Anda di halaman 1dari 2

Nama :David Ari Sandi

Delegasi :Rayon Klorofil Unisda

Sejarah
Yang Hilang

Seruan ini juga diyakini memiliki sumbangan besar atas pecahnya Peristiwa 10
November 1945 yang terkenal dan kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan. Soetomo
atau terkenal dengan panggilan Bung Tomo, pimpinan laskar BPRI dan Radio
Pemberontakan, yang sering disebut sebagai penyulut utama peristiwa 10 November
diketahui memiliki hubungan yang dekat dengan kalangan Islam. Jauh sebelum peristiwa itu,
ia diketahui telah berkawan baik dengan Wahid Hasyim, tokoh muda NU yang penting saat
itu. Karena faktor Wahid Hasyim pula ia terpilih sebagai satu-satunya pemuda dari Surabaya
yang menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru pada Juli 1945 yang menggantikan Hokokai
peninggalan Jepang. Di luar itu, juga umum diketahui bahwa saat itu Bung Tomo kerap
bertandang ke Pesantren Tebu Ireng, Jombang, untuk menemui dan meminta restu
Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari. Seruan “Allahu Akbar” di pembuka dan penutup
orasinya yang sangat membakar melalui Radio Pemberontakan yang dipimpinnya adalah
upayanya untuk merekrut kalangan pemuda Muslim di satu sisi dan bukti kedekatan
hubungannya dengan kalangan Islam. Tidak terbatas pada Peristiwa 10 November 1945,
seruan ini berdampak panjang pada masa berikutnya. Perjuangan kemerdekaan yang
melibatkan massa rakyat yang berlangsung hampir empat tahun sesudah itu di berbagai
tempat di Jawa khususnya hingga pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949 juga banyak
didorong oleh semangat jihad yang diserukan melalui resolusi ini. Pesan dan isi Resolusi
Jihad ini jelas dan tegas. Tetapi dalam interpretasinya, terutama melalui penyebarannya
secara lisan, kadang-kadang memperoleh tekanan yang lebih keras dan luas seperti bahwa
kewajiban (fardhu ‘ain) bagi setiap muslim yang berada pada jarak radius 94 km untuk turut
berjuang. Sedangkan yang berada di luar jarak itu berkewajiban untuk membantu saudara-
saudara mereka yang berada dalam jarak radius tersebut. Jalur “aksi perjuangan” melalui
Resolusi Jihad memang harus berhadapan dengan “jalur diplomasi” yang dipilih beberapa
pemimpin nasional saat itu. Bagaimanapun ini adalah suatu tanggapan yang cepat, tepat, dan
tegas dari NU atas krisis kepercayaan dan kewibawaan sebagai bangsa yang baru menyatakan
kemerdekaannya. Pada akhirnya, Resolusi Jihad tak lain merupakan bukti historis komitmen
NU untuk membela dan mempertahankan Tanah Air.

Dan yang kita tahu sekarang ini diskusi mengenai sejarah sangat sepi, apalagi di era
teknologi ini pemuda lebih menyukai membaca tulisan di media sosial secara sekilas,
terkadang dengan pemahaman yang belum luas tulisan sepintas yang ada di medi sosial
menjadi masalah yang diperdebatkan yang akhirnya menimbulkan konflik media. Bukan
hanya pada diskusi sejarah, tetapi pada masalah-masalah yang ada pada internal kita itu
mungkin belum seluruhnya dimengerti, terlebih lagi untuk masalah sholat yang itu adalah
kewajiban dari umat muslim sendiri itu sudah jarang dilakukan oleh kader-kader Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan mungkin seluruh masalah itu sangat bertentangan
dengan istilah kader sebagai kader ulil albab. Karena untuk menjadi kader yang ulil albab di
dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Maka setiap hari harus senantiasa
memperbaiki diri dalam rangka pembentukan pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa
kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, dan berkomitmen memperjuangkan nilai-nilai
kemerdekaan Indonesia. selalu memperbaiki diri secara istiqomah (improvisasi diri) menurut
saya adalah kewajiban seluruh kader, sehingga apa yang telah dijadikan sebagai tujuan mulia
PMII nantinya bisa tercapai secara nyata.

Oleh sebab itu semua perilaku dan pemikiran kader sangat berpengaruh agar bisa
menjadi kader ulil albab, dan mungkin semua perubahan baik pemikiran dan perilaku
dipengaruhi oleh lingkungan yang baik pula agar dapat tercipta kader ulil albab.

Anda mungkin juga menyukai