CCT Tugas
CCT Tugas
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
ECT (Electro Convulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan
psikiatrik dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang
berada dalam pengaruh anestesi dengan menggunakan alat khusus. Terapi
ElektroKonvulsif (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif untuk pasien dengan
gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan mental serius lainnya.1
Terapi Elektrokonvulsi (ECT) merupakan suatu pengobatan untuk penyakit
psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala digunakan untuk
menghasilkan suatu kejang tonik-klonik umum.4 Electro Convulsive Therapy
(ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu intervensi non farmakologi penting
yang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan neuro psikiatrik tertentu
yang berat. ECT menggunakan arus listrik singkat melalui otak yang menginduksi
kejang umum sistem saraf pusat. Respons ECT dapat terjadi secara cepat dan perlu
diberikan dalam suatu periode dalam beberapa minggu. Prosedur biasanya dapat
diterima pasien dan dapat menggunakan profilaksis yang memungkinkan
penyembuhan parsial atau sempurna dari gejala.5 Electro Convulsive Therapy
(ECT) merupakan prosedur medis yang dilakukan oleh dokter dimana pasien
diberikan anestesi umum dan relaksasi otot. Ketika efeknya telah bekerja, otak
pasien distimulasi dengan suatu rangkaian dan dikontrol dengan electrode yang
dipasang di kepala pasien. Stimulus ini menyebabkan bangkitan kejang di otak
sampai 2 menit. Karena penggunaan anestesi dan relaksasi otot sehingga badan
pasien tidak ikut terangsang dan tidak merasa nyeri.8 Terapi Elektro Konvulsif
merupakan suatu terapi yang aman dan efektif untuk berbagai gangguan psikiatri.6
2
2.2 Sejarah
3
aktifitas mototrik kejang.
4
merupakan daerah penelitian yang kontroversial.
2.4 Indikasi
Indikasi Primer ECT
1. Gangguan Depresi Mayor
Indikasi yang paling sering untuk penggunaan ECT adalah gangguan depresif berat
atau ganggaun depresi mayor.1,4,6 ECT harus dipertimbangkan sebagai terapi pada
pasien yang gagal dalam uji coba medikasi, mengalami gejala yang parah atau
psikotik, mencoba bunuh diri atau membunuh dengan mendadak, atau memiliki
gejala agitasi atau stupor yang jelas. Sebagian klinisi yakin bahwa ECT
menyebabkan sekurangnya derajat perbaikan klinis yang sama dengan terapi
standar dengan obat antidepressan.1
5
Penggunaan ECT sebagai terapi dapat diberikan pada gejala-gejala depresi yang
berkaitan dengan:6
Pencobaan bunuh diri dengan resiko melakukan bunuh diri.
Gejala-gejala psikotik
Penurunan keadaan fisik karena komplikasi depresi, seperti intake oral yang
menurun.
Respon yang minimal setelah pengobatan.
Riwayat terapi ECT dengan hasil yang baik
Merupakan pilihan pasien
Katatonia
ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan bipolar.
Depresi delusional atau psikotik telah lama dianggap cukup responsif terhadap
ECT, tetapi penelitian terakhir telah menyatakan bahwa episode depresi berat
dengan ciri psikotik tidak lebih responsif terhadap ECT dibandingkan gangguan
depresi nonpsikotik. Namun demikian, karena episode depresi berat dengan gejala
psikotik adalah berespon buruk terhadap farmakologi anti depressan saja, ECT
harus sering dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan
gangguan-gangguan depresi berat dengan ciri melankolik (seperti gejala parah yang
jelas, retardasi psikomotor, terbangun dini hari, variasi diurnal, penurunan nafsu
makan dan berat badan, dan agitasi, diperkirakan lebih mungkin berespon terhadap
ECT.1
Terapi Elektrokonvulsi biasanya tidak efektif untuk mengobati depresi yang
lebih ringan, seperti gangguan disritmik atau gangguan penyesuaian dengan alam
perasaan depresi.4
2. Mania
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul dibandingkan
lithium dalam terapi episode manik akut. Beberapa data menyatakan bahwa
pemasangan elektrode bilateral selama ECT lebih efektif, dengan pemasangan
unilateral pada terapi episode manik. Tetapi, terapi farmakologis untuk episode
manik adalah sangat efektif dalam jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga
6
pemakaian ECT untuk terapi episode manik biasanya terbatas pada situasi dengan
kontraindikasi spesifik untuk semua pendekatan farmakologis.1
3. Skizofrenia
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut dan tidak untuk
gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan gejala afektif dianggap paling
besar kemungkinannya berespons terhadap ECT.1
Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila terdapat:
Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
Katatonia
Riwayat terapi ECT dengan hasil yang baik.
7
stenosis aorta yang berat.6
8
d. Perincian dari semua pembahasan yang relevan untuk mengizinkan ECT.
e. Formulir persetujuan dengan tanda tangan pasien dan atau keluarga atau
wali jika memang sesuai.
f. Pendapat konsultan yang ditandatangani, jika hal ini diminta.
3. Evaluasi Pra Pengobatan
a. Terapi elektrokonvulsi merupakan suatu prosedur yang dapat memberikan
stress pada susunan kardiovaskuler, pernapasan, muskuloskelet, dan saraf,
sehingga diperlukan evaluasi pra pengobatan yang seksama.
Pemeriksaan fisik dan riwayat medis standar (termasuk pemeriksaan
neurologis).
Uji darah dan kemih (sesuai riwayat pemeriksaan, tetapi termasuk
elektrolit dan urinalisis rutin).
Elektrokardiogram.
b. Pada sebagian besar keadaan (contohnya, adanya peenyakit skelet atau riwayat
ECT), harus didapatkan foto rontgen torakolumbal. Pada kasus dugaan
penyakit cranial dan intracranial, elektroensefalogram (EEG) dan atau skan
tomografi komputasi kepala merupakan hal yang sesuai.
c. Sebelum prosedur ini pasien harus dievaluasi oleh seorang anastesis atau
dokter yang berpengalaman dalam penggunaan anesthesia, untuk
mengevaluasi sepenuhnya resiko anesthesia dan kemungkinan interaksi obat
untuk setiap individu.
Pada hakekatnya pasien harus bebas litium, karena litium meningkatkan
sekuele susunan saraf pusat dari ECT dan memperpanjang aksi obat-obatan
neuromuskuler.
Beberapa ahli menduga inhibitor monoamine oksidase (MAO) harus
dihentikan 2 minggu sebelum pengobatan untuk menghindari penyulit
anestetik. Sedative dan anti konvulsan dapat menganggu kemampuan untuk
menimbulkan kejang, dan obat ini harus dikurangi atau dihentikan secepatnya
jika layak secara klinik.4
9
Prosedur Kerja
a. Pengobatan harus digunakan pada suatu daerah yang dirancang untuk ECT dan
diperlengkapi untuk pemulihan media yang diawasi, termasuk peralatan dan
medikasi untuk resusitasi kardiopulmoner. Elektrokardiogram, tekanan darah,
nadi, dan pernapasan harus dipantau selama prosedur.
b. Kepada pasien tidak boleh diberikan sesuatu per oral selama 8-12 jam sebelum
setiap pengobatan, dan segera setalah prosedur, staf harus berusaha agar pasien
sepenuhnya mengosongkan rectum dan kandung kemihnya.
c. Untuk mencegah bradikardia terkait pengobatan dan untuk memperkecil
sekresi, seringkali diberikan obat antikolinergik (0,6 hingga 1,2 mg atropine
atau 0,2-0,4 mg glikopirolat) secara intramuskuler atau subkutan dalam waktu
30 menit.
d. Akses venosa perifer harus dimulai dan dipertahankan hingga pasien pulih
sepenuhnya. Tepat sebelum memulai pengobatan harus dilakukan pemeriksaan
gigi, untuk melepaskan semua perlengkapan gigi atau untuk mencatat adanya
gigi yang longgar atau gompel.
e. Anesthesia ringan untuk memperkecil efek samping yang berlawanan dari
anestesi maupun kecenderungan obat-obatan yang biasa digunakan untuk
meningkatkan ambang kejang (dan dengan demikian memerlukan intensitas
stimulasi listrik yang lebih tinggi). Anestetik yang biasa digunakan adalah
metoheksital (0,5-1,0 mg/kg) atau tiopental (3 mg/kg). kadang-kadang
etomidat (0,15-0,30 mg/kg) atau malah digunakan ketamin intramuskuler (6-
10 mg/kg). Pada pasien harus diberi ventilasi melalui masker dengan oksigen
100 % sejak mulai timbul anestesi hingga pulihnya pernapasan spontan yang
adekuat.
f. Setelah timbul efek anestetik, diberi perelaksasi otot suksinilkolin (0,5-1,5
mg/kg). tujuannya adalah relaksasi cukup untuk menghentikan sebagian besar
tetapi tidak seluruh pergerakan iktal tubuh, kecuali pada beberapa kasus
penyakit mukuloskeletal atau penyakit jantung dimana diperlukan relaksasi
otot total.
10
Kerja suksinilkolin, penyekat depolarisasi, ditandai dengan fasikulasi otot yang
bergerak secara rostrokaudal. Jika hal ini hilang, maka telah terjadi relaksasi
maksimal. Relaksasi juga harus dinilai dengan suatu coretan pada kaki pasien
dengan cara seperti untuk menimbulkan tanda babinski. Pada relaksasi otot
minimal, tidak akan terjadi respon plantar. Stimulator saraf dapat digunakan
sebagai metode alternatif untuk menguji relaksasi otot.
g. Pemantauan kejang dapat dicapai melalui teknik EEG dan atau melalui teknik
“manset”. Dengan hal ini, suatu manset tensimeter ditempatkan pada lengan
atau tungkai pasien dan inflasi hingga tekanan yang lebih besar daripada
sistolik sebelum menyuntikkan suksinilkolin. Hal ini memungkinkan
terjadinya gerakan konvulsif tidak termodifikasi dari ekstremitas tersebut dan
ditentukan waktunya.4
Penempatan Elektroda
Terdapat banyak alternative untuk penempatan elektroda. Lead harus
dikenalkan dengan gel penghantar, pada kulit kepala yang bersih. Pada ECT
bilateral, kedua electrode dapat ditempatkan secara bifrontotemporal, dengan
masing-masing sekitar 2 inci diatas titik tengah garis yang ditarik dari meatus
akustikus eksternus ke sudut lateral mata. Pada ECT unilateral, kedua electrode
ditempatkan diatas hemisferum non dominan. Satu ditempatkan diatas area
frontotemporal, seperti untuk ECT bilateral, sementara yang lain biasanya
ditempatkan pada kulit kepala sentroparietal nondominan, tepat lateral dari vertek
garis tengah. Jarak antara titik tengah dua electrode sekitar 4,5 inci. Yang
bertangan tidak kidal sangat berkorelasi dengan dominan hemiferik kiri.
11
Stimulus Listrik dan Kejang
Ambang kejang dan lamanya sangat bervariasi diantara pasien dan
kemungkinan sukar untuk ditentukan. Tujuannya ialah untuk mencapai kejang
anatar 25-60 detik dengan menggunakan jumlah energy listrik terkecil. Sejumlah
peralatan ECT memungkinkan penentuan energy stimulus sebenarnya, dan nilai
ini harus dipertahankan serendah mungkin. Kejang yang lebih besar dari 60 detik
sering menunjukkan bahwa stimulus adalah ambang supra dan harus dikurangi
12
pada saat pengobatan berikutnya.
Jika tidak terjadi kejang, stimulasi harus segera diikuti dengan stimulasi
berulang pada intensitas stimulus yang lebih tinggi. Pada kejang yang berlangsung
kurang dari 25 detik, stimulus harus diulang sekali. Jika hal ini menghasilkan suatu
kejang yang pendek, maka intensitas stimulus harus ditingkatkan, dan harus
diberikan stimulu ketiga. Jika stimulasi gagal untuk menimbulkan kejang yang
adekuat, maka saat pengobatan harus diakhiri.
Penentuan dosis
Efek antidepresan optimum dicapai dengan dosis elektrik yang jauh di atas
ambang kejang. Ada dua metode untuk menentukan dosis tinggi yang sesuai.
Metode pertama adalah dengan menentukan ambang kejang. Pada metode ini
beberapa stimulus diberikan, dimulai dari tingkat rendah, dan meningkatkan energi
listrik pada stimulus-stimulus berikutnya hingga ambang kejang terdeteksi.
13
Terapi kemudian diberikan melalui stimulus 2-3 kali lebih besar daripada
ambang kejang. Ini disebut "metode titrasi stimulus", dan metode ini lebih disukai
oleh banyak ahli. Alternatif lain adalah memberikan listrik dengan dosis yang
ditentukan berdasarkan umur (algoritme dosis berbasis umur), atau fixed high dose.
Masih dipertimbangkan metode mana yang lebih baik dalam menentukan dosis.
Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan mungkin lebih
baik dinilai sebagai alternatif daripada adanya hirarki.
14
Obat-obatan yang digunakan dalam proses anestesi
Anesthetic agents
Tujuan: agen anestesi yangg diberikan bertujuan membuat pasien tidak menyadari
adanya sensasi yang mungkin menakutkan, terutama kelumpuhan oto dan perasaan
tercekik dan gambaran kilatan sinar yang mungkin mengiringi permulaan stimulus,
tanpa menghambat kejang. Prinsipnya adalah mendukung anestesi umum yang
ringan dan sangat singkat. Dosis anestesi yang berlebih dapat menyebabkan
ketidaksadaran pasien dan apneu bertambah lama, memberikan efek antikonvulsan,
meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular, dan meningkatkan amnesia. Agen
induksi yang ideal untuk ECT bertujuan ketidaksadaran yang cepat, injeksi tanpa
nyeri, tanpa efek hemodinamik, tanpa properti antikonvulsan, memberikan
pemulihan yang cepat, dan tidak mahal. Belum ada obat yang memenuhi semua
karakter tersebut. Namun, methohexital memenuhi banyak kriteria yang telah
disebutkan di atas, thiopental, ketamin, propofol, dan etomidate juga telah berhasil
digunakan pada terapi ECT.
Agen-agen induksi yang biasa digunakan
1. Methohexital memiliki onset yang cepat dan durasi yang cepat, toksisitas kardio
rendah, efek antikonvulsan yang minimal, dan menimbulkan rasa nyeri pada lokasi
injeksi. Efek samping lain termasuk hipotensi, menggigil, dan nekrosis jaringan
lunak pada lokasi penyuntikan. APA Task Force on ECT merekomendasikan
penggunaannya agen induksi pilihan. Dosis tipikal adalah 0,5-1mg/kg.
15
2. Thiopental memiliki efek entikonvulsi yang lebih besar dan durasi yang lebih
lama daripada methohexital. Pasien dengan penyakit kardiovaskulaar yang
diinduksi dengan thiopental dapat memiliki insidensi yang lebih besar untuk
abnormalitas EKG postiktal dibanding dengan methohexital. Seperti halnya
methohexital, thiopental dapat menyebabkan hipotensi dan menyebabkan nekrosis
pada lokasi injeksi. Dosisnya adalah 2-4 mg/kg.
3. Ketamine. Merupakan derivat dari phencyclidine, yang menghambat glutamate
subtipe N-methyl-D-aspartate (NMDA).
16
Muscle relaxant
Pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mencegah cedera pada sistem
muskuloskeletal dan meningkatkan manajemen jalan nafas. Prinsipnya adalah
menyediakan relaksasi otot . secara umum, paralisis penuh tidak dibutuhkan
ataupun diinginkan karena dapat dikaitkan dengan apneu yang memanjang. Sebagai
tambahan, intensitas dan durasi gerakan motor kejang harus diobservasi dan
dimonitor. Paralisis otot bukan hanya memfasilitasi oksigenasi, namun juga
menurunkan penggunaan oksigen oleh otot selama kejang.
Pertimbangan harus diberikan pada penggunaan muscle relaxant dosis tinggi pada
pasien dengan resiko fraktur tulang patologis. Kecukupan pemberian muscle
relaxant harus ditentukan sebelum pemberian stimulus ECT. Proses ini dilakukan
dengan tes reduksi refleks tendon dalam dan tonus otot. Pada pasien yang diberikan
succinylcholine dosis tinggi, stimulator saraf perifer harus digunakan.
Agen yang biasa digunakan
Efek samping yang biasa muncul pada succinylcholine termasuk aritmia,
peningkatan tekanan intraocular dan intraabdominal. Karena suksinilkolin telah
dikaitkan dengan hipertermi malignan dan hiperkalemia, telah dikembangkan
muscle relaxant non-depolarisasi. Dosis untuk agen ini harus ditentukan
berdasarkan klinis dan individual. Umumnya, dosis succinylcholine adalah 0,5-1
mg/kg. atracurirum 0,3-0,5 mg/kg, miyacurim 0,15-0,2 mg/kg, rocuronium 0,45-
0,6 mg/kg, dan rapacuronium 1-2 mg/kg, merupakan obat-obat alternative untuk
succynilcholine. Obat-obat muscle relaxant non-depolarisasi ini menghasilkan
paralisis yang lebih lama, dan baik onset maupun durasi kerja obat harus dimonitor
oleh stimulator saraf.
Antikolinergik
Tujuan antikolinergik adalah untuk melindungi terhadap bradikardi atau asistol
karena parasimpatis. Prinsipnya adalah menurunkan efek dari stimulasi vagal
karena ECT. Vagal refleks terjadi segera setelah stimulus ECT tanpa bergantung
besar alira listrik, dan dapat mengakibatkan bradikardi atau asistol transien. Jika
aliran listrik mendekati atau melebihi ambang kejang, kejang tonik-klonik dapat
terjadi dengan disertai stimulasi simpatis. Peningkatan aktivitas simpatis ini
17
mengimbangi efek stimulasi vagal. Namun jika aliran listrik gagal mencapai kejang
(stimulasi subkonvulsi), ketakutan akan terjadinya bradikardi mengikuti stimulus
menjadi besar karena proteksi yang diberikan takikardi postiktal tidak ada.
Indikasi
1. Pasien yang menjalani estimasi ambang kejang dengan metode titrasi dosis,
terutama pada sesi pertama ECT.
2. Pasien yang menerima agen simpastis blocker
3. Situasi dengan terjadinya bradikardi vagal harus dihindarkan misalnya
adanya penyakit jantung, fungsi jantung hipodinamik
Obat yang biasa digunakan
Obat antikolinergik yang biasa digunakan adalah atropin (0,4-0,8 mg iv atau 0,3-
0,6 mg im) dan glycopyrrolate (0,2-0,4 mg iv atau im). Atropine memiliki potensi
lebih pada detak jantung. Glycopyrrolate tidak melintasi blood brain barrier dan
memiliki efek antisialagogue.
18
2. Usaha awal harus diarahka untuk mendapatkan control tekanan darah dan
denyut jantung dengan administrasi harian agen oral sebelum memulai ECT
3. Pada pasien yang beresiko untuk komplikasi kardiovaskular, seperti
aneurisma tak stabil, pencegahan total akan perubahan hemodinamik karena
ECT direkomendasikan.
4. Hipertensi yang bertahan atau aritmia yang signifikan setelah kejang
diterapi secara akut, dan profilaksis dipertimbangkan untuk
penatalaksanaan berikutnya
Agen yang biasa digunakan
Beberapa antihipertensi memiliki potensi untuk membatasi efek hemodinamik
ECT. Mereka memiliki perbedaan dalam onset dan durasi, dampak terhadap
tekanan darah versus denyut jantung, efek terhadap kerja miokard, dan durasi
kejang.
1. Beta blocker. Literature untuk beta blocker sangat luas. Efek samping
mayornya adalah adanya property antikonvulsa. Labetalol merupakan beta-
blocker yang paling banyak digunakan sekarang ini. Obat ini secara selektif
memblok alfa-1 dan secara tidak selektif memblok reseptor adrenergic beta-
1 dan beta-2. Dosis awalnya adalah 5-10 mg iv. Onsetnya adalah sekitar 2-
5 menit dan durasinya sekitar 4-6 jam. Esmelol memiliki onset yang lebih
cepat (30-90 detik) dan durasinya jauh lebih singkat (sekitar 10 menit), lebih
memiliki efek pada tekanan darah daripada pada denyut jantung, dan lebih
menurunkan loading kerja jantung, disbanding dengan abetalol.
2. Nitrogliserin. Mendilatasi sistem vena dengan sedikit efek pada
kontraktibilitas miokard. Ada banyak sdiaaan, seperti spray, injeksi, dan
salep. Pada prakteknya, nitrogliserin diberikan secara spray sublingual (0,4
mg/spray) beberpa menit sebelum ECT mulai menurunkan hipertansi.
3. Trimethaphan, merupakan agen bloking ganglionik, merupakan salah satu
entihipertensi intravena yang direkomandasikan untuk ECT. Agen ini
menginhibisi sistem saraf simpatis dan parasimpatis sekaligus dengan efek
pada arteriol, dan meningkatkan vasodilatasi tanpe menginduksi refleks
takikardi. Hanya tersdia dalam bentuk parenteral dan memiliki onset dalam
beberapa menit,. Bolus trimethaphan menurunkan tekanan darah dan denyut
19
jantung selama ECT tanpa menimbulkan hipertensi rebound, perpanjangan
hipotensi, aritmia, atau efek pada durasi kejang.
4. Nicardipine memberikan control yag adekuat untuk MAP, namun denyut
jantung biasanya meningkat sebelum, selama, dan setelah ECT. Tidak ada
efek pada durasi kejang.
5. Nitropruside juga dapat digunakan untuk emngontrol tekanan darah namun
memiliki insiden yang lebih besar untuk hipotensi post-ECT. Agen ini
merupakan vasodilator poten yang mempengaruhi sistem arteriol dan vena,
dan dapat menghasilkan reflaks takikardi. Beberapa anestesi
mempertimbangkan monitoring intra arterial sementara menggunakan agen
ini.
Memory
20
Perhatian terbesar tentang ECT adalah hubungan antara ECT dan
kehilangan memori. Sekitar 75 persen dari semua pasien yang diberikan
ECT mengatakan bahwa gangguan memori adalah efek samping yang
terburuk. Meskipun gangguan memori selama pengobatan, tindak lanjut
data menunjukkan bahwa hampir semua pasien yang kembali ke baseline
kognitif mereka setelah 6 bulan. Beberapa pasien, bagaimanapun, mengeluh
kesulitan memori. Contohnya, pasien mungkin tidak ingat peristiwa yang
mengarah ke rumah sakit dan ECT, dan kenangan otobiografi tersebut
mungkin tidak akan pernah ingat. Tingkat kerusakan kognitif selama
perawatan dan waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke dasar terkait,
sebagian, dengan jumlah stimulasi listrik digunakan selama pengobatan.
Gangguan memori yang paling sering dilaporkan oleh pasien yang telah
mengalami sedikit perbaikan dengan ECT. Meskipun gangguan memori,
yang biasanya sembuh, tidak ada bukti menunjukkan kerusakan otak yang
disebabkan oleh ECT. Mata kuliah ini telah menjadi fokus dari beberapa
studi pencitraan otak, menggunakan berbagai modalitas. hampir semua
menyimpulkan bahwa kerusakan otak permanen tidak efek buruk dari ECT.
Ahli saraf dan epileptologists umumnya sepakat bahwa kejang yang
berlangsung kurang dari 30 menit tidak menyebabkan kerusakan saraf
permanen.
21
KESIMPULAN
Terapi ElektroKonvulsif (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif untuk pasien
dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan mental serius
lainnya.1 Terapi Elektrokonvulsi (ECT) merupakan suatu pengobatan untuk
penyakit psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala
digunakan untuk menghasilkan suatu kejang tonik-klonik umum. Bila melihat
sejarah penggunaan terapi ini, maka terapi ini sudah dimulai pada tahun 1934,
dimana saat itu Ladislas J. Von Meduna melaporkan terapi yang berhasil dari
katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan kejang yang ditimbulkan secara
farmakologis. Terapi ElektroKonvulsif (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif
untuk pasien dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan mental
serius lainnya. Indikasi Primer ECT yaitu gangguan depresi mayor, mania,
skizofrenia,sedangkan indikasi sekunder ECT yaitu katatonia, penyakit parkinson,
sindrom neuroleptik maligna dan delirium. Electro Convulsive Therapy (ECT)
merupakan prosedur medis yang dilakukan oleh dokter dimana pasien diberikan
anestesi umum dan relaksasi otot. Ketika efeknya telah bekerja, otak pasien
distimulasi dengan suatu rangkaian dan dikontrol dengan electrode yang dipasang
di kepala pasien. Stimulus ini menyebabkan bangkitan kejang di otak sampai 2
menit. Karena penggunaan anestesi dan relaksasi otot sehingga badan pasien tidak
ikut terangsang dan tidak merasa nyeri.8 Terapi Elektro Konvulsif merupakan suatu
terapi yang aman dan efektif untuk berbagai gangguan psikiatri Agen anestesi yang
diberikan bertujuan membuat pasien tidak menyadari adanya sensasi yang mungkin
menakutkan, terutama kelumpuhan oto dan perasaan tercekik dan gambaran kilatan
sinar yang mungkin mengiringi permulaan stimulus, tanpa menghambat kejang.
DAFTAR PUSTAKA
22
1. Kaplan dan Sadock. Seventh edition. Comprehensive Textbook of
Psychiatry.
2. Maramis, Willy F dan Albert Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran
Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
3. Nevid, Jeffrey S, Spencer A Rathus, dan Beverly Greene. Psikologi
Abnormal. Jakarta: Erlangga.
4. Guze, Barry MD. 2010. The Handbook of Psychiatry. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
5. Idrus, Faisal, dr. 2011. Electroconvulsive Therapy. Makassar: Bagian
Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
6. British Colombia, Ministry of Health Services. 2010. Electroconvulsive
Therapy Guidelines. Colombia: Mheccu (Mental Health Evaluation and
Community Consultant Unit).
7. Greenberg, Robert M and Charles H Kellner. 2005. Electroconvulsive
Therapy. New Jersey, USA: American Association for Geriatric Psychiatry.
8. A Victorian State Government Initiative. Electroconvulsive Therapy About
Your Rights. State Government Victoria.
23