Anda di halaman 1dari 12

BAB II KAJIAN TEORETIS

Candi Borobudur

Pengertian

Istilah candi yang dikemukakan oleh beberapa ahli, yaitu sebagai

berikut.

Menurut Dr. W. F. Stuterheim dan N. J. Krom, nama “candi” merupakan


kependekan dari “Candika” merupakan nama salah satu Dewa Durga di Indonesia.
Menurut Dr. Soenjipto pengertian candi mengandung akar kata kata “ndi” yang
berarti penghormatan dan “Pundit” yang berarti “menghormat”.
Candi adalah suatu tempat peribadatan yang digunakan oleh umat Buddha dan
Hindu.

Sedangkan banyak teori mengemukakan tentang definisi

Borobudur. Di antaranya, menurut Martono bahwa “Candi Borobudur

ialah candi Buddha yang megah yang stupa-stupanya serta relief-

reliefnya yang merupakan perpaduan antara budaya Indonesia asli

dengan budaya india (Buddha)” (Martono, 1996, p. 51). Sedangkan

menurut De Caparis, “Bhumi Sabhara Budhhara” yaitu sebutan bagi

bangunan candi pemuja nenek moyang atau disebut kuil. Tetapi

haruslah yang jelas mengenai arti Borobudur” (Soekmono, 1972, p.

7).

Sementara itu, Raffles berpendapat bahwa “Borobudur berasal

dari kata “boro” yang artinya kuno, dan “budur” yang merupakan

tempat. Jadi, “Borobudur merupakan budur yang kuno”.


Menurut Drs. Soedirman dalam bukunya “Borobudur Salah Satu Keajaiban

Dunia,” menyebutkan sampai saat ini, belum jelas pengertian nama Borobudur.

Dijelaskan pula bahwa Borobudur terdiri dari dua kata yaitu “boro” dan “budur.”

“Boro” berarti kompleks candi dan asrama, sedangkan “budur” berarti di atas.

Setiap orang yang berbeda-beda mengenai pengertian Borobudur. Oleh karena

itu, banyak sekali versi yang mengemukakan tentang definisi Borobudur. Adapun

pengertian Borobudur para ahli yaitu sebagai berikut.

Menurut Moens “Borobudur mempunyai arti kata para pengunjung tinggi


sang Buddha”.
Menurut Soekmono dan Stutterheim bahwa “Borobudur” berasal dari kata
Boro dan Budur yang artinya sebuah asrama yang berada ditanah yang
tinggi”.

Jika dikaji secara teliti, maka keterangan yang dikemukakan oleh Moens,

Soekmono, dan Sttuterheim, keterangan atau penafsiran dirasa kurang tepat

mengenai nama Borobudur. Borobudur yang berarti asrama yang berada di tanah

yang tinggi atau dikatakan sebagai tempat bagi para pengunjung. Tapi haruslah

diketahui bahwa sampai sekarang belum ada keterangan atau penafsiran yang tepart

mengenai nama Borobudur.

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa candi Borobudur

merupakan bangunan suci agama Buddha yang dibangun diatas bukit di desa budur

yang merupakan tempat pemujaan dan tempat suci bagi Buddha (Sidharta Ghaotama)

yang melambangkan kumpulan kebaikan dari kesepuluh tingkatan Budhisatya.

Struktur Candi Borobudur


Bangunan Candi Borobudur terbentuk limas berundak dan apabila dilihat dari

atas merupakan bujur sangkar. Bangunan candi terdiri dari sepuluh tingkat. Tiga

tingkat yang paling atas berbentuk lingkaran dengan 3 teras. Teras pertama terdapat

tiga dua berlubang, teras kedua terdapat 24 stupa berlubang, teras ketiga terdapat 16

stupa berlubang. Jumlah keseluruhan 22 berlubang dan masing-masing stupa di

dalamnya terdapat patung Buddha. Ditengah stupa-stupa tersebut terdapat stupa

induk yang merupakan mahkota dari bangunan Candi Borobudur (Soedirman, 1980,

p. 48).

Struktur dari candi Borobudur merupakan deksripsi dari perjalanan kehidupan

manusia dan kaitannya dengan alam semesta yang diyakini oleh warga Buddha

Mahayana menurut Soekmono, yaitu sebagai berikut.

Kamadhatu
Kamadhatu merupakan alam bawah atau dunia hasrat dan hawa nafsu, dunia ini
menunjukan bahwa manusia terikat pada hasrat dan hawa nafsu, serta cenderung
terpengaruh serta dikuasai oleh hawa nafsu. Gambaran dan deskripsi alam
Kamadhatu secara jelas dalam bentuk relief-relief yang terdapat pada kaki candi
asli yang melambangkan adengan karmawidhangga, yang melukiskan hokum
sebab akibat.
Rupadhatu
Rupadhatu merupakan alam antara dunia rupa. Dunia Rubadhatu mengambarkan
bahwa manusi meninggalkan semua urusan dunia dengan meninggalkan hawa
nafsu dengan segala urusan duniawi. Gambaran tahapan ini dilambangkan
dengan bentuk lorong penghung antara tingkat 1 sampai tingkat 4
Aruphadhatu
Arupadhatu alam atas atau dunia tanpa rupa. Dunia arupadhatu merupakan
gambaran tentang tempat bersemayamnya para dewa. Gambaran tahapan ini
dilambangkan dengan teras bundar tingkat satu, dua, dan tiga, serta kehadiran
stupa induk pada tingkat tertinggi.

Hal yang serupa yang dikemukakan oleh Wardaya, beliau berpendapat bahwa

“Sturuktur Candi Borobudur terdiri dari tiga bagian yakni bagian bawah yang disebut
Kamadhatu, bagian tengah yang disebut dengan rupadhatu dan bagian atas yang

disebut Arupadhatu” (Marjuki & Haeraty, 1989, p. 247).

Sebagai sebuah bangunan, Candi Borobudur dapat dibagi dalam tiga bagian

yang terdiri dari kaki atau bagian bawah, tubuh, dan bagian puncak. Pembagian

menjadi tiga tersebut sesuai dengan tiga lambang atau tingkat dalam susunan ajaran

Buddha, yaitu Kamadhatu, Ruphadatu, dan Arupadhatu yang masing-masing

mempunyai tiga unsur. Ketiga unsur tersebut meliputi unsur nafsu, hasrat, atau

Kamadhatu, unsur wujud, rupa, bentuk, atau Rupadhatu, dan unsur tak berwujud,

tanpa rupa, tak berbentuk, atau Aruphadatu

Dari uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa struktur Candi

Borobudur terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu tingkatan pertama bernama

Kamadhatu, tingkatatan kedua Rupadhatu, dan tingkatan yang ketiga Arupadhatu.

Fungsi Candi Borobudur

Fungsi Candi Borobudur hampir sama dengan fungsi candi pada umumnya yaitu

sebagai berikut.

Empat penyimpanan relik atau disebut Dhatugraba (peninggalan-peninggalan

benda suci).

Tempat sembahyang atau beribadah bagi umat Buddha.

Merupakan lambang suci umat Buddha, cermni nilai-nilai tertinggi agama

Buddha dan mengandung rasa rendah yang didasari pencintanya.

Tanda peringatan dan penghormatan sang Buddha.


Mamat Ruhimat mengemukakan bahwa “Pembukaan sebuah candi pada itu

berfungsi untuk memuliakan orang yang telah meninggal dengan sebuah bangunan.

Dalam sebuah bangunan candi bukanlah mayat atau abu jenazah yang dikuburkan,

melainkan bermacam-macam benda, seperti potongan berbagai jenis logam dan batu

akik yang disertai dengan saji-sajian. Semua barang tersebut disatukan dan

ditempatkan pada sebuah wadah yang disebut pripih. Di dalam candi (yang bercorak

Buddha) tidak terdapat peti pripih. Maka dari itu, candi dalam agama Buddha

(termasuk Candi Borobudur) dimaksudkan sebagai tempat pemujaan dewa”

(Ruhimat, 2007, p. 247).

Selain yang kita ketahui dari fungsi Candi Borobudur sebagai tempat

sembahyang bagi beribadah bagi umat Buddha, ternyata Candi Borobudur juga

merupakan lambang suci umat Buddha. Kesucian itu tercermin dari nilai-nilai agama

yang mengandung rasa rendah hati yang didasari penciptanya. Fungsi lain dari Candi

Borobudur yaitu sebagai tempat penyimpanan benda-benda suci peninggalan zaman

dulu (N., 1983, p. 23).

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi

Candi Borobudur adalah bangunan suci agama Buddha sekaligus tempat ziarah yang

mampu menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan

dan kebikjasanaan sesuai ajaran Buddha.

Bagian-bagian Candi Borobudur

Relief

Pengertian Relief
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwodarmiinto, 1990, p.

739), dijelaskan bahwa relief berarti pahatan yang menampilkan perbedaan

bentuk dan gambar dari permukaan yang rata menjadi timbul. Relief dalam

bahasa Indonesia sepadan dengan kata peninggian, dalam arti kedudukannya

lebih tinggi dari latar belakangnya. Relief senantiasa berlatar belakang,

karena peninggian itu ditempatkan pada suatu dataran.

Relief adalah gambar dalam bentuk ukiran yang dipahat. Relief yang

dipahatkan pada candi biasanya mengandung suatu arti atau melukiskan suatu

peristiwa cerita tertentu (Ayatrohaedi, 1978, p. 149). Relief juga merupakan

ornament tempat sacral tidak hanya dipilih secara acak, tetapi dicari tema-

tema cerita atau ornament lain yang dapat diartikan dengan fungsi keagamaan

tempat-tempat tersebut (Santiko, 1985, p. 140).

Berdasarkan pengertian tersebut, relief merupakan sebuah bentuk yang

dihasilkan dari peninggian kayu atau batu dengan cara teknik pahat atau

menempel dengan senantiasa terdapat background yang melatar

belakanginya.

Jenis-jenis Pahatan Timbul

Ditinjau dari segi dan perwujudannya, karya seni relief pada dasarnya

memiliki tiga tingkatan, antara lain: relief tebal, menunjukkan objek-objek

yang dekat. Medium, menunjukkan objek yang sedang, dan tipis untuk

menunjukkan objek yang jauh.

Menurut Moeslih (Moeslih & Sudarman, 1983, p. 83), relief dibedakan

menjadi tiga jenis yaitu: (1) relief rendah, bentuknya tipis karena teknik
pencukilannya diarahkan dalam bentuk-bentuk anatomi plastis dengan bentuk

tipis, (2) relief tinggi, bentuk relief hampir mendekati patung, sehingga

bentuk objek serta backgroundnya tampak agak terpisah, karena media yang

digunakan dalam ukuran yang tebal, (3) relief tembus, bentuk relief yang

diwujudkan dengan background berlubang atau tembus, yaitu melubangi

bagian dasarnya, sehinga objeknya akan tampak lebih menonjol dan akan

menimbulkan kesan perspektif jauh.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa relief atau pahatan

timbul senantiasa berlatar belakang dan kedudukannya lebih tinggi dari latar

belakangnya. Relief juga merupakan bagian dari seni pahat dan hasil

pahatannya tidak selalu mengikuti atau tergantung pada bentuk mata pahat.

Dilihat dari segi fungsi, relief sebagai seni murni karena mampu berdiri

sendiri dan tidak menempel pada suatu benda. Selain dinikmati karena bentuk

estetisnya, relief pada umumnya mengandung sebuah cerita.

Stupa

Pengertian Stupa

Stupa adalah monument untuk memperingati Budha dan para

pengikutnya. Berbentuk setengah bulatan yang secara filosofis

melambangkan “kubah syurga” (Dome of Heaven) atau melambangkan

struktur kosmik yang menetap terbuat dari batu atau tanah atau material

lainnya dengan struktur dan konsep arsitektual.

Di India kuno, bangunan stupa digunakan sebagai makam, tempat

menyimpan abu kalangan bangsawan atau tokoh tertentu. Di kalangan


Buddha, stupa menjadi tempat menyimpan relik Buddha sendiri. Dalam

perkembangannya, stupa menjadi lambang Buddhisme itu sendiri. Bagi kita

sekarang, stupa dapat menjadi petunjuk seberapa luas Buddhisme tersebar di

suatu wilayah. Di Indonesia lebih sering dijumpai bangunan stupa yang

menjadi bagian candi, seperti Candi Mendut, Candi Borobudur.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stupa merupakan

monumen untuk memperingati Buddha dan pengikutnya, kemudian

berkembang menjadi lamba Buddhisme itu sendiri. Di Indonesia banyak

dijumpai stupa yang menjadi bagian candi, seperti Candi Borobudur.

Bagian-bagian Stupa

Bangunan stupa terdiri dari beberapa bagian atau elemen yang

membentuk satu konsep arsitektur yakni sebagai berikut.

Harmika yaitu oagar empat segi stupa memberi peringatan “syurga 33 tahun lambang dari peti

suci Budha dan menjadi sentral dari meditasi.

Yashi berbentuk tiga lapis paying yang melambangkan paksi dunia.

Stambha, tiang yang bertuliskan ayat-ayat kitab subi dari kitab Pali berfungsi sebagai alat

sebaran agama Budha.

Vedik, pagar yang mengelilingi stupa pada mulanya dibuat dari bahan kayu, pada zamn syurga

digantikan dengan bahan batu.

Torana, gerbang (jalan/pintu masuk) ke dalam stupa yang berasal dari bahasa Sansekerta.

Mudra

Pengertian Mudra
Mudra dalam bahasa Sansekerta artinya: “lambang” atau “segel” adalah

gestur atau sikap yang bersifat simbolis atau ritual dalam Hinduisme dan

Buddhisme. Mudra adalah gestur spiritual dan penanda energi dan keaslian

dalam ikonografi dan praktik spiritual dalam tradisi agama Dharma serta

Taoisme.

Menurut Jamgon Kongtrul dalam komentarnya tentang Hevajra Tantra,

ornament tulang simbolis juga dikenal sebagai “mudra” atau “segel”

(Kongtrul, 2005, p. 493).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mudara

merupakan gestur atau sikap tangan yang bersifat simbolis, spiritual, dan

penanda energi dan keaslian dalam tradisi agama.

Mudra di Borobudur

Borobudur dirancang membentuk mandala besar yang melambangkan

kosmologi buddhis, suatu konsep alam semesta dalam buddhisme.

Terdapat lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan

Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran

Mahayana yang diwakili oleh masing-masing Dhyani Buddha. Masing-

masing mudra melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan

makna simbolisnya tersendiri (Bucknell & Stuart-Fox, 1995).

Adapun arca-arca dalam sikap duduk dijumpai pula di dalam seluruh

stupa berperforasi yang ada pada tingkatan-tingkatan ke-7, ke-8, dank e-9

yang berdenah bulat. Seluruh arca Dhyani Buddha pada ketiga tingkatan

tersebut duduk dalam sikap wajrasana pula seperti yang berada di dalam
relung-relung, namun sikap tangannya khusus, yaitu dipertemukan di depan

dada dalam sikap dharmacakramudra.

Mengikuti urutan Pradakshina yaitu gerakan mengelilingi searah jarum

jam dimulai dari sisi Timur, maka mudra arca-arca Buddha di Borobudur

(Marjuki & Haeraty, 1989) adalah sebagai berikut.

Arca Mudra Dhyani Buddha

Bhumisparsa mudra Aksobhya

Wara mudra Ratnasambhawa

Dhyana mudra Amitabha

Abhaya mudra Amoghasiddhi

Witarka mudra Wairocana

Dharmachakra Wairocana
mudra

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa mudra di Candi

Borobudur terdiri dari: (1) Bhumisparsa mudra, (2) Wara mudra, (3) Dhyana

mudra, (4) Abhaya mudra, (5) Witarka mudra, dan (6) Dharmachakra mudra.

Anda mungkin juga menyukai