Anda di halaman 1dari 8

FARMAKOGENETIKA

A
danya banyak jalur biokimia berbeda yang terlibat dalam reaksi
obat, tentunya ada beberapa gen yang mempengaruhi metabolisme
obat. Tujuan dari bab ini adalah untuk memberikan ulasan tentang
pengetahuan kontrol genetika pada metabolisma obat.

Polimorfisme genetik yang mempengaruhi metabolisme obat

Satu dari kelompok gen terpenting yang terkait dengan metabolisme


obat adalah sekelompok gen sitokrom-P450. Jumlah gen P450 yang secara
fungsi berbeda dalam suatu spesies sedikitnya 60 dan mungkin lebih dari
200. Produk dari sekelompok gen ini adalah enzim yang mengandung haem
yang disebut sebagai mono-oksigenase, yang terdapat pada garis depan
‘pertahanan’ melawan senyawa kimia ‘asing’, yang menampilkan beberapa
fungsi biokimia berbeda termasuk hidroksilasi, dehalogenasi, dealkilasi,
deaminasi, dan reduksi, sebagai langkah penting pertama pada detoksifikasi.
Sementara masih banyak yang perlu dipelajari mengenai enzim-enzim
ini, khususnya pada ternak domestik, telah ada bukti substansial tentang
polimorfisme pada beberapa gen P450, yang berkorelasi dengan reaksi
terhadap beberapa obat termasuk debrisoquin, sparteine, dextrometorphan,
trycylic antidepressants, opioids, beta-adrenergic receptor antagonis, mephenytoin,
mephobarbital, hexobarbital, dan diazepam. Bentuk mutan enzim P450
menghambat metabolisme obat-obat ini, yang reaksi obatnya bersifat
merugikan, termasuk adanya efek samping.
Polimorfisme lain yang telah terdokumentasi secara baik pada
metabolisme obat terkait dengan lokus untuk enzim N-acetyltransferase

186 - Pengantar ke Genetika Veteriner


(NAT), yang terlibat dalam sejumlah reaksi acetylation numerous. Alel cacat
pada lokus ini menghasilkan deaktivasi lebih lambat pada berbagai obat
termasuk isoniazid, sulphametazine dan beberapa sulfonamid lain, hydralazine,
procainamide, dapsone, asam para-amino benzoic, phenelzine, dan
aminoglutethimide; serta bahan-bahan seperti clonazepam, nitrazepam, benzidine,
2-amino-fluorene, beta-naphtylamine, dan bahkan kafein! Sekali lagi,
kepentingan klinis alel mutan muncul akibat efek samping yang dipicu oleh
kegagalan melakukan deaktivasi kimia.

Genetika dan pembiusan

Satu dari banyak kasus yang dimengerti secara baik tentang landasan
genetik mengenai respon obat pada ternak adalah reaksi terhadap
pembiusan halothane pada babi, yang, seperti diterangkan pada Bab 6, telah
digunakan sebagai tes untuk malignant hyperthermia syndrome (MHS). Reaktor
biasanya menunjukkan gejala kekakuan pada daerah punggung setelah 2
menit dibius halothane, yang terkait dengan hyperthermia cepat yang segera
manyebabkan kematian jika halothane tidak segera dipindahkan. Reaksi
terhadap halothane terjadi karena homozigot untuk alel resesif, yang biasanya
diberi simbol hal atau n.
Selain peran yang jelas terkait dengan MHS, hal juga penting sebab
ada hubungan kuat antara reaksi halothane dan sifat-sifat penting secara
ekonomi yaitu porcine stress syndrom (PSS), yang ditandai oleh kematian
mendadak setelah stres kecil, dan oleh daging pucat (pale), lunak (soft),
eksudatif/berair (PSE). Kebalikan dengan sifat yang tidak diinginkan ini, hal
juga mempunyai manfaat penting yaitu meningkatkan hasil daging berkadar
lemak rendah (lean). (Seperti disebutkan dalam Bab 5, hal ini tampaknya
merupakan contoh lain mengenai seleksi memilih heterozigot, yang
menjelaskan mengapa hal tetap dalam frekuensi tinggi pada beberapa
populasi di dunia.) Opini terbagi karena membuat keadaan apakah
manfaatnya lebih besar daripada kerugiannya. Dalam beberapa kasus,
karena perannya yang jelas, puluhan ribu babi dilakukan uji halothane di
seluruh dunia setiap tahun selama tahun 1980-an, dan lokus halothane
merupakan subjek penelitian internasional. Di tahun 1991, terobosan besar
terjadi saat tim peneliti Kanada yang dipimpin oleh David MacLennan
melaporkan isolasi dan kloning gen halothane pada babi. Lebih lanjut, dengan
membandingkan sekuen nukleotida dari dua alel (normal dan hal),
MacLennan dan koleganya menunjukkan bahwa hal berbeda dari alel normal
dengan substitusi 18 nukleotida. Namun demikian, hanya ada satu dari
substitusi nukleotida tersebut membuat substitusi asam amino; sisanya
merupakan mutasi tersembunyi (silent mutation). Ini berarti bahwa seluruh
efek yang merugikan dari alel hal (MHS, PSS, dan PSE), ditambah efek yang
menguntungkan, akibat adanya mutasi paling sederhana, yang disebut

Farmakogenetika - 187
sebagai substitusi basa tunggal. Ini terjadi pada nukleotida ke-1843 (dimana
C diganti oleh T), yang menyebakan terjadinya substitusi asam amino
(arginine diganti oleh cysteine) pada posisi ke-615 dalam rantai polipeptida.
Produk polipeptida dari gen halothane mempunyai nama yang tidak
sama dengan ryanodine receptor, sebab ini pertama kali diidentifikasi sebagai
protein yang mengikat sangat kuat pada alkaloid tanaman yang disebut
ryanodine. Ini sebenarnya merupakan saluran pelepasan kalsium (calcium
release channel/CRC) pada retikulum sarkoplasmik dari otot rangka, yang
memungkinkan ion kalsium mengalir ke dalam jaringan otot yang mengitari,
yang menyebabkan kontraksi otot.
Molekul CRC sangat besar, yang terdiri atas rantai tunggal berukuran
sekitar 5.000 asam amino, yang artinya bahwa total sekuen penyandi dari
gen tersebut kira-kira berukuran 15.000 pb. Ini membuat perbedaan
substitusi basa tunggal antara alel normal dan alel hal sangat luar biasa; dua
bentuk alternatif dari polipeptida dibedakan hanya oleh satu asam amino
dalam sebuah rantai 5.000 asam amino! Perbedaan sederhana ini terjadi pada
satu posisi dalam polipeptida yang berperan penting terhadap laju kalsium,
yang kemudian menimbulkan seluruh efek (manfaat dan kerugiannya) pada
gen halothane.
Kloning gen CRC telah memungkinkan dilakukannya uji DNA secara
ekstensif dalam populasi babi di seluruh dunia. Indikasi awal adalah bahwa
mutasi yang sama bertanggung jawab untuk seluruh kasus MHS pada babi.
Pada manusia situasi ini tidak terlalu jelas; dalam beberapa keluarga mutasi
yang sama seperti pada babi dikaitkan dengan MHS, tapi pada keluarga lain,
MHS memisah secara independen dari gen CRC, yang mengindikasikan
bahwa ada gen lain yang terlibat dalam MHS. Dengan adanya
heterogenetitas pada manusia, kita seharusnya tidak terlalu heran jika suatu
saat nanti kita menemukan kasus MHS pada babi yang tidak terkait dengan
gen CRC.

Daya Tahan Warfarin

Warfarin adalah antikoagulan yang digunakan secara ekstensif pada


pengobatan; itu juga digunakan sebagai racun pada hewan pengerat.
Hanya lima tahun setelah diperkenalkan sebagai rodentisida di
Inggris, tikus yang kebal ditemukan di lapangan. Sembilan tahun kemudian
(pada tahun 1967, ketika pertamakali estimasi menjadi tersedia), frekuensi
tikus yang kebal mendekati 50% dalam area dimana warfarin digunakan
secara teratur, dan tampaknya frekuensi ini akan terus bertambah. Namun
demikian, frekuensi tikus yang kebal tetap pada level tengah (sekitar 50%)
sejak saat itu. Apakah yang menyebabkan keseimbangan tengah yang
tampak stabil ini?

188 - Pengantar ke Genetika Veteriner


Jawabannya terletak pada pengertian proses penggumpalan darah.
Dalam istilah sederhana, penggumpalan merupakan suatu rangkaian
kompleks dalam reaksi biokimia yang melibatkan berbagai faktor
penggumpalan. Beberapa faktor ini, yaitu protein II, VII, IX, dan X,
membutuhkan vitamin K untuk mengaktifkannya. Secara khusus, vitamin K
adalah ko-faktor untuk fase karboksilase dalam pengaktifan tersebut,
dimana asam amino glutamic acid tertentu dalam polypeptide faktor
pembekuan diubah menjadi asam gamma-carboxyglutamic (disebut Gla) oleh
enzim γ-glutamylcarboxilase. Karboksilasi ini memungkinkan faktor
pembekuan mengikat ion kalsium, yang kemudian memungkinkan faktor-
faktor tersebut mengikatkan diri ke fosfolipid pada permukaannya. Ini
merupakan cara bagaimana penggumpalan darah diawali. Pada saat setiap
molekul vitamin K telah menyelesaikan tugas karboksilasinya, molekul ini
telah menjadi vitamin K epoxide, yang kemudian dikurangi oleh enzim
epoxide reductase kembali pada bentuk aslinya, sebagai persiapan untuk siklus
karboksilasi berikutnya. Proses karboksilasi yang diikuti pengurangan
tersebut dinamakan siklus vitamin K .
Warfarin mempunyai struktur yang sangat mirip dengan vitamin K,
dan oleh karena itu mengikat epoxide reductase, mencegahnya dari siklus
ulang vitamin K epoxide. Hasilnya adalah suatu vitamin K epoxide, sutau
bentuk defisiensi vitamin K, dan oleh karenanya kekurangan faktor
pembekuan.
Ada beberapa bentuk yang berbeda mengenai kekebalan yang bersifat
mewaris dari warfarin pada hewan pengerat. Satu dari yang paling mudah
dipahami melibatkan satu alel resesif autosom, R, yang menyandi suatu
bentuk yang agak berbeda dari epoxide reductase yang mempunyai daya ikat
lebih rendah terhadap warfarin. Tapi karena vitamin K dan warfarin memiliki
kemiripan struktur molekul, bentuk mutan epoxide reductase juga mempunyai
daya ikat lebih rendah terhadap vitamin K. Konsekuensi praktis untuk ini
adalah bahwa ternak homozigot untuk alel resisten memerlukan vitamin K
20 kali lipat lebih tinggi dalam makannya, untuk mengompensasi daya ikat
yang rendah dari enzim yang dihasilkan oleh alel ini. Jika peningkatan
kebutuhan ini tidak bisa dipenuhi, homozigot untuk alel resisten menderita
kelainan pendarahan yang sama seperti homozigot yang dipicu oleh warfarin
pada ternak yang rentan, yaitu kelainan akibat kekurangan di dalam faktor
pembekuan darah yang tergantung pada vitamin K.
Beberapa penelitian mengenai fitness relatif pada setiap genotype yang
dihasilkan dari aksi faktor-faktor ini telah dilakukan. Menggunakan hasil
dari dua penelitian di Inggris, laporan yang agak sederhana berikut ini
mengilustrasikan aspek utama tentang cerita warfarin.
Karena homozigot RR mempunyai kebutuhan vitamin K lebih tinggi
dibandingkan heterozigot (RS, S adalah alel normal/wild-type yang rentan),
genotipe RR mempunyai fitness relatif paling rendah tanpa adanya warfarin,

Farmakogenetika - 189
dengan genotipe RS mempunyai fitness di antara dua homozigot, misalnya
0,46, 0,77 dan 1,00 berturut-turut untuk RR, RS, SS. Dari Bab 5, ini menjadi
bukti bahwa hasil dari rangkaian fitness relatif adalah bahwa alel R mungkin
dipindahkan dari populasi, atau dipertahankan pada frekuensi rendah oleh
keseimbangan seleksi-mutasi.
Ketika warfarin diperkenalkan, kedua heterozigot RS dan homozigot
RR adalah resisten. Tapi homozigot RR masih mempunyai fitness lebih
rendah karena kebutuhannya yang lebih besar untuk vitamin K. Dan
homozigot SS mempunyai fitness yang lebih rendah dari heterozigot RS
karena mereka rentan terhadap warfarin. Oleh karena itu, dengan adanya
warfarin, ada superioritas heterozigot untuk fitness. Dalam suatu penelitian,
fitness relatif dengan adanya warfarin adalah 0,37, 1,00, dan 0,68 berturut-
turut untuk RR, RS dan SS. Ini ditinggalkan bagi pembaca untuk
menjelaskan, dengan menggunakan konsep yang didiskusikan pada Bab 5,
bahwa konsekuensi yang diharapkan dari perubahan ini pada fitness relatif
adalah kenaikan frekuensi alel R ke ekuilibrium baru 0,34, yang terkait
dengan frekuensi tikus yang kebal kira-kira 0,56 pada kelahiran setiap
generasi.
Ini adalah contoh klasik tentang polimorfisme stabil. Membiarkan
kematian beberapa tikus RR karena kekurangan vitamin K, dan ukuran
tubuhnya yang tampak lebih kecil dan kekurangan dominasi sosial, laporan
di atas merupakan suatu penjelasan yang cukup untuk frekuensi yang
teramati dari tikus kebal. Ini juga merupakan penjelasan yang cukup
memadai untuk penurunan secara teratur dari frekuensi tikus resisten yang
diamati pada area di mana penggunaan warfarin telah dikurangi setelah
penggunaan ekstensif sebelumnya.
Cerita mengenai warfarin mungkin contoh yang paling dramatis dari
implikasi praktis tentang variasi genetika di dalam respon terhadap obat.
Meskipun penggunaan warfarin sebagai rodentisida tidak langsung
berhubungan dengan penggunaanya atau obat lain pada ternak domestik
atau manusia, cerita warfarin menekankan bahwa perbedaan antara individu
ada dalam kaitannya dengan respon obat dan bahwa perbedaan ini kadang-
kadang di bawah kontrol genetik.
Tidak mengherankan, pengaruh warfarin bisa ditiru melalui mutasi
pada lokus yang menyandi enzim yang terlibat dalam siklus vitamin K.
Sebagai contoh, kekurangan pada seluruh factor pembekuan yang
tergantung pada vitamin K (II,VII, IX, dan X), yang dilaporkan pada kucing
Devon Rex, tampaknya akibat mutasi pada lokus γ-glutamylcarboxylase
(Lampiran 3.1)

190 - Pengantar ke Genetika Veteriner


Farmakogenetika Multifaktor

Pada contoh yang digambarkan di atas, alel pada lokus tunggal


mempunyai pengaruh luas pada metabolisme obat tertentu. Ini digambarkan
pada Gambar 9.1. Namun demikian, Gambar 9.1 juga menunjukkan bahwa
ada variasi substansial di dalam setiap dua kelompok. Variasi ini analog
dengan apa yang terlihat pada Bab 6, ketika kita membahas liability pada
cacat dan penyakit: ini adalah multifaktor, yang kita maksudkan bahwa hal
itu karena kombinasi dari sejumlah faktor non-genetik yang tak diketahui
ditambah sejumlah gen yang tidak diketahui.

Gambar 9.1 Konsentrasi obat debrisoquine pada urin anggota populasi, setelah
pemberian dosis standar obat. Konsentrasi digambarkan sebagai
batang dari rasio persentase dosis yang dikeluarkan sebagai
debrisoquine pada persentase dosis yang dikeluarkan sebagai 4-
hydroxydebrisoquine. Batang hitam menunjukkan homozigot untuk alel
kurang metabolizer; batang putih adalah homozigot untuk alel normal
atau yang heterozigot.

Jika tidak ada gen tunggal berpengaruh besar yang terlibat dalam
metabolisme obat tertentu, distribusi yang dihasilkan dari konsentrasi obat
dalam suatu populasi yang mengikuti dosis standar obat tersebut
merupakan distribusi normal berbentuk-lonceng unimodal yang telah
diketahui dengan baik (Gambar 9.2). Pada satu kondisi ekstrim, konsentrasi

Farmakogenetika - 191
bisa begitu tinggi sehingga menghasilkan pengaruh racun. Pada ekstrim
yang lain, konsentrasi bisa begitu rendah sehingga obat tersebut tidak efektif.
Variabilitas dalam respon terhadap dosis standar untuk obat tertentu jelas
mempunyai implikasi praktis. Karena biasanya tidak ada cara untuk
mengetahui, sebelum pemberian obat, dimana individu tertentu berada pada
distribusi keseluruhan, ada sedikit yang dapat dilakukan dalam hal
penentuan dosis yang sesuai untuk individu tertentu. Namun demikian,
penting untuk diingat bahwa ada variabilitas antar individu dalam respon
terhadap sebagian besar obat, dan bahwa ini kadang-kadang bisa
menyebabkan toxic (bersifat racun) atau hasil yang tidak efektif dari dosis
standar suatu obat.

Gambar 9.2. Distribusi kontinyu dari konsentrasi obat dihasilkan dari aksi beberapa
gen dan beberapa faktor non-genetika.

Pada akhirnya, biologi molekuler dan pemetaan gen akan


menyebabkan teridentifikasinya seluruh gen yang mempengaruhi
metabolisme obat, termasuk obat dengan pengaruh kecil maupun besar.

Facial Eczema pada Domba

Suatu situasi tidak biasa yang bisa dikelompokkan sebagai


farmakogenetik multifaktor terjadi pada penyakit facial eczema pada domba,
yang disebabkan oleh jamur racun sporidesmin. Senyawa kimia ini dihasilkan
oleh anggota genus Pithomyces, yang hidup di sampah mati pada lahan
padang rumput di Pulau Utara Selandia Baru. Biokimia dari penyakit ini
belum diketahui, tapi ada bukti penting untuk variasi multifaktor pada

192 - Pengantar ke Genetika Veteriner


respon terhadap racun: beberapa ternak tidak terpengaruh sama sekali,
ternak lainnya terpengaruh pada level subklinis yang dapat menyebabkan
penurunan produksi secara substansial, dan lainnya lagi menunjukan gejala
klinis yang parah termasuk fotosensitivitas dan kerusakan jaringan, yang
kadang-kadang menyebabkan kematian. Heritabilitas respons terhadap
racun adalah sekitar 40%, yang menunjukkan kepada kita bahwa ada banyak
perbedaan genetik antar individu dalam kemampuannya menanggulangi
racun. Konsisten dengan nilai heritabilitas tersebut, seleksi untuk kekebalan
yang meningkat tehadap dosis standar dari racun tersebut menghasilkan
penurunan dramatis kejadian penyakit tersebut, dari sekitar 65% turun
sampai sekitar 20% hanya dalam waktu enam tahun.

Bacaan Lebih Lanjut

Doehmer, J., Goeptar, A. R., and Vermeulen, N. P. E. (1993). Cytochromes


P450 and drug resistance. Cytotechnology, 12, 357--66.
Gonzalez, F. J. and Idle, J. R. (1994). Pharmacogenetic phenotyping and
genotyping - present status and future potential. Clinical
Pharmacokinetics, 26, 59--70.
Kalow, W. (ed.) (1992). Pharmacogenetics of drug metabolism. Pergamon,
Oxford.
Kalow, W. (1993). Pharmacogenetics--its biologic roots and the medical
challenge. Clinical Pharmacology and Therapeutics, 54, 235--41.
Maclennan, D. H. (1992). The genetic basis of malignant hyperthermia. Trends
in Pharmacological Sciences, 13, 330--4.
Meyer, U. A. (1994). Pharmacogenetics--the slow, the rapid, and the
ultrarapid. Proceedings of the National Academy of Sciences, 91, 1983--84.
Oguri, K., Yamada, H., and Yoshimura, H. (1994). Regiochemistry of
cytochrome P450 isozymes. Annual Review of Pharmacology and
Toxicology, 34, 251--79.

Farmakogenetika - 193

Anda mungkin juga menyukai