Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Bangsa Eropa datang ke wilayah Nusantara pada awalnya memiliki tujuan untuk
mencari rempah-rempah dan berdagang. Hal tersebut yang dilakukan oleh Potugis,
sebagai bangsa Eropa yang pertama datang ke wilayah Nusantara dengan motif
ekonomi, petualang dan agama. Kedatngan bangsa Eropa ke Nusantara juga dilatar
belakangi oleh jatuhnya kota Konstatinopel sebagai pusat perdangan rempah-rempah
ketangan Turki Usmani pada tahun 1453. Seiring dengan tersebut, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknoligi seperti perkapalan, navigasi dan kompas di Eropa turut
memicu adanya penjelajahan samudra sampai kewilyah Nusantara. Begitu juga halnya
Belanda. Pada abad ke-15, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh Belanda hanya
sebatas pada perdagangan garam, anggur dan tekstil. Serta mendistribusikan rempah-
rempah dari Asia ke pelabuhan Lisabon. Pelabulan baru setelah Konstatinopel.
Namun, pecahnya perang antara Belanda dengan Sepayol pada tahun 1568 yang
dikenal dengan perang 80 tahun menyebabkan pelabuhan Lisabon jatuh ketangan
Spayol pada tahun 1580. Sehingga perdagangan dan distribusi barang yang dilakukan
oleh Belanda menjadi terhambat bahkan akhirnya berhenti.
Dengan jatuhnya Lisabon ketangan Spanyol maka Belanda berinisiaf untuk mendatangi
langsung sumber rempah-rempah untuk mewudkan hal tersebut, Belanda
mengumpulkan pada ahli ilmu dibumi. Antara lainPlancius dan Mercantor. Pada saat
yang sama, terbit buku karya Jan Huygen Van Linscoten berjudul Itineratio yang
berisi tentang Hindia (Indonesia) berikut kekuasaan Portugis di Hindia ( Indonesia)
tersebut. Buku ini kemudian menginspirasi Cornelius De Houtman dan Pieter De
Kayser untuk melakukan pelayaran ke Nusantara. Pada tanggal 2 april 1595
berangkatlah 4 buah kapal dari pangkalan Tessel di Belanda Utara dan sampai di
Baten pada tangga 23 juni 1596. Saat itu kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan
Abdulma Fakir Mahmud Abdul Kadir. Belanda kemudian menjadi tertarik dengan
Banten karena Banten merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara pada
abad ke-16. Dengan adanya lada, para pedagang baik dari Cina, Arab, maupun
bangsa Eropa tertarik untuk berdagang di Banten. Saat Belanda pertama kali mendarat
di Banten dengan 3 kapal dan 89 awak kapal di bawah pimpinan Cournelis De
Horman mereka terkagum-kagum dengan pelabuhan lada terbesar di Jawa Barat ini.
Cournelis De Hotman memperkirakan Banten memiliki luas yang sama dengan
Amsterdam. Dengan potensi yang ada pada Baten maka VOC kemudian mewadai
kongsi dagang Belanda hendak menguasai Banten dan memonopoli perdagangan
secara keseluruan. Hal tersebut sangat ditentang oleh Sultan yang berkuasa saat itu,
yaitu Sultan Agung Tirtayasa.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah menjelaskan :
• Menjelaskan faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi perlawanan Sultan Ageng
Tirtaysa terhadap VOC pada tahun 1651-1582
• Menjabarkan kronologis perlawanan dari awal sampai akhir antara kesultanan
Banten dengan VOC
1.3 Rumusan Masalah
• Bagaimana sejarah berdirinya kerajaan Banten ?
• Apa latar belakang perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa ?
• Bagaimana akhir perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa ?
1.4 Pembatasan Masalah
karya tulis ini dibatasi pada :
• Letak Geografis
• Sistem Ekonomi
• Raja-raja yang Berkuasa di Banten
• Geografis Sultan Ageng Tirtayasa
• Latar Belakang Perlawanan
• Jalannya Perlawanan
• Akhir Perlawanan

VOC pada sekitar buln November dan desember 1657 mengajukan penawaran
gencatan senjata. Pertempuran antara banten dan voc ini sangat merugikan
kedua belah pihak.

BAB II
SEJARAH BERDIRINYA KERAJAAN BANTEN
2.1 Letak Geografis

Secara Geografis, Kerajaan Banten terletak di provinsi Banten. Wilayah kekuasaan


Banten meliputi bagian barat Pulau Jawa, seluruh wilayah Lampung, dan sebagian
wilayah selatan Jawa Barat. Situs peninggalan Kerajaan Banten tersebar di
beberapa kota seperti Tanggerang, Serang, Cilegon dan Pandeglang. Pada mulanya,
wilayah Kesultanan Banten termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Sunda.
2.2 Sistem Ekonomi

Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain dibidang


perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah
mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu dibeberapa
kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh
kegiatan perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah Sang Yang siksa
kandang karesian yang menceritakan adanya istilah pahuma(peladang) panggerek
(pemburu) dan penyadap. Ketika istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang,
begitu juga dengan nama peralatannya seperti kujang, patik, baliung, kored dan
sadap. Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar
dilakukan untuk membangun pertanin. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun
dengan menggunakan tenaga sebanyak 16.000 orang. Di sepanjang kanal tersebut,
antara 30.000 dan 40.000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan
kelapa ditanam. 30.000-an petani ditempatkan diatas tanah tersebut, termasuk orang
Bugis dan Makassar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina pada
tahun 1620-an dikembangkan. Dibawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk
Banten signifikan. Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah
menjadi kota metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang
dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masa
tersebut.
2.3 Raja-raja yang Berkuasa di Banten

- Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakinkin memerintah pada tahun 1552-


1570.
- Maulana Yusuf atau Pangeran Pasareyan memerintah pada tahun 1570-1585.
- Maulana Muhammad atau Pangeran Sedangrana Memerintah pada tahun 1585-
1596.
- Sultan Abu Al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu memerintah
pada tahun 1596-1647.
- Sultan Abu Al-Ma’ali Ahmad memerintah pada tahun 1647-1651.
- Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu Al-Fath Abdul Fattah memerintah
pada tahun 1651-1682.
- Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar memerintah pada tahun 1683-
1687.
- Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya memerintah pada tahu 1687-1690.
- Sultan Abdul Mahasin Zainul Abidin memerintah pada tahun 1690-1733.
- Sultan Abdul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin memerintah pada tahun
1733-1747.
- Ratu Syarifah Fatimah memerintah pada tahun 1747-1750.
- Sultan Arif Zainull Asyiqin Al-Qadiri memerintah pada tahun 1753-1773.
- Sultan Abdul Mafakhir Muhammad Aliudin memerintah pada tahun 1773-1799.
- Sultan Abdul Fath Muhammad Muhyidin Zainussalihin memerintah pada tahun
1799-1803.
- Sultan Abdul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin memerintah pada tahun
1803-1808.
- Sultan Muhammad Bin Muhammad Muhyuddin Zainussalihin memerintah pada
tahun 1809-1813.

BAB III
PERLAWANAN SULTAN AGENG TIRTAYASA (1851-1882)
3.1 Biografi Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Ratu
Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Lahir pada tahun
1631.Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat ia diangkat
menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah
kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Abdul
Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan
keratin baru di dusun tirtaysa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di
Mesjid Banten. Sayangnya saat kedua putra beliau beranjak dewasa justru terjadi
pertentangan dan perebutan kekuasaan diantara mereka yang antara lain disebabkan
oleh hasutan Belanda. Sultan Abdul Fathi yang telah mengundurkan diri kemudian
pindah di daerah Tirtayasa di Serang dan mendirikan karatin baru. Dari sini
sebutan Sultan Ageng Tirtayasa berasal. Di sisi lain, Belanda terus menghasut
Sultan Haji (Pangeran Gusti) sebagai putra tertua bahwa kedudukanya sebagai
Sultan akan diganti oleh adiknya, pangeran Purbaya yang didukung Sultan Ageng.
Kekhawatiran ini membuat Sultan Haji bersedia mengadakan perjanjian dengan
Belanda yang intinya adalah persekongkolan merebut kekuasaan dari tangan Sultan
Ageng Tirtayasa. Tahun 1681, Sultan Haji mengkudeta ayahnya dan tahta
kesultanan. Sultan Ageng segera menyusun kekuatan kembali guna mengepung
Sultan Haji dan Belanda pun menyerang benteng Tirtayasa dan dapat
menaklukannya dengan mederita kerugian besar. Mengadakan perjuangan secara
Gerilya. Namun, Belanda terus mendesak kewilayah Selatan. Hingga kemudian
ditahun 1683, tertangkap melalui tipu muslihat Belanda dan Sultan Haji. Beliau
akhirnya di penjarakan di Batavia sampai meninggal di Jakarta pada tahun 1692.
Atas permintaaan pembesar dan rakyat Banten, jenazah Sultan Ageng Tirtayasa
dapat dibawah kembali ke Banten. Sultan Ageng Tirtayasa lantas dimakamkan
disebelah Utara Masjid Agung Banten.
3.2 Latar Belakang Perlawanan Sultan Ageng Tirtayarsa

Bantan sebagai kesultanan memiliki potensi geografis dan potensi alam yang
menbuat para pedagang eropa khususnya hendak menguasai banten. Secara
geografis, banten terletk di ujung barat pulau jawa, dimana jalur perdagangan
nusantara yang merupakan bagian dari jalur perdagangan asia dan dunia. Selain
itu, letaknya yang dekat dengan selat sunda menjadikan banten sebagai pelabuhan
transit sekaligus pintu masuk ke nusantara setelah portugis mengambil malaka
pada tahun 1511. Potensi alam yang dimiliki banten pun merupakan dya tarik
tersendiri, dimana banten adalah penghasil lada terbesar di jawa barat dan
penghasil dengan dibukanya lahan pertanian dan sarana irigasi oleh Sultan Ageng
Tirtayasa selain dari potensi alam dan letak geografis, VOC memerlukan tempat
yang cocok dijadikan sebagai pusat pertemuan. Letak belanda yang jauh dari
wilyah nusantara menyulitkan heeren XVII untuk mengatur dan mengawasi
kegiatan perdagangan. Dengan pertimbangan tersebut, banten dipilih sebagai rendez-
vous, yaitu pusat pertemuan dimana pelabuhan kantor-kantor dapat dibangun dan
fasilitas-fasilitas pengangkut laut dapat disediakan, keamanan terjamin dan
berfungsi dengan baik. Hal inilah yang membuat VOC dibawah pimpinan
gubernur jendral joan maetsuyker hendak menguasai. Perlu diketahui, pada saat
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa tahun 1651-1687. VOC dipimpin oleh joar
maetsuyker yang memimpin VOC dari tahun 1653-1678. Menurut Nicolas de
graaff, joar maetsuyker merupakan pemimpin VOC terlama dengan kedudukan
Selama seperempat abad. Pada masa pemerintahan maetsuyker inilah VOC
menglami masa keemasanya. Untuk dapat menguasai banten, langkah yang
digunakan oleh VOC adalah dengan tujuan memperlemah sector perekonomian
banten. Kapal-kapal asing yang hendak berdagang dibanten dicegat oleh belanda.
Selain itu, kapal-kapal yang telah berdagang di banten pun dicegat oleh belanda
sehingga pelabuhan banten mengalami penurunan aktifitas perdaggngan dan
kegiatan perekonomian terganggu. Menyikap hal tersebut, banten mengadakan
perlawanan dengan menyerbu dan merampas kapal-kapal belanda yang bernaung di
bawah VOC. Akan tetapi, VOC menggunakan siasat lain, yaitu dengan
memberikan hadiah menarik dan berupaya memperbaharui perjanjian tahun 1645,
akan tetapi, hal tersebut di tolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
3.3 Jalanya Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa

Pada tahun 1651 sampai dengan 1682, banten diperintah oleh pangeran Surya
dengan gelar Pangeran Ratu Ing Banten dan setelah kembali dari mekkah
mendapat gelar Sultan abdulfath atau lebih di kenal dengan Sultan Ageng
Tirtayasa. Setelah sebelumnya banten di perintah oleh kakek dari sultan ageng
tirtayasa, yaitu sultan abdul mafakhir Mahmud abdul kadir. Sultan Ageng Tirtayasa
merupakan anak dari sultan abdul maali akhmad. Sultan Ageng Tirtayasa selama
memerintah kesultanan Banten sangat menentang segala bentuk penjajahan asing
atas daerah kekuasaanya, termasuk kehadiran VOC yang hendak menguasai banten
. oleh karena itu, VOC berusaha melakukan blockade terhadap pelabuhan banten
dengan menyerang kapal-kapal yang hendak berdagang di banten mendapatkan
perlawanan dari pasukan banten. Perlawanan itu awalnya diwujudkan dengan
perusakan terhadap segala instalasi milik VOC diwilayah instalasi VOC di wilayah
kekuasaan kesultanan banten. Dengan tindakan perlawanan demikian sultan ageng
tirtayasa mengharapkan agar VOC segera meninggalkan banten. Tanggerang dan
angke dijadikan grafis terdepan pertahanan dalam menghadapi VOC. Pasukan
banten menyerang Batavia pada 1652 juga dimulai dari tanggerang dan angke.
Untuk meredakan perlawanan tersebut, voc mengirim utusan sebanyak dua kali
pada tahun 1655 dengan menawarkan pembaharuan perjanjian tahun 1645 diserta
hadiah-hadiah yang menarik, namun keseluryhanya ditolak oleh sultan ageng
tirtayasa. Bahkan sultan ageng tirtayasa menanggapinya dengan memerintahkan
pasukan banten pada tahun 1656 untuk melakukan gerilya besar-besaran dengn
mengadakan pengerusakan terhadap kebun-kebun tebu, pencegah serdadu patroli
VOC, pembakaran markas patrol, dan pembunuhan terhadap beberapa orang
belanda yang keseluruhan di lakukan pada malam hari. Selain itu, pasukan banten
juga merusak kapal-kapal milik belanda yang berada di pelabuhan banten,
sehingga untuk memasuki banten diperlukan pasukan yang kuat untuk mengawal
kapal-kapal tersebut. Saat perlawanan sering terjadi, sultan ageng tirtayasa
seringkali mengadakan hubungan kerjasama dengan kesultanan lain, seperti
kesultanan Cirebon dan mataram aerta dengan turki, inggris, prancis dan Denmark.
Hal ini dilakukan agar banten dapat memperkuat kedudukan dan kekuatannya
dalam menghadapi kekuatan VOC. Dari turki, inggris, prancis dan Denmark inilah
banten mendapatkan banyak bantuan berupa senjata api, sultan ageng tirtayasa
pun melakukan penyatuan terhadap daerah yang dikuasai oleh kesultanan banten,
yaitu lampung, Bangka, silebar, Indragiri dalam kesatuan pasukan surosoan.
Menghadapi kenyataan tersebut, voc pun melakukan penyatuan kekuatan dengan
menyewa serdadu-serdadu dari kalasi, ternate, bandon, kejawan, bali, makasar, dan
bugis karena serdadu belanda jumlahnya sedikit. Pada saat terjadi perlawanan
serdadu-serdadu pribumi inilah yang melawan pasukan banten, sedangkan serdadu
belanda lebih banyak berada dibelakang serdadu pribumi tersebut. Semakin
kuatnya pasukan banten ditambah dengan kurangnya persiapan VOC dalam
menghadap banten karena sedang berperang dengan makasar membuat Gencatan
senjatapun baru dapat dilakukan setelah utusan VOC dari bataria mendatangi
Sultan Ageng Tirtayasa pada tanggal 29 april 1658 dengan membawa rancangan
perjnjian yang berisi 10 pasal. Dintara pasal tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa
mengajukan dua pasal perubahan. Namun hal tersebut ditolak oleh VOC sehingga
perlawanan dan peperangan kembali terjadi. Penolakan dari voc tersebut semakin
menguatkan keyakinan Sultan Ageng Tirtayasa bahwa tidak akan ada kesesuaian
pendapat antara kesultanan banten dengan VOC sehingga jalan satu satunya adalah
dengan kekrasan, yaitu berperang. Oleh sebab itu, sultan ageng tirtayasa
mengumumkan perang sabil dengan terlebih dahulu mengirim surat ke VOC pada
tanggal 11 mei 1658. Menurut Djandrasasmita (1967:12-16), pertempuran antara
VOC dengan pasukan banten berlangsung secara terus menerus mulai dari bulan
mei 1658 sampai dengan tanggal 10 juli 1659. Pada dasarnya perlawanan banten
terhadapp VOC setelah adanya keinginan untuk melakukan gencatan senjata dipicu
oleh terbunuhnya lurah Australia di atas kapal VOC. Lurah Australia yang saat itu
menyamar sebagai pedagang kelapa membunuh beberapa orang belanda diatas
kapal bersama kedua temanya. Namun, apa yang dilakukanya berhasil diketahui
oleh orang-orang belanda lain diatas kapal tersebut. Akibatnya lurah Australia
bersama kedua temanya dibunuh diatas kapal tersebut. Berita mengenai
terbunuhnya lurah Australia diketahui oleh Sultan Ageng Tirtayasa sehingga
memicu aksi balas dendam dan perlawanan dari banten. Penyerangan yang
dilakukan Banten secara terus menerus terhadap VOC membuat kedudukan VOC
sampai mendekati batas kota Batavia. Akhirnya VOC mengadakan gencatan
senjata. Menyadari bahwa banten akan menolak perjanjian gencatan senjata, maka
VOC membujuk sultan Jambi untuk mengakomodasi perjanjian tersebut. Maka
sultan jambi pun mengirim utusanya yaitu kyai Damang Dirade Wangsana dan
kyai Ingali Marta Sidana. Pada tanggal 10 juli 1659, ditandatangani perjanjian
gencatan senjata antara Banten dan VOC. Gencatan senjata itu dimanfaatkan oleh
Sultan Ageng Tirtayasa untuk melakukan konsolidasi kekuatan, diantaranya
menjalin hubungan dengan inggris, perancis, turki dan Denmark, dengan tujuan
memperoleh bantuan senjata. Gencatan senjata ini membuat blockade yang
dilakukan oleh VOC terhadap pelabuhan banten kembali dibuka. Berbagai cara
yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa membuat Banten berkembang jadi
pesat. Hal tersebut memicu Gubernur Jendral Ryklup van Goens sebagai pengganti
Gubernur Jendral Joan Maetsuyker menulis surat yang ditunjukan kepada kerajaan
belanda tanggal 31 januari 1679 tentang usaha untuk menghancurkan dan
melenyapkan banten.
Setelah perjanjian gencatan senjata, VOC menggunakan kesempatan tersebut untuk
mempersulit kedudukan Banten. Cara yang dilakukan adalah dengan mengadakan
kerjasama dengan kesultanan Cirebon dan kesultanan mataram. Puncaknya adalah
ketika Amangkurat II menandatangani perjanjian dengan VOC. Selain itu Cirebon
pun berada dibawah kekuasaan VOC pada tahun 1681. Dengan mataram dan
Cirebon dibawah kendali VOC, maka posisi Banten semakin terjepit karena
mataram dan Cirebon merupakan kesultanan yang memiliki hubungan baik dengan
Banten. Posisi tersebut makin sulit dengan terjadinya pepecahan didalam
kesultanan banten itu sendiri. Putra Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu pangeran Gusti
dan Pngeran Arya Purbaya mendapatkan kekuasaan, masing-masing untuk
mengurusi kedaulatan kedalam kesultanan. Sementara kedaulatan keluar kesultanan
masih dikendalikan oleh Sultn Ageng Tirtayasa. Pemisahan kekuasaan ini diketahui
oleh wakil belanda di Banten, yaitu W.caeff yang kemudian mendekati dan
menghasut pangeran Gusti untuk mencurigai ayahnya dan saudaranya sendiri. Pada
saat itu, pangeran gusti pergi ke mekkah dengan meninggalkan kekuasaanya untuk
sementara waktu dan kekuasanya diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa kepada
adiknya yaitu pangeran Arya Purba. Sekembalinya pangeran Gusti yang bergelar
Sultan Abu Nasr Abdul kahar atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji dari
mekkah, kekuasaan yang dimiliki oleh pangeran purbaya semakin meluas sehingga
membuat Sultan Haji iri. Hal tersebut yang dimanfaatkan oleh VOC untuk
mengadu domba antara Sultan Haji dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng
Tirtayasa dan adiknya, yaitu Pangeran Arya Purbaya. Konflik ini dimanfaatkan
oleh VOC untuk memadamkan dan memperlemah kekuatan Banten.
3.4 Akhir Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap VOC

Rasa iri dan kekhawatirkan Sultan Haji akan berkuasanya melahirkan persekonglan
dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten. VOC bersedia membantu
Sultan Haji dengan mengajukan empat syarat, yaitu menyerahkan Cirebon kepada
VOC. Monopoli lada ikendalikan oleh VOC, membayar 600.000 ringgit apabila
ingkar janj, dan menarik pasukan Banten yang berada didaerah pesisir pantai dan
pedalaman Priangan. Syarat tersebut dipenuhi oleh Sultan Haji. Pada tanggal 27
februari 1682, pecahlah perang antara Sultan Haji dengan dibantu VOC melawan
ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa. Inilah akhir dari perlawanan Sultan
Ageng Tirtayasa dikesultanan Banten. Namun, pasukan yang dipimpin oleh Sultan
Ageng Tirtayasa masih terlalu kuat sehingga berhasil mengepung VOC bersama
dengan Sultan Haji. VOC segera memberikan perlindungan kepada Sultan Haji
dibawah pimpinan Jacob de roy. Bersama dengan kapten Sloot dan W.caefe,
Sultan Haji mempertahankan losi tempatnya berlindung. Kekuatan pasukan Sultan
Ageng Tirtayasa membuat bantuan dari Batavia tidak dapat mendarat di Banten.
Hal tersebut memaksa Sultan Haji untuk mengadakan perjanjian baru dengan VOC
yaitu memberikan hak monopoli VOC di Banten. Setelah perjanjian tersebut,
tanggal 7 april 1682, datanglah bantuan dari Batavia yang dipimpin oleh Francois
Tack dan de Sant Martin, dibantu oleh jonker, tokoh yang memadamkan
pemberontakan Trunosoyo. Pasukan ini berhasil membebaskan losi dari kepungan
pasukan Sultan Ageng Tirtayasa setelah itu, pemberontakan terus terjadi meskipun
VOC telah beberapa kali meminta Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyerang.
Untuk menyelesaikan perlawannan tersebut Sultan Haji mengutus 52 orang
keluarganya untuk membujuk Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah berhasil dibujuk,
Sultan Haji dan VOC menerapkan tipu muslihat dengan mengepung iringan-iringan
Sultan Ageng Tirtayasa menuju ke istana surosoar pada tanggal 14 maret 1683.
Sultan Ageng Tirtayasa berhasill di tangkap, namun pangeran Arga Purbaya
berhasil lolos. Kemudian Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan dibatavia sampai
meninggal pada tahun 1692. Sultan Haji sendiri akhirnya naik tahta dengan restu
VOC. Memerintah dari tahun 1682-1687. Pada tanggal 17 april 1684,
ditandatangilah perjanjian dalam bahasa Belanda, Jawa, dan Melayu yang berisi 10
pasal. Perjanjian inilah yang menandai berakhirnya kekuasaan keseltanan Banten
dan dimulainya monopoli VOC atas Banten. Dengan demikian berakhirlah
perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa setelah dihianati oleh anaknya sendiri.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Banten merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara dengan letak yang
strategis di ujung Barat pulau Jawa dekat dengan selat Sunda yang merupakan
titik pertemuan jalur perdagangan Asia bahkan dunia setelah jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis pada 1511. Hal tersebut membuat Banten selalu ramai oleh lalu
lintas perdagangan. Disamping itu, banten memiliki potensi alam yang cukup
menguntungkan, dimana Banten merupakan penghasil lada terbesar dijawa Barat.
Pada rentan waktu antara 1651-1682, banten mampu memenuhi kebutuhan pangan
rakyatnya dengan swasembada beras dibawah kekuasaan Sultan Agung Tirtayasa.
Dengan kondisi alam dan letak geografis inilah yang membuat VOC dibawah
pimpinan gubernur Jendral Joan Maetsuyker (1653-1678) berkeinginan untuk
menguasai banten, menjadikan sebagai pusat pertemuan (rendz vous) sekaligus
memonopoli perdagangan rempah-rempah khususnya lada. Untuk memenuhi
kehendaknya, VOC mulai menggunakan siasat blockade ekonomi dengan tujuan
agar banten mau tunduk kepada VOC. Hal tersebut dilakukan dengan menyerang
kapal-kapal asing yang hendak berdagang di Banten. Kondisi ini membuat banten
mengalami penurunan dalam hal kegiatan perekonomian. Menanggapi hal tersebut,
Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan untuk melakukan perlawanan terhadap
VOC. Perlawanan tersebut terjadi sampai dengan adanya tawaran perjanjian
genjatan senjata pada tanggal 29 april 1658. Namun, perjanjian tersebut di tolak
oleh Banten dan mulailah kembali perlawanan dari bulan mei 1658 yang
berlangsung terus menerus sampai diadakanya perjanjian genjatan senjata tanggal
10 juli 1659.
Gubernur Jendral Ryklop van goens yang menggantikan Gubernur Jendral Joan
Maetsuyker kemudian memerintahkan untuk menghancurkan Banten. Kekuasaan
Banten mulai melemah ketika Cirebon pada tahun 1681 dan mataram yang
memiliki hubungan baik dengan Banten bekerjasama dan tunduk atas VOC. Selain
itu, adanya pembagian kekuasaan di kesultanan Banten, dimana Sultan Haji dan
Pangeran Arya Burbaya yang merupakan anak dari Sultan Agung Tirtayasa,
mendapat kekuasaan intern kesultanan. Hal tersebut diketahui oleh W.caeff, wakil
VOC di Banten, sehingga VOC memanfaatkan pembagian kekuasaan tersebut
untuk mengadu domba Sultan Haji dengan Pangeran Arya Purbaya dan Sultan
Ageng Tirtayasa, sampai pada akhirnya terjadi perang saudara yang menyebabkan
berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1682.

4.2 Saran
1. Kita sebagai masyarakat Indonesia harus lebih menghargai dan menghormati jasa
para pahlawan
2. Jadikan keberanian Sultan Ageng Tirtayasa sebagai inspirasi bagi pemuda
Indonesia untuk bisa berani membela tanah air
3. Meneladani kisah Sultan Ageng Tirtayasa
4. Akhir perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa hendaknya menjadi pengingat untuk
terus bersikap waspada.

Anda mungkin juga menyukai