1. Pengertian
Istilah halusinasi berasal dari bahasa latin Hallucinatio yag bermakna secara mental
mengembara atau menjadi liglung. Jardri, dkk. (2013) menegaskan “The term hallucination
comes from the latin “hallucination”: to wander mentally or tobe absent-minded”. Halusinasi
adalah persepsi atau tanggapan dari panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus)
eksternal (Stuart & Laraia, 2005).
Halusinasi merupakan suatu gejala gangguan jiwa dimana klien merasakan suatu stimulus
yang sebenarnya tidak ada. Klien mengalami perubahan sensori persepsi; merasakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan, atau penciuman. Pada gangguan
halusinasi penglihatan, misalnya, klien melihat suatu bayangan menakutkan, padahal tidak
ada byangan tersebut. Salah satu manifestasi yang timbul adalah halusinasi membuat klien
tidak dapat memenuhi kehidupannya sehari-hari. Halusinasi merupakan salah satu dari sekian
bentuk psikopatologi yang paling parah dan membingungkan. Secara fenomenologis,
halusinasi adalah gangguan yang paling umum dan paling penting. Selain itu, halusinasi
dianggap sebagai karakteristik psikosis.
Rentang Respons neurobiologi yang paling adaptif adalah adanya pikiran logis, persepsi
akurat, emosi yang konsisten dengan pengalaman, perilaku cocok, dan terciptanya hubungan
sosial yang harmonis. Sementara itu, respons maladaptive meliputi adanya waham,
halusinasi, kesukaran proses emosi, perilaku tidak terorganisasi, dan isolasi sosial: menarik
diri.
Adaptif Maladaptif
Adaptif :
- Pikiran logis
- Persepsi akurat
- Emosi konsisten dengan pengalaman
- Perilaku sesuai hubungan sosial
Beresiko :
Maladaptif :
3. Tingkat Halusinasi
Intensitas halusinasi meliputi empat tingkat, mulai dari tingkat I hingga tingkat IV.
Proses terjadinya halusinasi pada klien akan dijelskan dengan menggunakan konsep stress
adaptasi Stuart (2013) yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan presipitasi.
1. Faktor Predisposisi
Hal- hal yang dapat mempengaruhi terjadinya halusinasi adalah :
a. Faktor Biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis, meliputi adanya faktor herediter gangguan
jiwa, adanya risiko bunuh diri, riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat
penggunaan NAPZA.
b. Faktor Psikologis
Pada klien yang mengalami halusinasi, dapat ditemukan adanya kegagalan yang
berulang, individu korban kekerasan, kurangnya kasih sayang, atau overprotektif.
c. Sosiobudaya dan lingkungan
Klien dengan halusinasi didaptkan sosial ekonomi rendah, riwayat penolakan
lingkungan pada usia perkembangan anak, tingkat pendidikan rendah, dan kegagalan
dalam hubungan sosial (perceraian, hidup sendiri, serta tidak bekerja).
2. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi pada klien dengan halusinasi ditemukan adanya riwayat
penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak, kekerasan dalam keluarga,
atau adanya kegagalan-kegagalan dalam hidup, kemiskinan, adanya aturan atau tubtutan
dikeluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan klien srta knflik antar
masyarakat.
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap klien serta ungkapan
klien. Adapun tanda dan gejala klien halusinasi adalah :
a. Data subjektif
Berdasarkan data subjektif, klien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi
mengatkan bahwa klien:
1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
3) Mendengar suara menuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
4) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau
monster.
5) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan.
6) Merasakan rasa seperti darah, urine, atau feses
7) Merasa takut atau senang dengan halusinasinya
b. Data objektif
Berdasarkan data objektif, klien dengan ganguuan sensori persepsi halusinasi
melakukan hal-hal berikut:
1) Bicara atau tertawa sendiri
2) Marah-marah tanpa sebab
3) Mengarahkan telinga kearah tertentu
4) Menutup telinga
5) Menunjuk-nunjuk kea rah tertentu
6) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas
7) Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.
8) Menutup hidung
9) Sering meludah
10) Muntah
11) Menggaruk-garuk permukaan kulit
5. Mengkaji Waktu
Perawat perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya halusinasi yang
dialami oleh klien. Hal tersebut dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada
waktu terjadinya halusinasi. Selain itu, pengkajian terebut digunakan untuk menghindari
situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi, sehingga klien tidak larut dengan
halusinasinya. Pengetahuan tentang frekuensi terjadinya halusinasi dapat dijadikan
landasan perencanaan frekuensi tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi.
6. Mengakji Respons terhadap Halusinasi
Dalam tujuannya untuk mengetahui dampak halusinasi pada klien dan respons
klien ketika halusinasi itu muncul, perawat dapat menanyakan kepada klien hal yang
dirasakan atau dilakukan saat halusinasi timbul. Perawat juga dapat menanyakan kepada
keluarga atau orang terdekat klien. Selain itu, perawat dapat mengobservasi dampak
halusinasi terhadap klien jika gangguan tersebut muncul.
7. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi meliputi :
a. Regresi
Regresi berhubungan dengan proses informasi dan upaya yang digunakan untuk
menanggulangi ansietas. Energy yang tersisa untuk aktivitas sehari-hari tinggal
sedikit, sehingga klien menjadi malas beraktivitas sehari-hari.
b. Proteksi
Dalam hal ini, klien mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau suatu benda.
c. Menarik diri
Klien sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal
d. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
Diagnosis Keperawatan
Berdasarkan data yang diperoleh, ditetapkan bahwa diagnosis keperawatan halusinasi adalah :