Anda di halaman 1dari 23

RESPONSI

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Oleh :

Rurin Ayurinika Putri


G99142081

Pembimbing :

dr. Triasari Oktavriana, M.Sc, Sp. KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2016
STATUS RESPONSI
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
Pembimbing : dr. Triasari Oktavriana, M.Sc, Sp. KK
Nama Mahasiswa : Rurin Ayurinika Putri
NIM : G99142081

Dermatitis Kontak Alergi

A. SINONIM
Dermatitis Kontak, Contact Eczema, Eksem Kontak.7

B. DEFINISI
Dermatitis Kontak Alergi (DKA) adalah reaksi peradangan kulit yang merugikan dan
disebabkan oleh kontak dengan alergen eksogen spesifik terhadap seseorang yang telah
berkembang menjadi sensitisasi alergi.11 DKA merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat
yang dielisitasi ketika kulit terkena kontak dengan bahan kimia yang sebelumnya sudah
tersensitisasi.7 DKA melibatkan proses sensitisasi dari sistem imun terhadap alergen spesifik
atau eksaserbasi dari dermatitis sebelumnya.2

C. EPIDEMIOLOGI
Dermatitis Kontak Alergi (DKA) terjadi pada 20% kasus bila dibandingkan dengan
kelompok dermatitis kontak lainnya yaitu Dermatitis Kontak Iritan yang terjadi pada 80%
kasus.11 DKA dapat terjadi terhadap setiap individu, baik muda maupun tua, laki-laki dan
perempuan, dan dapat terjadi di semua ras. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang
lebih menonjol adalah pola paparan. Contohnya, alergi pada bahan nikel lebih banyak pada
perempuan karena banyak perempuan yang menggunakan atau terpapar perhiasan.. 7
Berdasarkan umur, walaupun dermatitis kontak menjadi kausa yang penting pada
dermatitis yang terjadi pada anak-anak dan merupakan diagnosis yang sering pada anak-
anak, kasus DKA pada anak dan dewasa hampir sama.11 Namun, DKA lazim terjadi pada
anak yang lebih muda dan orang dewasa yang usianya lebih dari 70 tahun.13
Pada sebuah studi, DKA terjadi lebih banyak pada perempuan dengan angka 21,8% bila
dibandingkan laki-laki yang jumlahnya 12%. Secara spesifik, sesitifitas pada nikel juga lebih
banyak terjadi pada perempuan yaitu 17,1% perempuan dan 3% pada laki-laki. Hal ini
kemungkinan dipengaruhi oleh banyaknya perempuan yang memiliki tindik yaitu 81,5% dn
hanya 12% laki-laki yang ditindik.11
Bersadasarkan ras, pada studi didapatkan ras Amerika dan Afrika memiliki angka
sensitisasi yang rendah terhadap nikel dan neomycin bila dibandingkan dengan ras Kaukasia.
Pada Patch Test, evaluasi pada reaksi positif terhadap kulit yang lebih gelap juga lebih sulit.11
Pada sebuah studi didapatkan, DKA cukup sering terjadi pada anak-anak dengan angka
61% positif setidaknya terhadap satu allergen. Alergen yang tersering menyebabkan reaksi
positif adalah nikel (78%), kobalt (87%), emas (86%), dan thimerosal (70%). Perempuan
memiliki prevalensi yang leih tinggi untuk terjadi DKA. Untuk prevalensi tertinggi terjadi
pada laki-laki usia 3-10 tahun.4

D. ETIOLOGI
Beberapa bahan bisa menjadi penyebab DKA. Berikut beberapa bahan yang paling sering
menyebabkan DKA:8
1. Logam
Nikel merupakan bahan logam yang paling banyak menyebabkan DKA pada
perempuan di seluruh dunia. Tindik telinga merupakan salah satu faktor penginduksi.
Pada perempuan, penggunaan perhiasan juga banyak sehingga banyak terjadi pada
permpuan. Kromat merupakan bahan logam yang paling banyak menyebabkan DKA
pada pria. Hal ini dikarenakan paparan pada pekerjaan.
2. Kosmetik dan Produk Skin Care
Reaksi positif pada patch test banyak ditemukan pada pengawet, parfum, bahan
kategori spesifik, emulsi, dan tabir surya. Relevansi uji patch positif dikonfirmasi jika
DKA menghilang setelah berhenti menggunakan produk.

3. Kain (baju) dan Sepatu


Dermatitis kontak untuk pakaian biasanya terletak di regio aksila ,yang
disebabkan oleh pelepasan alergen dari tekstil yang ditambah dengan keringat dan
gesekan. Pewarna tekstil terkait juga dengan DKA. Produk yang menggunakan kulit
sintetis juga berperan pada terjadinya DKA.
4. Obat
DKA karena obat dapat di elisitasi oleh bahan aktif dari obat-obat topikal,
vehikulum, atau pengawet pada obat topikal. Sensitisasi pada obat antibiotik,
antiseptik, dan anestetik relatif sering. DKA pada penggunaan kortikosteroid topikal
dilaporkan terdapat peningkatan kasus.
5. Tumbuhan

Berikut contoh-contoh bahan alergen yang teridentifikasi menyebabkan DKA:7


E. PATOGENESIS
Dermatitis Kontak Alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV atau tipe lambat
(delayed). Patofisiologi terjadinya Dermatitis Kontak Alergi dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase
sensitasi dan fase elisitasi.1,6,11,12
1. Fase Sensitisasi
Alergen yang belum diproses disebut hapten. Ketika hapten masuk ke dalam kulit
akan diikat oleh protein carrier epidermis membentuk ikatan hapten-protein, yang
disebut antigen. Kemudian Antigen Presenting Cells (APC) seperti sel langerhans
dan/atau sel dendritik kulit akan mengikat antigen tersebut dan mengekspresikan pada
permukaann sel langerhans sebagai molekul HLA-DR (Human Leucocyte Antigen- DR).
Sel Langerhans akan bermigrasi melalui jalur limfatik menuju kelenjar limfe regional.
Pada kelenjar limfe regional, kompleks HLA-DR pada sel langerhans akan
dipresentasikan ke sel T naïve yang akan mengekspresikan molekul CD4+ yang akan
mengenali HLA-DR dan mengekspresikan komplek reseptor sel T (TCR)-CD3 yang
akan mengenali antigen yang telah terproses. Antigen juga akan dipresentasikan oleh
MHC-I yang akan dikenali oleh CD8+. Sel T naïve akan berdiferensiasi menjadi sel
memori, yang akan mengatur ekspansi sel dan antigen spesifik kulit, dan bermigrasi
keluar dari kelenjar limfe masuk ke dalam aliran darah dan kulit. CD4+ Th 1 dan CD8+
tipe sitotoksis akan berperan sebagai sel efektor pada sel target dan mempresentasikan
antigen apabila terpapar ulang. Fase sensitiasi biasanya terjadi selama 10-15 hari dan
biasanya asimptomatik. Paparan yang kembali berulang akan masuk ke dalam fase
elisitasi. Paparan dapat berasal dari berbagai jalur, antara lain transepidermal, subkutan,
intravena, intramuscular, inhalasi, dan oral.1,6,11,12
2. Fase Elisitasi
Setelah seorang individu tersensitisasi oleh antigen, sel T primer atau memori
dengan antigen-TCR spesifik meningkat dalam jumlah dan beredar melalui pembuluh
darah kemudian masuk ke kulit. Ketika alergen kontak pada kulit, alergen akan diproses
dan dipresentasikan dengan HLA-DR pada permukaan sel Langerhans. Kompleks akan
dipresentasikan kepada sel T4 spesifik dalam kulit dan elisitasi dimulai. Kompleks
HLA-DR-antigen berinteraksi dengan kompleks CD3-TCR spesifik untuk mengaktifkan
baik sel Langerhans maupun sel T. Ini akan menginduksi sekresi IL-1 oleh sel
Langerhans dan menghasilkan IL-2 dan produksi IL-2R oleh sel T. Hal ini
menyebabkan proliferasi sel T. Sel T yang teraktivasi akan mensekresi sitokin, antara
lain IL-3, IL-4, IFN-, TNF-, dan granulocyte macrophage colony-stimulating factor
(GMCSF). IFN- dan TNF- akan berperan untuk menarik sel-sel inflamasi dan
menstimulasi makrofag dan keratinosit untuk mengeluarkan sitokin kembali. Terjadi
respons inflamasi dimana terjadinya migrasi monosit ke area yang terpapar, kemudian
maturasi menjadi makrofag, dan menarik lebih banyak sel Keratinosit yang teraktivasi
akan mensekresi IL-1, kemudian IL-1 mengaktifkan phospolipase. Hal ini melepaskan
asam arakidonik untuk produksi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT
menginduksi aktivasi sel mast dan pelebaran pembuluh darah secara langsung dan
pelepasan histamin yang melalui sel mast. Karena produk vasoaktif dan
chemoattractant, sel-sel dan protein dilepaskan dari pembuluh darah. Keratinosit yang
teraktivasi juga mengungkapkan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan HLA-
DR, yang memungkinkan interaksi seluler langsung dengan sel-sel darah.1,6,11,12

F. MANIFESTASI KLINIS
Ujud Kelainan Kulit (UKK) dimulai pada individu yang tersensitasi saat 48 jam atau
beberapa hari setelah kontak dengan allergen. Paparan berulang dapat menyebabkan reaksi
crescendo yaitu UKK uang semakin memburuk. Tempat terjadinya UKK merupakan tempat
terjadinya paparan.13
Gejala subjektif yang dirasakan oleh pasien adalah sangat gatal, pada reaksi yang berat
juga terasa menyengat dan nyeri. Pada keadaan reaksi yang berat seperti pada DKA terhadap
Poison Ivy dapat terjadi sindrom penyakit akut seperti demam.13
UKK yang timbul pada DKA tergantung pada tingkat keparahan, lokasi, dan durasi. Pada
lesi akut, terdapat eritema berbatas tegas dan disertai edema. Lesi saling berdekatan dan
terdapat vesikel non-umbilicated serta papul. Pada reaksi yang berat terdapat bulla, erosi
yang berkonfluen dengan eksudat, dan krusta. Reaksi yang sama bisa terjadi pada tempat
yang tidak terkena paparan setelah beberapa minggu. Plak subakut disertai dengan eritema
ringan dengan sisik kering, tipis dan kecil disertai papul kecil dan kemerahan. Pada plak
kronis terdapat likenifikasi (penebalan epidermis dngan pendalaman kulit dengan
pendalaman garis pola paralel dan rhomboid pada kulit), bersisik, disertai papul, ekskoriasi,
eritema dan pigmentasi.13
Durasi DKA bervariasi antara individu satu dengan yang lainnya, bisa 1-2 minggu. DKA
terus memburuk bila terjadi paparan dengan alergen terus-menerus. Perjalanan lesi akut
diawali dengan eritema kemudian menjadi papula lalu vesikel. Kemudian vesikel pecah dan
terjadi erosi, erosi kan menimbulkan krusta lalu timbul skuama-skuama. Dalam bentuk akut,
papul hnya muncul pada DKA, tidak terjadi pada DKI (dermatitis kontak iritan). Pada
perjalanan lesi yang kronis, papul kronis akan menjadi skuama, kemudian terjadi proses
likenifikasi lalu terjadi ekskoriasi. Peradangan yang kronis akan menghasilkan penebalan,
fisura, skuama, dan krusta pada kulit.13

Dermatitis Kontak Alergi Akut

Dermatitis Kontak Alergi Subakut


Dermatitis Kontak Alergi Kronis

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dalam diagnosis DKA, Patch Test atau Uji Tempel adalah metode yang dapat diterima
dan merupakan gold- standard dalam penegakkan diagnosis. Pada prinsipnya, uji tempel
bergantung pada memprovokasi peradangan kulit (dermatitis) pada daerah kulit yang sangat
terbatas (kurang dari 1 cm2) dalam kondisi terkontrol. Pengembangan reaksi inflamasi pada
tempat aplikasi dari zat tertentu dianggap sebagai bukti proses hipersensitivitas. Dengan
demikian, uji tempel adalah tes skrining dan tes provokasi di target organ, yaitu kulit.9
Patch test harus dilakukan pada kasus keluhan gatal dan dermatitis yang kronis atau
berulang dan likenifikasi. Kontraindikasi untuk patch test adalah pasien dengan
imunodefisiensi, sedang dalam pengobatan imunosupresif, dan penyakit autoimun. Ibu hamil
dan menyusui merupakan kontraindikasi yang kondisional.9
Pada pasien yang sudah menggunakan kortikosteroid, patch test menjadi tidak bermakna
karena reaksi patch dihambat oleh kortikosteroid. Apabila pasien pasca mengkonsumsi
steroid sistemik maka harus ditunggu 2 minggu untuk melakukan patch test. Kemudian, pada
punggung yang sedang mengalami peradangan, patch test bisa ditunda. Karena, hasilnya bisa
menjadi positif palsu karena ketika yang bereaksi pada satu tempat, ditempat lain yang
seharusnya tidak bereaksi, akan terjadi reaktifitas yang ringan dan memperberat peradangan
di punggung.3
Dalam protokol patch test, hapten dipaparkan paa kulit dalam jumlah tertentu selama 48
jam (24 jam di beberapa negara), dan penilaian selanjutnya terhadap reaksi kulitdilakukan
pada waktu yang ditetapkan, biasanya setelah 2, 3 dan 4 hari . Bacaan tambahan setelah 7
hari dapat mengungkapkan hingga 10% reaksi positif yang negatif pada sebelumnya
pemeriksaan. Contoh haptens, yang reaksi alerginya lambat pada kulit 4 hari adalah:
neomycin, tixocortol pivalat, dan nikel. Bahan uji yang diterapkan ke kulit dengan
penggunaan ruang khusus dirancang pada pita perekat.2,9
Terdapat beberapa bentuk patch test. Yang pertama adalah Open Patch Test yaitu dengan
paparan allergen yang dicurigai pada kulit lengan atas bagian luar dan tidak ditutup plester.
Aplikasi diulang 2 kali sehari untuk 2 hari. Kemudian, Use Test. Use Test adalah melakukan
aplikasi krim atau kosmetik yang diaplikasikan jauh dari tempat munculnya lesi. Daerah
yang cocok adalah lengan bagian luar dan kulit antecubiti. Bahan diaplikasikan 2 kali sehari
selama kurang lebih 7 hari. Test di hentikan bila reaksi muncul. Selanjutnya, Closed Patch
Test. Bahan diaplikasikan di kulit dan ditutup dengan perban rekat. Perban rekat dilepas
setelah 48 jam untuk interpretasi awal. Objek yang solid seperti, kulit sepatu, kayu, karet atau
obat topikal, kosmetik, dan pelembab sangat cocok dengan teknik ini. Kemudian terdapat
T.R.U.E test (Thin layer Rapid Use Epicutaneous Test) adalah uji tempel yang siap
digunakan untuk diagnosis DKA. Uji tempel ini berisi 29 alergen yang bertanggung jawab
terhadap DKA sebanyak 80%. Terdapat 3 patch yang diaplikasikan ke kulit selama 48 jam
kemudian dilepas. Reaksi akan terinterpretasi antara 4-7 hari pada tempat aplikasi patch.3
Berikut adalah bahan-bahan hapten yang digunakan pada Patch test:9
Berikut adalah reaksi dan interpretasi hasil pada Patch test:9
H. DIAGNOSIS
Diagnosis dilakukan dengan menentukan allergen yang bertanggung jawab untuk DKA
dan dilengkapi dengan anamnesis riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik dan Patch Test. Poin
riwayat penyakit dahulu, riwayat pekerjaan, dan jenis produk untuk perawatan kulit perlu
dipertajam. Berikut skemaevaluasi diagnostik DKA.3
I. DIAGNOSIS BANDING
Berikut adalah Diagnosis Banding dari DKA:11

J. TATALAKSANA
Beriku tatalaksana untuk DKA:5
a. Prevention
Untuk menghindari kekambuhan dan bertambah parahnya DKA, maka dianjurkan
pasien menghindari pencetus terjadinya DKA. Setelah identifikasi allergen melalui Patch
Test, kemudian dokter memberikan catatan bahan apa saja yang menyebabkan alergi
sehingga harus dihindari. Selain itu, menggunakan sabun pembersih yang ringan dan
melembabkan seperti sabun bayi.
b. Terapi Simtomatik
Kompres dengan air dingin, kurangi mandi air hangat karena air hangat membuat
kulit semakin kering. Pada kasus kronis dapat diberikan emollient. Antihistamin oral
juga dapat diberikan untuk mengurangi pruritus.
c. Kortikosteroid
Pada DKA, dapat digunakan kortikosteroid topikal. Untuk DKA yang berat pada
tangan, dapat diberikan kortikosteroid topikal golongan I selama 3 minggu. Untuk DKA
pada area intertriginosa dan wajah diberikan kortikosteroid golongan VI dan VII.
Terdapat penelitian yang mengkombinasi pemberian antibiotic topikal dan kortikosteroid
topikal dan hasilnya memberikan manfaat pada DKA yang terinfeksi. Terdapat penelitian
juga yang memberikan terapi mometasone furoat pada DKA kronis. Tacrolimus topikal
efektif untuk DKA karena bahan nikel.
d. Terapi Lini Kedua
Terapi lini kedua diantaranya, psoralen plus UVA, azathioprine, dan siklosporin
digunakan untuk DKA kronis yang resisten kortikosteroid. Retinoid oral sedang
dilakukan trial menggunakan aliretinoin dan memberikan hasil yang menjanjikan.
K. Prognosis
DKA memiliki tidak memiliki efek yang signifikan terhadap kualitas hidup. Yang
biasanya mengganggu kualitas hidup pada pasien DKA adalah perasaan gatal, malu,
gangguan pekerjaan dan sulit tidur namun yang paling berpengaruh adalah efek terhadap
psikis terkait dengan gejala, fungsi, dan efek terhadap pekerjaan. Durasi dan gejala pada
DKA adalah penentu dari prognosis. Pengetahuan pasien juga berkaitan dengan prognosis
oleh karena itu edukasi pasien sangat penting. Pada kasus DKA ringan prognosis baik pada
pasien yang patuh untuk menghindari pencetus.13
Daftar Pustaka

1. Ale IS, Maibach HI. 2006. Irritant Contact Dermatitis Versus Allergic Contact
Dermatitis. http://eknygos.lsmuni.lt/springer/236/Part%20I/1%20Item.pdf - diakses 8
April 2016
2. Bourke J, Coulson I, English J. 2009. Guidelines for the management of contact
dermatitis: an update. British Journal of Dermatology. 160.pp 946-954.
3. Habif TP. 2010. Clinical Dermatology. 5th ed. UK : MOSBY ELSEVIER. h. 130-153.
4. Hammonds LM, Hall VC, Yiannias JA. 2009. Allergic contacts dermatitis in 136
children patch tested between 2000 and 2006. International Journal of Dermatology.
48.pp 271-274.
5. http://emedicine.medscape.com/article/1049216-treatment#d8 - Diakses tanggal 8
April 2016.
6. Martins LEAM, Reis VMS. 2011. Immunopathology of allergic contact dermatitis.
An Bras Dermatol. 86(3).pp: 419-433.
7. Mowad CM, Marks Jr JG. Allergic Contact Dermatitis. 2012. Dalam : Bolognia JL,
Jorizzo JL, Schaffer JV. Dermatology. 3rd ed. New York : ELSEVIER. H. 233-248.
8. Saint-Mezard P, Rosieres A, Krasteva M, Berard F, Dubois B, Kaiserlian D, Nicolas J.
2004. Allergic contact dermatitis. Eur J Dermatol. 14 (5).pp 284-295.
9. Spiewak R. 2008. Patch testing for contact allergy and allergic contact dermatitis. The
Open Allergy Journal. 1.pp 42-51.
10. Streit M, Braathen LR. 2001. Contact dermatitis: clinics and pathology. Acta Odontol
Scand. 59.pp 309-314.
11. Tardan MPC, Zug KA. Allergic Contact Dermatitis. 2012. Dalam: Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K (eds). Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine. 8th ed. New York: The McGraw-Hill. h. 244-260.
12. Toncic RJ, Lipozencic J, Martinac I, Greguric S. 2011. Immunology of Allergic
Contact Dermatitis. Acta Dermatovenerol Croat. 19(1).pp 51-68.
13. Wolff K, Johnson RA. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 6th ed. New York: The McGraw-Hill. h. 26-33.
STATUS PENDERITA

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. R
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Surakarta
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Status : Menikah
Tanggal Periksa : 29 Maret 2016
No. RM : 0133xxxx

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama

Gatal di kedua kaki yang semakin memberat.

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSDM dengan keluhan gatal yang
semakin memberat di kedua kaki sejak 1 bulan yang lalu. Gatal dirasakan hilang timbul,
namun sejak 1 bulan terakhir, pasien merasa keluhan lebih sering muncul dan semakin
terasa gatal hingga mengganggu aktivitas pasien. Apabila gatal, pasien menggaruk hingga
lecet. Pasien mengatakan keluhan semakin gatal apabila terkena kain (sprei) yang
berbahan panas, karpet, dan sandal jepit.
Keluhan dirasakan pertama kali sekitar ± 1 tahun yang lalu saat pasien mencuci
pakaian, pasien menggunakan sandal jepit untuk alas kaki dan mencuci pakaian dengan
detergen rinso. Beberapa hari kemudian, kedua kaki pasien bersisik berwarna putih, dan
terasa gatal. Karena sangat gatal pasien menggaruk sehingga lecet dan mengeluarkan
cairan bening.
Pasien sudah memeriksakan keluhannya ke Puskesmas seminggu semenjak
keluhan pertama muncul dan sering kembali ke Puskesmas jika keluhan belum membaik
dan obatnya habis. Riwayat pengobatan yang pasien dapat dari Puskesmas antara lain
berupa salep Chloramphenicol, Prednison, Betamethasone, Hidrokortison, Gentamycin,
dan tablet Cetirizine. Sehari-harinya, pasien mandi menggunakan sabun Dettol dan air
hangat. Sudah 1 bulan terakhir, setiap pagi dan sore pasien mengobati kakinya dengan
kompresan kunyit dan merendam kaki pada air hangat yang diberi kayu secang. Namun,
pasien merasakan kakinya semakin pecah-pecah dan menghitam di bagian yag dioles
salep. Karena keluhan dirasa belum membaik, pasien berobat ke RSDM.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat sakit serupa sebelumnya : (-)


Riwayat alergi obat : (-)
Riwayat alergi makanan : (+) terhadap udang
Riwayat asma : (-)
Riwayat hipertensi : (-)
Riwayat diabetes mellitus : (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga dan lingkungan

Riwayat sakit serupa pada anggota keluarga : (-)


Riwayat alergi obat/makanan : (-)
Riwayat asma : (-)
Riwayat hipertensi : (-)
Riwayat diabetes mellitus : (-)

E. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien saat ini tinggal dengan suami dan dua orang anaknya. Pasien seorang
pegawai swasta. Pasien memperoleh pelayanan kesehatan dengan fasilitas BPJS.

F. Riwayat Gizi dan Kebiasaan

Pasien makan 3 kali sehari, dengan nasi, lauk-pauk, serta sayur. Pasien rutin
mandi 2 kali sehari menggunakan sabun Dettol dan air hangat. Sudah 1 bulan ini, setiap
pagi sore pasien mengobati kakinya dengan kompresan kunyit dan merendam kaki pada
air hangat yang diberi kayu secang.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum : tampak sehat, compos mentis GCS E4V5M6, gizi kesan cukup
Vital Sign : TD : 110/80 mmhg
Frekuensi nadi : 84x/menit
Frekuensi napas : 18 x / menit
Suhu : 36,2oC
VAS :0
Antropometri : Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 152 cm
Kepala : mesocephal
Wajah : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Mata : dalam batas normal
Telinga : dalam batas normal
Thorax : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas Atas : dalam batas normal
Ekstremitas Bawah : lihat status dermatologis
B. Status Dermatologis
Regio Dorsum Pedis Dextra et Sinistra
Tampak patch dan plak eritema berbatas tegas disertai skuama tipis diatasnya.
IV. DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis Kontak Alergika et causa suspek sandal jepit
2. Dermatitis Kontak Iritan et causa suspek detergen rinso
3. Tinea Pedis

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan KOH : (-)

VI. DIAGNOSIS KERJA


Dermatitis Kontak Alergika et causa suspek sandal jepit

VII. PLAN
Patch Test

VIII. TERAPI
 Non Medikamentosa
- Edukasi pasien:
1. Menghindari faktor pencetus seperti sandal jepit, sabun detergen rinso, karpet
dan kain (sprei) berbahan panas
2. Menghindari makanan yang menyebabkan alergi seperti udang
3. Menggunakan sabun bayi dan air biasa untuk mandi (tidak dianjurkan
memakai air hangat)

4. Jika saat mencuci pakaian kaki terkena sabun cuci, langsung dibilas dengan
air bersih dan oleskan cream.
 Medikametosa
- Momethasone Furoate 0,1% cream dioles di area lesi setiap 2 kali per hari
- Cetirizine tablet 10 mg 1 kali per hari

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad kosmetikum : bonam

Anda mungkin juga menyukai