Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

ELECTRO CONVULSIVE THERAPY (ECT)

A. Definisi
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan salah satu jenis terapi fisik yang
merupakan pilihan untuk indikasi terapi pada beberapa kasus gangguan psikiatri. Indikasi
utama adalah depresi berat (Elvira & Hadisukanto, 2013).

ECT (Electroconvulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan psikiatri


dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam pengaruh
anestesi dengan menggunakan alat khusus. Terapi Elektroconvulsive (ECT) adalah terapi
yang aman dan efektif untuk pasien dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan
gangguan mental serius lainnya (Sadock BJ, dkk, 2015)

Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan prosedur medis yang dilakukan oleh


dokter dimana pasien diberikan anestesi umum dan relaksasi otot. Ketika efeknya telah
bekerja, otak pasien distimulasi dengan suatu rangkaian dan dikontrol dengan electrode yang
dipasang di kepala pasien. Stimulus ini menyebabkan bangkitan kejang di otak sampai 2
menit. Karena penggunaan anestesi dan relaksasi otot sehingga badan pasien tidak ikut
terangsang dan tidak merasa nyeri (Mental Health, Drugs And Division Regions.
Electroconvulsive Therapy About You Rights, 2012)

B. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja ECT tidak diketahui. Berbagai perubahan selama perjalanan ECT
yang mungkin berperan mencakup perubahan reseptor dan neurotransmitter pusat, pelepasan
hormon seperti arginine, vasopresin dan oxytocin, dan perubahan ambang kejang.(Puri BK,
Laking PJ, Treasaden IH, 2012)
Suatu penelitian untuk mendekati mekanisme kerja ECT adalah dengan mempelajari
efek neuropsikologi dari terapi. Tomografi emisi positron (PET; Positron Emission
Tomography) mempelajari aliran darah serebral maupun pemakaian glukosa telah
dilaporkan. Penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa selama kejang aliran darah
serebral, pemakaian glukosa dan oksigen, dan permeabilitas sawar darah otak adalah
meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun, kemungkinan
paling jelas pada lobus frontalis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa derajat penurunan
metabolisme serebral adalah berhubungan dengan respons terapeutik. Fokus kejang pada
epilepsi idiopatik adalah hipometabolik selama periode interiktal, ECT sendiri bertindak
sebagai antikonvulsan, karena pemberiannya disertai dengan peningkatan ambang kejang
saat terapi berlanjut.(Sadock BJ, dkk, 2015)
Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah memusatkan perhatian
pada perubahan reseptor neurotransmitter dan, sekarang ini, perubahan sistem pembawa

1
pesan kedua (second-messenger). Hampir setiap sistem neurotransmitter dipengaruhi oleh
ECT. Tetapi, urutan sesion ECT menyebabkan regulasi turun reseptor adrenergik-β
pascasinaptik, reseptor yang sama dan terlihat pada hampir semua terapi antidepressan. Efek
ECT pada neuron serotonergik masih merupakan daerah penelitian yang kontroversial.
Berbagai penelitian telah menemukan suatu peningkatan reseptor serotonin pascasinaptik,
tidak ada perubahan pada neuron serotonin, dan perubahan pada regulasi prasinaptik
pelepasan serotonin. ECT telah dilaporkan mempengaruhi sistem neuronal muskarinik,
kolinergik, dan dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua, ECT telah dilaporkan
mempengaruhi pengkopelan protein G dengan reseptor, aktivitas adenylyl cyclase dan
phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium ke dalam neuron.(Sadock BJ, dkk, 2015)

C. Jenis
Menurut Sadock BJ dkk. (2015) jenis ECT ada 2 macam :
a. ECT konvensional
ECT konvensional ini menyebabkan timbulnya kejang pada pasien sehingga
tampak tidak manusiawi.Terapi konvensional ini di lakukan tanpa menggunakan obat-
obatan anastesi seperti pada ECT premedikasi.
b. ECT pre-medikasi
Terapi ini lebih manusiawi dari pada ECT konvensional,karena pada terapi ini di
berikan obat-obatan anastesi yang bisa menekan timbulnya kejang yang terjadi pada
pasien.

D. Frekuensi
Menurut Sadock BJ, dkk. (2015) frekuensi pemberian ECT tergantung pada keadaan
pemberita yang dapat di perlakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Pemberian ECT secara blok 2-4 hari berturut-turut 1-2 kali sehari.
b. Dua sampai tiga kali seminggu.
c. ECT “maintanance’ sekali tiap 2-4 minggu.
b. Pasien dengan gangguan depresi berat di berikan antara 5-10 kali.
c. Untuk pasien yang mengalami gangguan di polar,mania,dengan gangguan
skizofrenia, pasien baru mendapat respon yang maksimum setelah 20-25 kali
tindakan ECT.

E. Indikasi
1. Gangguan Depresi Mayor
Indikasi yang paling sering untuk penggunaan ECT adalah gangguan depresif berat
atau ganggaun depresi mayor. (Elvira SD, Hadisukanto G, 2013)
ECT harus dipertimbangkan sebagai terapi pada pasien yang gagal dalam uji coba
medikasi, mengalami gejala yang parah atau psikotik, mencoba bunuh diri atau membunuh
dengan mendadak, atau memiliki gejala agitasi atau stupor yang jelas. Sebagian klinisi yakin

2
bahwa ECT menyebabkan sekurangnya derajat perbaikan klinis yang sama dengan terapi
standar dengan obat antidepressan. (Sadock BJ, dkk, 2015)
ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan bipolar. Depresi
delusional atau psikotik telah lama dianggap cukup responsif terhadap ECT, tetapi penelitian
terakhir telah menyatakan bahwa episode depresi berat dengan ciri psikotik tidak lebih
responsif terhadap ECT dibandingkan gangguan depresi nonpsikotik. Namun, karena episode
depresi berat dengan gejala psikotik adalah berespon buruk terhadap farmakologi anti
depressan saja, ECT harus sering dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien
dengan gangguan-gangguan depresi berat dengan ciri melankolik (seperti gejala parah yang
jelas, retardasi psikomotor, terbangun dini hari, variasi diurnal, penurunan nafsu makan dan
berat badan, dan agitasi, diperkirakan lebih mungkin berespon terhadap ECT. (Sadock BJ,
dkk, 2015)

2. Mania
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul dibandingkan lithium dalam
terapi episode manik akut. Beberapa data menyatakan bahwa pemasangan elektrode bilateral
selama ECT lebih efektif, dengan pemasangan unilateral pada terapi episode manik. Tetapi,
terapi farmakologis untuk episode manik adalah sangat efektif dalam jangka pendek dan
untuk profilaksis sehingga pemakaian ECT untuk terapi episode manik biasanya terbatas
pada situasi dengan kontraindikasi spesifik untuk semua pendekatan farmakologis. (Sadock
BJ, dkk, 2015)
Pengobatan pilihan bagi mania adalah obat menstabilkan mood ditambah obat
antipsikotik. ECT dapat dipertimbangkan untuk mania parah terkait dengan:
• kelelahan fisik yang mengancam jiwa
• resistensi pengobatan (yaitu mania yang tidak menanggapi pengobatan pilihan).
Pilihan pasien dan pengalaman perawatan medis sebelumnya tidak efektif atau tak
tertahankan, atau pemulihan sebelumnya dengan ECT, yang relevan.

3. Skizofrenia
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut dan tidak untuk
gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan gejala afektif dianggap paling besar
kemungkinannya berespons terhadap ECT. (Sadock BJ, dkk, 2015)
Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila terdapat:
 Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
 Katatonia
 Riwayat ECT dengan hasil yang baik.

Indikasi lain
Penelitian kecil telah menemukan ECT efektif dalam pengobatan katatonia, gejala
terkait dengan gangguan mood, schizophrenia, dan gangguan medis dan neurologis. ECT

3
berguna untuk mengobati episode psikotik, psikosis atypikal, gangguan obesif-kompulsif,
dan delirium dan kondisi medis seperti gangguan neuroleptic ganas, hypopituitarism,
gangguan kejang dan pada penyakit Parkinson. ECT juga dapat menjadi terapi pilihan untuk
depresi bunuh diri wanita hamil yang memerlukan perawatan dan tidak bisa minum obat
untuk geriatri dan sakit medis pasien yang tidak bisa menggunakan obat antidepresan aman
dan bahkan untuk dan anak-anak dan remaja yang bunuh diri mungkin kurang respon untuk
antidepresan daripada orang dewasa. ECT tidak efektif dalam gangguan somatisa, gangguan
personaliti, dan gangguan kecemasan. (Sadock BJ, dkk, 2015)

F. Kontraindikasi
ECT tidak memiliki kontraindikasi absolut, hanya situasi di mana seorang pasien pada
peningkatan risiko dan memiliki peningkatan kebutuhan pemantauan ketat. Kehamilan bukan
merupakan kontraindikasi untuk ECT, dan pemantauan janin umumnya dianggap tidak perlu
kecuali kehamilan risiko tinggi atau rumit. Pasien dengan lesi sistem saraf pusat berada pada
peningkatan risiko untuk edema dan herniasi otak setelah ECT. Jika lesi kecil, pengobatan pra
dengan dexamethasone (Decadron) diberikan, dan hipertensi dikendalikan selama kejang dan
risiko komplikasi serius diminimalkan untuk pasien ini.(Yongki,2012)
Pasien yang mengalami peningkatan tekanan intraserebral atau berisiko untuk
perdarahan otak (misalnya, orang-orang dengan penyakit serebrovaskular dan aneurisma)
berada pada risiko selama ECT karena peningkatan sawar darah otak selama kejang. Risiko
ini dapat dikurangi, meskipun tidak dihilangkan, oleh kontrol tekanan darah pasien selama
perawatan. Pasien dengan infark miokard adalah kelompok berisiko tinggi lain, meskipun
risikonya sangat berkurang 2 minggu setelah infark miokard dan lebih jauh berkurang 3 bulan
setelah infark itu. Pasien dengan hipertensi harus distabilkan pada obat antihipertensi mereka
sebelum ECT diberikan. Propranolol (Inderal) dan sublingual nitrogliserin juga dapat
digunakan untuk melindungi pasien tersebut selama pengobatan. (Puri BK, dkk, 2012)

G. efek samping
Berdasarkan (Sadock BJ, dkk, 2015) ECT menimbulkan beberapa efek samping
sebagai berikut :
a. Kematian
Angka kematian dengan ECT adalah sekitar 0,002% per pengobatan dan 0,01 %
untuk setiap pasien. Angka-angka ini menguntungkan dibandingkan dengan risiko yang
terkait dengan anestesi umum dan persalinan. Kematian akibat ECT biasanya karena
komplikasi kardiovaskular.

b. Efek terhadap Sistem Saraf Pusat


Efek samping umum yang terkait dengan ECT adalah sakit kepala, kebingungan,
dan delirium setelah kejang . Kebingungan ditandai dapat terjadi hingga 10 persen dari
pasien dalam waktu 30 menit dari kejang dan dapat diobati dengan barbiturat dan

4
benzodiazepin. Delirium biasanya paling menonjol setelah beberapa perawatan pertama
pada pasien yang menerima ECT bilateral atau yang mengidap gangguan neurologis.
Delirium yang khas terjadi dalam beberapa hari atau paling beberapa minggu.

c. Memory
Perhatian terbesar tentang ECT adalah hubungan antara ECT dan kehilangan
memori. Sekitar 75 persen dari semua pasien yang diberikan ECT mengatakan bahwa
gangguan memori adalah efek samping yang terburuk. Meskipun gangguan memori
selama pengobatan , tindak lanjut data menunjukkan bahwa hampir semua pasien yang
kembali ke baseline kognitif mereka setelah 6 bulan. Beberapa pasien, bagaimanapun,
mengeluh kesulitan memori . Contohnya, pasien mungkin tidak ingat peristiwa yang
mengarah ke rumah sakit dan ECT, dan kenangan otobiografi tersebut mungkin tidak
akan pernah ingat. Tingkat kerusakan kognitif selama perawatan dan waktu yang
dibutuhkan untuk kembali ke dasar terkait, sebagian, dengan jumlah stimulasi listrik
digunakan selama pengobatan. Gangguan memori yang paling sering dilaporkan oleh
pasien yang telah mengalami sedikit perbaikan dengan ECT. Meskipun gangguan
memori, yang biasanya sembuh, tidak ada bukti menunjukkan kerusakan otak yang
disebabkan oleh ECT. Mata kuliah ini telah menjadi fokus dari beberapa studi pencitraan
otak, menggunakan berbagai modalitas. hampir semua menyimpulkan bahwa kerusakan
otak permanen tidak efek buruk dari ECT. Ahli saraf dan epileptologists umumnya
sepakat bahwa kejang yang berlangsung kurang dari 30 menit tidak menyebabkan
kerusakan saraf permanen.

d. Efek samping lain dari Electroconvulsive Terapi


Fraktur sering disertai perawatan di hari-hari awal ECT. Dengan penggunaan rutin
relaksan otot, patah tulang dari tulang panjang atau vertebra seharusnya tidak terjadi.
Beberapa pasien, bisa terjadi pecah gigi atau mengalami sakit punggung karena kontraksi
selama prosedur. Nyeri otot dapat terjadi pada beberapa individu, tetapi sering terjadi
karena efek depolarisasi otot dengan suksinilkolin . Nyeri ini dapat diobati dengan
analgesik ringan, termasuk obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Sebuah minoritas
yang signifikan dari pasien mengalami mual, muntah, dan sakit kepala setelah pengobatan
ECT.

H. Peran perawat
a. Peran perawat dalam persiapan klien sebelum tindakan ECT
1) Anjurkan pasien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan yang akan
dilakukan.
2) Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya kelainan
yang merupakan kontraindikasi ECT.
3) Siapkan surat persetujuan tindakan.

5
4) Klien dipuasakan 4-6 jam sebelum tindakan.
5) Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau jepit rambut yang mungkin dipakai
klien.
6) Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi.
7) Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum ECT.
8) Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif hipnotik, dan
antikonvulsan, harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya dihentikan
beberapa hari sebelumnya karena beresiko organik.
9) Premedikasi dengan injeksi SA (sulfatatropin) 0,6-1,2 mg setengah jam sebelum
ECT. Pemberian antikolinergik ini mengendalikan aritmia vagal dan menurunkan
sekresi gastrointestinal (Riyadi, 2009).

b. Persiapan alat
1) Perlengkapan dan peralatan terapi, termasuk pasta dan gel elektroda, bantalan kasa,
alkohol, saling,elektroda elektroensefalogram (EEG), dan kertas grafik.
2) Peralatan untuk memantau, termasuk elektrokardiogram (EKG) dan elektroda EKG.
3) Manset tekanan darah, stimulator saraf perifer, dan oksimeter denyut nadi.
4) Stetoskop.
5) Palu reflex.
6) Peralatan intravena.
7) Penahan gigitan dengan wadah individu.
8) Pelbet dengan kasur yang keras dan bersisi pengaman serta dapat meninggikan
bagian kepala dan kaki.
9) Peralatan penghisap lender.
10) Peralatan ventilasi, termasuk slang, masker, ambu bag, peralatan jalan nafas oral,
dan peralatan intubasi dengan sistem pemberian oksigen yang dapat memberikan
tekanan oksigen positif. Obat untuk keadaan darurat dan obat lain sesuai
rekomendasi staf anastesi (Stuart, 2007).

c. Prosedur pelaksanaan
Menurut pendapat Stuart (2007) berikut prosedur pelaksanaan terapi kejang
listrik:
1) Berikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur.
2) Dapatkan persetujan tindakan.
3) Pastikan status puasa pasien setelah tengah malam.
4) Minta pasien melepaskan perhiasan, jepit rambut, kaca mata, dan alat bantu
pendengaran. Semua gigi palsu dilepaskan, tambahan gigi parsial dipertahankan.
5) Pakaikan baju yang longgar dan nyaman.
6) Kosongkan kandung kemih pasien.
7) Berikan obat praterapi.

6
8) Pastikan obat dan peralatan yang diperlakukan tersedia dan siap pakai.
9) Bantu pelaksanaan ECT.
a) Tenangkan pasien.
b) Dokter atau ahli anastesi memberikan oksigen untuk menyiapkan pasien bila
terjadi apnea karena relaksan otot.
c) Berikan obat.
d) Pasang spatel lidah yang diberi bantalan untuk melindungi gigi pasien.
e) Pasang elektroda. Kemudian berikan syok.
f) Pantau pasien selama masa pemulihan

d. Peran perawat setelah ECT


Berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan perawat untuk membantu klien dalam
masa pemulihan setelah tindakan ECT dilakukan yang telah dimodifikasi dari pendapat
Stuart (2007). Menurut pendapat Stuart (2007) memantau klien dalam masa pemulihan
yaitu dengan cara sebagai berikut:
1) Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan.
2) Pantau tanda-tanda vital.
3) Setelah pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien sampai sadar.
Pertahankan jalan napas paten.
4) Jika pasien berespon, orientasikan pasien.
5) Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa adanya hipotensi postural.
6) Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya.
7) Berikan makanan ringan.
8) Libatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasikan pasien sesuai
kebutuhan.
9) Tawarkan analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan.

Jika terjadi kehilangan memori dan kekacauan mental sementara yang merupakan
efek samping ECT yang paling umum hal ini penting untuk perawat hadir saat pasien sadar
supaya dapat mengurangi ketakutanketakutan yang disertai dengan kehilangan memori.
Implementasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Berikan ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan memori tersebut hanya
sementara.
b) Jelaskan kepada pasien apa yang telah terjadi.
c) Reorientasikan pasien terhadap waktu dan tempat.
d) Biarkan pasien mengatakan ketakutan dan kecemasannya yang berhubungan dengan
pelaksanaan ECT terhadap dirinya.
e) Berikan sesuatu struktur perjanjian yang lebih baik pada aktivitas-aktivitas rutin pasien
untuk meminimalkan kebingungan.

7
8
DAFTAR PUSTAKA
Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Elektroconvulsive Therapy. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2015:
982 – 8
Yongki. Pro dan Kontra Terhadap Terapi Kejang Listrik (TKL) Sebagai Terapi Alternatif Medis
Pada Pasien Psikotik(2012).317:22-7
Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. Buku Ajar Psikiatri (Textbook of Psychiatry) Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2012;43 –4
Elvira SD, Hadisukanto G. Terapi Fisik dan Psikofarmaka di Bidang Psikiatri. Buku Ajar
Psikiatri Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, 2013;387 – 8.
Mental Health, Drugs And Division Regions. Electroconvulsive Therapy About You Rights.
Victoria: Department of Health, 2012. Diakses dari https://www2.health.vic.gov.au/.pdf,
pada tanggal 28 Desember 2015.

Anda mungkin juga menyukai