Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KONSEP KEHILANGAN, KEMATIAN DAN

BERRDUKA

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK II

ALPIN MARHABA 2118019


DIRA SEPTA KAMUDI 2118012
REIN RAHMAN 2118014
LISA REYK 2118007
DESRIANA BILI 2118000
NAHDATUL UMIYATI 2118029
KRISTINA WISRANCHE 2118043

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
GEMA INSAN AKADEMIK
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt., karena atas izin dan
karunia-Nyalah kami bisa meyelesaikan tugas ini.
Shalawat dan salam tak lupa pula kita haturkan pada jujungan kita nabi besar nabi
Muhammad saw. Karena beliaulah yang telah menyelamatkan manusia dari alam
kegelapan menuju alam yang terang benerang dan dari alam kejahilian menuju
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
a. Latar belakang ...............................................................................
b. rumusan masalah ..........................................................................
c. tujuan .............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................
a. kehilangan .....................................................................................
1. bentuk bentuk kehilangan .........................................................
2. sifat kehilangan .........................................................................
3. tipe kehilangan ..........................................................................
4. 5 kategori kehilangan................................................................
5. tahapan proses kehilangan ........................................................
b. berduka..........................................................................................
1. teori dari proses berduka...........................................................
1.1 teori Engels .........................................................................
1.2 teori kubler-ross ..................................................................
1.3 teori Marocchio...................................................................
1.4 teori Rando .........................................................................
c. kematian ........................................................................................
1. mati sebagai berhentinya darah mengalir .................................
2. mati sebagai saat terleppasnya nyawa dari tubuh .....................
3. hilangnya kemampuan tubuh secara permanen ........................
4. hilangnya manusia secara permanen untuk kembali
sadar dan melakukan interaksi sosial .......................................
BAB III PENUTUP ......................................................................................
a. kesimpulan ..................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kehilangan adalah suatu keadaan invidu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada baik yang terjadi sebgian atau
keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah di alami oleh
setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cendrung akan mengalaminya kembali walau dalam
bentuk yang berbeda.
Duka cita dilihat sebagai suatu keadaan yang dinamis dan selalu berubah
ubah. Duka cita tidak berbanding lurus dengan keadaan emosi, pikiran maupun
perilaku seseorang. Duka cita adalah suatu proses yang ditandai dengan
beberapa tahapan atau bagian dari aktivitas untuk mencapai beberapa tujuan
yaitu: menolak (denial), marah (anger), tawar menawar(bargaining),
depresi(depression), dan menerima (acceptence). Pekerjaan duka cita terdiri
dari berbagi tugas yang di hubungkan dengan situasi ketika seseorang melewati
dampak dan efek dari perasaan kehilangan yang telah dialaminya. Duka cita
berpotensi untuk berlangsung tanpa batas waktu.
Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi manusia. Namun,
bencana gempa di bantul memaksa anak untuk melihat atau mengalami
kematian secara tiba tiba.

B. Rumusan Masalah
1. apa pengertian kehilangan dan dampaknya ?
2. Apa pengertian berduka dan damppaknya ?
3. apa pengertian kematian dan dampaknya ?

C. Tujuan
1. agar pembaca dapat memahami arti kehilangan dan dampaknya
2. agar pembaca dapat memahami arti berduka dan dampaknya
3. agar pembaca dapat memahami arti kematian dan dampaknya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kehilangan
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan.
Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai
sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin
terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik,
diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali
atau tidak dapat kembali. Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana
seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang
dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan
individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik
sebagian atau seluruhnya. Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang
berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada,
baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert dan
Lambert,1985,h.35).Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami
oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun
dalam bentuk yang berbeda.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung :
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu

Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada makna


kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan
menerima bantuan mempengaruh apakah yang berduka akan mampu mengatasi
kehilangan. Visibilitas kehilangan mempengaruh dukungan yang diterima.
Durasi peubahan (mis. Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen)
mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali
ekuilibrium fisik, pshikologis, dan social.
a. Bentuk-bentuk kehilangan
1.Kehilangan orang yang berarti
2. Kehilangan kesejahteraan
3. Kehilangan milik pribadi
b. Sifat kehilangan
1. Tiba–tiba (Tidak dapat diramalkan)
Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah
pada pemulihan dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan,
bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima.
2. Berangsur – angsur (Dapat Diramalkan)
Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan
menyebabkan yang ditinggalkan mengalami keletihan emosional
(Rando:1984). Penelitian menunjukan bahwa yang ditinggalkan oleh klien
yang mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang mempunyai kebutuhan
yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain, mengisolasi
diri mereka lebih banyak, dan mempunyai peningkatan perasaan marah
dan bermusuhan. Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka
bergantung pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan
untuk menerima bantuan menerima bantuan mempengaruh apakah yang
berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan
mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi peubahan (mis. Apakah
hal tersebut bersifat sementara atau permanen) mempengaruhi jumlah
waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium fisik,
pshikologis, dan social.
c. Tipe kehilangan
1. Actual Loss Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang
lain, sama dengan individu yang mengalami kehilangan.
2. Perceived Loss ( Psikologis ) Perasaan individual, tetapi menyangkut hal-
hal yang tidak dapat diraba atau dinyatakan secara jelas.
3. Anticipatory Loss Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan
terjadi.Individu memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk
suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga
dengan klien (anggota) menderita sakit terminal. Tipe dari kehilangan
dipengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak
menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat
dengan kita. Namun demikian, setiap individunberespon terhadap
kehilangan secara berbeda.kematian seorang anggota keluargamungkin
menyebabkan distress lebih besar dibandingkan kehilangan hewan
peliharaan, tetapi bagi orang yang hidup sendiri kematian hewan
peliharaan menyebaabkan disters emosional yang lebih besar dibanding
saudaranya yang sudah lama tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun.
Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat
actual dapat dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang
teman bermainya pindah rumah. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata
dan dapat di salahartikan ,seperti kehilangan kepercayaan diri atau
prestise.
d. Lima kategori kehilangan
1. Kehilangan objek eksternal. Kehilangan benda eksternal mencakup segala
kepemilikan yang telah menjadi usang berpinda tempat, dicuri, atau rusak
karena bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang
terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orng
tersebut terhadap nilai yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut
2. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal Kehilangan yang berkaitan
dengan perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal mencakup
lingkungan yang telah dikenal Selma periode tertentu atau kepindahan
secara permanen. Contohnya pindah ke kota baru atau perawatan diruma
sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal
dapat terjadi melalui situasi maturaasionol, misalnya ketika seorang lansia
pindah kerumah perawatan, atau situasi situasional, contohnya mengalami
cidera atau penyakit dan kehilangan rumah akibat bencana alam.
3. Kehilangan orang terdekat Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan,
anak-anak, saudara sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan
kerja.Artis atau atlet terkenal mumgkin menjadi orang terdekat bagi orang
muda. Riset membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan
peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat
perpisahan atau kematian.
4. Kehilangan aspek diri Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup
bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis.Kehilangan anggota tubuh
dapat mencakup anggota gerak , mata, rambut, gigi, atau payu dara.
Kehilangan fungsi fsiologis mencakupo kehilangan control kandung
kemih atau usus, mobilitas, atau fungsi sensori. Kehilangan fungsi
fsikologis termasuk kehilangan ingatan, harga diri, percaya diri atau
cinta.Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat penyakit, cidera, atau
perubahan perkembangan atau situasi.Kehilangan seperti ini dapat
menghilangkan sejatera individu.Orang tersebut tidak hanya mengalami
kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan
permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
5. Kehilangan hidup Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi
detik-detik dimana orang tersebut akan meninggal. Doka (1993)
menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam- hidup
kedalam enpat fase. Fase presdiagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala
klien atau factor resiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnosis.
Dalam fase kronis klien bertempur dengan penyakit dan pengobatanya,
yang sering melibatkan serangkain krisis yang diakibatkan. Akhirnya
terdapat pemulihan atau fase terminal Klien yang mencapai fase terminal
ketika kematian bukan hanya lagi kemungkinan, tetapi pasti terjadi.Pada
setiap hal dari penyakit klien dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan
yang beragam dan terus berubah Seseorsng dapat tumbuh dari
pengalaman kehilangan melalui keterbukaan, dorongan dari orang lain,
dan dukungan adekuat.
e. Tahapan proses kehilangan
1. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu
berfikir positif – kompensasi positif terhadap kegiatan yang dilakukan –
perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa nyaman.
2. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu
berfikir negatif – tidak berdaya – marah dan berlaku agresif –
diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan)– muncul gejala sakit
fisik.
3. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –
individuberfikir negatif– tidak berdaya – marah dan berlaku agresif –
diekspresikan ke luar diri individu –berperilaku konstruktif – perbaikan –
mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan.
4. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –
individuberfikir negatif–tidak berdaya – marah dan berlaku agresif –
diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku destruktif – perasaan
bersalah – ketidakberdayaan. Inti dari kemampuan seseorang agar dapat
bertahan terhadap kehilangan adalah pemberian makna (personal
meaning) yang baik terhadap kehilangan (husnudzon) dan kompensasi
yang positif (konstruktif).

B. Berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang
dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah
tidur, dan lain-lain. Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian
kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka
diantisipasi dan berduka disfungsional. Berduka diantisipasi adalah suatu status
yang merupakan pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual
ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau
ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih
dalam batas normal. Berduka disfungsional adalah suatu status yang
merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat
individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal,
abnormal, atau kesalahan/kekacauan.
a. Teori dari Proses Berduka
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka.
Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk
mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana
intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan
mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang
perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan
memberikan dukungan dalam bentuk empati.
1. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang
dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun
menjelang ajal.
Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin
menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi
secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak
jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan. ·
Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan
mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah,
frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi. ·
Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang
hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat
menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan
untuk mengalihkan kehilangan seseorang. ·
Fase IV Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan
terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal
tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum. ·
Fase V Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai
diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan
seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru
telah berkembang.
2. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah
berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
a. Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan.
Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan
terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
b.Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih”
pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah
sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk
menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya
menghadapi kehilangan. ·
c. Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus
atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali
mencari pendapat orang lain. ·
d. Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk
berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah. ·
e. Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross
mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu
menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran
diri atau berputus asa.

3. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang
mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan.
Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang
mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus
dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang
mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.

4. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:
a. Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya. ·
b. Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien
secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan
mereka paling dalam dan dirasakan paling akut. ·
c. Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan
mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari
dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.
C. KEMATIAN
Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia.
Namun, bencana gempa di Bantul memaksa anak untuk melihat dan atau
mengalami kematian secara tiba-tiba. Pemahaman akan kematian
mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang terhadap kematian. Selain
pengalaman, pemahaman konsep kematian juga dipengaruhi oleh
perkembangan kognitif dan lingkungan sosial budaya. Kebudayaan Jawa yang
menjadi latar tumbuh kembang anak menjadi penting untuk diperhatikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman anak usia sekolah dan
praremaja tentang kematian dengan mengacu pada tujuh subkonsep kematian,
yakni irreversibility, cessation, inevitability, universability, causality,
unpredictability, dan personal mortality dari Slaughter (2003). Penelitian
dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan metode wawancara yang
dilakukan pada tiga anak usia (6-7 tahun) dan 4 praremaja (10-11 tahun).
Hasil penelitian menunjukkan pemahaman konsep kematian yang berbeda-
beda pada ketiga subjek yang berusia 6-7 tahun. Dua subjek belum memahami
subkonsep unpredictability dan causality, sedangkan kelima subkonsep lainnya
sudah dipahami oleh anak. Satu subjek lainnya hanya memahami subkonsep
inevitability, universality, dan personal mortality, sedangkan empat subkonsep
lainnya belum dipahami sama sekali. Secara umum ketiga subjek belum
memahami kematian sebagai fenomena biologis. Partisipan yang berusia 10-11
tahun sudah memiliki ketujuh subkonsep kematian walaupun belum bisa
mendeskripsikannya secara utuh. Hasil penelitian ini disoroti dari teori
kematian, teori perkembangan dan budaya Jawa. Hasil penelitian ini
berimplikasi pada teori perkembangan konsep kematian pada anak, dan juga
pada seberapa jauh budaya Jawa memberikan kesempatan pada anak untuk
memiliki pemahaman yang utuh tentang kematian.
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang
kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari
kematian dengan mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa
masalah baru dalam euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan
seseorang dinyatakan telah mati. Berikut ini beberapa konsep tentang mati
yaitu :
a. Mati sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa berhentinya jantung.
Dalam PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya
fungsi jantung dan paru-paru. Namun criteria ini sudah ketinggalan zaman.
Dalam pengalaman kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan
jatung dan paru-paru yang semula terhenti dapat dipulihkan kembali.
b. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan
resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan
nyawa dapat ditarik kembali.
c. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-
sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan
transplantasi, konsep ini menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat
diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak
terpadu lagi.
d. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan
interaksi social.
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk social, yaitu
individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya,
kemampuan mengingat, mengambil keputusan, dan sebagainya, maka
penggerak dari otak, baik secara fisik maupun sosial, makin banyak
dipergunakan. Pusat pengendali ini terletak dalam batang otak. Olah karena
itu, jika batang otak telah mati, dapat diyakini bahwa manusia itu secara
fisik dan social telah mati. Dalam keadaan seperti ini, kalangan medis sering
menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi, DNR (do not resuscitation).
Bila fungsi jantung dan paru berhenti, kematian sistemik atau kematian
sistem tubuh lainnya terjadi dalam beberapa menit, dan otak merupakan
organ besar pertama yang menderita kehilangan fungsi yang ireversibel,
karena alasan yang belum jelas. Organ-organ lain akan mati kemudian.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah
dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan suatu
yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA
merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka
disfungsional. Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang
dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan
fungsional sebelum terjadon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan
seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional
sebelum terjadinya kehilangan.
Tipe ini masih dalam batas normal. Berduka disfungsional adalah suatu status
yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat
individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal,
abnormal, atau keslahan/kekacauan.

Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku


berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan meberikan
dukungan dalam bentuk empati. Kehilangan dibagi dalam 2 tipe : aktual atau
nyata dan persepsi. Terdapat 5 kategori kehilangan, yaitu : kehilangan
seseorang yang dicintai, kehilangan lingkungan yang sangat dikenal,
kehilangan objek eksternal, kehilangan yang ada pada diri sendiri/aspek diri,
dan kehilangan kehidupan/meninggal. Elizabeth Kubler-rose, 1969.h.51,
membagi respon duka dalam lima fase, yaitu : pengikaran, marah, tawar-
menawarn, depresi dan penerimaan. Konsep Kehilangan, Berduka Dan
Kematian

Anda mungkin juga menyukai