Bab I - Bab Vi
Bab I - Bab Vi
PENDAHULUAN
Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif mempunyai peranan penting
untuk menunjang pertumbuhan, perkembangan, kesehatan, dan pemenuhan nutrisi
pada bayi. ASI eksklusif diberikan kepada bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan
tanpa diberikan makanan tambahan apapun. Setelah itu, baru kemudian bayi harus
1
diberi makanan pendamping yang bergizi dan tetap menyusu sampai bayi berusia
dua tahun atau lebih. Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif, baik
bagi ibu maupun bayinya. Bagi ibu, memberikan ASI tidak hanya bermanfaat
untuk menjalin kasih sayang , tetapi juga dapat mengurangi perdarahan setelah
melahirkan, mempercepat pemuihan kesehatan ibu, menunda kehamilan, hingga
mengurangi risiko terkena kanker payudara. ASI sendiri mengandung banyak
faktor kekebalan yang bermanfaat terhadap pencegahan dari berbagai macam
penyakit.4
2
ISPA sebagai urutan pertama dalam daftar 10 penyakit terbanyak yang diobati di
Puskesmas pada tahun 2018.12
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui adanya hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap
kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Tembilahan Kota.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi Penulis
Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan penulis
lebih mendalam tentang hubungan faktor risiko ISPA terhadap kejadian
ISPA khususnya pemberian ASI eksklusif.
3
1.4.2 Manfaat bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya bagi ibu-ibu
tentang ISPA dan manfaat pemberian ASI eksklusif pada bayi, dan
menambah pengetahuan masyarakat tentang hubungan pemberian ASI
eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi.
BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia, baik di
negara maju maupun di negara berkembang. ISPA banyak terjadi di negara
berkembang dan sering menyerang anak-anak terutama bayi dan balita. 9 Di
Bangladesh, ISPA merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan kematina
sebesar dua per tiga dari total kematian anak berusia di bawah satu tahun. 15
Insidens kejadian ISPA menurut kelompok umur balita diperkirakan 0,29 episode
per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara
maju. Di Indonesia, angka kejadian ISPA pada tahun 2013 sebesar 25,0%. ISPA
paling banyak diderita oleh kelompok usia 1-4 tahun (25,8%). Tidak ada
perbedaan angka kejadian ISPA pada laki-laki maupun perempuan. Penyakit ini
lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan ekonomi menengah ke
bawah.1
2.3 Etiologi
ISPA merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau virus.
Etiologi ISPA meliputi lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebab ISPA terbanyak dari genus Streptococcus, Staphylococcus,
5
Pneumococcus, Haemophylus, Bordetella, dan Corinebacterium. Virus penyebab
ISPA antara lain dari golongan Myxovirus, Adenovirus, Coronavirus,
Picornavirus, dan lain-lain. Kebanyakan ISPA disebabkan oleh virus. 1,16
2.4. Klasifikasi
Berasarkan lokasi anatomi terkena infeksi, ISPA dibagi menjadi:
a. ISPA bagian atas
Yang termasuk ISPA bagian atas adalah nasofaringitis atau common
cold, faringitis akut, rhinitis akut, dan sinusitis akut.13
b. ISPA bagian bawah
Yang termasuk ISPA bagian bawah adalah bronkitis akut, bronkiolitis,
dan pneumonia.13
Menurut Kemenkes RI dalam Pedoman Pengendalian ISPA, ISPA
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. ISPA Pneumonia, merupakan ISPA yang sampai mengenai jaringan
paru-paru (alveoli).11
b. ISPA bukan pneumonia, merupakan penyakit yang dikenal masyarakat
dengan istilah batuk dan pilek (common cold).11
Berdasarkan kelompok umur, ISPA diklasifikasikan lagi menjadi:
1. Kelompok umur 2 bulan – di bawah 5 tahun
- Pneumonia berat, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar
bernapas disertai adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam (chest indrawing).
- Pneumonia, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar
bernapas disertasi napas cepat sesuai golongan umur, yaitu bila
umur 2 bulan hingga <1 tahun sebanyak 50 kali atau
lebih/menit; dan bila umur 1 hingga <5 tahun 40 kali atau
lebih/menit.
- Bukan pneumonia, apabila hanya terdapat gejala batuk dan/atau
sukar bernapas.
2. Kelompok umur kurang dari 2 bulan
6
- Pneumonia berat, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar
bernapas disertai napas cepat >60 kali per menit, atau adanya
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing).
- Bukan pneumonia, apabila hanya teradpat gejala batuk dan/atau
sukar bernapas.
7
rendah. Selain itu, bayi BBLR juga memiliki pusat pengaturan
pernapasan yang belum sempurna, surfaktan paru yang masih kurang
jumlahnya, otot-otot pernapasan dan tulang iga yang masih lemah. Bayi
BBLR juga mudah mengalami infeksi paru dan gagal napas.19
d. Status gizi
Status gizi menggambarkan baik atau buruknya konsumsi zat gizi
seseorang. Zat gizi diperlukan untuk pembentukan sistem kekebalan
tubuh seperti antibodi. Semakin baik status gizi seseorang, maka
semakin baik sistem kekebalan tubuhnya. Infeksi saluran pernapasan
akut yang disebabkan virus sangat dipengaruhi oleh sistem kekebalan
tubuh. Bila sistem kekebalan tubuh baik, maka seseorang akan kebal
terhadap serangan virus. Selain itu, kesembuhan dari penyakit akibat
serangan virus juga akan lebih cepat. Anak dengan malnutrisi juga lebih
sering mengalami ISPA dibandingkan dengan anak dengan gizi yang
baik.17
e. Status Imunisasi
Anak yang tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap cenderung
lebih sering mengalami ISPA. Kebanyakan kasus ISPA pada anak
terjadi akibat komplikasi dari campak yang merupakan faktor risiko
yang dapat dicegah dengan imunisasi. Namun, kemampuan tubuh untuk
menangkal suatu penyit masih dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
lain seperti faktor genetik dan kualitas vaksin.18
f. Pendidikan
Kurangnya pengetahuan di masyarakat akan gejala dan upaya
penanggulangan ISPA dan bagaimana pencegahan agar tidak mudah
terserang penyakit ISPA menyebabkan masih banyak kasus ISPA yang
dapat ke sarana pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan berat.20
g. Pemberian ASI eksklusif
Pemberian ASI secara eksklusif hingga bayi berusia 6 bulan merupakan
langkah yang efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan gizi dan
memberikan perlindungan bagi bayi dari serangan infeksi khususnya
8
ISPA.21 ASI mengandung banyak faktor kekebalan dan bermanfaat
terhadap pencegahan ISPA terutama sejak pemberian ASI di awal
kehidupan bayi hingga bayi berusia 6 bulan, salah satunya adalah
imunoglobulin. Imunoglobulin yang banyak ditemukan pada saluran
cerna dan saluran napas adalah imunoglobulin A (IgA). 21 Selama
minggu pertama kehidupan (4-6 hari) payudara ibu akan menghasilkan
kolostrum, yaitu ASI awal yang banyak mengandung zat-zat kekebalan
tubuh (imunoglobulin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel
leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari serangan
infeksi.21
Bayi yang diberi ASI eksklusif cenderung tidak pernah mengalami
ISPA sedangkan bayi yang mendapatkan ASI non-eksklusif cenderung
lebih sering mengalami ISPA.21 Risiko anak yang diberi ASI tidak
secara eksklusif lebih besar dibandingkan dengan anak yang diberi ASI
secara eksklusif.21 Kematian akibat penyakit saluran pernapasan 2-6 kali
lebih banyak pada bayi yang diberi susu formula dibandingkan dengan
bayi yang mendapat ASI.21
3. Faktor lingkungan
Keadaan fisik sekita rmanusia berpengaruh terhadap kesehatan manusia,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Ada beberapa faktor dari
lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan, meliputi udara,
kelembapan, air, dan pencemaran udara. ISPA termasuk air-borne disease
yang merupakan penyakit yang penularannya melalui udara yang tercemar
dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan.22 Karena itu,
secara epidemiologi, udara mempunyai peranan yang besar pada transmisi
penyakit infeksi saluran pernapasan. Selain itu, faktor dari lingkungan
yang meningkatkan risiko terjadinya kejadian ISPA adalah asap yang
dihasilkan pabrik, asap kendaraan bermotor, asap dari perokok, asap dari
bahan bakar yang digunakan untuk memasak, kurangnya ventilasi di
rumah, suhu ruangan rumah di bawah 18°C atau di atas 30°C, kepadatan
hunian rumah, penggunaan antinyamuk, dan partikel debu di sekitar
9
tempat tinggal.22
10
e. Nadi lebih cepat dari 160 kali per menit atau tidak teraba
f. Pernapasan cuping hidung 22
2.7. Diagnosis
Diagnosis etiologi ISPA pada bayi/balita cukup sulit ditegkkan karena
pengambilan dahak sulit dilakukan. Prosedur pemeriksaan imunologi pun
belum bisa memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan penyebab
ISPA. Pemeriksaan darah dan pembiakan spesimen fungsi atau aspirasi paru
bisa dilakukan untuk diagnosis penyebab ISPA. Cara ini cukup efektif untuk
menentukan etiologi ISPA. Namun cara ini dianggap prosedur yang
berbahaya dan bertentangan dengan etika. Dengan pertimbangan ini,
diagnosis etiologi penyebab ISPA di Indonesia didasarkan pada hasil
penelitian asing (melalui publikasi WHO) bahwa Streptococcus pneumoniae
dan Haemophylus influenza merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada
penelitian etiologi di negara berkembang, sedangkan di negar amaju
seringkali disebabkan oleh virus. Diagnosis ISPA ditegakkan berdasarkan
gejala yang timbul pada bayi/balita seperti yang telah dijelaskan pada uraian
manifestasi klinis di atas.22
2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ISPA dikembangkan melalui suatu Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS). Melalui MTBS ini msemua penderita ISPA
langsung ditangani di unit yang menemukan. Namun, bila kondisi bayi/balita
sudah berada dalam pneumonia berat, sedangkan peralatan tidak mencukupi
maka penderita langsung dirujuk ke unit dengan fasilitas yang lebih lengkap.
Pengobatan ISPA dilaksanakan berdasarkan klasifikasi ISPA sebagaimana
diuraikan secara ringkas pada bagan berikut.
11
Gambar 1. Tatalaksana ISPA pada bayi kurang dari 2 bulan
12
Antibiotika yang dapat digunakan adalah kotrimoksazol atau
amoksisilin selama 3 hari, dan dapat juga diberikan penurun panas seperti
parasetamol. Setelah mendapat antibiotika, penderita ditindaklanjuti pada
kunjungan ulang setiap dua hari di fasilitas pelayanan kesehatan. Bila pasien
menderita pneumonia berat, pasien harus segera dirujuk ke fasilitas kesehatan
yang lebih lengkap.11
2.9. Pencegahan
1. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana melalui kegiatan ini
diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-
hal yang dapat meningkatkan faktor risiko ISPA. Penyuluhan dapat
berupa penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI eksklusif, penyuluhan
imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan
kesehatan lingkungan rumah, atau penyuluhan bahaya rokok.
2. Imunisasi lengkap
3. Usaha di bidang gizi dengan tujuan mengurangi malnutrisi.
4. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi BBLR.
5. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani
masalah polusi di dalam maupun di luar rumah.22
13
tanda lain yang menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak berjalan
dengan baik. Namun, sebelum diberikan makanan tambahan, ibu sebaiknya
memperbaiki terlebih dahulu cara pemberian ASI kepada bayi. Apabila setelah
1-2 minggu usaha tersebut telah dilakukan tetapi belum terjadi peningkatan
berat badan, barulah ibu dapat memikirkan untuk memberikan makanan
tambahan bagi bayi berusia di atas 4 bulan namun belum mencapai 6 bulan.4
ASI merupakan suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan
garam-garam organik yang disekresikan oleh kelenjar mammae.4 Berdasarkan
stadium laktasinya, komposisi ASI dapat dibagi sebagai berikut:
a. Kolostrum
Kolostrum merupakan cairan yang pertama kali disekresi oleh
kelenjar mammae, mengandung tissue debris dan residual material yang
terdapat dalam alveoli dan duktus dari kelenjar mammae. Kolostrum
mulai disekresikan dari hari ke-1 sampai hari ke-4 setelah melahirkan.
Kolostrum bersifat viscous dengan warna kekuning-kuningan, lebih
kuning daripada ASI matur. Kolostrum juga merupakan pencahar yang
ideal untuk membersihkan mekonium dari usus bayi yang baru lahir dan
mempersiapkan saluran pencernaan bayi terhadap makanan yang akan
datang.4
Kolostrum mengandung lebih banyak protein serta antibodi (untuk
memberikan perlindungan pada bayi sampai umur 6 bulan) daripada ASI
matur, kadar karbohidrat dan lemak yang lebih rendah daripada ASI
matur. Mineral, terutama natrium, kalium dan klorida lebih tinggi
daripada ASI matur. Total energi yang lebih rendah daripada ASI matur,
yaitu hanya 58 Kal / 100 mL. Vitamin yang larut dalam lemak lebih
tinggi dan vitamin yang larut dalam air lebih rendah daripada ASI matur.
ASI yang mengandung kolostrum akan menggumpal jika dipanaskan
serta pH lebih alkalis daripada ASI matur. Kolostrum mengandung
tripsin inhibitor, sehingga hidrolisis protein dalam usus bayi menjadi
kurang sempurna agar kadar antibodi lebih banyak pada bayi. Volumenya
berkisar 150-300 mL / 24 jam.4
14
b. ASI masa peralihan
ASI ini merupakan peralihan dari kolostrum sampai menjadi ASI
matur yang disekresikan dari hari ke-4 sampai hari ke-10 pada masa
laktasi. Kadar protein makin rendah sedangkan kadar karbohidrat dan
lemak makin tinggi. Volume ASI pada masa peralihan semakin
meningkat.4
c. ASI matur
ASI matur merupakan ASI yang disekresikan pada hari ke-10 dan
seterusnya. Komposisinya relatif konstan. Ibu yang sehat dengan
produksi ASI cukup dapat memberikan ASI sebagai satu-satunya
makanan yang paling baik dan cukup untuk bayi sampai usia 6 bulan.
ASI matur berwarna putih kekuning-kuningan karena mengandung
garam Ca-caseinat, riboflavin, dan karoten. ASI matur tidak
menggumpal jika dipanaskan dan mengandung antimikrobial lain,
seperti:
- Antibodi terhadap bakteri dan virus
- Sel (fagosit, granulosit, makrofag, dan limfosit T)
- Enzim (lisozim, laktoperoksidase, lipase, katalase, fosfatase, amilase,
fosfodiesterase, alkalinfosfatase)
- Protein (laktoferin, B12 binding protein)
- Resistance factor terhadap stafilokokus
- Komplemen
- Interferron producing cell
- Sifat biokimia yang khas, kapasitas buffer yang rendah dan adanya
faktor bifidus.4
d. Hormon-hormon
Laktoferin merupakan suatu iron binding protein yang bersifat
bakteriostatik kuat terhadap Escherichia coli serta Candida Albicans.
Lactobacillus bifidus merupakan koloni kuman yang memetabolisir
laktosa menjadi asam laktat yang menyebabkan rendahnya pH sehingga
pertumbuhan kuman patogen akan terhambat. Imunoglobulin
15
memberikan mekanisme pertahanan yang efektif terhadap bakteri dan
virus (terutama IgA) dan bila bergabung dengan komplemen dan
lisozim merupakan suatu antibakterial yang langsung terhadap
Escherichia coli. Faktor lisozim dan komplemen ini adalah suatu
antibakterial nonspesifik yang mengatur pertumbuhan flora di usus.4
ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan yang akan
melindungi bayi dari serangan virus, bakteri, parasit, dan jamur.
Kolostrum mengandung zat kekebalan 10-17 kali lebih banyak dari ASI
matur. Zat kekebalan tersebut akan melindungi bayi dari penyakit diare.
ASI juga akan menurunkan kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi
telinga, batuk, pilek, dan penyakit alergi. Bayi yang diberi ASI secara
eksklusif akan lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan bayi yang
tidak mendapat ASI secara eksklusif.4
16
BAB III
METODE PENELITIAN
17
wawancara. Instrumen yang digunakan untuk pengambilan data adalah
dengan pembagian kuesioner.
18
BAB IV
PROFIL PUSKESMAS
Gambar 3:
PETA WILAYAH KERJA
UPT PUSKESMAS TEMBILAHAN KOTA
19
UPT Puskesmas Tembilahan Kota terletak pada 1 - 4 meter di
atas permukaan laut. UPT Puskesmas Tembilahan Kota memiliki
wilayah kerja yang terdiri dari 5 Kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Tembilahan Kota
2. Kelurahan Seberang Tembilahan
3. Kelurahan Pekan Arba
4. Kelurahan Seberang Tembilahan Barat
Kelurahan Seberang Tembilahan Selatan
2. Data Demografi
Tabel 1
20
JUMLAH RUMAH TANGGA DI WILAYAH KERJA
UPT PUSKESMAS TEMBILAHAN KOTA
Jumlah Rumah
No Kelurahan
Tangga
21
Meningkatkan penyuluhan KB dimasyarakat
Pelaksanaan imunisasi dasar lengkap bagi bayi dan balita di
puskesmas dan posyandu
b. Status Gizi
Hasil kegiatan program gizi tahun 2018 merupakan catatan dari
capaian pelaksanaan program yang dilakukan oleh puskesmas
tembilahan kota. Untuk tahun 2018 tercatat ada 1 orang kasus gizi buruk
dan 52 orang kasus gizi kurang pada balita. Sementara kasus stunting
dijumpai ada 3 orang. Untuk menurunkan jumlah kasus gizi kurang dan
mencegah bertambahnya kasus gizi buruk maka telah dilakukan upaya-
upaya penanggulangan kasus gizi buruk, gizi kurang dan stunting yaitu :
Pelaksanaan kelas ibu pintar gizi bagi ibu-ibu dengan balita gizi
kurang untuk memberikan pengetahuan tentang gizi keluarga
Pembentukan pos gizi di wilayah yang banyak kasus gizi
kurang dengan kondisi geografis yang agak jauh dari fasilitas
kesehatan
Adanya tim gerak cepat kasus gizi buruk
Kunjungan rumah kasus gizi buruk dan gizi kurangn pemberian
makanan tambahan pemulihan
Pembinaan dan perbaikan gizi masyarakat di posyandu,
pemberian makanan tambahan, vitamin A dan tablet tambah
darah bagi ibu hamil dan remaja putri
Kegiatan posyandu plus dimana salah satu kegiatanya adalah
bina keluarga balita bekerjasama dengan PAUD dan dina
pemberdayaan perempuan
Surveilance gizi dengan memantau perkembangan hasil bulan
penimbangan bayi balita
Penyuluhan tentang ASI Ekslusif
Penjaringan kesehatan anak sekolah untuk memantau status gizi
anak sekolah dan prasekolah
Dalam melakukan monitoring status gizi kurang dan gizi buruk dilakukan
kunjungan rumah secara rutin terhadap sasaran, penimbangan balita yang rutin
di posyandu, penjaringan dan pemantauan rutin gizi anak sekolah
c. Status Imunisasi
22
Imunisasi pada bayi dan balita dilakukan untuk mencegah
penyakit-penyakit infeksi-infeksi berbahaya pada bayi dan balita.
Tujuan jangka pendek dari pelayanan imunisasi adalah pencegahan
penyakit secara perorangan atau kelompok.sedangkan tujuan
jangka panjang adalah eradikasi atau eliminasi suatu penyakit.
Untuk tahun 2018 pelaksanaan imunisasi dasar lengkap pada bayi 0
– 11 bulan disetiap kelurahan di wilayah UPT Puskesmas
Tembilahan kota ( 5 kelurahan ) telah mencapai UCI ( Universal
child Immunization ). Artinya ≥ 80 % jumlah bayi di seluruh
kelurahan yangb ada di puskesmas tembilahan kota sudah
mendapat imunisasi dasar lengkap dalam waktu satu tahun.
Kegiatan – kegiatan yang telah dilakukan untuk mencapai UCI
tersebut antara lain :
Imunisasi di posyandu dan puskesmas
Sweeping balita yang tidak diimunisasi disetiap kelurahan
Pelaksanaan bulan imunisasi anak sekolah
Pelaksanaan imunisasi pada catin dan ibu hamil
TABEL 3
10 PENYAKIT TERBANYAK DI UPT PUSKESMAS TEMBILAHAN KOTA TAHUN 2018
NO JENIS PENYAKIT JUMLAH
1 ISPA 5099
2 Hipertensi 2170
3 Gastroenteritis 2005
4 Penyakit gigi 1793
5 Diabetes Melitus 1225
6 Penyakit muskuloskeletal 1137
7 Penyakit Mata 1018
8 Penyakit kulit 938
9 Migren dan sindrom nyeri kepala 797
10 Penyakit jiwa 554
4. Saaran Puskesmas
23
Puskesmas Tembilahan Kota memiliki sasaran untuk
masyarakat diwilayah kerja sebagai berikut:
Tabel 4
SASARAN PUSKESMAS TEMBILAHAN KOTA
Tabel 5
24
No Jenis Sarana / Prasarana Jumlah
I Sarana Kesehatan
1. Puskesmas Induk 1
2. Puskesmas Pembantu 4
3. Poskesdes 1
4. Posyandu Balita 29
5. Posyandu Usila 10
6. Apotik 11
7. Rumah Bersalin 3
8. Klinik swasta 1
9. Rumah sakit swasta 0
10. Rumah Dinas Kepala 1
11. Rumah Dinas Dokter 1
12. Rumah Dinas Perawat 1
13. Puskesmas Keliling Roda 4 / 1
Ambulance
14. Sepeda Motor 1
II Sarana Penunjang
1. Komputer 13
2. Printer 13
3. Infocus 1
4. Leptop 10
5. Mikrofon 2
6. Fasilitas parkir 1
25
6. Sumber Daya Manusia
Tabel 6
JUMLAH KETENAGAAN
UPT PUSKESMAS TEMBILAHAN KOTA
Status
No Jenis Ketenagaan Jumlah Keterangan
Kepegawaian
1 S2 Magister Manajemen 1 PNS Kepala Pkm
2 Dokter Umum 3 PNS , ASPIRASI
3 Dokter Gigi 1 PNS
4 Sarjana Kesehatan 5 PNS,HONOR,
5 Masyarakat 9 ASPIRASI
6 Sarjana 3 HONOR,
8 Keperawatan+Ners 10 ASPIRASI
9 Sarjana Ekonomi, 19 HONOR,
10 akuntansi 27 ASPIRASI
11 D4 Kebidanan 2 PNS, ASPIRASI
12 D3 Keperawatan 2 PNS, HONOR
13 D3 Kebidanan 1 PNS,Honor
14 D3 Keperawatan Gigi 1 Aspirasi
15 D3 Farmasi 1 PNS
16 D3 Analis 3 PNS
17 D3 Perekam Medik 1 PNS
18 D1 Kebidanan 1 PNS
19 SPK 2 PNS
20 SPAG 8 PNS
SPRG PNS
SMAK HONOR
SLTA PNS
PNS, HONOR
Jumlah 100
26
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 7
DESKRIPSI FREKUENSI KARAKTERISTIK SAMPEL
27
Karakteristik Frekuensi Persentase (%)
(n)
Jenis Kelamin Bayi
Laki-laki 18 58,06%
Perempuan 13 41,94%
Usia (bulan)
0–6 14 45,17%
6 – 12 17 54,83%
Pemberian ASI Eksklusif
Ya 12 38,70%
Tidak 19 61,30%
Menderita ISPA
Ya 17 54,83%
Tidak 14 45,17%
Total 31 100%
Dari tabel tersebut diketahui bahwa jumlah responden pada penelitian ini
sebanyak 31 orang. Kebanyakan responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak
18 orang (58,06%), dan kebanyakan responden berusia 6-12 bulan sebanyak 16
(54,83%). Sebagian besar responden tidak diberikan ASI eksklusif, yaitu sebanyak 19
orang (61,30%), sedangkan yang diberikan ASI eksklusif berjumlah 12 orang
(38,70%). Responden yang menderita ISPA didapatkan sebanyak 17 orang (54,83%)
dan yang tidak menderita ISPA sebanyak 14 orang (45,16%)
Tabel 8
DISTRIBUSI KEJADIAN ISPA BERDASARKAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF
28
Dari tabel tersebut didapatkan bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif lebih
banyak menderita ISPA dibandingkan bayi yang diberikan ASI eksklusif.
Tabel 9
HUBUNGAN ANTARA PEMBERIA ASI EKSKLUSIF TERHADAP KEJADIAN ISPA
Kejadian ISPA
P
Ya Tidak
n % N %
ASI Ya 3 25 9 75
Eksklusif 0,008
Tidak 14 73,68 5 26,32
Total 17 100 14 100
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan terdapat 17 orang
bayi yang menderita ISPA dan 14 orang bayi yang tidak menderita ISPA. Dari 17
orang bayi yang menderita ISPA, hanya 4 orang bayi yang diberikan ASI eksklusif,
sedangkan 13 orang bayi sisanya tidak diberikan ASI eksklusif.
Setelah dilakukan uji hipotesis dengan metode Chi Square dengan derajat
tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5%), diperoleh nilai p sebesar 0,008 (p < 0,05). Dengan
demikian terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Tembilahan Kota.
5.2. Pembahasan
29
Jumlah responden pada penelitian ini ada 31 orang. Mayoritas responden tidak
diberikan ASI eksklusif, yaitu sebanyak 19 orang bayi (61,30%), dan 14 orang bayi yang
tidak diberikan ASI eksklusif tersebut menderita ISPA. Hal yang sama terjadi pada penelitian
Noorhidayah pada tahun 2013 dengan responden berjumlah 188 bayi, sebanyak 65,4% di
antaranya tidak diberikan ASI eksklusif dan 64,4% dari bayi tersebut pernah menderita
ISPA.23 Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Okto pada tahun 2010 dengan
responden 157 bayi, sebanyak 7,4% dari bayi tersebut tidak diberikan ASI eksklusif dan
79,6% pernah menderita ISPA.3 Dengan demikian, pemberian ASI eksklusif pada bayi lebih
rendah dibandingkan dengan yang tidak diberi ASI eksklusif. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi alasan ibu tidak memberikan ASI eksklusif (diberikan susu formula sebagai
pengganti ASI), antara lain sedikitnya produksi ASI atau ASI tidak ada keluar sama sekali
dari payudara ibu, ibu sibuk bekerja, ibu memiliki kegiatan sosial lain, kurangnya
pengetahuan ibu, faktor makanan, psikologis, dan perawatan payudara oleh ibu.6
Penyebab tingginya kejadian ISPA dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu pemberian
ASI eksklusif, usia anak di bawah 5 tahun, tidak diberikannya imunisasi, berat badan lahir
rendah, malnutrisi, kurangnya pendidikan orangtua, rendahnya status sosioekonomi, dan
lingkungan yang kurang memadai.25
Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi diuji dengan uji
statistik Chi square didapatkan nilai p= 0,008 yang berarti terdapat hubungan yang bemakna
antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi. Hasil ini didukung oleh
penelitian lainnya, seperti penelitian pada bayi yang dilakukan Okto pada tahun 2010 juga
mendapati adanya hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA (p=0,011).
Demikian pula penelitian pada bayi di RS Sanglah, Denpasar (p=0,001).3
Telah diketahui sebelumnya bahwa ASI mengandung komponen-komponen bioaktif
yang dapat mencegah bayi mengalami ISPA. Beberapa komponen-komponen tersebut adalah
komponen-komponen imun sepert imunoglobulin A (IgA) dan interferon yang mampu
memberikan perlindungan kepada bayi dari serangan infeksi. 8 IgA dapat mengaktifkan sistem
komplemen melalui jalur alternatif dan bersama-sama dengan makrofag memfagositosis
berbagai kuman yang masuk. Selain itu Bronchus Associated Lymphocyte Tissue (BALT)
yang dikandung Asi merupakan antibodi alami di saluran pernapasan.8
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan signifikan antara pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi. Penanganan penurunan prevalensi ISPA tentu
tidak hanya dengan upaya kuratif tetapi perlu ditingkatkan upaya promotif dan preventif
30
termasuk di dalamnya upaya peningkatan pemberian ASI eksklusif kepada bayi sampai usia 6
bulan.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
31
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV, maka dapat ditarik
beberapa simpulan sebagai berikut :
1. Ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada
bayi (p<0,05), yaitu p= 0,008
2. Pemberian ASI eksklusif pada bayi di Puskesmas Tembilahan Kota sebesar
38,70%, sedangkan yang tidak diberi ASI eksklusif sebesar 61,30%.
3. Kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Tembilahan Kota sebesar 54,83%
sedangkan yang tidak mengalami ISPA sebesar 45,17%.
6.2 Saran
1. Perlu dilakukan pembuatan leaflet mengenai pentingnya pemberian ASI eksklusif dan
hubungannya dengan ISPA pada bayi untuk menambah wawasan masyarakat sekitar
Puskesmas Tembilahan Kota..
2. Perlu dilakukan pembinaan peran serta masyarakat dan kerja sama dengan kader-
kader PKK dan posyandu untuk lebih memotivasi ibu menyusui dalam memberikan
ASI eksklusif kepada bayinya.
3. Perlu digalakkan lagi tentang perilaku hidup bersih sehat (PHBS) melalui penyuluhan
mengenai pencegahan ISPA dan faktor-faktor risiko kejadian ISPA.
DAFTAR PUSTAKA
32
2. World Health Organization (WHO). Penanganan ISPA pada Anak di Rumah Sakit
Kecil Negara Berkembang. Alih Bahasa: C. Anton Widjaja. Jakarta: Penerbit
Kedokteran EGC, 2003.
3. Harahap, Okto M F. Riwayat ASI Eksklusif pada Balita ISPA di Puskesmas Sering.
Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.
4. Roesli, Utami. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Tubulus Agriwidya, 2001.
5. Fuadi, Mirzal. Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Pasca Melahirkan terhadap
Pentingnya Pemberian ASI Eksklusif di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010.
Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.
6. Kristiyansari, W. ASI, Menyusui, dan SADARI. Yogyakarta: Nuha Medika, 2009.
7. Elfia, Yunita. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dan ASI Non Eksklusif dengan
Kejadian ISPA pada bayi Usia 0-6 Bulan di Puskesmas Ngesrep Semarang.
Undergradute Theses from JTPTUNIMUS. Diambil pada tanggal 10 Januari 2016
dari http://digilib.unimus.ac.id.
8. Ariefuddin, Y., Priyantini, S. dan Desanti, O.L. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif
terhadap Kejadian INFeksi Saluran Pernapasan Akut pada Bayi 0-12 Bulan.
Semarang: Universitas Islam Sultan Agung, 2010.
9. Widarini dan Sumasari. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA
pada Bayi. Jurnal Ilmu Gizi (JIG), 1(1): 28-41, 2010.
10. Rustam, Musfardi. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian ISPA pada
Bayi usia 6-12 Bulan di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jakarta: FKM UI, 2010.
11. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Lingkungan. Pedoman Pengendalian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2012.
12. Puskesmas Tembilahan Kota . Laporan Tahunan Puskesmas. 2018
13. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC, 2003.
14. Muttaqin. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: EGC, 2008.
15. Mirshahi, Seema et al. Prevalence of Exclusive Breastfeeding in Bangladesh and Its
Association with Diarrhoea and Acute Respiratory Infection. J Health Popul Nutr,
25(2): 105-294, 2007.
16. Erlien. Penyakit Saluran Pernapasan. Jakarta: Sunda Kelapa Pustaka, 2008.
17. Elyana, Mei dan Chandra, Ayu. Hubungan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi Balita.
Journal of Nutrition and Health, 1(1), 2014.
33
18. Layuk, R., Noer, N., Wahiduddin. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA
pada Balita di Lembang Batu Sura’. 2013. Diambil pada tanggal 10 Januari 2016 dari
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/4279.
19. Ibrahim, Hartati. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Anak
Balita di Wilayah Puskesmas Botumoito Kabupaten Boalemo Tahun 2010. Makassar:
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2011.
20. Dharmage et al. Risk Factors of Acute Lower Respiratory Tract Infections in Children
Under Five Years of Age. Southeast Asian Journal of Trop Med Public Health, 27(1):
107-110, 2009.
21. Gani, A. Strategi Penurunan Insiden Pneumonia pada anak Balita di Kecamatan
Banyuasin dan Betung Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Medan: Universitas
Sumatera Utara, 2004.
22. Gulo, R.R., Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) pada Balita di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias Tahun 2008.
Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.
23. Noorhidayah, Widya S. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA
pada Balita di Puskesmas Pekauman Banjarmasin. Socioscience, 6(1): 45-50, 2014.
24. Tallo, Karolina T et al. The Effect of Exclusive Breastfeeding on Reducing Acute
Respiratory Infections in Low Birth Weight Infants. Paediatr Indones, 52(4): 229-232,
2012.
25. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cabang DKI Jakarta. Bedah ASI. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2008.
34