Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Definisi
Gizi buruk adalah keadaan kekurangan energi dan protein (KEP) tingkat
berat akibat kurang mengonsumsi makanan yang bergizi dan atau menderita sakit
dalam waktu lama. Ditandai dengan status gizi sangat kurus (menurut BB
terhadap TB) dan atau hasil pemeriksaan klinis menunjukkan gejala marasmus,
kwashiorkor, atau marasmik kwashiorkor.
Marasmus berasal dari kata Yunani yang berarti wasting merusak.
Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat
kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun pertama
kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot. Marasmus adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh kekurangan kalori protein.
Kwashiorkor ialah suatu keadaan kekurangan gizi (protein). Walaupun
sebab utama penyakit ini adalah defisiensi protein, tetapi karena bahan makanan
yang dimakan kurang mengandung nutrisi lainnya ditambah dengan konsumsi
setempat yang berlainan, maka akan terdapat perbedaan gambaran kwashiorkor
diberbagai negara.
Anak/bayi yang menderita marasmik kwashiorkor mempunyai gejala
(sindroma) gabungan kedua hal di atas. Seorang bayi yang menderita marasmus
lalu berlanjut menjadi kwashiorkor atau sebaliknya tergantung dari
makanan/gizinya dan sejauh mana cadangan energi dari lemak dan protein akan
berkurang/habis terpakai.
Kekurangan Energi Protein (KEP) biasanya menyerang anak-anak kurang
dari 5 tahun, dimana pada saat itu kebutuhan energi dan protein sangat tinggi.
Marasmus sering dijumpai pada anak < 1 tahun, di daerah urban, sedangkan
kwasiorkor sering dijumpai pada usia > 2 tahun di daerah yang kumuh dan padat
penduduk.
BAB II
ISI

A. Klasifikasi KEP
1. KEP ringan bila berat badan menurut umur (BB/U) 70-80% baku median WHO-
NCHS dan atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 80-90% baku median
WHO-NCHS.
2. KEP sedang bila BB/U 60-70% baku median WHO-NCHS dan atau BB/TB 70-80%
baku median WHO-NCHS.
3. KEP berat/Gizi buruk bila BB/U <60% baku median WHO-NCHS dan atau BB/TB
<70% baku median WHO-NCHS.

B. Tanda – Tanda/Manifestasi klinis


a) Marasmus
1. Penampilan
Muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah orang tua. Anak
terlihat sangat kurus (vel over been) karena kehilangan sebagian lemak dan otot-
ototnya.
2. Perubahan Mental
Anak menangis, rewel dan lesu setelah mendapat makan karena masih
merasa lapar. Kesadaran yang menurun (apatis) terdapat pada penderita
marasmus yang berat.
3. Kelainan Pada Kulit Tubuh
Kulit keriput, kering, dingin dan mengendor. Disebabkan karena kehilangan
lemak dibawah kulit serta otot-ototnya.
4. Kelainan Pada Rambut Kepala
Walaupun tidak seperti pada penderita kwarshiorkor dengan rambut yang
berwarna kemerahan. Marasmus adakalanya tampak rambut kering, tipis dan
mudah rontok.
5. Lemak Dibawah Kulit
Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit mengurang.
6. Otot-Otot
Otot- otot atrofis, hingga tulang- tulang terlihat lebih jelas

b) Kwarshiorkor
1. Mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran nafas dan diare.
2. Edema (pembengkakan), umumnya seluruh tubuh terutama punggung kaki
dan wajah membulat dan sembab.
3. Pandangan mata sayu.
4. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut
tanpa rasa sakit dan mudah rontok.
5. Terjadi perubahan status mental menjadi apatis dan rewel.
6. Terjadi pembesaran hati.
7. Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau
duduk.
8. Terdapat kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah
warna menjadi coklat kehitaman lalu terkelupas (crazy pavement dermatosis).
9. Sering disertai penyakit infeksi yang umumnya akut.

c) Marasmik - Kwarshiorkor
Marasmik-kwashiorkor mempunyai gejala (sindroma) gabungan kedua hal
diatas. Seorang bayi yang menderita marasmus lalu berlanjut menjadi
kwashiorkor atau sebaliknya tergantung dari makanan/gizinya dan sejauh mana
cadangan energi dari makanan lemak dan protein akan berkurang/habis terpakai.
Apabila masukan energi kurang dan cadangan lemak terpakai, bayi/anak akan
jatuh menjadi marasmus. Sebaliknya bila cadangan protein dipakai untuk energi,
gejala kwashiorkor akan menyertai.
C. Etiologi Penyakit
Pola makan anak kurang mendapat asupan protein dan asam amino. Pada bayi yang
masih menyusu, umumnya protein diperoleh dari ASI. Kurangnya pendidikan dan pengetahuan
ibu dalam mengonsumsi makanan cukup protein untuk dirinya yang masih menyusui, ataupun
asupan anak balitanya sangat berpengaruh terhadap terjadinya kwashiorkor, terutama saat
peralihan dari ASI ke makanan pengganti ASI. Menurut konsep klasik, diet yang mengandung
cukup energi tetapi kurang protein akan menyebabkan anak menjadi penderita kwashiorkor,
sedangkan diet kurang energi walaupun zat-zat gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan
anak menjadi menderita marasmus (Solihin, 2000).
Faktor sosial dan ekonomi anak yang hidup di negara berkembang dan negara miskin
umumnya mengalami masalah KEP, hal ini disebabkan karena kemiskinan keluarga membuat
kebutuhan anak akan zat gizi yang adekuat tidak terpenuhi. Dalam World Food Conference di
Roma tahun 1974 telah dikemukakan bahwa, meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa
diimbangi dengan bertambahnya persediaan bahan makanan yang memadai merupakan sebab
utama krisis pangan.
Faktor infeksi dan penyakit lain. Infeksi dapat menurunkan derajat gizi anak, begitupun
sebaliknya. KEP, walaupun dalam derajat yang ringan akan menurunkan imunitas tubuh
terhadap infeksi. Infeksi pada balita penting untuk dicegah dengan imunisasi. Imunisasi
merupakan cara untuk meningkatkan kekebalan terhadap suatu antigen yang dapat dibagi
menjadi imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman
yang sudah dilemahkan atau dimatikan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri,
sedangkan imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah antibodi sehingga kadar antibodi dalam
tubuh meningkat.
Faktor pelayanan kesehatan. Ibu yang mempunyai anak dengan gizi buruk
kurang aktif datang ke posyandu karena merasa kurang percaya diri sehubungan
dengan kondisi anaknya. Sebagian ibu merasa tidak perlu datang ke pelayanan
kesehatan jika anaknya sakit (misalnya batuk pilek) karena merasa bisa diobati
dengan obat pasaran dan akan sembuh sendiri. Kemampuan suatu rumah tangga
untuk mengakses pelayanan kesehatan berkaitan dengan ketersediaan sarana
pelayanan kesehatan serta kemampuan ekonomi untuk membayar biaya
pelayanan. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan dimungkinkan karena
keluarga tidak mampu membayar serta kurang pendidikan dan pengetahuan.
Faktor sanitasi lingkungan. Masalah gizi pada bayi dan anak balita di
Indonesia disebabkan penyakit infeksi yang erat kaitannya dengan sanitasi
lingkungan. Penyakit diare termasuk salah satu penyakit dengan sumber penularan
melalui air (water borne diseases), dan penyakit diare yang terjadi pada anak
balita umumnya disertai muntah dan menceret. Kurangnya akses masyarakat
terhadap air bersih atau air minum serta buruknya sanitasi dan perilaku higiene
berkontribusi terhadap kematian 1,8 juta orang per tahun karena diare. Upaya
penurunan angka kejadian penyakit bayi dan balita dapat diusahakan dengan
menciptakan sanitasi lingkungan yang sehat, yang pada akhirnya akan
memperbaiki status gizinya.
a) Marasmus
1. Masukan makanan yang kurang
Marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan
yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan, akibat dari ketidaktahuan orangtua si
anak. Misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer.
2. Infeksi
Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi
enteral. Misalnya: infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephritis, dan
sifilis kongenital.
3. Kelainan struktur bawaan
Misalnya: penyakit jantung bawaan, penyakit hirschprung, deformitas
palatum, palatoschizis, micrognathia, stenosispilorus, hiatus hernia, hidrosefalus,
cystic fibrosis pancreas.
4. Prematuritas dan penyakit pada masa neonates
Pada keadaan-keadaan tersebut pemberian ASI kurang akibat reflek
menghisap yang kurang kuat.
5. Pemberian ASI dan MP-ASI
Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang
cukup. Sebaliknya pemberiaan MP-ASI yang terlalu dini dapat menyebabkan
penurunan produksi ASI. Karena insting bayi untuk mengisap akan menurun
sehingga jumlah ASI yang dikonsumsi juga menurun sehingga kebutuhan bayi
tidak tercukupi. Selain itu dapat menyebabkan ganguan pencernaan karena
lambung dan usus belum berfungi secara sempurna sehingga bayi menderita diare,
yang apabila terus berlanjut dapat berakibat buruk berupa status gizi yang kurang
atau buruk bahkan tidak jarang menyebabkan kematian. Kekurangan gizi
menyebabkan bayi mudah terserang penyakit infeksi (Depkes, 2002).
6. Gangguan metabolic
Misalnya: renal asidosis, idiophatic hypercalcemia, galactosemia, lactoce
intolerance
7. Tumor hypothalamus
Jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila penyebab marasmus yang lain telah
disingkirkan.
8. Penyapihan
Penyapihan yang terlalu dini disertai dengan pemberian makanan yang kurang
akan menimbulkan marasmus. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan
predisposisi untuk timbulnya marasmus. Meningkatnya arus urbanisasi diikuti
pula perubahan kebiasaan penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan
pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat dari tidak mampu
membeli susu, dan bila disertai dengan infeksi berulang terutama gastroenteritis
akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus.

b) Kwarshiorkor
1. Pola makan
Protein (asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh
dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup,
tidak semua makanan mengandung protein/asam amino yang memadai. Bayi yang
masih menyusu umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya,
Namun bagi yang tidak memperoleh ASI, protein dari sumber lain (susu, telur,
keju, tahu, dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu
mengenai keseimbangan nutrisi anak berperan penting terhadap terjadi
kwashiorkor, terutama pada masa peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.
2. Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan
sosial dan politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan
makanan tertentu dan sudah berlangsung turun-temurun dapat menjadi hal yang
menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
3. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana
ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya.
4. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan
infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya
MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap
infeksi.

D. Patofisiologi
Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan
makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup. Dimulai dengan pembakaran
cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein melalui proses katabolik. Jika
terjadi stress katabolik (infeksi) maka kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat
menyebabkan defisiensi protein yang relatif. Apabila kondisi ini terjadi terus-menerus, maka
akan menunjukkan manivestasi kwashiorkor ataupun marasmus.

E. Makanan yang Dianjurkan


1. ASI eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein,
laktosa dan garam-garam anorganik yang di sekresi oleh kelenjar mamae ibu,
yang berguna sebagai makanan bagi bayinya (WHO, 2004).
ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan minuman
tambahan lain pada bayi berumur nol sampai enam bulan. Bahkan air putih tidak
diberikan dalam tahap ASI eksklusif ini (Depkes RI, 2004).
ASI eksklusif selama enam bulan pertama hidup bayi adalah yang terbaik.
Dengan demikian, ketentuan sebelumnya (bahwa ASI eksklusif itu cukup empat
bulan) sudah tidak berlaku lagi (WHO, 2001).
ASI merupakan makanan alamiah yang baik untuk bayi, praktis,
ekonomis, mudah dicerna untuk memiliki komposisi, zat gizi yang ideal sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan pencernaan bayi, dapat juga melindungi
infeksi gastrointestinal. ASI tidak mengandung beta-lactoglobulin yang dapat
menyebabkan alergi pada bayi. ASI juga mengandung zat pelindung (antibodi)
yang dapat melindungi bayi selama 5-6 bulan pertama, seperti: Immunoglobin,
Lysozyme, Complemen C3 dan C4, Antistapiloccocus, lactobacillus, Bifidus,
Lactoferrin. ASI dapat meningkatkan kesehatan dan kecerdasan bayi serta
meningkatkan jalinan kasih sayang ibu dan anak (bonding) (Gupte, 2004).

2. MP-ASI
MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi,
diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi
selain dari ASI (Depkes, 2006).
Menurut (Wiryo, 2002), saat bayi berusia 6 bulan otot dan syaraf di dalam
mulutnya sudah cukup berkembang untuk mengunyah, menggigit, menelan
makanan dengan baik, mulai tumbuh gigi, suka memasukkan sesuatu kedalam
mulutnya dan suka terhadap rasa yang baru. Makanan tambahan yang memenuhi
syarat adalah makanan yang kaya energi, protein dan mikronutrien (terutama zat
besi, zink, kalsium, vitamin A, vitamin C dan fosfat), bersih dan aman, tidak ada
bahan kimia yang berbahaya, tidak ada potongan atau bagian yang keras hingga
membuat anak tersedak, tidak terlalu panas, tidak pedas atau asin, mudah dimakan
oleh si anak, disukai, mudah disiapkan dan harga terjangkau.
MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga.
Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk
maupun jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kemampuan alat
pencernaan bayi dalam menerima MP-ASI (Depkes RI, 2004).
Beberapa Jenis MP-ASI yang sering diberikan adalah:
1). Buah, terutama pisang yang mengandung cukup kalori. Buah jenis lain yang
sering diberikan pada bayi adalah : pepaya, jeruk, dan tomat sebagai sumber
vitamin A dan C.
2). Makanan bayi tradisional :
a). Bubur susu buatan sendiri dari satu sampai dua sendok makan tepung beras
sebagai sumber kalori dan satu gelas susu sapi sebagai sumber protein.
b). Nasi tim saring, yang merupakan campuran dari beberapa bahan makanan,
satu sampai dua sendok beras, sepotong daging, ikan atau hati, sepotong tempe
atau tahu dan sayuran seperti wortel dan bayam, serta buah tomat dan air kaldu.
3). Makanan bayi kalengan, yang diperdagangkan dan dikemas dalam kaleng,
karton, karton kantong (sachet) atau botol : untuk jenis makanan seperti ini perlu
dibaca dengan teliti komposisinya yang tertera dalam labelnya (Lewis, 2003).

F. Makanan yang Dihindari


Konsumsi makanan yang perlu diperhatikan untuk dihindari agar anak
tidak mengalami gizi kurang yaitu makanan yang tidak sehat (terlalu berminyak,
junk food, dan berpengawet), penggunaan garam bila memang diperlukan
sebaiknya dalam jumlah sedikit dan harus beryodium, aneka jajanan di pinggir
jalan yang tidak terjamin kebersihan dan kandungan gizinya, konsumsi telur dan
kerang seringkali menimbulkan alergi bahkan keracunan apabila salah
mengolahnya, konsumsi kacang-kacangan juga dapat menjadi pencetus alergi
(Proverawati dan Erna, 2010).
Konsumsi gula yang berlebih juga dapat mengurangi peluang terpenuhinya
zat gizi lain. Konsumsi gula sebaiknya dibatasi sampai 5% dari jumlah kecukupan
energi atau sekitar 3-4 sendok makan setiap hari.
G. Pencegahan dan Penanggulangan
Pencegahannya dapat berupa diet adekuat dengan jumlah-jumlah yang
tepat dari karbohidrat, lemak (minimal 10% dari total kalori), dan protein
(minimal 12% dari total kalori). Senantiasa mengamalkan konsumsi diet yang
seimbang dengan cukup karbohidrat, cukup lemak dan protein bisa mencegah
terjadinya kwashiorkor. Protein utama harus disediakan dalam makanan. Untuk
mendapatkan sumber protein yang bernilai tinggi bisa didapatkan dari protein
hewani seperti susu, keju, daging, telur dan ikan. Bisa juga mendapatkan protein
dari nabati seperti kacang hijau dan kacang kedelai.
Langkah- langkah untuk mencegah dan menanggulangi KEP adalah :
1. Mempertahankan status gizi anak yang sudah baik tetap baik dengan
menggiatkan kegiatan surveilance gizi di institusi kesehatan terdepan
(Puskesmas, Puskesmas Pembantu).
2. Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit, mengkoreksi konsumsi
pangan bila ada yang kurang, penyuluhan pemberian makanan
pendamping ASI.
3. Memperbaiki/mengurangi efek penyakit infeksi yang sudah terjadi supaya
tidak menurunkan status gizi.
4. Merehabilitasi anak yang menderita KEP pada fase awal/BGM.
5. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam program keluarga berencana.
6. Meningkatkan status ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan segala
sektor ekonomi masyarakat (pertanian, perdagangan, dan lain-lain).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
KEP atau gizi buruk adalah suatu keadaan dimana tubuh kekurangan zat-
zat gizi dari makanan terutama energi dan protein dalam tingkat yang berat.
Dibagi menjadi tiga kategori yaitu marasmus (defisiensi energi), kwarshiorkor
(defisiensi protein) dan marasmik-kwarshiorkor (gabungan keduanya).
Tubuh penderita marasmus terlihat sangat kurus/wasting hingga tulang iga
terlihat jelas. Pada penderita kwarshiorkor, terjadi edema di seluruh tubuh
terutama pada wajah, perut, dan punggung kaki.
Selain karena faktor zat-zat gizi (ASI, MP-ASI), pengaruh lain seperti
penyakit infeksi dan kelainan struktur bawaan (penyakit jantung bawaan) serta
tingkat pengetahuan ibu hingga status ekonomi menjadi penyebab terjadinya gizi
buruk.
Patofisiologi gizi buruk berawal dari makanan yang tidak adekuat yang
kemudian mengakibatkan mobilisasi cadangan makanan (KH, lemak, dan protein)
untuk menghasilkan kalori.
Makanan yang dianjurkan bagi balita penderita gizi buruk adalah ASI
eksklusif dan MP-ASI, sedangkan makanan yang dihindari adalah makanan yang
terlalu berminyak, junk food, dan berpengawet, penggunaan garam dan gula yang
berlebihan, serta aneka jajanan di pinggir jalan.
Pencegahannya dapat berupa diet adekuat dengan jumlah-jumlah yang
tepat dari karbohidrat, lemak (minimal 10% dari total kalori), dan protein
(minimal 12% dari total kalori). Sumber protein utama bisa didapat dari nabati
dan hewani.

B. Saran
1. Segera untuk merehabilitasi anak-anak penderita gizi buruk
2. Lebih aktif lagi dalam penyelenggaraan yankes dan penyuluhan kesehatan
di masyarakat terutama untuk ibu-ibu hamil
3. Mempertahankan status gizi anak yang sudah baik agar tetap baik dan
meningkatkan status gizi yang masih kurang
4. Sebaiknya pemerintah sesegera mungkin mencanangkan program-program
untuk mengatasi krisis ekonomi dan politik
5. Menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi masyarakat kurang
mampu

DAFTAR PUSTAKA
http://www.scribd.com/doc/110754744/Etiologi-Dan-Patofisiologi-Kurang-
Energi-Protein-Rizka#scribd
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24874/4/Chapter%20II.pdf.
Diunduh tanggal 18 Oktober 2015 pukul 04:43 WIB
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37415/4/Chapter%20II.pdf
Diunduh tanggal 18 Oktober 2015 pukul 04:45 WIB
http://eprints.ums.ac.id/9270/2/J410050001.pdf
Diunduh tanggal 18 Oktober 2015 pukul 04:46 WIB
http://jurnalkesmas.ui.ac.id/index.php/kesmas/article/viewFile/93/94
Diunduh tanggal 18 Oktober 2015 pukul 04:57 WIB
http://eprints.ums.ac.id/31243/2/BAB_I.pdf
Diunduh tanggal 18 Oktober 2015 pukul 04:59 WIB
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33725/4/Chapter%20II.pdf
Diunduh tanggal 18 Oktober 2015 pukul 05:11 WIB
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23074/4/Chapter%20II.pdf
Diunduh tanggal 18 Oktober 2015 pukul 05:15 WIB
http://www.idijembrana.or.id/index.php?module=artikel&kode=10http://www.idij
embrana.or.id/index.php?module=artikel&kode=10
LAMPIRAN

Gambar 1. Gizi buruk (Marasmus)

Gambar 2. Gizi buruk (Kwarshiorkor) Gambar 3. Gizi buruk


(Marasmik-Kwarshiorkor)

Anda mungkin juga menyukai