekstremitas bawah
Tungkai simetris, tidak ada oedema, tidak ada varises
c. Pemeriksaan Khusus
1) Penilaian Bonding score
ibu menerima bayi dengan sangat baik
2) Inspeksi Genetalia
Kebersihan baik, pengeluaran lokhea rubra, tidak ada
hematoma, tidak ada tanda infeksi.
d. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksan laboratorium tanggal 30/10/19
WBC : 7,45 10^3/ul
HB : 10,5 g/dl
Trombosit : 236 10^3/ul
BT : 2’30”
CT : 10’00”

III. ANALISIS
Ny. S usia 24 tahun P0111 4 jam post SC dengan IC
Masalah :
1. Ibu belum tahu bahaya masa nifas
2. Ibu belum tahu cara memeriksa kontraksi dan masase fundus uteri
3. Ibu belum mengetahui cara merawat luka jahitan
4. Ibu belum mengetahui cara merawat bayi dengan ibu IC
IV. PENATALAKSANAAN
1. Menginformasikan hasil pemeriksaan kepada ibu dan keluarga, ibu
dan keluarga paham dengan keadaan ibu saat ini
2. Memberitahu ibu tentang tanda bahaya masa nifas seperti
perdarahan, pembengkakan pada payudara, dan kontraksi uterus
tidak baik. Ibu paham dengan penjelasan yang diberikan.
3. Memberi KIE ibu tentang cara memeriksa kontraksi uterus dan
masase fundus uteri, ibu mengerti dan paham cara memeriksa dan
melakukan masase fundus uteri.

22
4. Memberi KIE ibu tentang cara merawat luka jahitan operasi untuk
tidak menyentuh luka jahitan operasi dalam keadaan tangan kotor,
dan tidak membasahi luka jahitan operasi, ibu paham dengan
penjelasan yang diberikan.
5. Memberi KIE ibu cara merawat bayi dengan ibu yang menderita
HIV, ibu paham dengan penjelasan yang diberikan dan akan
melakukannya
6. Memberi KIE ibu untuk istirahat penuh, ibu mengerti dengan
penjelasan yang diberikan.
7. Melakukan perawatan DC, urine dibuang dengan volume 150 cc
pukul 20.20 wita
8. Melakukan kolaborasi dengan dokter, ibu sudah terpasang infus di
tangan kanan dengan infus RL + 20 IU oksitosin 28 tetes per
menit, cabang D5% + analgetik 24 tetes per menit. Bromokriptin
3x1 tablet

23
Hari/tgl CATATAN PERKEMBANGAN Nama
waktu (SOAP) terang &
tanda
tangan
Kamis , S : ibu mengatakan nyeri luka operasi dengan skala 5, ibu
31/10/19 mengatakan belum bisa kentut
Pk. O : KU : baik Kesadaran : komposmentis
07.30wita TD : 110/70 mmHg S: 36,50 C N: 80x/menit R: 20x/menit
Konjungtiva merah muda , sklera putih , bibir merah muda,
payudara tidak bengkak, pengeluaran ASI positif
kontraksi uterus baik, TFU 2 jari dibawah pusat, tidak ada
perdarahan luka operasi, lokhea rubra , miring kanan/ kiri
sudah bisa.
A : P0111 13 jam post SC dengan IC
P : 1. Menginformasikan hasil pemeriksaan kepada ibu dan
keluarga, ibu dan keluarga paham dengan keadaan ibu
saat ini
2.Memberi KIE ibu untuk pemenuhan nutrisi seperti minum
dan makan, ibu sudah minum
3.Memandikan ibu dengan waslap, ibu merasa lebih segar
4.Memberi KIE ibu agar tetap menjaga kebersihan luka
jahitan operasi, ibu mengerti dengan penjelasan yang
diberikan
5.Melakukan perawatan DC, urine di buang sebanyak
500cc
pukul 05.45 wita
6.Melakukan kolaborasi dalam pemberian obat, infus RL+
oksitosin 20 IU 28 tetes permenit, cabang D5 % +
analgetik 24 tetes permenit. Claneksi 1 gram injeksi
perset
Nevirapine 200 mg tablet. Ibu sudah minum obat, dan

24
injeksi telah dilakukan.

Kamis, S : ibu mengatakan nyeri luka operasi, dengan skala nyeri 4


31/10/19 O : KU : baik Kesadaran : komposmentis
Pk. 13.00 TD : 110/70 mmHg S: 36,50C N: 80x/menit R:20x/menit
wita Konjungtiva merah muda, sklera putih , bibir tidak pucat
ASI keluar sedikit, kontraksi uterus baik, TFU 2 jari
dibawah pusat, tidak ada perdarahan luka operasi, lokhea
rubra. Mobilisasi aktif.
A : P0111 1 hari post SC dengan IC
P : 1. Menginformasikan hasil pemeriksaan kepada ibu dan
keluarga, ibu dan keluarga paham dengan penjelasan yang
diberikan
2. Memberi KIE ibu pola nutrisi ibu nifas, ibu paham dengan
penjelasan yang diberikan
3.Melakukan aff DC, urine terbuang 700cc pukul 13.00 wita
4.Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat, terpasang
infus RL + 20 IU oksitosin 28 tetes per menit, cabang D5%
+ analgetik 24 tetes per menit. Claneksi 1 gram injeksi
perset. Injeksi telah dilakukan, ibu merasa sedikit nyeri

Kamis, S : ibu mengeluh nyeri luka operasi dengan skala 4


31/10/19 O: KU : baik Kesadaran : komposmentis
Pk.19.00 TD : 110/70 mmHg S: 36,50C N: 80x/menit R: 20x/menit
Konjungtiva merah muda, sklera putih , bibir tidak pucat
Payudara tidak bengkak, kontraksi uterus baik, TFU 2 jari
dibawah pusat, tidak ada perdarahan luka operasi, lokhea
rubra. Mobilisasi aktif.

25
A : P0111 1 hari post SC dengan IC
P : 1. Menginformasikan hasil pemeriksaan kepada ibu dan
keluarga, ibu dan keluarga mengerti dengan keadaan ibu
saat ini
2.Memberi KIE ibu pola istirahat yang cukup, ibu mengerti
dengan penjelasan yang diberikan
3.Memberi KIE ibu tentang alat kontrasepsi yang cocok
untuk ibu, ibu mengerti dan akan mendiskusikan dengan
suami
4.Memberi KIE ibu tentang kebersihan genetalia, ibu
paham dan bisa membersihkan alat genetalia sendiri
5.Melakukan aff infus, tidak ada perdarahan
6.Melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
obat amoxcillin 500mg, SF 300mg, methylergometri
0,125mg, nevirapine 200mg. Ibu akan minum obat setelah
makan

Jumat, S : Ibu mengatakan nyeri pada luka jahitan dengan skala 4, ibu
01/11/19 juga mengatakan sudah bisa kentut
Pk.07.30 O : KU : baik Kesadaran : komposmentis
TD : 110/70 mmHg S: 36,50C N: 80x/menit R:20x/menit
Konjungtiva merah muda, sklera putih, bibir tidak pucat
Payudara tidak bengkak, pengeluaran ASI sedikit, kontraksi
uterus baik, TFU 2 jari dibawah pusat, perdarahan luka
operasi tidak ada, lokhea sanguinolenta.
A : P0111 2 hari Post SC dengan IC
P : 1. Menginformasikan hasil pemeriksaan kepada ibu dan
keluarga, ibu dan keluarga mengerti dengan penjelasan
yang diberikan
2.Melakukan perawatan luka jahitan operasi, jahitan terlihat
rapi dan kering

26
3.Mengingatkan kembali ibu untuk menjaga luka jahitan
operasi tetap kering, ibu paham dengan penjelasan yang
diberikan
4.Mengingatkan kembali ibu tentang pola nutrisi untuk
mempercepat penyembuhan luka, ibu paham dengan
penjelasan yang diberikan
5.Mengingatkan kembali ibu tentang alat kontrasepsi yang
sesuai untuk ibu, ibu sudah memilih untuk menggunakan
Kb suntik 3 bulan
6.Menyarankan suami untuk tetap menggunakan kondom
saat berhubungan, suami paham dengan penjelasan yang
diberikan
7.Melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
obat amoxicillin 3x500mg, asam mefenamat 3x500mg,
SF 1x300mg, methylergometri 3x0,125mg, nevirapine
2x200mg, ibu akan rutin minum obat.

Jumat, S: ibu mengatakan senang sudah bisa pulang


01/11/109 O : KU : baik Kesadaran : komposmentis
Pk.10.00 TD : 110/70 mmHg N: 80 x/menit S: 36,50C R: 20x/menit
wita Konjungtiva merah muda, sklera putih, bibir tidak pucat,
payudara tidak bengkak, pengeluaran ASI sedikit, kontraksi
uterus baik, TFU 2 jari dibawah pusat, perdarahan luka
operasi tidak ada, lokhea sanguinolenta.
A : P0111 2 hari Post SC dengan IC
P : 1. Menginformasikan hasil pemeriksaan kepada ibu dan
keluarga, ibu dan keluarga paham dengan penjelasan
yang diberikan
2.Mengingatkan kembali ibu cara merawat bayi, ibu
mengerti dengan penjelasan yang diberikan
3.Mengingatkan kembali ibu cara merawat luka jahitan
operasi, ibu mengerti dengan penjelasan yang diberikan

27
4.Mengingatkan kembali ibu agar rutin minum obat, ibu
paham dengan penjelasan yang diberikan
5.Melepaskan gelang identitas dari rumah sakit, gelang
sudah dilepaskan
6.Memberitahu ibu untuk kontrol ulang tanggal 3 november
2019, ibu mnegerti dan akan kontrol ulang pada tanggal
tersebut.

28
BAB IV
PEMBAHASAN

29
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat
menyebabkan AIDS. HIV termasuk keluarga virus retro yaitu virus yang
memasukan materi genetiknya ke dalam sel tuan rumah ketika melakukan
cara infeksi dengan cara yang berbeda (retro) yaitu dari RNA menjadi
DNA, yang kemudian menyatu dalam DNA sel tuan rumah, membentuk
pro virus dan kemudian melakukan replikasi.
Setelah dilakukan pengkajian pada tanggal 30 oktober 2019, maka
ditemukan bahwa Ny. S umur 24 tahun post SC dengan IC dirawat diruang
dara, ibu mengatakan nyeri pada lokasi jahitan, saat dilakukan pengecekan
tanda-tanda vital dan trias nifas semua dalam btas normal.
Pada penatalaksanaan asuhan kebidanan pada Ny “S” mulai dari
pengkajian sampai tahap akhir tidak ditemukan adanya hambatan karena
adanya kerjasama antara klien dan petugas kesehatan sehingga semua
tindakan dapat terlaksana dengan baik. Pendokumentasian sangat penting
dilaksanakan pada setiap tahap dari proses manajemen kebidanan.
B. SARAN
1. Bagi Instansi Kesehatan
Dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan pembuatan SOP
penanganan HIV/AIDS bagi ibu nifas demi meningkatk an kualitas
pelayanan.
2. Bagi Bidan
Dapat meingkatkan pelayanan mengenai konseling agar pasien dapat
sepenuhnya memahami penyakit yang diderita olehnya.
3. Bagi Pasien
Pasien diharapkan mengikuti anjuran yang telah diberikan yakni
melakukan kontrol ulang sesuai jadwal yang telah diberikan dan
mengkonsumsi obat yang diberikan.
4. Bagi Keluarga

30
Keluarga diharapkan lebih aktif dalam mendampingi dan memotivasi
ibu untuk tetap berjuang meneruskan hidup dan tidak meninggalkan
ibu karena penyakit yang diderita oleh ibu.

31
DAFTAR PUSTAKA
Bobak Lowdermilk, Jensen. 2010. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4.
Jakarta : EGC
Johnson, Marion. 2015. Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louis :
Mosby
Mochtar, Rustam. 2011. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi.
Jakarta : EGC
Prawiroharjo, Sarwono. 2013. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta : PT Bina Pustaka
Sulistyawati, Ari. 2016. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas.
Yogyakarta : CV Andi Offset
Winkjosastro, Hanifa. 2012. Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirahardjo

32

Anda mungkin juga menyukai