Anda di halaman 1dari 11

PENENTUAN TINGGI BENDUNGAN

KONSTRUKSI BENDUNGAN II

Tugas ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Konstruksi Bendungan II yang diampu
oleh Dr. Ir. Aniek Masrevaniah, Dipl.HE.

Disusun oleh:

Pandu Adi Wardhana (155060407111010)

JURUSAN TEKNIK PENGAIRAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018
Penentuan Tinggi Bendungan

Penentuan dimensi tubuh bendungan diantaranya tinggi bendungan, lebar


mercu bendungan, Panjang bendungan, kemiringan lereng tubuh bendungan.

a. Tinggi bendungan
Tinggi bendungan adalah perbedaan antara elevasi permukaan pondasi dan
elevasi mercu bendungan. Untuk menentukan tinggi bendungan secara optimal harus
memperhatikan tinggi ruang bebas dan tinggi air untuk operasi waduk (Soedibyo,
1993 : 219).
Untuk menentukan tinggi bendungan terlebih dahulu harus menentukan tinggi
jagaan (Hf ) yang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :
ℎ𝑒
Hf ≥ Δh + (hw atau ) +ha + hi
2

dengan:
∆h = Tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk yang terjadi akibat
timbulnya banjir abnormal
hw = Tinggi ombak akibat tiupan angin
he = Tinggi gelombang akibat gempa
hd = Tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk, apabila terjadi
kemacetan–kemacetan pada pintu bangunan pelimpah
hi = Tinggi tambahan yang didasarkan pada tingkat urgensi dari waduk

b. Lebar mercu bendungan


Guna memperoleh lebar minimum mercu bendungan, biasanya dihitung
dengan rumus sebagai berikut (Sosrodarsono, 1989:174) :
B = 3,6 . H1/3 – 3

dengan:

B = lebar mercu bendungan (m)

H = tinggi bendungan (m)

c. Panjang bendungan
Panjang bendungan adalah seluruh Panjang mercu bendungan yang
bersangkutan, termasuk bagian yang digali pada tebing-tebing sungai di kedua sisi
ujung mercu tersebut.
d. Kemiringan lereng bendungan
Pada tubuh bendungan urugan mempunyai kemiringan lereng tertentu, dalam
perencanaannya dapat menggunakan persamaan berikut:

dengan :
FShulu = faktor keamanan lereng bagian hulu
FShilir = faktor keamanan lereng bagian hilir
m = kemiringan lereng hulu
n = kemiringan lereng hilir
k = koefisien gempa

ϕ = sudut geser dalam


1. Penentuan Tampungan Sedimen

Fungsi tampungan mati (Dead Storage) untuk menampung sedimen. Kapasitas


tampungan mati ini akan sangat ditentukan oleh kadar sedimen dalam aliran sungai
dan usia guna waduk yang ditetapkan. Suatu waduk dikatakan telah habis gunanya
bila sedimen yang tertangkap sudah melebihi kapasitas tampungan mati yang telah
ditetapkan. Dalam struktur waduk tampungan mati terletak pada bagian paling bawah
dan dibatasi oleh dasar waduk dengan muka air rendah dalam waduk (low water
level), dimana pada elevasi tersebut merupakan kedudukan dari dasar intake. Dalam
perancangan suatu bendungan usia guna biasa ditetapkan 50 tahun, sedangkan kadar
sedimen dalam aliran sungai diperlbolehkan melalui pengukuran langsung di
lapangan atau dari analisis berdasarkan metode empiric yang relevan, misalnya
Metode USLE. Volume tampungan mati setidak-tidaknya sebesar 5% dari total
tampungan waduk.

Untuk menentukan volume tampungan sedimen, ada erat kaitannya dengan


daerah hulu dari waduk tersebut. Dimana yang dimaksud disini adalah tata guna
lahan di daerah hulu adalah tingkat erosi , limpasan permukaan, dsb. Debit Sedimen

yang diperhitungkan selain dari tata guna lahan di hulu, juga berasal dari sedimen di
alam yang terbawa sungai.
Alasan utama penggunaan model USLE untuk memprediksi erosi DAS karena
model tersebut relatif sederhana dan input parameter model yang diperlukan mudah
diperoleh (biasanya tersedia dan dapat dengan mudah diamati di lapangan).

 Perkiraan Usia Guna Berdasarkan Kapasitas Tampungan Mati (Dead Storage)


Perhitungan ini berdasarkan pada berapa waktu yang dibutuhkan oleh sedimen untuk
mengisi kapasitas tampungan mati. Dengan diketahui besarnya kapasitas tampungan
mati dan besarnya kecepatan laju sedimen yang mengendap, maka akan diketahui
waktu yang dibutuhkan sedimen untuk mengisi pada daerah tampungan mati. Semakin
bertambah umur maka semakin berkurang kapasitas tampungan matinya, yang
kemudian akan mengganggu pelaksanaan operasional waduk. Sehingga hal ini
merupakan acuan untuk memprediksikan kapan kapasitas tampungan mati tersebut
akan penuh.
 Perkiraan Usia Guna Berdasarkan Besarnya Distribusi Sedimen Yang Mengendap
Di Tampungan Dengan Menggunakan The Empirical Area Reduction Method.

Metode ini pertama kali diusulkan oleh Lane dan Koezler ( 1935 ), yang
kemudian dikembangkan oleh Borland Miller (1958, dalam USBR,1973) dan Lara
(1965, dalam USBR,1973). Dengan metode ini dapat diprediksi bagaimana sedimen
terdistribusi di dalam waduk pada masa-masa yang akan datang. Dalam perhitungan
ini sebagai acuan untuk menentukan usia guna waduk berdasar pada hubungan fungsi
antara luas genangan dengan elevasi genangan dan kapasitas tampungan. Sebagai
patokan elevasi pintu pengambilan sebagai acuannya. Sehingga apabila elevasi pintu
pengambilan akan dicapai oleh elevasi endapan sedimen, maka kegiatan operasional
waduk akan terganggu, yang pada akhirnya secara teknis akan mengakibatkan tidak
berfungsinya waduk. Setelah dihitung debit sedimen per tahunnya, baru dapat
diperkirakan volume tampungan sedimen.

2. Penentuan Tempat dan Diameter Intake

Faktor-faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam penetapan lokasi


bendungan:
 Kesesuaian terhadap rencana pengembangan
Lokasi bendungan sebaiknya sedekat mungkin dengan daerah manfaat dan
mempunyai daerah tangkapan yang cukup memadai.
 Kaitannya dengan masyarakat dan ekonomi
Meskipun lokasi bendungan secara teknis menguntungkan, namun perlu dikaji secara
hati-hati besarnya ganti rugi dan pengaruhnya terhadap tanah pertanian, desa-desa,
jalan, perikanan, aset budaya, monument alam dan lain sebagainya.
 Kaitannya dengan rencana pengembangan jangka panjang
Proyek yang sedang dipertimbangkan harus terintegrasi dengan proyek-proyek yang
sudah serta dan rencana pengembangan yang akan dating.
 Kondisi topografi dan geologi
Untuk waduk lokasi yang sesuai adalah pada lembah yang luas dan landai, untuk
bendungan perlu diperhatikan dalam penentuan lokasinya antara lain tentang
penampang melintang lembah, penampang memanjang, hubungan antara bukit dan
dataran, kemiringan dan gambaran tebing sungai. Lokasi bendungan yang disarankan
adalah pada daerah yang mempunyai batuan dasar yang kuat serta endapan sungai
yang relatif tipis.
 Persiapan konstruksi
- Ketersediaan bahan alami, baik dalam jumlah maupun kualitasnya
- Jarak ke lokasi bendungan
- Metoda pengangkutan
 Pertimbangan kelestarian lingkungan
Perubahan fenomena di daerah tangkapan air dan pencemaran akibat pembusukan
tumbuhan karena penggenangan, perlu dipelajari secara seksama dalam studi tentang
perubahan temperature air dan polusi akibat partikel anorganik.

Fasilitas bangunan pengambilan terdiri dari intake, pengaturan dan saluran.


Bagian dari intake bisa dibuat dari pipa pemasukan, tower atau bangunan lain yang
berfungsi untuk memasukkan air dari waduk. Terowongan intake adalah terowongan
air melewati tanah asli diluar tubuh bendungan, sedangkan sekitar pertemuan antara
as terowongan pengambilan dengan garis as tubuh bendungan, dibuat bangunan
pelengkap sepeti plugs (penutupan) dan dinding cut-off (cut of wall) atau grouting
untuk mencegah rembesan sepanjang tunel. Tinggi total (H) yang diperlukan melalui
bangunan penyaluran dapat dinyatakan sebagai berikut:
∑𝑓𝑖 𝑥 𝑉𝑖 2
𝐻=
2𝑥𝑔
dimana:
Vi = kecepatan rata-rata setiap bagian yang ditinjau
fi = factor tinggi hilang bagian yang ditinjau
H = total tinggi hilang
g = kecepatan gravitasi

Letak intake diletakkan dengan ketinggian H lebih tinggi dari puncak elevasi
tampungan mati. Sedangkan untuk diameter intake, dapat disesuaikan dengan
kebutuhan di hilir  PLTA , irigasi, air baku. Intake dapat terdiri dari single conduit
ataupun double conduit.

Posisi Intake

3. Penentuan Minimum Operation Level (MOL)

Muka air waduk terendah yang diperoleh agar fungsi dari intake power tetap
berfungsi.

Penentuan MOL tepat di atas saluran intake.


4. Penentuan Full Supply Level (FSL)

Muka air yang di ukur dari dasar bendungan mencakup volume tampungan mati,
dan volume tampungan efektif. Dimana volume tampungan efektif adalah MAN-
MOL. Full Supply Level adalah keadaan dimana volume air yang dapat ditampung
oleh bendungan, dibawah jagaan untuk tampungan Muka Air Banjir dan bantuan
spillway.

Ketinggian FSL sangat bergantung pada ketinggian bendungan, dan


peruntukkan bendungan. Jika suatu bendungan difungsikan sebagai pengendali banjir
 maka tampungan banjir >> tampungan efektif . Jika difungsikan untuk kebutuhan
di hilir  tampungan efektif >> tampungan banjir.

5. Muka Air Banjir (MAB)

Muka air banjir adalah elevasi muka air waduk pada kondisi banjir (hanya terjadi
pada periode banjir). Tampungan banjir atau tampungan tambahan (surcharge storage)
adalah volume air diatas genangan normal selama banjir. Untuk beberapa saat debit
meluap melalui pelimpah. Kapasitas tambahan ini biasanya tidak terkendali, dengan
pengertian adanya hanya pada waktu banjir dan tidak dapat dipertahankan untuk
penggunaan selanjutnya (Linsey, 1985:65). Untuk mendapatkan muka air banjir perlu
dilakukan penelusuran banjir untuk menentukan debit out flow untuk mendesain
spillway dan tampungan banjir dalam waduk (Soemarto, 1999).
Salah satu manfaat dari pembangunan bendungan dengan waduknya adalah
untuk pengendalian banjir suatu sungai. Ini dapat terjadi karena air banjir ditampung
dalam waduk yang volumenya relatif besar, sehingga air yang keluar dari sana
debitnya sudah mengecil. Makin besar volume waduk akan semakin besar pula
manfaat pengendalian banjirnya. Apabila terjadi banjir, maka permukaan air di dalam
waduk naik sedikit demi sedikit dan dari beberapa kali banjir waduk akan penuh air
dan mencapai ambang bangunan pelimpah. Kemudian air mulai melimpah melewati
bangunan pelimpah. Tinggi permukaan air waduk maksimal ini harus dapat dihitung
dengan teliti dengan melakukan routing banjir. Dengan mengetahui tinggi permukaan
air waduk maksimal ini, dapat dicari tinggi bendungan yang paling menguntungkan
(optimal) yang masih dalam keadaan aman terhadap risiko banjir.

6. Tinggi Jagaan

Tinggi jagaan adalah perbedaan antara elevasi permukaan maksimum rencana


air dalam waduk dan elevasi mercu bendungan. Elevasi permukaan air maksimum
rencana biasanya merupakan elevasi banjir rencana waduk. Kadang-kadang elevasi
permukaan air penuh normal atau elevasi permuakaan banjir waduk lebih tinggi dari
elevasi banjir rencana dan dalam keadaan yang demikian, yang disebut permukaan air
maksimum rencana adalah elevasi yang paling tinggi yang diperkirakan akan dicapai
oleh permukaan waduk tersebut. Selain itu dalam hal-hal tertentu tambahan tinggi
tembok penahan ombak di atas mercu bendungan kadang-kadang diperhitungkan pula
pada penentuan tinggi jagaan.

Dalam menentukan tinggi jagaan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:


1. Kondisi dan situasi tempat kedudukan calon bendungan
2. Pertimbangan-pertimbangan tentang karakteristik dari banjir abnormal
3. Kemungkinan timbulnya ombak-ombak besar dalam waduk yang disebabkan oleh
angin dengan kecepatan tinggi ataupun gempa bumi
4. Kemungkinan terjadinya kenaikan permukaan air waduk di luar dugaan, karena
timbulnya kerusakan-kerusakan atau kemacetan pada bangunan pelimpah
5. Tingkat kerugian yang mungkin dapat ditimbulkan dengan jebolnya bendungan
yang bersangkutan.

Tinggi jagaan harus diambil lebih besar jika terdapat hal-hal berikut:
a. terdapat resiko macetnya pembukaan pintu air bangunan pelimpah,
b. terdapat resiko longsornya tebing bendungan dan masuk ke dalam bendungan,
c. data hidrologi yang tersedia kurang lengkap.
Ada tiga cara untuk menentukan tinggi jagaan, dari ketiga cara tersebut tinggi
jagaan yang dipakai adalah yang paling besar.
1. Permukaan air tertinggi pada waktu banjir (Top Water Level, TWL).
Tinggi jagaan adalah selisih antara TWL dengan FSL ditambah dengan tinggi
tambahan sebagai angka keamanan.
tr = H1 + Ha
dengan notasi :
tr : tinggi jagaan,
H1 : selisih antara TWL dengan FSL,
Ha : angka keamanan.

2. Permukaan air tertinggi akibat tinggi gelombang angin dan lain-lain.

a. Tinggi gelombang angin (hw1)


V 2 .F
hw1  cos A
k .d
dengan notasi :
hw1 : tinggi gelombang angin (m),
V : kecepatan angin di atas air (km/jam),
F : fetch yaitu jarak dari tepi genangan di depan bendungan dengan
bendungannya sendiri (km),
d : kedalaman bendungan rata-rata (m),
A : sudut antara arah angin dengan fetch (derajad),
k : koefisien (biasanya diambil 62).

b. Tinggi gelombang diatas gelombang angin (hw2)


hw2  0,34 F  0,76 4
F
dengan notasi :
hw2 : tinggi gelombang diatas gelombang angin (m),
F : fetch yaitu jarak dari tepi genangan di depan bendungan dengan
bendungannya sendiri (km),

c. Tinggi gelombang yang merambat ke sebelah hulu bendungan (hw3)


V2
hw3 
2g
dengan notasi :
hw3 : tinggi gelombang yang merambat (m),
V: kecepatan angin (km/jam),
g : percepatan gravitasi (=9,81 m/d2),
d. Tinggi gelombang akibat gempa bumi (he)
k .t
he  g.d
2
dengan notasi :
he : tinggi gelombang akibat gempa bumi (m),
k : koefisien gempa bumi (0,10 - 0,30),
t : waktu terjadinya gempa bumi (detik),
d : kedalaman bendungan rata-rata (m),

e. Tinggi keamanan sebagai akibat tipe bendungan (hi)


untuk tipe beton hi = 0, untuk tipe urugan hi = 1

f. Tinggi keamanan sebagai akibat macetnya pembukaan pintu air bangunan


pelimpah (ha)
besarnya ha = 0,5 m

g. Tinggi keamanan sebagai akibat resiko longsornya tebing ke dalam bendungan


(hs)
V
hs 
A
dengan notasi :
V : volume tanah yang tidak stabil (m3),
A : luas bendungan (m2),
Dari beberapa besaran tersebut, tinggi jagaan dihitung dengan rumusan:
Hw = hw1 + hw2 + hw3 + he + hi + ha + hs
3. Standar minimum tinggi jagaan
The Japanese National Committee on Large Dam (JANCOLD) memberikan
standar sebagai berikut:
Tabel Tinggi jagaan minimum

Tinggi waduk
No Tipe beton Tipe urugan
(m)

1. < 50 1m 2m
2. 50 - 100 2m 3m
3. > 100 2,5 m 3,5 m

Anda mungkin juga menyukai