Anda di halaman 1dari 3

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarokatuh.

Nama saya Adinda Gea Hasna Paramastri. Saat ini sedang kuliah di Universitas Negeri Surabaya,
dan duduk di semester 4. Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan. Kesibukkan saya selain
kuliah, saya juga aktif mengikuti organisasi intra kampus seperti himpunan mahasiswa jurusan dan
unit kegiatan kerohanian islam. Semoga dengan adanya kesibukkan ini, tak melalaikan saya untuk
tetap fokus berdakwah kepada para mahasiswa, dan insyaAllah akan bernilai ibadah. Tujuan saya
menulis opini ini dikarenakan, masih banyak mahasiswa/i masih menganggap remeh terkait RUU
ini, yang bagi mereka RUU ini adalah solusi bagi mereka yang melihat atau merasakan kriminalitas
yang terjadi saat ini. Padahal RUU ini memiliki pesan tersirat dimana masih banyak hal-hal yang
mengganjal dan bahkan bukan solusi yang solutif dari permasalahan-permasalahan saat ini,
khususnya pada kekerasan terhadap perempuan. Apalagi kondisi kampus yang juga
mempengaruhi tingkat intelektual mereka menjadi apatis, dan masih banyak juga mahasiswa/i
yang masih nihil terhadap berita-berita politik, meskipun sampai menyinggung kehidupan
keluarganya.

Membau Zona Liberalisasi dibalik Payung UU Sekuler


Oleh : Adinda Gea Hasna Paramastri (Aktivis Kampus di Surabaya)
Sudah beberapa tahun ini Indonesia mendapatkan gelar “Darurat Kekerasan”. Salah satunya adalah
Kekerasan Terhadap Perempuan, yang kita kenal dengan istilah KTP.
Komnas Perempuan mencatat kasus KTP mengalami peningkatan yaitu 348.446 kasus, dari
259.150 pada tahun sebelumnya. ( https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-
komnas-perempuan-laporan-publik-kerja-komnas-perempuan-tahun-2018-31-januari-2019 )
Hal ini tidak bisa dipungkiri, indonesia mendapat gelar darurat kekerasan oleh banyak orang.
Mengatasi hal tersebut, pemerintah mengupayakan agar RUU PKS yang sudah masuk dalam daftar
prolegnas 2016 hingga sekarang ini segera disahkan dikarenakan masa jabatan anggota DPR akan
segera berakhir yang berjalan pada periode 2014-2019. Akan tetapi, RUU PKS ini sampai sekarang
tak kunjung disahkan.
RUU PKS ini dipandang pemerintah, yang dimana kalangan penggiat perempuan seperti gerakan
lawan patriarki dan anak turut serta mendukung langkah pemerintah dalam mengesahakn UU
tersebut. Dengan dalih untuk mengeliminasi kasus-kasus KTP yang marak terjadi dari tahun ke
tahun. Disisi lain, RUU PKS ini telah menuai kontroversi dalam soal kemampuan untuk mengatasi
seluruh persoalan KTP, bersifat parsial.
Penolakan terhadap RUU PKS, salah satunya datang dari petisi yang diinisiatif oleh salah satu
pemerhati perempuan bernama Maimon Herawati. Ia menyebut RUU PKS ini dianggap
mendukung perzinahan.
Bagaimana mungkin mendukung perzinahan ? sesuai dengan draft terbaru dari RUU PKS ini,
mengutip pada pasal 1 yang berbunyi “Setiap orang dilarang melakukaan kekerasan seksual
dalam segala bentuknya”, dilanjutkan dengan pasal 5 ayat (2) “Bentuk kekerasan seksual
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi : a.Pelecehan seksual, b.Kontrol seksual,
c.Perkosaan, d.Eksploitasi seksual, e.Penyiksaan seksual, dan f.Perlakuan/Penghukuman lain
tidak manusiawi yang menjadikan tubuh, seksualitas dan organ reproduksi sebagai sasaran” .
Frasa kontrol seksual pada pasal 5 ayat (2) dikategorikan sebagai kekerasan seksual artinya
mendorong setiap orang untuk bebas melakukan aktivitas seksual tanpa ada kontrol dari pihak lain.
Pihak yang melakukan kontrol seksual justru bisa dipidanakan. Bahkan orang tua pun tidak boleh
melarang anaknya melakukan hubungan seksual dengan bebas karena bisa dikategorikan sebagai
kontrol seksual. Sama saja dengan aktivias LGBT dan sejenisnya, yang dari tahun ke tahun
semakin memperlihatkan aktivitasnya agar dapat terlindungi oleh UU. Dengan adanya pasal ini,
aktivitas LGBT pun dapat terlindungi. Lalu pada pasal 8 ayat (2) yang berbunyi “Tindak pidana
perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan” . Sesuai pasal ini,
seorang istri bisa sesuka hatinya untuk menolak layanan suami atau menerima. Jika suami
memaksa agar istri melayaninya, maka terkategori pemerkosaan.
Komnas Perempuan telah menyerukan bahwa draf baru RUU PKS sudah sangat sesuai dengan
syariat islam yang memuliakan perempuan dan dibungkus APIK bagi mereka yang menyuarakan
kesetaraan gender. Pasal-pasal tersebut menyimpan pesan tersirat yang menyebabkan pasal
tersebut multitafsir dan justru jauh dari syariat islam. Akibatnya memberi celah kerusakan yang
melenggangkan para aktivis kesetaraan gender untuk menyuarakan apa yang menurutnya benar,
dan dilindungi oleh payung hukum negara ini. Bagaimana tidak dilindungi ? , paradigma dari
undang-undang ini dinilai sarat dengan konsep barat yang liberal, yang menjauhkan agama dari
kehidupan dengan makna konotasi sekuler liberalis. Dengan mengkambing hitamkan para pelaku
gender sebagai alatnya, yang bisa berdampak pada rusaknya keharmonisan dalam berumah tangga
hingga hidup bermasyarakat, lalu berdampak pula pada kerusakan generasi millenial yang
harusnya sebagai calon pemimpin kelak menjadi rusak dan tak berbekas. Melihat ide-ide gender
ini lahir dari sudut pandang yang mendikotomi peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat
yang diaruskan oleh negara-negara imperialis guna merusak peran wanita dalam kehidupan
sebagai alat penjajahan mereka.
Hal yang perlu untuk dibenahi adalah mencari akar permasalahan mengapa kasus kekerasan
terhadap perempuan tiap tahun tiap hari meningkat ? sudut pandang dan dengan apa yang akan
digunakan untuk menyelesaikan permasalah tersebut ?. Bukan hanya membuat undang-undang
karet yang dapat ditambal dan ditutupi yang justru malah menambah banyaknya persoalan.
Tiada hari tanpa kekerasan, mulai dari yang bersifat verbal hingga berujung kematian. Bukan
hanya wanita saja, kaum pria dan anak-anak turut menjadi korban kekerasan ini. Keadaan inilah
yang nampak ditutupi oleh sebagai kalangan gender ketika membaca permasalahan kriminalitas.
Kalangan penggiat perempuan seperti aktivis lawan patriarki sebagai salah satu pendukung RUU
PKS, dimana KTP yang katanya memarginalkan perempuan dan menjadikan kaum perempuan
adalah kaum yang tertindas. Mereka dengan lantang menyuarakan solusi hanya dengan satu sudut
pandang saja yaitu perspektif kepentingan kesetaraan gender.
Padahal realitanya, hampir semua kekerasan bisa dipicu oleh banyak faktor seperti ekonomi, relasi
keluarga yang kurang baik, dan lingkungan mereka seperti tontonan tv yang dimiliki oleh elit
kekuasaan untuk merusak generasi. Diperparah dengan lemahnya pendidikan yang masih
menggunakan kurikulum sekuler, hingga kontrol masyarakat yang apatis terhadap sesama.
Fakta-fakta inilah sudah cukup menguatkan bahwa kasus kekerasan yang kerap terjadi tidak bisa
dilihat dari satu perspektif saja melainkan sudah terstruktur bila kita mengamati. Dimana, kasus-
kasus ini ada karena hasil dari penerapan sistem sekuler liberalistik yang telah membuat
masyarakat jauh dari kata sehat dan sejahtera. Jadi, jelas meningkatnya kasus kekerasan termasuk
KTP bukan karena ketidak adanya payung hukum yang mampu melindungi kaum perempuan
sebagai mayoritas korban satu-satunya atau ketimpang gender. Sehingga, penyelesaian masalah
kekerasan, seperti adanya RUU PKS ini, malah melanggengkan para penggiat gender untuk
melakukan kebebasan sesuai keinginannya sembari sembuyi di payung hukum demokrasi, dimana
sarat akan sekulerisme liberalisme ,justru menjauhkan umat dari solusi yang sebenarnya
dibutuhkan yaitu Islam.
Islam adalah agama fitrah, memuaskan akal, sesuai dengan hati nurani manusia. Sehingga manusia
akan tunduk dan taat kepada perintah RabNya yaitu syariat islam. Islam tidak merampas kebebasan
manusia, justru fungsi syariat inilah agar menjaga manusia tetap berjalan dalam koridor islam,
sesuai dengan fitrahnya sebagai hamba, karena hanya Allah lah bukan yang lain, yang tau keadaan
hambanya.
Apalagi akal manusia itu terbatas. Terbatas untuk membuat peraturan hingga sanksi berat
sekalipun. Mereka tidak akan sanggup untuk mengakomodir perkara-perkara kriminal yang dari
tahun ke tahun semakin menjadi momok, dan malah menambah masalah-masalah baru.
Hari ini umat justru membutuhkan perubahan secara komprehensif bukan parsial apalagi tambal
sulam. Perubahan yang dimaksud bukan pe-revisian undang-undang dimana akal manusia terbatas
dalam membuat suatu peraturan dan sanksi, tetapi perubahan sistem, dari sistem sekuler yang
menjauhkan peran pencipta dalam kehidupan menjadi sistem islam. Karena hanya islamlah yang
memiliki seperangkat peraturan paripurna, mulai dari bangun tidur hingga bangun negara. Dengan
adanya idrak sillah billah (Kesadaran hubungan dengan pencipta) ini dengan peran islam yang
bersifat mencegah dan mengobati sehingga mampu melindungi umat dari segala bentuk tindakan
kekerasan, karena atas dasar kesadaran sebagai hambaNya yang sudah mendarah daging. Seluruh
perangkat aturan ini hanya bisa diterapkan dalam sistem politik yang shahih yaitu sistem Khilafah
Islamiyah warisan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, bukan sistem demokrasi warisan
Aristoteles atau filosof lainnya yang tak paham hakikat kehidupan sesungguhnya.

Anda mungkin juga menyukai