Anda di halaman 1dari 10

“LAPORAN PENDAHULUAN RETENSIO URINE POSTPARTUM”

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Keperawatan Medikal Bedah”

Disusun Oleh :

Chika Santika (214119109)

PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)


JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2019
RS : TNI AD Tgl : Nilai : Tgl : Nilai : Rata-rata :
TK.II Dustira Paraf CI + Paraf Dosen :
Stempel

A. Pengertian

Retensio urine adalah tertahannya urine didalam kandung kemih, dapat

terjadi secara akut maupun kronis. (Depkes RI Pusdiknakes, 1995)

Retensio urine adalah ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih

secara spontan. Gejala yang ada meliputi tidak adanya kemampuan sensasi untuk

mengosongkan kandung kemih ketika buang air kecil, nyeri abdomen bawah atau

tidak bisa berkemih sama sekali. Retensio urine dapat terjadi secara akut maupun

kronik. Retensio urine akut dapat didefinisikan sebagai rasa nyeri mendadak yang

timbul akibat tidak bisa berkemih selama 24 jam, membutuhkan pertolongan kateter

dengan reduksi urine keluar kurang 50% dari kapasitas sistometer. Kandung kemih

yang normal kosong secara sempurna, pada retensio urine kronik terjadi kegagalan

pengosongan kandung kemih. Retensio urine adalah tidak bisa berkemih selama 24

jam yang membutuhkan pertolongan kateter, karena tidak dapat mengeluarkan urine

lebih dari 50% kapasitas kandung kemih pada saat berkemih. Biasanya berkemih

spontan harus sudah terlaksana dalam 6 jam sesudah melahirkan. Apabila setelah 6
jam pasien tidak dapat berkemih dinamakan retensio urine post partum (Winkjosastro,

2007).
B. Etiologi Retensio Urine
Peregangan atau trauma dari dasar kandung kemih dengan edema trigonum

akibat penekanan kepala janin, episiotomi.Efek dari epidural anesthesiaTrauma

traktus genitalis, khususnya pada hematoma yang besarHipotonia pada tonus otot

destrusor (Taber, Ben-zion, 1994). Secara umum, retensio urine post partum dapat

disebabkan oleh trauma intra partum, reflek kejang sfingter uretra, hipotonia selama

hamil dan nifas, ibu dalam posisi tidur terlentang, peradangan, psikogenik dan umur

yang tua (Winkjosastro, 2007).


C. Manifestasi Retensio Urine
1. Kesulitan untuk berkemih
2. Sering berkemih sedikit-sedikit dengan pengosongan kandung kemih yang tidak

sempurna (adanya residu urine > 100cc)


3. Pancaran urine melemah

(Taber, Ben-zion, 1994)

D. Patofisiologi

Kegagalan pengosongan kandung kemih disebabkan oleh karena

menurunnya kontraktilitas kandung kemih, meningkatnya tahanan keluar, atau

keduanya. Kontraktilitas otot kandung kemih dihasilkan karena adanya perubahan

sementara atau permanen mekanisme neuomuskular yang diperlukan untuk

menimbulkan dan mempertahankan kontraksi detrusor normal atau bisa karena

mekanisme refleks sekunder terhadap rangsang nyeri khususnya di area pelvis dan

perineum. Penyebab non neurogenik termasuk kerusakan fungsi otot kandung

kemih yang bisa disebabkan karena peregangan berlebih, infeksi atau fibrosis.
Pada keadaan post partum, kapasitas kandung kemih meningkat, tonus menurun,

kurang sensitif terhadap tekanan intra vesikal, serta cepatnya pengisian kandung

kemih karena penggunaan oksitosin yang anti diuretik, menyebabkan peregangan

kandung kemih secara berlebihan. Kapasitas kandung kemih bertahan sekitar 200

cc.

Retensio urine post partum dapat terjadi akibat edema periurethra, laserari obstetrik,

atau desensitifitas vesika urinaria oleh anestesi epidural. Pada persalinan dengan

tindakan bedah obstetri sering di jumpai retensio urine post partum. Luka pada

daerah perineum yang luas, hematoma, trauma saluran kemih bagian bawah, dan

rasa sakit akan mengakibatkan retensio uri. Rasa nyeri yang hebat pada perlukaan

jalan lahir akan mengakibatkan otot dasar panggul mengadakan kontraksi juga

sfingter uretra eksterna sehingga pasien tidak sadar menahan proses berkemih.

Edema uretra dan trigonum yang disertai ekstravasasi darah di sub mukosa dinding

kandung kemih menyebabkan retensio urine. Hal ini bisa disebabkan karena

penekanan kepala janin pada dasar panggul terutama partus kala II yang terlalu

lama. Lama persalinan lebih dari atau sama dengan 800 menit berhubungan dengan

retensio urine post partum. Hal lain yang menjadi penyebab edema uretra dan

trigonom adalah trauma kateteritasi yang berulang-ulang dan kasar, dan infeksi

saluran kemih yang akan menimbulkan kontraksi otot detrusor yang tidak adekuat.

Pemakaian anastesi dan analgesik pada persalinan seksio sesaria dapat

menyebabkan terganggunya kontrol persyarafan kandung kemih dan uretra.

(Winkjosastro, 2007).
Pathway

Perubahan Neurologik Perubahan Strukur kandung


kemih

Perubahan otot urinari

Ganguan kontrol berkemih

Defisiensi tahanan uretra Tekanan kandung kemih


meningkat

Inkontinensia urine

Status kesehatan berubah Otot destrusor tidak stabil

Reaksi otot berlebihan


Ansietas

Pembesaran urin

Mengenai genitalia

Resiko kerusakan integritas


kulit
E. Pemeriksaan penunjang
Diagnosa retensio post partum umumnya mudah ditegakkan dari

anamnesis. Sesuai dengan definisinya yaitu ketidak mampuan berkemih secara

spontan dalam 24 jam post partum dengan atau tanpa rasa nyeri di suprasimpisis

atau keinginan berkemih dengan atau tanpa disertai kegelisaan tapi tidak dapat

berkemih secara sepontan sehingga memerlukan upaya untuk mengatasi

gangguan.
Pemeriksaan klinik pada pasien dengan retensio urin akan memberikan

informasi adanya massa yang keras atau tidak keras pada sekitar pelvis dengan

perkusi yang pekak. Vesika urinaria mungkin dapat teraba transabdominal jika

isinya berkisar antara 150-300 cc. Pemeriksaan bimanual biasanya dapat meraba

vesika urinaria bila terisi lebih dari 200 cc.


Pemeriksaan spesimen urin porsi tengah dilakukan secara mikroskopik,

kultur dan sensitifitas, mengingat infeksi traktus urinarius dapat mengakibatkan

retensio urine akut. Infeksi traktus urinarius yang berulang dapat merupakan

komplikasi dari gangguan miksi yang lama dan merupakan salah satu indikasi

untuk melakukan manajemen aktif guna menghindari kerusakan lebih lanjut pada

traktus urinarius bagian atas.


Residu urin adalah sisa volume urin dalam kandung kemih setelah penderita

berkemih setelah penderita berkemih spontan. Pada pasien post partum spontan

dan seksio sesarea, setelah kateter di lepas, bila setelah 4 jam tidak dapat

berkemih spontan, dilakukan pengukuran volume residu urin, retensio urin terjadi

bila volume residu > 200 cc

F. Penatalaksanaan
Terapi yang tepat untuk pasien dengan retensio urine akut tidak hanya untuk

mengurangi gejala tetapi juga untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada fungsi

vesika urinaria. Peregangan yang berlebihan pada vesika urinaria dapat

menyebabkan dilatasi dari traktus urogenitalia bagian atas yang selanjutnya

dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Karena itu tujuan utama kasus ini adalah

membuat drainase vesika urinaria. Tindakan drainase mungkin dapat diawali

dengan pemasangan kateter transurethral.


Kateter harus ditinggalkan sampai pasien bisa buang air kecil spontan. Pada

beberapa pasien dengan retensio urine akut mungkin hanya membutuhkan

pemasangan kateter satu kali, tetapi pada pasien lain (khususnya post operasi)

membutuhkan pemasangan kateter dalam jangka waktu yang lama.Untuk

menghilangkan gejala overdistensi vesika urinaria biasanya kateter dipasang dan

ditinggal selama paling sedikit 24 jam untuk mengosongkan vesika urinaria. Jika

kateter sudah dilepas harus segera di nilai apakah pasien sudah buang air kecil

secara spontan. Bila pasien tidak bisa buang air kecil secara spontan setelah 4

jam, kateter harus dipasang kembali dan volume residu urin harus di ukur. Apabila

volume residu urin > 200 cc atau 100 cc pada post operasi ginekologi, kateter

harus di pasang kembali.

Pada retensio urine digunakan obat-obatan yang dapat meningkatkan

kontraksi kandung kemih dan yang menurunkan resistensi uretra.

a. Obat yang kerjanya di sistem saraf parasimpatis


Biasanya digunakan obat kolinergik, yaitu obat-obatan yang kerjanya

menyerupai asetilkolin. Asetilkolin sendiri tidak digunakan dalam klinik

mengingat efeknya difus/non spesifik dan sangat cepat di metabolisir

sehingga efeknya sangat pendek. Obat kolinergik bekerja di ganglion

atau di organ akhir (end organ) tetapi lebih banyak di sinaps organ

akhir, yaitu yang disebut dengan efek muskarinik. Obat–obatan

tersebut antara lain : betenekhol, karbakhol, metakholin dan

furtretonium.

b. Obat yang bekerja pada sistem saraf simpatis

Obat yang menghambat (antagonis) reseptor ẞ diperlukan untuk

menimbulkan kontraksi kandung kemih, sedangkan obat antagonis α di

pergunakan untuk menimbulkan relaksasi uretra. Yang telah digunakan

secara klinis adalah antagonis α, yaitu fenoksibemzamin. Penghambat

reseptor ẞ belum tersedia penggunaannya dalam klinik.

c. Obat yang bekerja langsung pada otot polos

Beberapa obat yang telah di coba adalah : barium klorida,

histamin,ergotamin dan polipeptida aktif, akan tetapi belum dapat

digunakan secara klinis karena efeknya tidak spesifik. Prostagladin

telah terbukti dapat mempengaruhi kerja otot-otot detrusor. Desmond

menyatakan bahwa pengaruh prostaglandin terhadap kandung kemih

adalah meningkatkan sensitifitas kandung kemih, meningkatkan tonus

dan kontraktilitas otot detrusor, dan juga dapat dipergunakan untuk


mengembalikan otot-otot ini jika terganggu kemampuannya dalam

menanggapi stimulusi berkemih normal.

Selama pemasanggan kateter menetap ini pasien disuruh

minum banyak kurang dari 3000 ml selama 24 jam, mobilisasi dan di

periksa urinalisis. Selanjutnya di lakukan kateter buka tutup tiap 4 jam

kecuali jika ada perasaan Pasien ingin berkemih kateter dibuka. Apabila

tidak ada rasa ingin berkemih selama 6 jam maka keteter di buka dan

di ukur volumenya. Proses buka tutup kateter ini dilakukan selama 24

jam dan pasien tetap minum banyak berkisar 3000 ml/24 jam. Setelah

itu kateter di lepas dan pasien minum biasa 50-100 ml/jam. Diharapkan

dalam waktu 6 jam pasien dapat berkemih spontan. Bila tidak bisa

pasien dikateter intemitten untuk mengetahui volume urin sisa. Bila

volume urin sisa kurang dari 200 ml pasien boleh pulang. Tetapi apabila

volume urin sisa lebih dari 200 ml dan kurang dari 500 ml maka

dilakukan katetrisasi intermitten pasien disuruh minum biasa (50-100

ml/jam) (Winkjosastro, 2007).


G. Klasifikasi
KLASIFIKASI Retensi urin covert (volume residu urin>150 ml

pada hari pertama post partum tanpa gejala klinis) Wanita dengan

volume residu setelah buang air kecil ≥ 150 ml dan tidak terdapat gejala

klinis retensi urin, termasuk pada kategori ini. Retensi urin overt (retensi

urin akut post partum dengan gejala klinis) adalah ketidakmampuan

berkemih secara spontan setelah proses persalinan tidak dapat

berkemih spontan dalam 6 jam setelah persalinan


H. Faktor Resiko
1. Riwayat kesulitan berkemih
2. Primipara
3. Pasca anestesi blok epidural, spinal, atau pudenda
4. Persalinan yang lama dan/ atau distosia bahu Kala II lama
5. Trauma perineal
6. Kateterisasi selama atau setelah kelahiran
7. Perubahan sensasi setelah berkemih
8. Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap
I. Komplikasi

1. Urolitiasis atau nefrolitiasisNefrolitiasis adalah adanya batu pada

atau kalkulus dalam velvis renal, sedangkan urolitiasisadalah adanya

batu atau kalkulus dalam sistem urinarius. Urolithiasis mengacu pada

adanyabatu (kalkuli) ditraktus urinarius. Batu terbentuk dari traktus

urinarius ketika konsentrasisubtansi tertentu seperti kalsium oksalat,

kalsium fosfat, dan asam urat meningkat.

2.PielonefritisPielonefritis adalah radang pada ginjal dan saluran

kemih bagian atas. Sebagian besar kasuspielonefritis adalah

komplikasi dari infeksi kandung kemih (sistitis). Bakteri masuk ke

dalamtubuh dari kulit di sekitar uretra, kemudian bergerak dari uretra

ke kandung kemih. Kadang-kadang, penyebaran bakteri berlanjut dari

kandung kemih dan uretra sampai ke ureter dansalah satu atau kedua

ginjal. Infeksi ginjal yang dihasilkan disebut pielonefritis.

3. Hydronefrosis

4. Pendarahan

5. Ekstravasasi urine

Anda mungkin juga menyukai