A
danya banyak jalur biokimia berbeda yang terlibat dalam reaksi
obat, tentunya ada beberapa gen yang mempengaruhi metabolisme
obat. Tujuan dari bab ini adalah untuk memberikan ulasan tentang
pengetahuan kontrol genetika pada metabolisma obat.
Satu dari banyak kasus yang dimengerti secara baik tentang landasan
genetik mengenai respon obat pada ternak adalah reaksi terhadap
pembiusan halothane pada babi, yang, seperti diterangkan pada Bab 6, telah
digunakan sebagai tes untuk malignant hyperthermia syndrome (MHS). Reaktor
biasanya menunjukkan gejala kekakuan pada daerah punggung setelah 2
menit dibius halothane, yang terkait dengan hyperthermia cepat yang segera
manyebabkan kematian jika halothane tidak segera dipindahkan. Reaksi
terhadap halothane terjadi karena homozigot untuk alel resesif, yang biasanya
diberi simbol hal atau n.
Selain peran yang jelas terkait dengan MHS, hal juga penting sebab
ada hubungan kuat antara reaksi halothane dan sifat-sifat penting secara
ekonomi yaitu porcine stress syndrom (PSS), yang ditandai oleh kematian
mendadak setelah stres kecil, dan oleh daging pucat (pale), lunak (soft),
eksudatif/berair (PSE). Kebalikan dengan sifat yang tidak diinginkan ini, hal
juga mempunyai manfaat penting yaitu meningkatkan hasil daging berkadar
lemak rendah (lean). (Seperti disebutkan dalam Bab 5, hal ini tampaknya
merupakan contoh lain mengenai seleksi memilih heterozigot, yang
menjelaskan mengapa hal tetap dalam frekuensi tinggi pada beberapa
populasi di dunia.) Opini terbagi karena membuat keadaan apakah
manfaatnya lebih besar daripada kerugiannya. Dalam beberapa kasus,
karena perannya yang jelas, puluhan ribu babi dilakukan uji halothane di
seluruh dunia setiap tahun selama tahun 1980-an, dan lokus halothane
merupakan subjek penelitian internasional. Di tahun 1991, terobosan besar
terjadi saat tim peneliti Kanada yang dipimpin oleh David MacLennan
melaporkan isolasi dan kloning gen halothane pada babi. Lebih lanjut, dengan
membandingkan sekuen nukleotida dari dua alel (normal dan hal),
MacLennan dan koleganya menunjukkan bahwa hal berbeda dari alel normal
dengan substitusi 18 nukleotida. Namun demikian, hanya ada satu dari
substitusi nukleotida tersebut membuat substitusi asam amino; sisanya
merupakan mutasi tersembunyi (silent mutation). Ini berarti bahwa seluruh
efek yang merugikan dari alel hal (MHS, PSS, dan PSE), ditambah efek yang
menguntungkan, akibat adanya mutasi paling sederhana, yang disebut
Farmakogenetika - 187
sebagai substitusi basa tunggal. Ini terjadi pada nukleotida ke-1843 (dimana
C diganti oleh T), yang menyebakan terjadinya substitusi asam amino
(arginine diganti oleh cysteine) pada posisi ke-615 dalam rantai polipeptida.
Produk polipeptida dari gen halothane mempunyai nama yang tidak
sama dengan ryanodine receptor, sebab ini pertama kali diidentifikasi sebagai
protein yang mengikat sangat kuat pada alkaloid tanaman yang disebut
ryanodine. Ini sebenarnya merupakan saluran pelepasan kalsium (calcium
release channel/CRC) pada retikulum sarkoplasmik dari otot rangka, yang
memungkinkan ion kalsium mengalir ke dalam jaringan otot yang mengitari,
yang menyebabkan kontraksi otot.
Molekul CRC sangat besar, yang terdiri atas rantai tunggal berukuran
sekitar 5.000 asam amino, yang artinya bahwa total sekuen penyandi dari
gen tersebut kira-kira berukuran 15.000 pb. Ini membuat perbedaan
substitusi basa tunggal antara alel normal dan alel hal sangat luar biasa; dua
bentuk alternatif dari polipeptida dibedakan hanya oleh satu asam amino
dalam sebuah rantai 5.000 asam amino! Perbedaan sederhana ini terjadi pada
satu posisi dalam polipeptida yang berperan penting terhadap laju kalsium,
yang kemudian menimbulkan seluruh efek (manfaat dan kerugiannya) pada
gen halothane.
Kloning gen CRC telah memungkinkan dilakukannya uji DNA secara
ekstensif dalam populasi babi di seluruh dunia. Indikasi awal adalah bahwa
mutasi yang sama bertanggung jawab untuk seluruh kasus MHS pada babi.
Pada manusia situasi ini tidak terlalu jelas; dalam beberapa keluarga mutasi
yang sama seperti pada babi dikaitkan dengan MHS, tapi pada keluarga lain,
MHS memisah secara independen dari gen CRC, yang mengindikasikan
bahwa ada gen lain yang terlibat dalam MHS. Dengan adanya
heterogenetitas pada manusia, kita seharusnya tidak terlalu heran jika suatu
saat nanti kita menemukan kasus MHS pada babi yang tidak terkait dengan
gen CRC.
Farmakogenetika - 189
dengan genotipe RS mempunyai fitness di antara dua homozigot, misalnya
0,46, 0,77 dan 1,00 berturut-turut untuk RR, RS, SS. Dari Bab 5, ini menjadi
bukti bahwa hasil dari rangkaian fitness relatif adalah bahwa alel R mungkin
dipindahkan dari populasi, atau dipertahankan pada frekuensi rendah oleh
keseimbangan seleksi-mutasi.
Ketika warfarin diperkenalkan, kedua heterozigot RS dan homozigot
RR adalah resisten. Tapi homozigot RR masih mempunyai fitness lebih
rendah karena kebutuhannya yang lebih besar untuk vitamin K. Dan
homozigot SS mempunyai fitness yang lebih rendah dari heterozigot RS
karena mereka rentan terhadap warfarin. Oleh karena itu, dengan adanya
warfarin, ada superioritas heterozigot untuk fitness. Dalam suatu penelitian,
fitness relatif dengan adanya warfarin adalah 0,37, 1,00, dan 0,68 berturut-
turut untuk RR, RS dan SS. Ini ditinggalkan bagi pembaca untuk
menjelaskan, dengan menggunakan konsep yang didiskusikan pada Bab 5,
bahwa konsekuensi yang diharapkan dari perubahan ini pada fitness relatif
adalah kenaikan frekuensi alel R ke ekuilibrium baru 0,34, yang terkait
dengan frekuensi tikus yang kebal kira-kira 0,56 pada kelahiran setiap
generasi.
Ini adalah contoh klasik tentang polimorfisme stabil. Membiarkan
kematian beberapa tikus RR karena kekurangan vitamin K, dan ukuran
tubuhnya yang tampak lebih kecil dan kekurangan dominasi sosial, laporan
di atas merupakan suatu penjelasan yang cukup untuk frekuensi yang
teramati dari tikus kebal. Ini juga merupakan penjelasan yang cukup
memadai untuk penurunan secara teratur dari frekuensi tikus resisten yang
diamati pada area di mana penggunaan warfarin telah dikurangi setelah
penggunaan ekstensif sebelumnya.
Cerita mengenai warfarin mungkin contoh yang paling dramatis dari
implikasi praktis tentang variasi genetika di dalam respon terhadap obat.
Meskipun penggunaan warfarin sebagai rodentisida tidak langsung
berhubungan dengan penggunaanya atau obat lain pada ternak domestik
atau manusia, cerita warfarin menekankan bahwa perbedaan antara individu
ada dalam kaitannya dengan respon obat dan bahwa perbedaan ini kadang-
kadang di bawah kontrol genetik.
Tidak mengherankan, pengaruh warfarin bisa ditiru melalui mutasi
pada lokus yang menyandi enzim yang terlibat dalam siklus vitamin K.
Sebagai contoh, kekurangan pada seluruh factor pembekuan yang
tergantung pada vitamin K (II,VII, IX, dan X), yang dilaporkan pada kucing
Devon Rex, tampaknya akibat mutasi pada lokus γ-glutamylcarboxylase
(Lampiran 3.1)
Gambar 9.1 Konsentrasi obat debrisoquine pada urin anggota populasi, setelah
pemberian dosis standar obat. Konsentrasi digambarkan sebagai
batang dari rasio persentase dosis yang dikeluarkan sebagai
debrisoquine pada persentase dosis yang dikeluarkan sebagai 4-
hydroxydebrisoquine. Batang hitam menunjukkan homozigot untuk alel
kurang metabolizer; batang putih adalah homozigot untuk alel normal
atau yang heterozigot.
Jika tidak ada gen tunggal berpengaruh besar yang terlibat dalam
metabolisme obat tertentu, distribusi yang dihasilkan dari konsentrasi obat
dalam suatu populasi yang mengikuti dosis standar obat tersebut
merupakan distribusi normal berbentuk-lonceng unimodal yang telah
diketahui dengan baik (Gambar 9.2). Pada satu kondisi ekstrim, konsentrasi
Farmakogenetika - 191
bisa begitu tinggi sehingga menghasilkan pengaruh racun. Pada ekstrim
yang lain, konsentrasi bisa begitu rendah sehingga obat tersebut tidak efektif.
Variabilitas dalam respon terhadap dosis standar untuk obat tertentu jelas
mempunyai implikasi praktis. Karena biasanya tidak ada cara untuk
mengetahui, sebelum pemberian obat, dimana individu tertentu berada pada
distribusi keseluruhan, ada sedikit yang dapat dilakukan dalam hal
penentuan dosis yang sesuai untuk individu tertentu. Namun demikian,
penting untuk diingat bahwa ada variabilitas antar individu dalam respon
terhadap sebagian besar obat, dan bahwa ini kadang-kadang bisa
menyebabkan toxic (bersifat racun) atau hasil yang tidak efektif dari dosis
standar suatu obat.
Gambar 9.2. Distribusi kontinyu dari konsentrasi obat dihasilkan dari aksi beberapa
gen dan beberapa faktor non-genetika.
Farmakogenetika - 193