Anda di halaman 1dari 43

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA NY.

F DENGAN DIAGNOSA
APPENDICITIS AKUT DENGAN TEKNIK GENERAL ANESTESI
DI IBS RSUD KOTA YOGYAKARTA

Disusun untuk memenuhi Tugas Kelompok Praktik Klinik Keperawatan Anestesi IV


Prodi D-IV Keperawatan Semester 8

Dosen Pembimbing : Ircham Syaefuddin, S.Kep.Ns,MM

Disusun Oleh :

1. Anugrah Bachrodin Adhnan P07120215008


2. Eliza Mutiara Putri P07120215015
3. Yulianus Basutei P07120215044

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA

JURUSAN KEPERAWATAN

2019
ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA NY.F DENGAN DIAGNOSA
APPENDICITIS AKUT DENGAN TEKNIK GENERAL ANESTESI DI
IBS RSUD KOTA YOGYAKARTA

Diajukan untuk disetujui pada,

Hari :

Tanggal :

Tempat :

Mengetahui

Pembimbing Akademik Pembimbing Lapangan

( Ircham Syaefuddin, S.Kep.Ns,MM ) ( )


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikam Asuhan Keperawatan
Perianestesi dengan judul “Asuhan Keperawatan Perianestesi Pada Ny.F Dengan Diagnosa
Medis Appendicitis Akut Dengan Teknik General Anestesi di IBS RSUD Kota Yogyakarta
tanpa halangan apapun.

Penulisan asuhan keperawatan ini bertujuan untuk memenuhi Tugas Praktik Klinik
Keperawatan Anestesi IV Prodi D-IV Keperawatan Semester 8. Penulis menyadari bahwa
penulisan asuhan keperawatan perianastesi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak.
Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. H.Rokhim selaku pembimbing lapangan di IBS RSUD Kota Yogyakarta


2. Ircham Syaefuddin, S.Kep.Ns,MM selaku pembimbing akademik
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan asuhan keperawatan perianestesi
ini.

Dalam penulisan asuhan keperawatan perianestesi ini, penulis menyadari bahwa masih
terdapat kekurangan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi
penyempurnaan asuhan keperawatan perianestesi ini. Semoga penulisan asuhan keperawatan
perianestesi ini bisa bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 12 Maret 2019

Penulis
BAB I
TINJAUAN TEORI

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua

umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki

berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).

Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab

yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks

atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).

Gambar Apendisitis

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apendisitis adalah kondisi

dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah

abdomen yang paling sering terjadi.

Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain :

a. Apendisitis akut

Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai peritoneum

pariental setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan bawah.

b. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)

Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis

ganggrenosa di tutupi pendinginan oleh omentum.


c. Apendisitis perforate

Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan

keterlambatan diagnosa merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya

perforasi apendiks.

d. Apendisitis rekuren

Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh

spontan, namun apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena

terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resikonya untuk terjadinya serangan lagi

sekitar 50%.

e. Apendisitis kronis

Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen

apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel

inflamasi kronik.

2. Etilogi

Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi,

terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak

faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen apendiks,

hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris yang dapat

menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan

apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah

serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga merupakan

faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Konstipasi akan menaikkan tekanan

intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan

meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah

timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidayat, 2004).


3. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh

hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat

peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus

yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut

semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan

sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang

meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,

diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut

lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut,

tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema

bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas

dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan

bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks

yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.

Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila

semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan

bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate

apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau

menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih

panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan

daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi.

Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan

pembuluh darah (Mansjoer, 2007).


4. Manifestasi Klinik

Menurut Arief Mansjoer (2007), keluhan apendisitis biasanya bermula dari

nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah.

Dalam 2 – 12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah yang akan menetap

dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise

dan demam yang tak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi

kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah.

Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang

menetap namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin

progresif dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik

dengan nyeri maksimal perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu

menentukan lokasi nyeri.

Menurut Suzanne C Smeltzer dan Brenda G Bare (2002), apendisitis akut

sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang mendadak umbai

cacing yang memberikan tanda setempat. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya

disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Pada

apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan

bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka

superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi

atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila

apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri tekan terasa di daerah lumbal. Bila

ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan

rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum.

Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan

kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan

dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran

bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran
kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi
abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk. Pada pasien

lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda tersebut

dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya.

Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks.

Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari

pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien

yang lebih muda.

Menurut Diane C. Baughman dan JiAnn C. Hackley (2000), manifestasi

klinis apendisitis adalah sebagai berikut:

a. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai dengan demam derajat

rendah, mual, dan seringkali muntah

b. Pada titik Mc Burney terdapat nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit

kaku dari bagian bawah otot rektus kanan

c. Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nueri

tekan, spasme otot, dan konstipasi serta diare kambuhan

d. Tanda Rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah ,

yang menyebabkan nyeri kuadran kiri bawah)

e. Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi

distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.

5. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga

appendicitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktive

(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar pasien biasanya

ditemukan jumlah leukosit di atas 10.000 dan neutrofil diatas 75 %. Sedangkan

pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai meningkat pada 6-

12 jam setelah inflamasi jaringan.


b. Pemeriksaan urine

Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.

pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding

seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis

yang hampir sama dengan appendisitis.

c. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga

appendicitis akut antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada pemeriksaan

ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi

inflamasi pada appendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian

yang menyilang dengan apendicalith serta perluasan dari appendiks yang

mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum.

d. Pemeriksaan USG

Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,

terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat

dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik,

adnecitis dan sebagainya.

e. Abdominal X-Ray

Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis.

pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.

6. Penatalaksanaan

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.

Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas

fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa

ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan

sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat

dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara
laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi
terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang

diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan

laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih

terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik

pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak

(Smeltzer C. Suzanne, 2002).

Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah sebagai

berikut:

a. Tindakan medis

1) Observasi terhadap diagnose

Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis,

sering tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting dilakukan observasi

yang cermat. Penderita dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun

melalui mulut. Bila diperlukan maka dapat diberikan cairan aperviteral.

Hindarkan pemberian narkotik jika memungkinkan, tetapi obat sedatif seperti

barbitural atau penenang tidak karena merupakan kontra indikasi.

Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi

secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi tegak pada

semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi

kuadran kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.

2) Intubasi

Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau

toksitas yang menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat

menggangu. Pada penderita ini dilakukan aspirasi kubah lambung jika

diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi dengan pipa tetap terpasang.

3) Antibiotik

Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan

toksitas yang berat dan demam yang tinggi .


b. Terapi bedah

Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah

terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik

lainnya. Biasanya hanya diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang

direncanakan secara dini baik mempunyai praksi mortalitas 1 % secara

primer angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini tampaknya disebabkan

oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang tertunda.

c. Terapi pasca operasi

Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya

perdarahan didalam, syok hipertermia, atau gangguan pernapasan angket sonde

lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat

dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila

dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila

tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum,

puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum

mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan

harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.

Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur

selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar

kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

7. Komplikasi

Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10%

sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara

umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu

37,7 oC atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen

yang kontinyu (Smeltzer dan Barre, 2002).


8. Pencegahan

a. Diet tinggi serat akan sangat membantu melancarkan aliran pergerakan makanan

dalam saluran cerna sehingga tidak tertumpuk lama dan mengeras.

b. Minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar juga

akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.

9. Prognosis

Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan

morbiditas penyakit apendisitis sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan

meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang

dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis kronis

sebenarnya tidak ada (Mansjoer, 2000).

B. KONSEP ANESTESI UMUM


1. Definisi Anestesi Umum
Mangku (2010) menjelaskan bahwa anestesi umum adalah suatu keadaan tidak
sadar yang berifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri diseluruh tubuh
akibat pemberian obat anestesi. Efek neurofisiologis yang dihasilkan oleh anestesi
umum ditandai oleh lima efek utama: tidak sadarkan diri, amnesia, analgesia,
penghambatan refleks otonom, dan relaksasi otot rangka. Tak satu pun dari agen
anestesi yang saat ini tersedia ketika digunakan sendiri bisa mencapai semua lima
efek yang diinginkan dengan baik. Selain itu, anestesi yang ideal harus
menginduksi cepat, kehilangan kesadaran secara halus, cepat kembali setelah
penghentian, dan memiliki batas keselamatan yang lebar (Katzung, 2015).
Praktek anestesi modern bergantung pada penggunaan kombinasi obat
intravena dan inhalasi (balanced anesthesia) untuk mengambil keuntungan dari
setiap agen dan meminimalkan efek samping merPerawat. Pemilihan teknik
anestesi ditentukan oleh jenis diagnostik, terapi, atau intervensi bedah yang akan
dilakukan. Untuk operasi kecil atau untuk prosedur diagnostik invasif, obat oral
atau parenteral dapat digunakan dalam kombinasi dengan anestesi lokal, yang
disebut teknik monitored anesthesia (Katzung, 2015).
2. Macam-macam Anestesi Umum
Katzung (2015) membagi anestesi umum sesuai dengan penggunaan sediaan obat,
yaitu:
a. Anestesi inhalasi
Sebuah perbedaan yang jelas harus dibuat antara anestesi volatil dan gas,
walaupun keduanya dikelola oleh inhalasi. Anestetik volatil (halotan, enfluran,
isofluran, desfluran, sevofluran) memiliki Perawatan uap yang rendah dan titik
didih demikian tinggi sehingga Perawatan cairan pada suhu kamar (20°C),
sedangkan anestesi gas (nitrous oxide, xenon ) memiliki Perawatan uap yang
tinggi dan titik didih rendah sehingga perawatan berada dalam bentuk gas pada
suhu kamar. Karakteristik khusus dari anestesi volatil membuat diperlukannya
alat penguap (vaporizer). Anestesi inhalasi, yaitu agen volatil serta gas diambil
melalui pertukaran gas di alveoli paru-paru.
b. Anestesi Intravena
Anestesi nonopioid intravena memainkan peran penting dalam praktek
anestesi modern. Hal ini digunakan untuk memfasilitasi induksi cepat dan telah
menggantikan inhalasi sebagai metode yang disukai kecuali untuk anestesi
pediatrik. Dengan diperkenalkannya propofol, anestesi intravena juga menjadi
pilihan yang baik untuk pemeliharaan anestesi. Anestesi intravena yang
digunakan untuk induksi anestesi umum bersifat lipofilik (otak, sumsum tulang
belakang), yang mampu menyumbang onset yang cepat. Agen anestesi intravena
antara lain: dexmedetomidine, etomidat, ketamin, benzodiazepam (diazepam,
lorazepam, midazolam), propofol, dan barbitural (thiopental, methohexital).
c. Anestesi seimbang
Mirip dengan agen inhalasi, anestesi intravena yang tersedia saat ini bukan
obat anestesi yang ideal untuk menimbulkan lima efek yang diinginkan.
Sehingga, digunakan anestesi seimbang dengan beberapa obat (anestesi inhalasi,
sedatif-hipnotik, opioid, dan agen neuromuscular blocking) untuk meminimalkan
efek yang tidak diinginkan.
3. Kerja Anestesi Umum
Katzung (2015), dalam bukunya memaparkan bahwa anestesi bekerja pada tiga
komponen utama, yaitu:
a. Imobilitas
Imobilitas adalah titik akhir anestesi yang paling mudah untuk diukur
(mencegah gerakan saat dilakukan insisi). Edmond Eger dan rPerawatnnya
memperkenalkan konsep konsentrasi alveolar minimal/minimum alveolar
concentration (MAC) untuk mengukur potensi obat anestesi inhalasi.
MerPerawat mendefinisikan 1,0 MAC sebagai tPerawatnan parsial anestesi
inhalasi dalam alveoli paru-paru di mana 50% dari populasi pasien nonrelaxed
tetap bergerak pada saat insisi kulit. Imobilitas anestesi dimediasi oleh
penghambatan saraf dalam sumsum tulang belakang, tetapi mungkin juga
termasuk penghambat transmisi nosiseptor ke otak.
b. Amnesia
Ablasi memori muncul dari beberapa lokasi di SSP, termasuk hipotalamus,
amigdala, korteks prefrontal, dan daerah dari korteks sensorik dan motorik.
Peneliti memori membedakan dua jenis memori: (1) memori eksplisit, yaitu
memori sadar atau kesadaran anestesi saat operasi dan (2) memori implisit,
akuisisi sadar informasi di bawah tingkat anestesi namun kurang sadar untuk
mengingat peristiwa saaat operasi. Penelitian merPerawat telah menemukan
bahwa pembentukan kedua jenis memori mampu dicegah dengan nilai MAC
rendah (0,2-0,4 MAC). Pencegahan memori eksplisit (awareness) telah memacu
pengembangan monitor seperti bispectral indeks (BIS), electroencephalogram
(EEG), dan entropi monitor pendengaran membangkitkan potensi untuk
membantu mengenali plana anestesi.
c. Kesadaran
Kemampuan obat anestesi untuk menghapuskan kesadaran memerlukan
tindakan di lokasi yang bertanggung jawab untuk pembentukan kesadaran
manusia. Ahli saraf terkemuka mempelajari kesadaran dan mengidentifikasi tiga
daerah di otak yang terlibat dalam menghasilkan kesadaran pribadi yaitu: korteks
serebral, thalamus, dan ascending reticular activating system (ARAS). Daerah ini
tampaknya berinteraksi sebagai sistem kortikal melalui jalur teridentifikasi,
menghasilkan keadaan di mana manusia terjaga, sadar, dan memahami.
Pernyataan saat ini tentang pemahaman mendukung kerangka kerja berikut:
rangsangan sensorik dilakukan melalui formasi reticular batang otak ke dalam
loop signaling supratentorial, menghubungkan thalamus dengan berbagai daerah
korteks, adalah dasar dari kesadaran. Jalur saraf yang terlibat dalam
pengembangan dari kesadaran terganggu oleh anestesi.

4. Pengaruh Anestesi Umum Pada Tubuh


Pengaruh Anesthesia umum pada tubuh menurut Goodman & Gilman (2011) yaitu:
a. Efek hemodinamik
Efek fisiologis yang menonjol dari induksi anestesi adalah penurunan
Perawatan darah arteri sistemik. Penyebabnya antara lain vasodilatasi, depresi
miokard, atau keduanya; menumpulnya kontrol baroreseptor; dan penurunan
saraf simpatik pusat.
b. Efek pernapasan
Pemeliharaan jalan napas sangat penting setelah induksi anestesi, karena
hampir semua anestesi umum mengurangi atau menghilangkan baik dorongan
ventilasi dan refleks yang menjaga jalan nafas. Oleh karena itu, ventilasi harus
dibantu atau dikontrol untuk setidaknya beberapa periode selama operasi.
Refleks muntah (gag reflex) hilang, dan stimulus untuk batuk tumpul.
Kekencangan otot esofagus bagian bawah juga berkurang, sehingga regurgitasi
baik pasif dan aktif dapat terjadi. Relaksasi otot sangat penting selama induksi
anestesi umum dimana mampu memfasilitasi pengelolaan jalan napas, termasuk
intubasi.
c. Hipotermia
Pasien umumnya timbul hipotermi (suhu tubuh <36°C) selama operasi.
Alasan hipotermi antara lain termasuk suhu lingkungan rendah, membuka
bagian tubuh, cairan infus dingin, gangguan kontrol termoregulasi, dan laju
metabolisme berkurang. Modalitas untuk mempertahankan adalah
normothermia termasuk menggunakan cairan infus hangat, penukar panas di
sirkuit anestesi, selimut dengan udara hangat, dan teknologi baru yang
melibatkan pakaian berisi air dengan mikroprosesor kontrol umpan balik ke titik
suhu inti tubuh.
d. Mual dan muntah
Mual dan muntah pasca operasi disebabkan oleh tindakan anestesi pada
chemoreseptor trigger zone dan di batang otak pada pusat muntah, yang
dimodulasi oleh serotonin (5-HT), histamin, asetilkolin (Ach) dan dopamin
(DA). Reseptor antagonis 5-HT yaitu ondansetron sangat efektif dalam
perawatan mual dan muntah.
Fenomena pasca operasi yang lain
- Hipertensi dan takikardi umum terjadi sebagai kompensasi sistem saraf
simpatik yang mendapatkan kembali polanya dan meningkat oleh karena rasa
sakit. Menggigil (shivering) pasca anestesi terjadi seringkali karena
hipotermi. Dosis kecil meperidine (12,5 mg) menurunkan shivering trigger
temperature dan efektif menghentikan aktivitasnya. Insiden fenomena ini
dapat berkurang ketika opioid dan α2 agonis (dexmedetomidine) dipekerjakan
sebagai bagian dari regimen intraoperatif. Obstruksi jalan napas dapat terjadi
selama periode pasca operasi karena efek residu anestesi terus mempengaruhi
kesadaran dan refleks (terutama pada pasien yang biasanya mendengkur atau
yang memiliki sleep apnea). Upaya inspirasi yang kuat terhadap glotis dapat
menyebabkan tPerawatnan negatif edema paru. Fungsi paru-paru berkurang
pasca bedah mengikuti semua jenis anestesi dan operasi, hipoksemia dapat
terjadi. Hipertensi hebat dapat terjadi dan sering membutuhkan pengobatan
agresif.
e. Nyeri
Kontrol nyeri dapat menjadi rumit pada periode pasca operasi segera.
PenPerawatnan pernapasan yang terkait dengan opioid dapat menjadi
masalah di antara pasien pasca operasi yang masih memiliki pengaruh residu
anestesi. Pasien dapat bergantian antara keadaan sakit luar biasa sampai
mengantuk (somnolen) dengan obstruksi jalan napas, semua dalam hitungan
saat. Agen nonsteroid anti inflamasi ketorolak (30-60 mg intravena) sering
efektif, dan perkembangan dari injeksi cyclooxygenase-2 inhibitor
menjanjikan untuk analgesia tanpa depresi pernapasan. Patient controlled
administration (PCA) yaitu pasien mengendalikan nyerinya sendiri dengan
memakai sedikit analgesik intravena dan epidural. Para agen yang digunakan
adalah opioid (sering morfin) melalui rute intravena, atau rute epidural.
5. Persiapan Alat Pada Anestesi Umum
Persiapan Alat
a. Persiapkan mesin anestesi dalam kondisi on
b. Persiapkan bed site monitor
c. Cek kebocoran pada mesin
d. Cek sirkuit, cek flow(N20, O2, dan Air)
e. Siapkan STATIC
S : Scope (laringoskop dan stetoskop)
T : Tube (ET sesuai ukuran)
A : Airway (OPA/NPA/face mask, LMA)
T : Tape (Plester)
I : Introducer (Stilet dan magyl forcep)
C : Connector
S : Suction (selang suction, kanul)
Isi Agent (isoflurane dan sevoflurane)
Ganti sodalime

f. Persiapan obat
1) Premedikasi : Fentanyl, midazolam
2) Induksi : Propofol, Ketamin, Tiopental
3) Muscle Relaxant : Atracurium, Recuronium, Pancuronium
4) Obat–obat Emergency : Aminofilin, Adrenalin, Dexamethason,

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI

A. Pre Anestesi
1. Pengkajian Pre Anestesi dilakukan sejak pasien dinyatakan akan dilakukan
tindakan pembedahan baik elektif maupun emergensi. Pengkajian pre anestesi
meliputi :
a. Identitas pasien
b. Riwayat kesehatan pasien dan riwayat alergi
c. Pemeriksaan fisik pasien meliputi : Tanda-tanda vital pasien,
pemeriksaan sistem pernapasan (breathing), sistem kardiovaskuler
(bleeding),sistem persyarafan (brain), sistem perkemihan dan eliminasi
(bowel), sistem tulang, otot dan integument (bone).
d. Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, rontgen, CT- scan, USG,
dll.
e. Kelengkapan berkas informed consent.

2. Analisa Data
Data hasil pengkajian dikumpulkan dan dianalisa sehingga dapat menilai
klasifikasi ASA pasien. Data yang telah di analisa digunakan untuk
menentukan diagnosa keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan
evaluasi pre anestesi.
3. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi Pre Anestesi

a. Dx : Cemas b/d kurang pengetahuan masalah pembiusan Tujuan


: Cemas berkurang/hilang.

Kriteria hasil :

- Pasien menyatakan tahu tentang proses kerja obat


anestesi/pembiusan.
- Pasien menyatakan siap dilakukan pembiusan.

- Pasien mengkomunikasikan perasaan negatif secara tepat.


- Pasien taampak tenang dan kooperatif.

- Tanda-tanda vital normal.


Rencana tindakan :
- Kaji tingkat kecemasan.

- Orientasikan dengan tim anestesi/kamar operasi.

- Jelaskan jenis prosedur tindakan anestesi yang akan


dilakukan.
- Beri dorongan pasien untuk mengungkapkan perasaan.

- Dampingi pasien untuk mengurangi rasa cemas.

- Ajarkan tehnik relaksasi napas dalam.

- Kolaborasi untuk memberikan obat penenang.


Evaluasi :
- Pasien mengatakan paham akan tindakan pembiusan atau
anestesi.
- Pasien mengatakan siap dilakukan prosedur anestesi dan
operasi.
- Pasien lebih tenang.

- Ekspresi wajah cerah.

- Pasien kooperatif ditandai tanda-tanda vital dalam batas


normal.
B. Intra Anestesi
1. Pengkajian Intra Anestesi dilakukan sejak pasien. Pengkajian Intra anestesi
meliputi :
a. Persiapan pasien, alat anestesi dan obat-obat anestesi.
b. Pelaksanaan anestesi
c. Monitoring respon dan hemodinamik pasien yang kontinu setiap 5 menit
sampai 10 menit.

2. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa
keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi.
3. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi intra anestesi
a. Dx : Pola napas tidak efektif b/d disfungsi neuromuscular dampak sekunder
dari obat pelumpuh otot pernapasan dan obat general anestesi.
Tujan : Pola napas pasien menadi efektif/normal. Kriteria hasil
- Frekuensi napas normal.

- Irama napas sesuai yang diharapkan.

- Ekspansi dada simetris.

- Jalan napas pasien lancar tidak didapatkan adanya


sumbatan.
- Tidak menggunakan obat tambahan.
- Tidak terjadi sianosis, saturai O2 96-100%. Rencana tindakan:
- Bersihkan secret pada jalan napas.
- Jaga patensi jalan napas.

- Pasang dan beri suplai oksigen yang adekuat.

- Monitor perfusi jaringan perifer.

- Monitor ritme, irama dan usaha respirasi.

- Monitor pola napas dan tanda-tanda hipoventiasi.

Evaluasi :

- Pola napas efektif dan tidak ada tanda-tanda sianosis.

- Napas spontan, irama dan ritme teratur.

b. Dx : Resiko aspirasi b/d penurunan tingkat kesadaran Tujuan


: Tidak akan terjadi aspirasi
Kriteria hasil :
- Pasien mampu menelan.
- Bunyi paru bersih.
- Tonus otot yang adekuat.
Rencana tindakan:
- Atur posisi pasien.
- Pantau tanda-tanda aspirasi.
- Pantau tingkat kesadaran : reflek batuk, reflek muntah,
kemampuan menelan.
- Pantau bersihan jalan napas dan status paru.
- Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
- Tidak ada muntah.
- Mampu menelan.
- Napas normal tidak ada suara paru tambahan.

c. Dx : Resiko kecelakaan cedera b/d efek anestesi umum. Tujuan


: Pasien aman selama dan setelah pembedahan. Kriteria hasil
:

- Selama operasi pasien tidak bangun/tenang.

- Pasien sadar setelah anestesi selesai.


- Kemampuan untuk melakukan gerakan yang bertujuan.

- Kemampuan untuk bergerak atau berkomunikasi.

- Pasien aman tidak jatuh

Rencana tindakan

- Atur posisi pasien, tingkatkan keamanan bila perlu


gunakan tali pengikat.

- Jaga posisi pasien imobile.

- Atur tmeja operasi atau tubuh pasien untuk


meningkatkan fungsi fisiologis dan psikologis.

- Cegah resiko injuri jatuh.

- Pasang pengaman tempat tidur ketika


melakukan transportasi pasien.

- Pantau penggunaan obat anestesi dan efek yang timbul.


Evaluasi :
- Pasien aman selama dan setelah pembiusan.

- Pasien nyaman selama pembiusan, tanda-tanda vital


stabil.

- Pasien aman tidak jatuh.

- Skor aldert pasien ≥ 9 untuk bisa dipindahkan ke ruang


rawat
C. Post Anestesi
Pengkajian Post Anestesi dilakukan sejak pasien selesai dilakukan tindakan
pembedahan dan pasien akan dipindahkan ke ruang pemulihan. Pengkajian Post
anestesi meliputi :
a. Keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital.
b. Status respirasi dan bersihan jalan napas.
c. Penilaian pasien dengan skala Aldert (untuk anestesi general) dan skala
Bromage (untuk anestesi regional)
d. Instruksi post operasi.
BAB II
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
Hari/tanggal : Sabtu, 9 Maret 2019
Jam : 11.00 WIB
Tempat : IBS RSUD Kota Yogyakarta
Metode : Wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, studi dokumen
Sumber data : Klien, tim kesehatan, status kesehatan klien
Oleh : Anugrah, Eliza, Yulianus
Rencana tindakan : Laparascopy

1. Identitas Pasien
Nama : Ny. F
Umur : 48 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Agama : islam
Suku bangsa : jawa
Alamat : yogyakarta
No RM : 75-14-xx
Diagosa pre operasi : Appendicitis Akut
Tindakan operasi : Laparascopy
Tanggal operasi : 9 Maret 2019
Dokter bedah : dr. Yunada HR, Sp.B.KBD
Dokter anestesi : dr. Rahmat Basuki, Sp. An
2. Anamnesa
a. Keluhan utama :
Pasien mengatakan nyeri bertambah apabila digunakan untuk bergerak , rasanya
seperti ditusuk-tusuk, di bagian perut kanan bawah,skala nyeri 5 dari 10, hilang
timbul.
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengatakan sejak februari merasakan nyeri yang hilang timbul di bagian
perut kanan bawah, dan sekarang pasien mengatakan sedang batuk.
c. Riwayat penyakit dahulu :
Pasien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit yang parah sebelumnya
d. Riwayat penyakit keluarga :
Pasien mengatakan keluarga tidak memiliki riwayat penyakit seperti Hipertensi,
Jantung, Diabetes Melitus maupun penyakit menular lainnya

3. Pemerikasaan Fisik
a. Kesadaran umum dan tanda vital
Kesadaran : CM BB : 62 kg
GCS : 15 TB : 149 cm
TD : 120/78 mmHg RR: 15 kpm
N : 70 kpm
b. Status Generalis
 Kepala : normocephal, tidak ada lesi maupun jejas
 Mata : simetris, konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik
 Hidung : simetris, cuping hidung (-), secret (-), deviasi (-)
 Mulut : mukosa kering, tidak ada gigi palsu
 Telinga : simetris tidak ada cacat maupun lesi
 Leher : tidak ada pembesaran tiroid, vena jugularis tidak membesar
 Thoraks :
 Paru
Inspeksi : pengembangan dada simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan , fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : sonor
Auskultasi : terdengar suara ronchy
 Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : tidak ada pergeseran ictus cordis
Perkusi : tidak ada pelebaran batas jantung, suara redup
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, mur-mur (-)
 Abdomen
Inspeksi : tidak terdapat lesi warna kulit sawo matang
Auskultasi : terdengar bising usus 3x/menit
Palpasi : terdapat nyeri tekan di bagian perut kanan bawah
Perkusi : Tymphani
 Ekstremitas
 Atas : normal tidak ada kecacatan, terpasang infus RL di tangan kiri sejak
08 Maret 2019
 Bawah : normal tidak ada kecacatan
 Genetalia : Terpasang DC ukuran 18 pada tanggal 09 Maret 2019

4. Psikologis
Pasien mengatakan agak takut dan kawatir terhadap operasi yang akan
dijalani. Pasien bertanya-tanya mengenai tindakan laparaskopi, dan pembiusan yang
akan dijalani. Raut muka sedikit gelisah. Pasien tampak meringis kesakitan saat nyeri
timbul.

5. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium: tanggal 08 Maret 2019
 Darah rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 13.4 12.3-17.5 g/dl
Hematokrit 39.3 40.0 – 52.0%
Leukosit 6.3 4.4 – 11.3 ribu/ul
Trombosit 338 150-400 ribu/ul
Eritrosit 5.55 4,5-5,9 juta/ul
MCH 30 28- 33 pg
MCHC 34.5 33 – 36 g/dL
MCV 100 74-106 fL
Eosinofil 2.5 2.0 – 4.0 %
Basofil 0.75 0–1%
Netrofil 55 50- 70 %
Limfosit 35 25- 60 %
Monosit 2.6 2–4%
Masa Perdarahan (BT) 3’00 <6 menit
Masa Pembekuan (CT) 6’00 <12 menit
GDS 125 70-140 mg/dl
Albumin 3.75 3.50 – 5.00 g/l

6. Diagnosis Anestesi
Perempuan usia 48 tahun, diagnosa medis Appendicitis Akut direncanakan
dilakukan Laparaskopi status fisik ASA 2 direncanakan general anestesi dengan teknik
intubasi Endotracheal Tube (ETT). Pasien sedang batuk.

B. Persiapan penatalaksanaan anestesi


1. Persiapan Alat
a. Persiapan alat general anestesi dengan teknik intubasi Endotracheal Tube (ETT),
alat yang dipersiapkan : Laringoscope, stetoscope, ETT ukuran 7.0 dan 7.5, OPA,
Plester, Introducer, Connector, Suction, Spuit, Jelly, obat-obat premedikasi dan
induksi.
b. Persiapan bedside monitor yaitu tekanan darah, pulse oxymetri
c. Siapkan lembar laporan durante anestesi dan balance cairan
2. Persiapan obat
a. Obat untuk Premedikasi
Fentanyl 100 mcg
b. Obat Induksi
Propofol 100 mg
c. Obat Pelumpuh Otot
Rocuronium 20 mg
d. Obat Analgetik
Ketorolac 30 mg
e. Obat Anti Emetik
Ondancentron 4 mg
f. Anti histmamin
Dexametason 20 mg
g. Cairan infuse
Kristaloid : RL 1000 ml

3. Persiapan pasien
a. Pasien tiba di IBS pukul 11.00 WIB
b. Serah terima pasien dengan petugas ruangan, periksa status pasien termasuk
informed consent, dan obat-obatan yang telah diberikan diruang perawatan.
c. Memindahkan pasien ke brankar IBS
d. Memperkenalkan diri kepada pasien, mengecek ulang identitas pasien, nama,
alamat dan menanyakan ulang puasa makan dan minum, riwayat penyakit dan
alergi, serta berat badan saat ini.
e. Memasang monitor tanda vital (monitor tekanan darah, saturasi oksigen)
TD : 135/78 mmHg; N : 92x/mnt; SpO2: 99 %; RR : 20x/mnt
f. Memeriksa kelancaran infus dan alat kesehatan yang terpasang pada pasien.
g. Menanyakan keluhan pasien saat di ruang penerimaan IBS, dari pasien mengatakan
takut dan cemas menjalani operasi.
h. Melakukan pemeriksaan pulmo pasien
Inspeksi : dada simetris, pasien dalam bernapas menggunakan pernapasan
abdomen.
Palpasi : taktil fremitus sama kanan dan kiri
Perkusi : suara sonor
Auskultasi : Ronchy
i. Melaporkan kepada dokter anestesi hasil pemeriksaan di ruang penerimaan dari
kolaborasi dengan dokter anestesi pasien dipindahkan ke meja operasi.

4. Penatalaksanaan anestesi
Penatalaksanaan anestesi di mulai dari memasang alat pelindung diri (APD), alat
monitor, manset (tensimeter), finger Sensor (SpO2), memberitahu pasien akan di bius,
menganjurkan pasien untuk berdoa, memulai persiapan dengan memberikan obat
premedikasi, memberikan obat induksi, mengintubasi ETT, memonitor pernafasan
pasien selama intra anestesi menggunakan ventilator, pengakhiran anestesi dan
oksigenasi sampai dengan perawatan di recovery room.
Pasien dipindahkan di meja operasi dilakukan pemasangan monitor tekanan
darah, saturasi oksigen , hasil pengukuran monitor :
TD : 130/70 mmHg; N: 82 x/mnt; SpO2: 99%; RR : 20x/mnt, pernapasan spontan
a. Pemberian obat premedikasi
Pasien dilakukan pemberian obat premedikasi pukul 11.40 WIB yaitu Fentanyl
100 mcg. Setelah pemberian obat premedikasi dilakukan observasi tanda-
tanda vital.
TD : 120/75 mmHg; N : 84 x/mnt; SpO2: 99%; RR : 16x/mnt, pernapasan
spontan
b. Melakukan induksi
Induksi dengan obat propofol 100 mg yang pukul 11.42 WIB.
TD : 110/70 mmHg; N : 85 x/mnt; SpO2: 95 %; RR : 20x/mnt, dilakukan
pengecekan rangsang bulu mata kemudian diberikan oksigenasi Face Mask 6
lt/mnt, diberikan pelumpuh otot Rocuronium 20 mg pukul 11.45 dan intubasi
ETT dilakukan
c. Pasien mulai dilakukan insisi pukul 11.55 WIB yang sebelumnya dilakukan
time out.
d. Pasien selesai operasi dilakukan sign out.
e. Pukul 13.10 WIB pasien dipindahkan ke RR.

C. Maintanance
 O2 3 lt/mnt
 N2O 3 lt/mnt
 Sevoflurance 2 vol%
 Balance cairan:
 Maintance (M) = 2 x 62kg = 124 cc
 Pengganti Puasa (PP) = 2cc x 8 jam x 62 kg = 992 cc
 Stress operasi (SO) = 2 x 62 = 124 cc (operasi ringan)
 Kebutuhan Cairan : Jam 1 : M + 1/2PP + SO = 744 cc
Jam 2 : M + 1/4PP + SO = 496 cc
 Balance Cairan Intra Operatif
 Intake : 1100 cc
 Output : Urin 100, IWL 620, perdarahan 150
 Intake-Output = 1100 – 870 cc = +230 cc

D. Monitoring Selama Operasi


JAM TD N SpO2 O2 N2O Sevo RR Tindakan
- - Memberikan obat
11.40 130/70 86 99% - 16
premedikasi
- 2 vol% Melakukan induksi,
11.42 125/68 88 95% 6 lt/mnt 14 melakukan pre
oksigenasi 100%
- 2 vol% Memberikan
pelumpuh otot, lalu
11.45 110/65 90 89% 6 lt/mnt 14 intubasi ETT dan
dihubungan dengan
ventilator
3 lt/mnt 2 vol% Memberikan obat,
Ondansetron 4mg,
11.50 111/70 85 95% 3 lt/mnt 12 ketorolac 30 mg,
dexametason 20mg
(Mulai Insisi)
11.55 107/65 70 97% 3 lt/mnt 3 lt/mnt 2 vol% 12
3 lt/mnt 2 vol% Mengganti cairan
12.00 105/66 68 99% 3 lt/mnt 12
infus Asering
12.05 108/69 69 98% 3 lt/mnt 3 lt/mnt 2 vol% 10
12.10 116/68 65 98% 3 lt/mnt 3 lt/mnt 2 vol% 11
12.15 110/70 66 98% 3 lt/mnt 3 lt/mnt 2 vol% 11
12.20 108/66 69 99% 3 lt/mnt 3 lt/mnt 2 vol% 10
12.25 117/65 70 99% 3 lt/mnt 3 lt/mnt 2 vol% 10
12.30 115/69 87 97% 3 lt/mnt 3 lt/mnt 2 vol% 10
12.35 110/70 85 97% 3 lt/mnt 3 lt/mnt 2 vol% 12
12.40 106/66 80 99% 3 lt/mnt 3 lt/mnt 2 vol% 12
3 lt/mnt 2 vol%
12.45 109/70 75 99% 3 lt/mnt 12
JAM TD N SpO2 O2 N2O Sevo RR Tindakan
3 lt/mnt 1.5 Melakukan
12.50 110/69 82 98% 3 lt/mnt 12
vol% ekstubasi
- - Melakukan
12.55 115/70 80 97 % 6 lt/mnt 16
dinitrogenisasi
- - Sudah nafas
13.00 110/72 84 98 % - 16
spontan

E. Pengakhiran Anestesi
1. Operasi selesai pukul 12.50 WIB
2. Pasien menggunakan oksigen 3 lt/mnt,
3. Monitor tanda vital sebelum pasien di pindah ke RR TD: 110/72 mmHg; N:84 x/mnt;
SpO2 : 100 %; RR: 15 x/mnt.
4. Pasien dipindahkan ke RR 13.20 wib

F. Pemantauan di Recovery Room


1. Pasein stabil, SaO2 99%, TD 125/85, N: 102
2. Pasien masih tertidur, bangun saat di panggil dan mengikuti aba-aba
3. Aldrete Score 10
G. Analisa Data
NO. DATA ETIOLOGI MASALAH
PRE ANESTESI
1. DS: Kurang Ansietas
- pasien mengatakan agak takut pengetahuan
dan khawatir terhadap operasi masalah pembiusan
- pasien bertanya-tanya mengenai / operasi
tindakan laparaskopi, dan
pembiusan yang akan dijalani

DO :
- pasien terlihat bertanya-tanya
- raut muka sedikit gelisah
- TD : 135/78 mmHg
- N : 92x/menit
- RR : 20x/mnt
2. DS: Agen cidera Nyeri akut
biologi
- pasien mengatakan nyeri
bertambah saat digunakan
untuk bergerak, rasanya seperti
ditusuk-tusuk, dibagian perut
kanan bawah, skala nyeri 4 dari
10, nyeri hilang timbul

DO :

- pasien tampak meringis


kesakitan saat nyeri timbul
- TD : 130/70 mmHg
- N : 92 x/menit

3. DS : - Prosedur Resiko
pembedahan ketidakseimbangan
DO :
volume cairan
- pasien dipuasakan 8 jam
- mukosa bibir kering
- konjungtiva pucat

4. DS : Hipersekresi Bersihan Jalan nafas


mukus tidak efektif
- Pasien mengatakan batuk
- Pasien mengkonsumsi obat
batuk

DO :

- Auskultasi suara paru ronchy


INTRA ANESTESI
1. DS : - Disfungsi Pola nafas tidak
neuromuskuler efektif
DO: dampak anestesi
- pasien terpasang ETT oral umum
ukuran 7 dengan nafas
dibantu mesin maupun
manual
- pasien diberikan muscle
relaxan, rocuronium 20 mg
- TD : 110/65 mmHg
- RR : 14 x/menit
- N : 67x/menit
- SP02 : 97 %

2. DS : - Perdarahan Resiko
DO: Ketidakseimbangan
- Pasien dilakukan tindakan volume cairan
laparascopy
- Cairan masuk 1100cc
- Cairan keluar 870 cc
- BC +230 cc
3. DS : - Efek prosedur Resiko Infeksi
DO : invasif
- AL 6.3 ribu
- Pasien dilakukan tindakan
laparascopy kuratif
POST ANESTESI
1. DS : - Mukus banyak, efek Bersihan jalan nafas
DO : general anestesi tidak efektif
- pasien batuk-batuk post
operasi
- suara nafas ronchi
- N : 90x/menit
- SP02 : 98 %
2. DS : - Pengaruh sekunder Pola Nafas tidak
DO : obat-obatan anestesi efektif
- Pasien nafas spontan
- Nafas pasien belum teratur
- TV ekspirasi 215 ml

3. DS : - Efek General Resiko jatuh


DO : Anestesi
- Kesadaran apatis
- Pasien bergerak tidak
menurut kehendak
- Aldrete score 9 (13.15 WIB)

4. DS : - Agen cidera fisik Nyeri Akut


DO :
- Pasien post tindakan
laparascopy
- TD : 125/85
- N : 102 x/menit
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN PRIORITAS MASALAH
1. Pre Anestesi
a. Ansietas b/d Kurang pengetahuan masalah pembiusan / operasi
b. Nyeri akut b/d agen cedera biologis
c. Resiko ketidakseimbangan volume cairan b/d prosedur pembedahan
d. Bersihan Jalan nafas tidak efektif b/d hipersekresi mukus
2. Intra Anestesi
a. Pola nafas tidak efektif b/d disfungsi neuromuskuler dampak anestesi umum
b. Resiko ketidakseimbangan volume cairan b/d perdarahan
c. Resiko infeksi b/d efek prosedur invasif
3. Post Anestesi
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d mukus banyak efek general anestesi
b. Pola Nafas tidak efektif b/d pengaruh sekunder obat-obatan anestesi
c. Resiko Jatuh b/d efek general anestesi
d. Nyeri akut b/d agen cidera fisik
I. PERENCANAAN,PELAKSANAAN DAN EVALUASI

Diagnosa Tujuan Rencana Implementasi Evaluasi


Keperawatan Tindakan
PRE-
ANESTESI
Sabtu, 09 Maret Sabtu, 09 Sabtu, 09 Maret Sabtu, 09 Maret 2019, Sabtu, 09 Maret 2019, pukul: 11.20 WIB
2019, Pukul: Maret 2019, 2019, pukul: pukul: 11.00 WIB
11.00 WIB pukul: 11.00 11.00 WIB
WIB
a. Ansietas b/d Setelah dilakukan a. Kaji tingkat a. Mengkaji tingkat S:
Kurang tindakan kecemasan kecemasan - Pasien mengatakan paham dengan prosedur
pengetahuan keperawatan b. Dorong pasien b. Mendorong pasien pembiusan yang akan dijalaninya
masalah selama 10 menit untuk untuk - Pasien mengatakan siap untuk dilakukan
pembiusan / teratasi dengan mengungkapkan mengungkapkan pembiusan
operasi kriteria hasil: perasaan cemas rasa cemas - Pasien mengatakan cemas bisa diatasi dengan
- Menyatakan c. Dampingi c. Memberi informasi nafas dalam
tahu tentang pasien dan ajak tentang prosedur O:
tindakan komunikasi anestesi sesuai - Pasien kooperatf
operasi dan terapeutik kewenangan - Pasien terlihat lebih rileks
pembiusan d. Berikan perawat anestesi - TD : 127/70 mmHg
yang akan informasi d. Menganjurkan - N : 87 x/menit
dijalani tentang pasien untuk nafas A : Ansietas teratasi
- Menyatakan prosedur dalam P : Pertahankan anjuran untuk nafas dalam saat
siap untuk anestesi sesuai e. Mengukur tanda- pasien mengalami cemas berulang
dibius kewenangan tanda vital pasien
- Pasien perawat anestesi
mengatakan e. Anjurkan pasien (An) (Ez) (Yul)
cemas sudah melakukan (An) (Ez) (Yul)
hilang atau teknik relaksai
berkurang nafas dalam
- Tanda-tanda f. Monitor Tanda-
vital pasien tanda vital
normal (TD: g. Kolaborasi
Sistole 130-100/ pemberian obat
Diastole 90-70, sedatif dengan
N 60-100 dokter anestesi
x/menit, RR bila perlu
20x/menit)
(An) (Ez) (Yul)
Sabtu, 09 Maret Sabtu, 09 Sabtu, 09 Maret Sabtu, 09 Maret 2019, Sabtu, 09 Maret 2019, pukul: 11.35 WIB
2019, Pukul: Maret 2019, 2019, Pukul: pukul: 11.20 WIB
11.00 WIB Pukul: 11.00 11.00 WIB
WIB
b. Nyeri akut b/d Setelah dilakukan a. Kaji tingkat a. Mengkaji tingkat S:
agen cedera tindakan nyeri, durasi, nyeri, durasi, lokasi - Pasien mengatakan nyeri bertambah saat
biologis keperawatan lokasi dan dan intensitas nyeri digunakan untuk bergerak, seperti tertusuk-
selama 15 menit, intensitas b. Mengajarkan teknik tusuk, di perut bagian kanan bawah, skala nyeri
nyeri pasien b. Ajarkan teknik relaksasi nafas 4, hilang timbul
dapat berkurang relaksasi nafas dalam - Pasien mengatakan saat nyeri timbul dan
dengan kriteria dalam c. Memberikan posisi menerapkan nafas dalam, nyeri sedikit
hasil: c. Berikan posisi yang nyaman berkurang dengan skala nyeri 3
a. Klien dapat nyaman pada d. Mengobsetvasi O:
mengontrol pasien tanda-tanda vital - Pasien kooperatif
nyeri d. Observasi - Pasien terlihat sesekali merintih sakit
(mengerahui tanda-tanda - Pasien terlihat mampu menerapkan nafas dalam
penyebab dan vital (An) (Ez) (Yul) saat nyeri timbul
cara e. Kolaborasi - TD : 120/75 mmHg
penanganan) pemberian - N : 87x/menit
b. Klien analgetik A : Nyeri teratasi sebagian
mengatakan P : Lanjutkan intervensi b,c,d
dapat
menerapkan
nafas dalam
c. Klien Nampak (An) (Ez) (Yul) (An) (Ez) (Yul)
lebih rileks
INTRA-
ANESTESI
Sabtu, 09 Maret Sabtu, 09 Sabtu, 09 Maret Sabtu, 09 Maret 2019, Sabtu, 09 Maret 2019, Pukul: 12.10 WIB
2019, Pukul: Maret 2019, 2019, Pukul: Pukul: 12.00 WIB
11.50 WIB Pukul: 11.50 11.50 WIB
WIB
a. Pola nafas tidak Setelah dilakukan a. Jaga jalan nafas a. Menjaga jalan nafas S:-
efektif b/d tindakan b. Pasang alat paten O:
disfungsi keperawatan bantu b. Memasang alat bantu - Pasien terpasang ETT ukuran 7
neuromuskuler selama intra oksigenasi oksigenasi - O2 2 lpm diberikan bersama sevoflurance 2%
dampak anestesi anestesi, pola c. Beri suplai c. Memberi suplai dan N2O 2 lpm
umum nafas tidak efektif oksigen oksigen - Usaha nafas belum ada, dibantu dengan mesin
pasien tidak d. Pantau tanda d. Membantu nafas anestesi
terjadi dengan tanda dengan mesin maupun - Irama belum teratur, kedalaman dangkal
kriteria hasil: vital,saturasi kontrol manual sesuai - Tidak sianosis
O2, tidal volume - RR : 14x/menit
a. Frekuensi e. Pantau irama, e. Memantau TTV - SPO2 : 97 %
nafas normal kedalaman dan f. Memantau irama,
6-20 x/mnt usaha nafas kedalaman, dan A : Pola nafas tidak efektid teratasi sebagian
b. Jalan nafas f. Bantu nafas usahan nafas P : Lanjutkan intervensi e dan f
paten dengan
c. Irama nafas memberikan
teratur bagging dengan
d. Ekspansi dada mesin maupun (An) (Ez) (Yul) (An) (Ez) (Yul)
simetris kontrol sesuai
e. Tidak ada tidal volume
nafas pendek
f. Tidak terjadi (An) (Ez) (Yul)
sianosis,
SPO2>95%
Sabtu, 09 Maret Sabtu, 09 Sabtu, 09 Maret Sabtu, 09 Maret 2019, Sabtu, 09 Maret 2019, Pukul: 12.20 WIB
2019, Pukul: Maret 2019, 2019, Pukul: Pukul: 12.10 WIB
11.50 WIB Pukul: 11.50 11.50 WIB
WIB
b. Resiko aspirasi Setelah dilakukan a. Atur posisi a. Memantau tanda- S:-
asuhan pasien
b/d hipersekresi tanda aspirasi O:
keperawatan b. Pantau tanda-
mucus selama 10 menit, tanda aspirasi b. Melakukan tindakan - Terdapat secret berbau khas, putih kental,
tidak akan terjadi c. Pantau tingkat
suction volume 5cc
aspirasi yang kesadaran :
dibuktikan reflek batuk, c. Mengobservasi - Terdapat reflek batuk saat dilakukan suction
dengan reflek muntah,
Kesadaran, reflek - Tidak ada tanda-tanda aspirasi
kemampuan kemampuan
kognitif dan menelan. batuk, maupun - Kesadaran : masih terpengaruh sedasi
status neurologis d. Pantau status
menelan A : Resiko Aspirasi tidak terjadi
yang tidak paru
berbahaya. e. Bersihkan jalan P : Hentikan intervensi
Kriteria hasil : napas
a. Mampu
menelan
b. Bunyi paru
(An) (Ez) (Yul) (An) (Ez) (Yul)
yang bersih (An) (Ez) (Yul)
c. Tonus otot
yang adekuat
POST-
ANESTESI
Sabtu, 09 Maret Sabtu, 09 Sabtu, 09 Maret Sabtu, 09 Maret 2019, Sabtu, 09 Maret 2019, Pukul: 13.30 WIB
2019, Pukul: Maret 2019, 2019, Pukul: Pukul: 13.25 WIB
13.20 WIB Pukul: 13.20 13.20 WIB
WIB
a. Bersihan jalan Setelah a. Observasi a. Mengobservasi S:-
nafas tidak dilakukan asuhan hemodinamik hemodinamik O:
efektif b/d keperawatan b. Atur posisi b. Mengatur posisi - Posisi kepala miring
mucus banyak selama pasien di kepala miring kepala miring - Pasien bernafas spontan
efek general RR diharapkan c. Mengkaji suara nafas - Suara nafas ronchy
c. Kaji adanya
anestesi bersihan jalan tambahan - Pasien batuk
suara nafas
nafas efektif d. Melakukan suction - RR : 16x/menit
tambahan
dengan kriteria : - SPO2: 98%
d. Lakukan
- Secret terhisap dengan suction, bau khas, kental,
a. Tidak ada
Suction
volume 5 cc, warna putih keabu-abuan
suara nafas
bila
A : Bersihan jalan nafas teratasi
tambahan
terdapat
P : Pertahankan intervensi b dan c
b. Nafas secret
pasien
sponta (An) (Ez) (Yul) (An) (Ez) (Yul) (An) (Ez) (Yul)
n

c. Suara nafas
vesikuler

d. RR 16-20
x/menit

Sabtu, 09 Maret Sabtu, 09 Sabtu, 09 Maret Sabtu, 09 Maret 2019, Sabtu, 09 Maret 2019, Pukul: 13.35 WIB
2019, Pukul: Maret 2019, 2019, Pukul: Pukul: 13.30 WIB
13.20 WIB Pukul: 13.20 13.20 WIB

WIB
b. Resiko Jatuh Setelah a. Posisikan a. Memposisikan pasien S:-
b/d efek general dilakukan pasien dengan senyaman mungkin O:
anestesi asuhan nyaman b.
pasien
Memasang
denganrestrain
nyamandi - Kesadaran pasien apatis

keperawatan b. Pasang sisi kanan dan kiri - Pasien bergerak tidak menurut kehendak
selama pasien restrain di pasien - Pasien belum dapat diajak berkomunikasi
dirawat di ruang sisi kanan c. Memantau - Restrain bed terpasang dikedua sisi
pemulihan, kiri pasien penggunaan obat A : Resiko jatuh teratasi
diharapkan untuk anestesi dan efek P : Pantau kesadaran dan efek yang ditimbulkan
resiko jatuh menjaga yang ditimbulkan dari penggunaan obat anestesi yang digunakan
tidak terjadi. keamanan
Kriteria hasil : pasien.
c. Pantau (An) (Ez) (Yul) (An) (Ez) (Yul)
penggunaan
a. Pasien
obat anestesi
merasa
dan efek yang
nyaman
timbul
b. Pasien aman
dan tidak
jatuh
(An) (Ez) (Yul)
c. Pasien segera
sadar setelah
anestesi
selesai
d. Pasien tidak
mengalami
disorientasi

Anda mungkin juga menyukai