Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernapasan


yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari. ISPA
merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan bagian atas
dan bagian bawah. ISPA dapat menimbulkan gejala ringan (batuk, pilek), gejala
sedang (sesak, mengi) bahkan sampai gejala berat (sianosis, pernapasan cuping
hidung).1

Pada umumnya anak-anak lebih sering mengalami ISPA baik di negara


berkembang maupun di negara maju. Kejadian ISPA lebih sering terjadi di negara
yang sedang berkembang. Insidensi kejadian ISPA bila dikelompokkan menurut
kelompok umur balita diperkirakan sebesar 0,29 episode per anak/tahun di negara
berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151
juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di
India (43 juta), China (21 juta), dan Pakistan (10 juta). Di Bangladesh, Indonesia
dan Nigeria masing-masing sekitar 6 juta episode.1, 2

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) masih menjadi masalah kesehatan


utama di Indonesia. Prevalensi ISPA di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 25,0%,
tidak jauh berbeda dengan prevalensi pada tahun 2007 sebesar 25,5%. Prevalensi
ISPA tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun sebesar 25,8%, diikuti
kelompok umur kurang dari 1 tahun sebesar 22,0%. ISPA mengakibatkan sekitar
20-30% kematian pada balita.1,3

Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif mempunyai peranan penting
untuk menunjang pertumbuhan, perkembangan, kesehatan, dan pemenuhan nutrisi
pada bayi. ASI eksklusif diberikan kepada bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan
tanpa diberikan makanan tambahan apapun. Setelah itu, baru kemudian bayi harus

1
diberi makanan pendamping yang bergizi dan tetap menyusu sampai bayi berusia
dua tahun atau lebih. Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif, baik
bagi ibu maupun bayinya. Bagi ibu, memberikan ASI tidak hanya bermanfaat
untuk menjalin kasih sayang , tetapi juga dapat mengurangi perdarahan setelah
melahirkan, mempercepat pemuihan kesehatan ibu, menunda kehamilan, hingga
mengurangi risiko terkena kanker payudara. ASI sendiri mengandung banyak
faktor kekebalan yang bermanfaat terhadap pencegahan dari berbagai macam
penyakit.4

Pemberian ASI eksklusif di Indonesia belum dilaksanakan sepenuhnya.


Terdapat beberapa permasalahan seperti faktor sosia budaya, rendahnya kesadaran
akan pentingnya ASI, pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang belum
sepenuhnya mendukung program Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI),
gencarnya promisi susu formula, dan ibu yang bekerja. Selain itu, rendahnya
pengetahuan ibu tentang manfaat pemberian ASI eksklusif juga menjadi salah satu
faktor penyebab permasalahan di atas. 5,6

Pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu faktor risiko terjadinya


ISPA pada bayi. Bayi berusia 0-11 bulan yang tidak optimal memperoleh ASI
eksklusif mempunyai risiko 5 kali lebih besar meninggal karena ISPA
dibandingkan dengan bayi yang memperoleh ASI eksklusif.7 Di negara-negara
berkembang, bayi yang mendapat ASI eksklusif mempunyai angka kesakitan dan
kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan susu formula. 8
ASI juga terbukti memberikan efek protektif 39,8% terhadap ISPA pada bayi
berusia 0- bulan.9 Risiko untuk terjadi ISPA pada bayi yang diberikan ASI tidak
eksklusif sebesar 4,59 kali lebih besar daripada bayi yang diberikan ASI secara
eksklusif.10

ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana


kesehatan. Sebanyak 40-60% kunjungan pasien untuk berobat ke Puskesmas dan
15-30% kunjungan pasien berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap di rumah
sakit karena menderita ISPA.11 Di Puskesmas Tembilahan Kota, jumlah pasien
yang berobat karena ISPA pada tahun 2018 sebanyak 5099. Hal ini menempatkan

2
ISPA sebagai urutan pertama dalam daftar 10 penyakit terbanyak yang diobati di
Puskesmas pada tahun 2018.12

1.2 Pernyataan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut, terdapat rumusan


masalah yaitu apakah terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI
eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui adanya hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap
kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Tembilahan Kota.
1.3.2 Tujuan Khusus

a. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian ISPA pada bayi di


Puskesmas Tembilahan Kota bulan September tahun 2019?

b. Bagaimana distribusi frekuensi pemberian ASI eksklusif pada bayi


di Puskesmas Tembilahan Kota bulan September tahun 2019?

c. Apakah terdapat hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap


kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Tembilahan Kota bulan
September tahun 2019?

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi Penulis
Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan penulis
lebih mendalam tentang hubungan faktor risiko ISPA terhadap kejadian
ISPA khususnya pemberian ASI eksklusif.

1.4.2 Manfaat bagi Puskesmas


Laporan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan
pertimbangan bagi perumusan program baru di Puskesmas Tembilahan
Kota yang bisa meningkatkan angka frekuensi pemberian ASI eksklusif
pada bayi, sehingga dapat menurunkan angka kejadian ISPA.

3
1.4.2 Manfaat bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya bagi ibu-ibu
tentang ISPA dan manfaat pemberian ASI eksklusif pada bayi, dan
menambah pengetahuan masyarakat tentang hubungan pemberian ASI
eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi.

BAB II

4
TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)


2.1. Definisi
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan suatu penyakit infeksi
akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari
hidung sampai alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga
tengah, dan pleura yang berlangsung selama 14 hari.13 Menurut WHO, Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau
bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit
mulai dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah
dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan
faktor pejamu.14

2.2 Epidemiologi
ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia, baik di
negara maju maupun di negara berkembang. ISPA banyak terjadi di negara
berkembang dan sering menyerang anak-anak terutama bayi dan balita. 9 Di
Bangladesh, ISPA merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan kematina
sebesar dua per tiga dari total kematian anak berusia di bawah satu tahun. 15
Insidens kejadian ISPA menurut kelompok umur balita diperkirakan 0,29 episode
per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara
maju. Di Indonesia, angka kejadian ISPA pada tahun 2013 sebesar 25,0%. ISPA
paling banyak diderita oleh kelompok usia 1-4 tahun (25,8%). Tidak ada
perbedaan angka kejadian ISPA pada laki-laki maupun perempuan. Penyakit ini
lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan ekonomi menengah ke
bawah.1

2.3 Etiologi
ISPA merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau virus.
Etiologi ISPA meliputi lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebab ISPA terbanyak dari genus Streptococcus, Staphylococcus,

5
Pneumococcus, Haemophylus, Bordetella, dan Corinebacterium. Virus penyebab
ISPA antara lain dari golongan Myxovirus, Adenovirus, Coronavirus,
Picornavirus, dan lain-lain. Kebanyakan ISPA disebabkan oleh virus. 1,16

2.4. Klasifikasi
Berasarkan lokasi anatomi terkena infeksi, ISPA dibagi menjadi:
a. ISPA bagian atas
Yang termasuk ISPA bagian atas adalah nasofaringitis atau common
cold, faringitis akut, rhinitis akut, dan sinusitis akut.13
b. ISPA bagian bawah
Yang termasuk ISPA bagian bawah adalah bronkitis akut, bronkiolitis,
dan pneumonia.13
Menurut Kemenkes RI dalam Pedoman Pengendalian ISPA, ISPA
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. ISPA Pneumonia, merupakan ISPA yang sampai mengenai jaringan
paru-paru (alveoli).11
b. ISPA bukan pneumonia, merupakan penyakit yang dikenal masyarakat
dengan istilah batuk dan pilek (common cold).11
Berdasarkan kelompok umur, ISPA diklasifikasikan lagi menjadi:
1. Kelompok umur 2 bulan – di bawah 5 tahun
- Pneumonia berat, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar
bernapas disertai adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam (chest indrawing).
- Pneumonia, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar
bernapas disertasi napas cepat sesuai golongan umur, yaitu bila
umur 2 bulan hingga <1 tahun sebanyak 50 kali atau
lebih/menit; dan bila umur 1 hingga <5 tahun 40 kali atau
lebih/menit.
- Bukan pneumonia, apabila hanya terdapat gejala batuk dan/atau
sukar bernapas.
2. Kelompok umur kurang dari 2 bulan

6
- Pneumonia berat, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar
bernapas disertai napas cepat >60 kali per menit, atau adanya
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing).
- Bukan pneumonia, apabila hanya teradpat gejala batuk dan/atau
sukar bernapas.

2.5. Faktor Risiko


1. Mikroorganisme penyebab
Penyebab tersering ISPA adalah virus, karena sifatnya yang mudah
menular sehingga angka kejadian ISPA di masyarakat menjadi tinggi.
Tetapi, ISPA yang disebabkan virus tidak memerlukan tatalaksana khusus
karena bersifat self-limiting.
2. Faktor host (pejamu)
a. Usia
ISPA lebih sering terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun. Anak berusia
kurang dari 2 tahun mempunyai risiko terkena ISPA lebih besra
daripada anak yang lebih tua karena pada usia kurang dari 2 tahun anak
tersebut belum memiliki imunitas yang sempurna dan lumen saluran
napas yang relatif sempit.17
b. Jenis kelamin
Suatu studi menyebutkan laki-laki lebih banyak mengalami ISPA
daripada perempuan.18 Tetapi dalam Riskesdas disebutkan tidak terdapat
perbedaan angka kejadian ISPA pada laki-laki maupun perempuan. 1
Terdapat sedikit perbedaan anatomi saluran napas antara anak laki-laki
maupun perempuan, namun hal ini tidak mempengaruhi kejadian
ISPA.17
c. Berat lahir
ISPA cenderung terjadi pada balita dengan riwayat berat badan lahir
rendah (BBLR) dibandingkan dengan balita tanpa riwayat BBLR. 22
Bayi BBLR memiliki sistem pertahanan tubuh yang belum sempurna
yang mengakibatkan bayi BBLR memiliki daya tahan tubuh yang

7
rendah. Selain itu, bayi BBLR juga memiliki pusat pengaturan
pernapasan yang belum sempurna, surfaktan paru yang masih kurang
jumlahnya, otot-otot pernapasan dan tulang iga yang masih lemah. Bayi
BBLR juga mudah mengalami infeksi paru dan gagal napas.19
d. Status gizi
Status gizi menggambarkan baik atau buruknya konsumsi zat gizi
seseorang. Zat gizi diperlukan untuk pembentukan sistem kekebalan
tubuh seperti antibodi. Semakin baik status gizi seseorang, maka
semakin baik sistem kekebalan tubuhnya. Infeksi saluran pernapasan
akut yang disebabkan virus sangat dipengaruhi oleh sistem kekebalan
tubuh. Bila sistem kekebalan tubuh baik, maka seseorang akan kebal
terhadap serangan virus. Selain itu, kesembuhan dari penyakit akibat
serangan virus juga akan lebih cepat. Anak dengan malnutrisi juga lebih
sering mengalami ISPA dibandingkan dengan anak dengan gizi yang
baik.17
e. Status Imunisasi
Anak yang tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap cenderung
lebih sering mengalami ISPA. Kebanyakan kasus ISPA pada anak
terjadi akibat komplikasi dari campak yang merupakan faktor risiko
yang dapat dicegah dengan imunisasi. Namun, kemampuan tubuh untuk
menangkal suatu penyit masih dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
lain seperti faktor genetik dan kualitas vaksin.18
f. Pendidikan
Kurangnya pengetahuan di masyarakat akan gejala dan upaya
penanggulangan ISPA dan bagaimana pencegahan agar tidak mudah
terserang penyakit ISPA menyebabkan masih banyak kasus ISPA yang
dapat ke sarana pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan berat.20
g. Pemberian ASI eksklusif
Pemberian ASI secara eksklusif hingga bayi berusia 6 bulan merupakan
langkah yang efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan gizi dan
memberikan perlindungan bagi bayi dari serangan infeksi khususnya

8
ISPA.21 ASI mengandung banyak faktor kekebalan dan bermanfaat
terhadap pencegahan ISPA terutama sejak pemberian ASI di awal
kehidupan bayi hingga bayi berusia 6 bulan, salah satunya adalah
imunoglobulin. Imunoglobulin yang banyak ditemukan pada saluran
cerna dan saluran napas adalah imunoglobulin A (IgA). 21 Selama
minggu pertama kehidupan (4-6 hari) payudara ibu akan menghasilkan
kolostrum, yaitu ASI awal yang banyak mengandung zat-zat kekebalan
tubuh (imunoglobulin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel
leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari serangan
infeksi.21
Bayi yang diberi ASI eksklusif cenderung tidak pernah mengalami
ISPA sedangkan bayi yang mendapatkan ASI non-eksklusif cenderung
lebih sering mengalami ISPA.21 Risiko anak yang diberi ASI tidak
secara eksklusif lebih besar dibandingkan dengan anak yang diberi ASI
secara eksklusif.21 Kematian akibat penyakit saluran pernapasan 2-6 kali
lebih banyak pada bayi yang diberi susu formula dibandingkan dengan
bayi yang mendapat ASI.21
3. Faktor lingkungan
Keadaan fisik sekita rmanusia berpengaruh terhadap kesehatan manusia,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Ada beberapa faktor dari
lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan, meliputi udara,
kelembapan, air, dan pencemaran udara. ISPA termasuk air-borne disease
yang merupakan penyakit yang penularannya melalui udara yang tercemar
dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan.22 Karena itu,
secara epidemiologi, udara mempunyai peranan yang besar pada transmisi
penyakit infeksi saluran pernapasan. Selain itu, faktor dari lingkungan
yang meningkatkan risiko terjadinya kejadian ISPA adalah asap yang
dihasilkan pabrik, asap kendaraan bermotor, asap dari perokok, asap dari
bahan bakar yang digunakan untuk memasak, kurangnya ventilasi di
rumah, suhu ruangan rumah di bawah 18°C atau di atas 30°C, kepadatan
hunian rumah, penggunaan antinyamuk, dan partikel debu di sekitar

9
tempat tinggal.22

2.6. Manifestasi Klinis


Gejala ISPA dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Gejala ISPA Ringan
Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu
atau lebih gejala-gejala berikut:
a. Batuk
b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara
seperti pada waktu berbicara atau menangis
c. Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
d. Demam, dengan suhu badan lebih dari 37°C
2. Gejala ISPA Sedang
Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika ditemukan
gejala ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:
a. Pernapasan cepat sesuai umur yaitu pada kelompok umur <2 bulan
dengan frekuensi napas 60 kali per menit atau lebih, pada kelompok
umur 2 - <12 bulan dengan frekuensi napas 50 kali per menit atau
lebih, dan pada kelompok umur 12 bulan - <5 tahun dengan frekuensi
napas 40 kali per menit atau lebih.
b. Suhu badan lebih dari 39°C
c. Tenggorokan berwarna merah
d. Telinga sakit atau mengeluarkan cairan dari lubang telinga
e. Pernapasan berbunyi seperti mengorok / mendengkur
3. Gejala ISPA Berat
4. Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA berat jika ditemukan
gejala ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:
a. Bibir atau kulit membiru
b. Kesadaran anak menurun
c. Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
d. Sela iga tertarik ke dalam saat bernapas

10
e. Nadi lebih cepat dari 160 kali per menit atau tidak teraba
f. Pernapasan cuping hidung 22

2.7. Diagnosis
Diagnosis etiologi ISPA pada bayi/balita cukup sulit ditegkkan karena
pengambilan dahak sulit dilakukan. Prosedur pemeriksaan imunologi pun
belum bisa memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan penyebab
ISPA. Pemeriksaan darah dan pembiakan spesimen fungsi atau aspirasi paru
bisa dilakukan untuk diagnosis penyebab ISPA. Cara ini cukup efektif untuk
menentukan etiologi ISPA. Namun cara ini dianggap prosedur yang
berbahaya dan bertentangan dengan etika. Dengan pertimbangan ini,
diagnosis etiologi penyebab ISPA di Indonesia didasarkan pada hasil
penelitian asing (melalui publikasi WHO) bahwa Streptococcus pneumoniae
dan Haemophylus influenza merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada
penelitian etiologi di negara berkembang, sedangkan di negar amaju
seringkali disebabkan oleh virus. Diagnosis ISPA ditegakkan berdasarkan
gejala yang timbul pada bayi/balita seperti yang telah dijelaskan pada uraian
manifestasi klinis di atas.22

2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ISPA dikembangkan melalui suatu Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS). Melalui MTBS ini msemua penderita ISPA
langsung ditangani di unit yang menemukan. Namun, bila kondisi bayi/balita
sudah berada dalam pneumonia berat, sedangkan peralatan tidak mencukupi
maka penderita langsung dirujuk ke unit dengan fasilitas yang lebih lengkap.
Pengobatan ISPA dilaksanakan berdasarkan klasifikasi ISPA sebagaimana
diuraikan secara ringkas pada bagan berikut.

11
Gambar 1. Tatalaksana ISPA pada bayi kurang dari 2 bulan

Gambar 2. Tatalaksana ISPA pada bayi/balita usia 2 bulan kurang


dari 5 tahun

12
Antibiotika yang dapat digunakan adalah kotrimoksazol atau
amoksisilin selama 3 hari, dan dapat juga diberikan penurun panas seperti
parasetamol. Setelah mendapat antibiotika, penderita ditindaklanjuti pada
kunjungan ulang setiap dua hari di fasilitas pelayanan kesehatan. Bila pasien
menderita pneumonia berat, pasien harus segera dirujuk ke fasilitas kesehatan
yang lebih lengkap.11

2.9. Pencegahan
1. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana melalui kegiatan ini
diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-
hal yang dapat meningkatkan faktor risiko ISPA. Penyuluhan dapat
berupa penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI eksklusif, penyuluhan
imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan
kesehatan lingkungan rumah, atau penyuluhan bahaya rokok.
2. Imunisasi lengkap
3. Usaha di bidang gizi dengan tujuan mengurangi malnutrisi.
4. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi BBLR.
5. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani
masalah polusi di dalam maupun di luar rumah.22

B. Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif


ASI eksklusif merupakan pemberian ASI pada 6 bulan pertama kelahiran
tanpa disertai pemberian makanan atau minuman apapun.3 Setelah bayi berusia
6 bulan, barulah bayi mulai diperkenalkan dengan makanan pendamping atau
makanan padat secara benar dan tepat, sedangkan ASI tetap diberikan kepada
bayi sampai berusia 2 tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun.
Bayi sehat umumnya tidak memerlukan makanan tambahan apapun
sampai berusia 6 bulan kecuali terdapat keadaan-keadaan khusus yang membuat
bayi perlu diberi makanan tambahan sebelum berusia 6 bulan. Misalnya terjadi
peningkatan berat badan bayi yang tidak sesuai standar atau terdapat tanda-

13
tanda lain yang menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak berjalan
dengan baik. Namun, sebelum diberikan makanan tambahan, ibu sebaiknya
memperbaiki terlebih dahulu cara pemberian ASI kepada bayi. Apabila setelah
1-2 minggu usaha tersebut telah dilakukan tetapi belum terjadi peningkatan
berat badan, barulah ibu dapat memikirkan untuk memberikan makanan
tambahan bagi bayi berusia di atas 4 bulan namun belum mencapai 6 bulan.4
ASI merupakan suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan
garam-garam organik yang disekresikan oleh kelenjar mammae.4 Berdasarkan
stadium laktasinya, komposisi ASI dapat dibagi sebagai berikut:
a. Kolostrum
Kolostrum merupakan cairan yang pertama kali disekresi oleh
kelenjar mammae, mengandung tissue debris dan residual material yang
terdapat dalam alveoli dan duktus dari kelenjar mammae. Kolostrum
mulai disekresikan dari hari ke-1 sampai hari ke-4 setelah melahirkan.
Kolostrum bersifat viscous dengan warna kekuning-kuningan, lebih
kuning daripada ASI matur. Kolostrum juga merupakan pencahar yang
ideal untuk membersihkan mekonium dari usus bayi yang baru lahir dan
mempersiapkan saluran pencernaan bayi terhadap makanan yang akan
datang.4
Kolostrum mengandung lebih banyak protein serta antibodi (untuk
memberikan perlindungan pada bayi sampai umur 6 bulan) daripada ASI
matur, kadar karbohidrat dan lemak yang lebih rendah daripada ASI
matur. Mineral, terutama natrium, kalium dan klorida lebih tinggi
daripada ASI matur. Total energi yang lebih rendah daripada ASI matur,
yaitu hanya 58 Kal / 100 mL. Vitamin yang larut dalam lemak lebih
tinggi dan vitamin yang larut dalam air lebih rendah daripada ASI matur.
ASI yang mengandung kolostrum akan menggumpal jika dipanaskan
serta pH lebih alkalis daripada ASI matur. Kolostrum mengandung
tripsin inhibitor, sehingga hidrolisis protein dalam usus bayi menjadi
kurang sempurna agar kadar antibodi lebih banyak pada bayi. Volumenya
berkisar 150-300 mL / 24 jam.4

14
b. ASI masa peralihan
ASI ini merupakan peralihan dari kolostrum sampai menjadi ASI
matur yang disekresikan dari hari ke-4 sampai hari ke-10 pada masa
laktasi. Kadar protein makin rendah sedangkan kadar karbohidrat dan
lemak makin tinggi. Volume ASI pada masa peralihan semakin
meningkat.4
c. ASI matur
ASI matur merupakan ASI yang disekresikan pada hari ke-10 dan
seterusnya. Komposisinya relatif konstan. Ibu yang sehat dengan
produksi ASI cukup dapat memberikan ASI sebagai satu-satunya
makanan yang paling baik dan cukup untuk bayi sampai usia 6 bulan.
ASI matur berwarna putih kekuning-kuningan karena mengandung
garam Ca-caseinat, riboflavin, dan karoten. ASI matur tidak
menggumpal jika dipanaskan dan mengandung antimikrobial lain,
seperti:
- Antibodi terhadap bakteri dan virus
- Sel (fagosit, granulosit, makrofag, dan limfosit T)
- Enzim (lisozim, laktoperoksidase, lipase, katalase, fosfatase, amilase,
fosfodiesterase, alkalinfosfatase)
- Protein (laktoferin, B12 binding protein)
- Resistance factor terhadap stafilokokus
- Komplemen
- Interferron producing cell
- Sifat biokimia yang khas, kapasitas buffer yang rendah dan adanya
faktor bifidus.4
d. Hormon-hormon
Laktoferin merupakan suatu iron binding protein yang bersifat
bakteriostatik kuat terhadap Escherichia coli serta Candida Albicans.
Lactobacillus bifidus merupakan koloni kuman yang memetabolisir
laktosa menjadi asam laktat yang menyebabkan rendahnya pH sehingga
pertumbuhan kuman patogen akan terhambat. Imunoglobulin

15
memberikan mekanisme pertahanan yang efektif terhadap bakteri dan
virus (terutama IgA) dan bila bergabung dengan komplemen dan
lisozim merupakan suatu antibakterial yang langsung terhadap
Escherichia coli. Faktor lisozim dan komplemen ini adalah suatu
antibakterial nonspesifik yang mengatur pertumbuhan flora di usus.4
ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan yang akan
melindungi bayi dari serangan virus, bakteri, parasit, dan jamur.
Kolostrum mengandung zat kekebalan 10-17 kali lebih banyak dari ASI
matur. Zat kekebalan tersebut akan melindungi bayi dari penyakit diare.
ASI juga akan menurunkan kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi
telinga, batuk, pilek, dan penyakit alergi. Bayi yang diberi ASI secara
eksklusif akan lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan bayi yang
tidak mendapat ASI secara eksklusif.4

16
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik untuk
mengetahui hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA
pada bayi. Desain penelitian yang digunakan adalah studi cross sectional.
3.2. Tempat dan waktu penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Puskesmas Tembilahan Kota.
Waktu penelitian adalah bulan September 2019
3.3. Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bayi yang dibawa
oleh ibunya yang datang berobat ke Puskesmas Tembilahan Kota.
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode non-probability
sampling jenis consecutive sampling. Semua subjek yang datang secara
berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan sebagai sampel
penelitian sampai subjek yang diperlukan terpenuhi
Kriteria inklusi subjek penelitian adalah:
a. Bayi berusia 0-12 bulan datang ke Puskesmas Tembilahan Kota baik
yang didiagnosis ISPA maupun bukan ISPA.
b. Ibu yang membawa bayi tersebut bersedia menjadi responden.
Kriteria eksklusi subjek penelitian ini adalah:
a. Ibu tidak mengisi kuesioner secara lengkap.
b. Bayi yang bukan dibawa oleh ibunya.

3.4. Metode Pengumpulan Data


Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data
primer yang diperoleh secara langsung dari subjek penelitian dengan cara

17
wawancara. Instrumen yang digunakan untuk pengambilan data adalah
dengan pembagian kuesioner.

3.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data


3.5.1. Pengolahan Data
Semua data dikumpulkan, dicatat, dan dikelompokkan lalu
dimasukkan ke komputer dan selanjutnya diolah dengan menggunakan
program SPSS.
3.5.2. Analisis Data
a. Analisis Univariat
Data yang diperolah dari hasil pengumpulan data disajikan dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi, yaitu tabel distribusi frekuensi
ISPA dan tabel distribusi frekuensi pemberian ASI eksklusif.
b. Analisis Bivariat
Untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan
variabel dependen disajikan dalam bentuk tabel, lalu dianalisis
dengan uji statistik Chi-square. Pengambilan keputusan statistik
dilakukan dengan membandingkan nilai P value dengan nilai α
0,05. Bila nilai P value < nilai α 0,05 maka terdapat hubungan
bermakna (signifikan) antara variabel independen dan dependen,
sedangkan bila nilai P value > nilai α 0,05 maka tidak terdapat
hubungan bermakna (signifikan) antara variabel independen dan
variabel dependen.

18
BAB IV
PROFIL PUSKESMAS

4.1 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)


4.1.1 Gambaran Umum Puskesmas
1. Keadaan Geogarafi

UPT Puskesmas Tembilahan Kota adalah Puskesmas yang


terletak di Ibukota Kabupaten Indragiri Hilir tepatnya di Kecamatan
Tembilahan, Jalan Gunung Daek No.06. Puskesmas ini didirikan pada
tanggal 12 November 1975, memiliki luas tanah 1052 m 2 dan luas
wilayah kerja 103,5 Km2. Wilayah kerja UPT Puskesmas Tembilahan
Kota, meliputi wilayah Kecamatan Tembilahan dengan batas wilayah:
 Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Batang Tuaka
 Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Enok
 Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tembilahan Hulu
 Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Sei.Beringin,
Kecamatan Batang Tuaka

Gambar 3:
PETA WILAYAH KERJA
UPT PUSKESMAS TEMBILAHAN KOTA

19
UPT Puskesmas Tembilahan Kota terletak pada 1 - 4 meter di
atas permukaan laut. UPT Puskesmas Tembilahan Kota memiliki
wilayah kerja yang terdiri dari 5 Kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Tembilahan Kota
2. Kelurahan Seberang Tembilahan
3. Kelurahan Pekan Arba
4. Kelurahan Seberang Tembilahan Barat
Kelurahan Seberang Tembilahan Selatan

2. Data Demografi

Penduduk asli Kecamatan Tembilahan adalah suku Melayu


yang sering disebut Melayu Riau, sebagaimana halnya suku Melayu
yang ada di daerah Riau lainnya, suku Melayu di daerah ini juga
mempunyai system kekerabatan yang kental dan penganut Agama
Islam yang taat. Hal ini ditandai dengan mudahnya suku-suku
pendatang dan berasilimasi dengan penduduk tempatan.
Jumlah penduduk di wilayah kerja UPT Puskesmas Tembilahan
kota adalah 43.658 jiwa yang terdiri dari laki-laki 22.003 jiwa dan
perempuan 21.655 jiwa. Jumlah Penduduk terpadat berada di wilayah
Tembilahan kota dan yang paling sedikit berada di seberang
tembilahan selatan. Sehingga resiko penularan penyakit lebih cepat
terjadi di wilayah tembilahan kota. Disamping suku Melayu, penduduk
Kecamatan Tembilahan terdiri dari berbagai macam suku yaitu: suku
Banjar, Bugis, Jawa, Minang, dan suku Laut. Pada umumnya mereka
mempunyai mata pencaharian di bidang, Perkebunan, nelayan dan
sebagian lagi bergerak dibidang Kerajinan Industri dan Perdagangan.

Tabel 1

JUMLAH PENDUDUK PER KELURAHAN MENURUT JENIS


KELAMIN WILAYAH KERJA
PUSKESMAS TEMBILAHAN KOTA
No Kelurahan Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Tembilahan Kota 13.212 10.13.277 26.489
2 Pekan Arba 4.182 4.032 8.214
3 Seberang Tembilahan 2.656 2.497 5.153
Seberang Tembilahan 1.235 1.144
4 2.379
Barat
Seberang Tembilahan 718 705
5 1.423
Selatan
Jumlah 22.003 21.655 43.658
Sumber : Dinas Kesehatan Kab.Inhil
Tabel 2

20
JUMLAH RUMAH TANGGA DI WILAYAH KERJA
UPT PUSKESMAS TEMBILAHAN KOTA

Jumlah Rumah
No Kelurahan
Tangga

1 Tembilahan Kota 5234


2 Pekan Arba 921
3 Seberang Tembilahan 1000
4 Seberang Tembilahan
466
Barat
5 Seberang Tembilahan
332
Selatan
Jumlah 7953
Sumber : Kantor camat Tembilahan

3. Situasi Derajat Kesehatan

a. Angka Kematian bayi dan kematian ibu


Anak bayi dan balita identik dengan perkembangan masa
tumbuh kembang yang selalu diiringi dengan tahapan
perkembangan yang cukup rentan dengan berbagai serangan
penyakit. Kematian bayi diwilayah kerja UPT Puskesmas
Tembilahan kota tahun 2018 tercatat 1 orang pada usia neonatal
(1,12 Per 1000 kelahiran hidup ) dan kematian ibu juga 1 orang
( 112,5 per 100.000 kelahiran hidup )
Upaya Puskesmas Tembilahan Kota dalam menurunkan
kasus kematian ibu dan bayi adalah dengan melaksanakan program
– program yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu
dan bayi yaitu :
 pembinaan ke pustu dan klinik bersalin oleh tim akselerasi
kematian ibu dan bayi (bidan koordinator, petugas SDIDTK,
petugas gizi, petugas promkes)
 Melaksanaan pembinaan kepada kader-kader di posyandu
untuk menggerakkan masyarakat ke posyandu
 Melaksanakan pembinaan kepada masyarakat melalui kelas-
kelas ibu hamil, kelas ibu balita dan kelas ibu pintar gizi
 Melakukan kerjasama dengan KUA dalam kegiatan konseling
dan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin
 Melaksanakan kunjungan rumah ibu hamil melalui kegiatan
P4K, kunjungan neonatus dan kunjungan nifas bagi ibu-ibu
pasca melahirkan dan melaksanakan screening
hipoterkongenital ( SHK)
 Melakukan kemitraan bidan dan dukun bayi

21
 Meningkatkan penyuluhan KB dimasyarakat
 Pelaksanaan imunisasi dasar lengkap bagi bayi dan balita di
puskesmas dan posyandu

Untuk memonitoring jumlah kematian ibu dan bayi dilakukan


berdasarkan hasil laporan dari kader/ masyarakat di posyandu, laporan
dari pustu dan klinik-klinik diwilayah kerja puskesmas serta rumah
sakit. Monitoring dilakukan berupa bimbingan teknis untuk bidan
bidan di pustu dan klinik-klinik, evaluasi kemitraan bidan dan dukun
bayi

b. Status Gizi
Hasil kegiatan program gizi tahun 2018 merupakan catatan dari
capaian pelaksanaan program yang dilakukan oleh puskesmas
tembilahan kota. Untuk tahun 2018 tercatat ada 1 orang kasus gizi buruk
dan 52 orang kasus gizi kurang pada balita. Sementara kasus stunting
dijumpai ada 3 orang. Untuk menurunkan jumlah kasus gizi kurang dan
mencegah bertambahnya kasus gizi buruk maka telah dilakukan upaya-
upaya penanggulangan kasus gizi buruk, gizi kurang dan stunting yaitu :
 Pelaksanaan kelas ibu pintar gizi bagi ibu-ibu dengan balita gizi
kurang untuk memberikan pengetahuan tentang gizi keluarga
 Pembentukan pos gizi di wilayah yang banyak kasus gizi
kurang dengan kondisi geografis yang agak jauh dari fasilitas
kesehatan
 Adanya tim gerak cepat kasus gizi buruk
 Kunjungan rumah kasus gizi buruk dan gizi kurangn pemberian
makanan tambahan pemulihan
 Pembinaan dan perbaikan gizi masyarakat di posyandu,
pemberian makanan tambahan, vitamin A dan tablet tambah
darah bagi ibu hamil dan remaja putri
 Kegiatan posyandu plus dimana salah satu kegiatanya adalah
bina keluarga balita bekerjasama dengan PAUD dan dina
pemberdayaan perempuan
 Surveilance gizi dengan memantau perkembangan hasil bulan
penimbangan bayi balita
 Penyuluhan tentang ASI Ekslusif
 Penjaringan kesehatan anak sekolah untuk memantau status gizi
anak sekolah dan prasekolah

Dalam melakukan monitoring status gizi kurang dan gizi buruk dilakukan
kunjungan rumah secara rutin terhadap sasaran, penimbangan balita yang rutin
di posyandu, penjaringan dan pemantauan rutin gizi anak sekolah

c. Status Imunisasi

22
Imunisasi pada bayi dan balita dilakukan untuk mencegah
penyakit-penyakit infeksi-infeksi berbahaya pada bayi dan balita.
Tujuan jangka pendek dari pelayanan imunisasi adalah pencegahan
penyakit secara perorangan atau kelompok.sedangkan tujuan
jangka panjang adalah eradikasi atau eliminasi suatu penyakit.
Untuk tahun 2018 pelaksanaan imunisasi dasar lengkap pada bayi 0
– 11 bulan disetiap kelurahan di wilayah UPT Puskesmas
Tembilahan kota ( 5 kelurahan ) telah mencapai UCI ( Universal
child Immunization ). Artinya ≥ 80 % jumlah bayi di seluruh
kelurahan yangb ada di puskesmas tembilahan kota sudah
mendapat imunisasi dasar lengkap dalam waktu satu tahun.
Kegiatan – kegiatan yang telah dilakukan untuk mencapai UCI
tersebut antara lain :
 Imunisasi di posyandu dan puskesmas
 Sweeping balita yang tidak diimunisasi disetiap kelurahan
 Pelaksanaan bulan imunisasi anak sekolah
 Pelaksanaan imunisasi pada catin dan ibu hamil

d. Morbiditas / Angka Kesakitan


Status kesehatan penduduk merupakan salah satu faktor
penting yang dapat mempengaruhi tingkat produktivitas penduduk.
Status kesehatan penduduk secara keseluruhan dapat dilihat dengan
menggunakan indikator angka kesakitan ( mordibility rate ).

TABEL 3
10 PENYAKIT TERBANYAK DI UPT PUSKESMAS TEMBILAHAN KOTA TAHUN 2018
NO JENIS PENYAKIT JUMLAH
1 ISPA 5099
2 Hipertensi 2170
3 Gastroenteritis 2005
4 Penyakit gigi 1793
5 Diabetes Melitus 1225
6 Penyakit muskuloskeletal 1137
7 Penyakit Mata 1018
8 Penyakit kulit 938
9 Migren dan sindrom nyeri kepala 797
10 Penyakit jiwa 554

Dari data diatas menunjukkan penyakit infeksi saluran


pernapasan Akut ( ISPA) masih mendominasi 10 penyakit terbanyak.

4. Saaran Puskesmas

23
Puskesmas Tembilahan Kota memiliki sasaran untuk
masyarakat diwilayah kerja sebagai berikut:

Tabel 4
SASARAN PUSKESMAS TEMBILAHAN KOTA

NO SASARAN JUMLAH (orang)


1 Jumlah Penduduk 43.658
2 Ibu Hamil 980
3 Ibu bersalin 935
4 Bayi 889
5 Balita 4220
6 Lanjut Usia (lansia ) 3050
7 Pasangan Usia Subur ( PUS) 2597

5. Sarana dan Prasarana Kesehatan

Tabel 5

KEADAAN SARANA DAN PRASARANA KESEHATAN DI WILAYAH


UPT PUSKESMAS TEMBILAHAN KOTA

24
No Jenis Sarana / Prasarana Jumlah

I Sarana Kesehatan
1. Puskesmas Induk 1
2. Puskesmas Pembantu 4
3. Poskesdes 1
4. Posyandu Balita 29
5. Posyandu Usila 10
6. Apotik 11
7. Rumah Bersalin 3
8. Klinik swasta 1
9. Rumah sakit swasta 0
10. Rumah Dinas Kepala 1
11. Rumah Dinas Dokter 1
12. Rumah Dinas Perawat 1
13. Puskesmas Keliling Roda 4 / 1
Ambulance
14. Sepeda Motor 1
II Sarana Penunjang
1. Komputer 13
2. Printer 13
3. Infocus 1
4. Leptop 10
5. Mikrofon 2
6. Fasilitas parkir 1

25
6. Sumber Daya Manusia

Tabel 6

JUMLAH KETENAGAAN
UPT PUSKESMAS TEMBILAHAN KOTA

Status
No Jenis Ketenagaan Jumlah Keterangan
Kepegawaian
1 S2 Magister Manajemen 1 PNS Kepala Pkm
2 Dokter Umum 3 PNS , ASPIRASI
3 Dokter Gigi 1 PNS
4 Sarjana Kesehatan 5 PNS,HONOR,
5 Masyarakat 9 ASPIRASI
6 Sarjana 3 HONOR,
8 Keperawatan+Ners 10 ASPIRASI
9 Sarjana Ekonomi, 19 HONOR,
10 akuntansi 27 ASPIRASI
11 D4 Kebidanan 2 PNS, ASPIRASI
12 D3 Keperawatan 2 PNS, HONOR
13 D3 Kebidanan 1 PNS,Honor
14 D3 Keperawatan Gigi 1 Aspirasi
15 D3 Farmasi 1 PNS
16 D3 Analis 3 PNS
17 D3 Perekam Medik 1 PNS
18 D1 Kebidanan 1 PNS
19 SPK 2 PNS
20 SPAG 8 PNS
SPRG PNS
SMAK HONOR
SLTA PNS
PNS, HONOR

Jumlah 100

26
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Deskripsi Karakteristik Sampel


5.1.1. Deskripsi Frekuensi Sampel

Tabel 7
DESKRIPSI FREKUENSI KARAKTERISTIK SAMPEL

27
Karakteristik Frekuensi Persentase (%)
(n)
Jenis Kelamin Bayi
Laki-laki 18 58,06%
Perempuan 13 41,94%
Usia (bulan)
0–6 14 45,17%
6 – 12 17 54,83%
Pemberian ASI Eksklusif
Ya 12 38,70%
Tidak 19 61,30%
Menderita ISPA
Ya 17 54,83%
Tidak 14 45,17%
Total 31 100%

Dari tabel tersebut diketahui bahwa jumlah responden pada penelitian ini
sebanyak 31 orang. Kebanyakan responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak
18 orang (58,06%), dan kebanyakan responden berusia 6-12 bulan sebanyak 16
(54,83%). Sebagian besar responden tidak diberikan ASI eksklusif, yaitu sebanyak 19
orang (61,30%), sedangkan yang diberikan ASI eksklusif berjumlah 12 orang
(38,70%). Responden yang menderita ISPA didapatkan sebanyak 17 orang (54,83%)
dan yang tidak menderita ISPA sebanyak 14 orang (45,16%)

5.1.2. Distribusi Kejadian ISPA berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif


Pada penelitian ini dapat diketahui besar kejadian ISPA berdasarkan
pemberian ASI eksklusif kepada bayi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.

Tabel 8
DISTRIBUSI KEJADIAN ISPA BERDASARKAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

ASI Menderita ISPA Total


Eksklusif
Ya Tidak
N % N % n %
Ya 3 25 9 75 12 100
Tidak 14 73,68 5 26,32 19 100

28
Dari tabel tersebut didapatkan bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif lebih
banyak menderita ISPA dibandingkan bayi yang diberikan ASI eksklusif.

5.1.3. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian ISPA


Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara
pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi berusia 0-12 bulan. Data
hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 9
HUBUNGAN ANTARA PEMBERIA ASI EKSKLUSIF TERHADAP KEJADIAN ISPA

Kejadian ISPA
P
Ya Tidak
n % N %
ASI Ya 3 25 9 75
Eksklusif 0,008
Tidak 14 73,68 5 26,32
Total 17 100 14 100

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan terdapat 17 orang
bayi yang menderita ISPA dan 14 orang bayi yang tidak menderita ISPA. Dari 17
orang bayi yang menderita ISPA, hanya 4 orang bayi yang diberikan ASI eksklusif,
sedangkan 13 orang bayi sisanya tidak diberikan ASI eksklusif.

Setelah dilakukan uji hipotesis dengan metode Chi Square dengan derajat
tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5%), diperoleh nilai p sebesar 0,008 (p < 0,05). Dengan
demikian terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Tembilahan Kota.

5.2. Pembahasan

29
Jumlah responden pada penelitian ini ada 31 orang. Mayoritas responden tidak
diberikan ASI eksklusif, yaitu sebanyak 19 orang bayi (61,30%), dan 14 orang bayi yang
tidak diberikan ASI eksklusif tersebut menderita ISPA. Hal yang sama terjadi pada penelitian
Noorhidayah pada tahun 2013 dengan responden berjumlah 188 bayi, sebanyak 65,4% di
antaranya tidak diberikan ASI eksklusif dan 64,4% dari bayi tersebut pernah menderita
ISPA.23 Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Okto pada tahun 2010 dengan
responden 157 bayi, sebanyak 7,4% dari bayi tersebut tidak diberikan ASI eksklusif dan
79,6% pernah menderita ISPA.3 Dengan demikian, pemberian ASI eksklusif pada bayi lebih
rendah dibandingkan dengan yang tidak diberi ASI eksklusif. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi alasan ibu tidak memberikan ASI eksklusif (diberikan susu formula sebagai
pengganti ASI), antara lain sedikitnya produksi ASI atau ASI tidak ada keluar sama sekali
dari payudara ibu, ibu sibuk bekerja, ibu memiliki kegiatan sosial lain, kurangnya
pengetahuan ibu, faktor makanan, psikologis, dan perawatan payudara oleh ibu.6
Penyebab tingginya kejadian ISPA dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu pemberian
ASI eksklusif, usia anak di bawah 5 tahun, tidak diberikannya imunisasi, berat badan lahir
rendah, malnutrisi, kurangnya pendidikan orangtua, rendahnya status sosioekonomi, dan
lingkungan yang kurang memadai.25
Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi diuji dengan uji
statistik Chi square didapatkan nilai p= 0,008 yang berarti terdapat hubungan yang bemakna
antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi. Hasil ini didukung oleh
penelitian lainnya, seperti penelitian pada bayi yang dilakukan Okto pada tahun 2010 juga
mendapati adanya hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA (p=0,011).
Demikian pula penelitian pada bayi di RS Sanglah, Denpasar (p=0,001).3
Telah diketahui sebelumnya bahwa ASI mengandung komponen-komponen bioaktif
yang dapat mencegah bayi mengalami ISPA. Beberapa komponen-komponen tersebut adalah
komponen-komponen imun sepert imunoglobulin A (IgA) dan interferon yang mampu
memberikan perlindungan kepada bayi dari serangan infeksi. 8 IgA dapat mengaktifkan sistem
komplemen melalui jalur alternatif dan bersama-sama dengan makrofag memfagositosis
berbagai kuman yang masuk. Selain itu Bronchus Associated Lymphocyte Tissue (BALT)
yang dikandung Asi merupakan antibodi alami di saluran pernapasan.8
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan signifikan antara pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi. Penanganan penurunan prevalensi ISPA tentu
tidak hanya dengan upaya kuratif tetapi perlu ditingkatkan upaya promotif dan preventif

30
termasuk di dalamnya upaya peningkatan pemberian ASI eksklusif kepada bayi sampai usia 6
bulan.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

31
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV, maka dapat ditarik
beberapa simpulan sebagai berikut :

1. Ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada
bayi (p<0,05), yaitu p= 0,008
2. Pemberian ASI eksklusif pada bayi di Puskesmas Tembilahan Kota sebesar
38,70%, sedangkan yang tidak diberi ASI eksklusif sebesar 61,30%.
3. Kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Tembilahan Kota sebesar 54,83%
sedangkan yang tidak mengalami ISPA sebesar 45,17%.

6.2 Saran
1. Perlu dilakukan pembuatan leaflet mengenai pentingnya pemberian ASI eksklusif dan
hubungannya dengan ISPA pada bayi untuk menambah wawasan masyarakat sekitar
Puskesmas Tembilahan Kota..
2. Perlu dilakukan pembinaan peran serta masyarakat dan kerja sama dengan kader-
kader PKK dan posyandu untuk lebih memotivasi ibu menyusui dalam memberikan
ASI eksklusif kepada bayinya.
3. Perlu digalakkan lagi tentang perilaku hidup bersih sehat (PHBS) melalui penyuluhan
mengenai pencegahan ISPA dan faktor-faktor risiko kejadian ISPA.

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset


Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2013.

32
2. World Health Organization (WHO). Penanganan ISPA pada Anak di Rumah Sakit
Kecil Negara Berkembang. Alih Bahasa: C. Anton Widjaja. Jakarta: Penerbit
Kedokteran EGC, 2003.
3. Harahap, Okto M F. Riwayat ASI Eksklusif pada Balita ISPA di Puskesmas Sering.
Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.
4. Roesli, Utami. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Tubulus Agriwidya, 2001.
5. Fuadi, Mirzal. Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Pasca Melahirkan terhadap
Pentingnya Pemberian ASI Eksklusif di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010.
Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.
6. Kristiyansari, W. ASI, Menyusui, dan SADARI. Yogyakarta: Nuha Medika, 2009.
7. Elfia, Yunita. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dan ASI Non Eksklusif dengan
Kejadian ISPA pada bayi Usia 0-6 Bulan di Puskesmas Ngesrep Semarang.
Undergradute Theses from JTPTUNIMUS. Diambil pada tanggal 10 Januari 2016
dari http://digilib.unimus.ac.id.
8. Ariefuddin, Y., Priyantini, S. dan Desanti, O.L. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif
terhadap Kejadian INFeksi Saluran Pernapasan Akut pada Bayi 0-12 Bulan.
Semarang: Universitas Islam Sultan Agung, 2010.
9. Widarini dan Sumasari. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA
pada Bayi. Jurnal Ilmu Gizi (JIG), 1(1): 28-41, 2010.
10. Rustam, Musfardi. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian ISPA pada
Bayi usia 6-12 Bulan di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jakarta: FKM UI, 2010.
11. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Lingkungan. Pedoman Pengendalian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2012.
12. Puskesmas Tembilahan Kota . Laporan Tahunan Puskesmas. 2018
13. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC, 2003.
14. Muttaqin. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: EGC, 2008.
15. Mirshahi, Seema et al. Prevalence of Exclusive Breastfeeding in Bangladesh and Its
Association with Diarrhoea and Acute Respiratory Infection. J Health Popul Nutr,
25(2): 105-294, 2007.
16. Erlien. Penyakit Saluran Pernapasan. Jakarta: Sunda Kelapa Pustaka, 2008.
17. Elyana, Mei dan Chandra, Ayu. Hubungan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi Balita.
Journal of Nutrition and Health, 1(1), 2014.

33
18. Layuk, R., Noer, N., Wahiduddin. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA
pada Balita di Lembang Batu Sura’. 2013. Diambil pada tanggal 10 Januari 2016 dari
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/4279.
19. Ibrahim, Hartati. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Anak
Balita di Wilayah Puskesmas Botumoito Kabupaten Boalemo Tahun 2010. Makassar:
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2011.
20. Dharmage et al. Risk Factors of Acute Lower Respiratory Tract Infections in Children
Under Five Years of Age. Southeast Asian Journal of Trop Med Public Health, 27(1):
107-110, 2009.
21. Gani, A. Strategi Penurunan Insiden Pneumonia pada anak Balita di Kecamatan
Banyuasin dan Betung Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Medan: Universitas
Sumatera Utara, 2004.
22. Gulo, R.R., Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) pada Balita di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias Tahun 2008.
Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.
23. Noorhidayah, Widya S. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA
pada Balita di Puskesmas Pekauman Banjarmasin. Socioscience, 6(1): 45-50, 2014.
24. Tallo, Karolina T et al. The Effect of Exclusive Breastfeeding on Reducing Acute
Respiratory Infections in Low Birth Weight Infants. Paediatr Indones, 52(4): 229-232,
2012.
25. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cabang DKI Jakarta. Bedah ASI. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2008.

34

Anda mungkin juga menyukai