Anda di halaman 1dari 8

PEMBAHASAN PROSEDUR

Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya.


Selain narkoba, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan ssingkatan
dari Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik
narkoba ataupun napza, mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya
memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya.
Menurut pakar kesehatan, narkoba sebenarnya adalah senyawa-
senyawa psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat
hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Namun kini
persepsi itu disalah artikan pemakaian di luar peruntukan dan dosis yang
semestinya (Julianan, 2017).
Pengertian menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.22/1997,
Narkoba adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, menghilangkan rasa, mengurangi
hingga menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Napza atau narkoba adalah bahan dan zat yang memiliki fungsi dan
kegunaan tersendiri, termasuk bagi dunia pengobatan dan medis namun
bahan dan zat ini telah disalahgunakan oleh individu atau golongan tertentu
untuk tujuan terentu (Radhian, 2013).

Berdasarkan jenis dan penggolongannya narkoba terbagi atas


narkotika, psikotropika dan zat adiktif.
Menurut Undang-Undang RI No. 2 tahun 1997 tentang narkotika:
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan
penurunan dan perubahan kesadaran, hilangnya rasa dan rasa nyeri, dan
menimbulkan ketergantungan. Bahan tersebut dibedakan dalam beberapa
golongan:
a. Golongan I

Dalam golongan ini narkotika hanya dapat digunakan untuk


pengembangan ilmu pengetahuan saja (IPTEK), tidak digunakan untuk
terapi. Di samping itu golongan ini mempunyai potensi sangat tinggi
akan terjadinya efek ketergantungan obat atau adiksi/ketagihan. Contoh
seperti : Heroin, ganja, cocain, ekstasi, dan opium.
b. Golongan II

Narkotika golongan II berkhasiat untuk pengobatan, tetapi


digunakan sebagai pilihan terakhir dalam pengobatan tersebut.
Narkotika golongan ini juga digunakan untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan, tetapi juga berpotensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan; contohnya: morfin, petidin, metadon, opium,
dihidromorfin, dan ekogin.
d. Golongan III

Narkotika golongan III adalah jenis narkotika yang berkhasiat


untuk pengobatan, dan banyak digunakan untuk terapi, juga untuk
pengembangan ilmu pengetahuan. Obat ini hanya berpotensi ringan
untuk mengakibatkan ketergantungan. Misalnya: kodein, etil-morfin,
asetil dihidrokodein (Darmono, 2011).

Psikotropika termasuk golongan obat keras tertentu, dalam


Undang-Undang RI No. 5 tahun 1997 mengenai definisi obat
psikotropika ialah zat atau obat alamiah atau sintesis yang bersifat
psikoaktif, dapat menyebabkan perubahan aktivitas mental dan perilaku
serta menimbulkan ketergantungan psikis dan fisik bila tanpa
pengawasan. Menurut Undang-Undang psikotropika dibagi menjadi 4
golongan yaitu:
a. Golongan I

Golongan ini hanya digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu


pengetahuan, dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai
potensi amat kuat untuk mengakibatkan ketergantungan. Misalnya:
MDMA/ekstasi, Lysergic Acid Diethylamid (LSD), Methylen dioxi
ethyl amphetamin (MDEA), Methylen dioxi amphetamin (MDA).
b. Golongan II

Golongan ini selain berkhasiat pengobatan juga dapat digunakan


untuk terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan,
serta mempunyai potensi kuat untuk menyebabkan ketergantungan.
Misalnya: amphetamin, metamphetamin yang terkenal dengan nama
sabu-sabu, Deksampetamin Fenetilin, PCP (pensiklidin).
c. Golongan III

Golongan ini dapat digunakan untuk terapai dan tujuan


pengembangan ilmu pengetahuan serta berpotensi sedang untuk
menimbulkan ketagihan/ketergantungan. Misalnya: Amobarbital,
butabarbital, flunitazepam, glutemide, pentobarbital, siklobarbital dan
katina.
d. Golongan IV

Golongan ini juga dapat digunakan dalam pengobatan dan juga


untuk keperluan ilmu pengetahuan, serta berpotensi ringan untuk
menyebabkan ketergantungan. Misalnya; Alpazolam, barbital,
klonazepam, diazepam, dan nitrazepam (Darmono, 2011).

Pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan awal pada obat


pada golongan yang besar atau metabolitnya dengan hasil presumptif
positif atau negatif. Secara umum pemeriksaan skrining merupakan
pemeriksaan yang cepat, sensitif, tidak mahal dengan tingkat presisi
dan akurasi yang masih dapat diterima, walaupun kurang spesifik dan
dapat menyebabkan hasil positif palsu karena terjadinya reaksi silang
dengan substansi lain dengan struktur kimia yang mirip. Salah satu alat
yang sering digunakan pada pemeriksaan skrining ialah strip test.
Biasanya strip test yang sering digunakan ada beberapa macam
parameter tergantung dari kebutuhan pemeriksaan. Pada pemeriksaan
skrining, metode yang sering digunakan adalah immunoassay dengan
prinsip pemeriksaan adalah reaksi antigen dan antibodi secara
kompetisi. Hasil nantinya akan di tunjukan oleh beberapa garis yang
tertera pada alat. Jika hanya berupa 1 garis merah pada area Control
(C) itu berarti hasilnya positif, namun jika terdapat 2 garis merah pada
area Control (C) itu berarti negative. Salah satu kelemahan pengguna
alat ini adalah pembacaan hasil tidak dapat di lihat dalam jangka waktu
yang lama, yakni hanya perlu waktu 5-10 menit setelah pemeriksaan.
Lebih dari 10 menit hasil akan berbentuk positif palsu (Indrati, 2015).
Umumnya pemeriksaan skrining dengan menggunakan strip test,
sampel yang digunakan ialah urine.

Urine adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal kemudian


dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Ekskresi urine
diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang
disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Urine
disaring didalam ginjal, dibawah melalui ureter menuju kandung
kemih, akhirnya dibuang keluar tubuh melalui uretra (Corwin,2000)

Secara umum urine bewarna kuning. Urine yang di diamkan agak


lama akan bewarna kuning keruh. Urine berbau khas yaitu berbau
amonia. PH urine berkisar antara 4,8-7,5 dan akan menjadi lebih asam
jika menkonsumsi banyak protein serta urine akan menjadi lebih basah
jika menkonsumsi banyak sayuran. Berat jenis urine yakni 1,002-1,035
g/ml (Uliyah, 2008). Urine normal terlihat jernih sedangkan volume
urine normal yang di kumpulkan selama 24 jam adalah 800-1.600
ml/24 jam.

Komposisi urine terdiri dari 95% air dan mengandung zat


terlarut. Didalam urine terkandung bermacam-macam zat antara lain:

c. Zat sisa pembongkaran protein seperti urea, asam urea, dan amoniak,

d. Zat warna empedu yang memberikan warna pada urine,


e. Garam, terutama NaCl

f. Zat-zat yang berlebihan dikonsumsi misalnya vitamin c, dan


obat- obatan serta juga kelebuhan zat yang di produksi sendiri oleh tubuh
misalnya hormon (Ethel, 2003).

Urine merupakan spesimen yang paling sering digunakan untuk


pemeriksaan narkoba rutin karena ketersediaannya dalam jumlah besar
dan memiliki kadar obat dalam jumlah besar sehingga lebih mudah
mendeteksi obat dibandingkan pada spesimen lain. Teknologi yang
digunakan pada pemeriksaan narkoba pada urin sudah berkembang baik.
Kelebihan lain spesimen urin adalah pengambilannya yang tidak invasif
dan dapat dilakukan oleh petugas yang bukan medis. Urine merupakan
matriks yang stabil dan dapat disimpan beku tanpa merusak integritasnya.
Obat-obatan dalam urine biasanya dapat dideteksi sesudah 1-3 hari.
Kelemahan pemeriksaan urine adalah mudahnya dilakukan pemalsuan
dengan cara substitusi dengan bahan lain maupun diencerkan sehingga
mengacaukan hasil pemeriksaan (Indrati, 2015).

Pada praktikum yang telah dilakukan pada tanggal 11 Februari


2020 tentang uji skrining NAPZA ,menggunakan sampel urin dengan
metode immunoassay dengan menggunakan Cart test yaitu untuk uji
Morfin , uji Amfetamin dan uji Mariyuana.

Uji morfin bekerja berdasarkan prinsip imunilogi pengikatan


kompetitip. Obat yang mungkin terkandung dalam urine akan
berkompetisi melawan konjugat obat untuk berikatan pada sisi pengikatan
antibodi. Selama pengujian, spesimen urine akan bermigrasi berdasarkan
prinsip kapiler. jika mofin yang terkandung dalam urine kurang dari 300
mg/ ml maka tidak akan menyebabkan kejenuhan pada sisi pengikatan
antibodi yang dilapiskan pada partikel dalam alat uji.

Partikel yang dilapisi antibodi kemudian akan di anggap oleh


konjugat morfin yang bergerak dan akan menunjukan warna garis uji.
pembentukan warna tidak akan terjadi di garis uji jika kadar morfin di
atas 300 mg/ml karena akan menyebabkan kejenuhan pada semua sisi
pengikatan antibodi anti - morfin. Spesimen urine yang positif tidak akan
menghasilkan warna di daerah garis uji karena adanya kompetisi obat.
sementara spesimen urine negatif akan menghasilkan warna merah pada
garis uji karena tidak ada kompetisi obat. sebagai pedoman, pada garis
kontrol (C) akan selalu muncul warna yang menandakan pembuktian
berjalan baik.

Uji Amfetamin bekerja berdasarkan prinsip imuno-


kromatografik assay berdasarkan pada prinsip peningkatan kompetitip
obat- obatan yang terdapat dalam spesimen urine berkompetisi melawan
konjugat obat untuk sisi pengikatan pada antibodi dalam pengujian ,
spesimen urine bemigrasi berdasarkan prinsip aksikapilariras. Jika
konsentrasi Amfetamin dalam sampel urine dengan di bawah 1000
mg/ml. maka tidak akan menyebabkan kejenuhan pada sisi pengikatan
antibodi yang dilapiskan pada partikel pada alat uji, antibodi yang
dilapiskan pada partikel yang selanjutnya akan di tangkap oleh konjugat
amfetamin yang diam dan mengahsilkan warna merah pada garis uji (T).
warna merah tidak akan terbentuk di garis uji jika kadar amfetamin di
atas 1000 mg/ml. karena pada konsentrasi tersebut Amfetamin akan
menjenuhkan semua sisi peningkatan antibodi antiamfetamin. Spesimen
urine yang positif mengangandung amfetamin tidak akan menghasilkan
warna merah pada garis uji karena adanya kompetisi obat, sementara
spesimen urine negatif akan menghasikan warna merah di garis uji karena
tidak terjadi komeptisi obat. sebagai prosedur kontrol , warna merah akan
selalu muncul pada garis kontrol yang menyatakan bahwa pengujian
berjalan dengan benar.

Uji Mariyuana merupakan alat uji cepat kromatografik yang


bekerja berdasarkan prinsip pengikatan kompetitif. metabolit narkoba
yang terkandung dalam urine akan berkompetisi melawan konjugat obat
untuk berikatan pada sisi pengikatan antibodi. selama pengujian,
spesimen urine akan bermigrasi berdasarkan prinsip kapilaritas. jika
dalam urine terkandung Mariyuana dengan kadar di bawah 50 mg/ml
maka tidak akan menyebabkan penjenuhan pada sisi pengikatan antibodi
yang terdapat pada alat uji. sehingga antobodi tersebut akan berikatan
dengan konjugat Mariyuana yang bergerak dan akan menghasilkan warna
di garis test. namun jika konsentrasi mariyuana pada atau diatas 50 mg/ml
maka tidak akan menimbulkan warna di garis test karena keadaan ini
menyebabkan penjenuhan di semua sisi pengikatan antibodi anti-
mariyuana. Urine positif tidak akan menimbulakan warna pada garis test
karena terjadinya kompetisi, sedangkan urine negatif akan menimbulkan
warna pada garis test karena tidak ada berkompetisi. sebagai indikasi
bahwa pengujian berlangsung dengan baik pada garis C akan selalu
muncul warna.

Mekanisme kerja atau Prosedur kerja yang dilakukan saat


praktikum yaitu siapkan cart test, dimana pada strip mengandung
konjugat drags IgG anti narkoba, dimana substrat urine yang mengandung
drags akan bereaksi dengan konjugat. Pertama tetskan urine pada zona
uji yaitu Uji Morfin , Uji mariyuana dan Uji Amfetamin sekitar 3-4 tetes.
Kemudian tunggu beberapa saat (± 4 – 6 menit), amati garis yang
terbentuk. Positif ditandai dengan garis satu pada kontrol, negatif ditandai
dengan garis dua pada kontrol dan test ( BNN, 2016).

Dapus

Indrati, R.dan Gardjito, M. 2014. Pendidikan Konsumsi Pangan: Aspek Pengolahan dan

Keamanan. Jakarta : Kencana Prenadamedia Group.

Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Alih Bahasa: Brahm U.

Pendit. Editor: Endah P. Jakarta: EGC.

BNN. 2017. ”Pemakai Narkoba Di Sultra Mayoritas Pelajar, Per Maret 66 Orang
Terjaring BNN” (Wawancara). Kendari Pos, 13 Juli 2017.

BNN. 2018. Data Penggunaan Narkoba Jenis Sabu-Sabu Pada Remaja. Kota Kendari.

Julianan Lisa dan W Nengah Sutrisna. 2017. Narkoba, Psikotropika dan


Gangguan Jiwa. Yogyakarta: Muha Medik.

Darmono. 2011. Toksikologi Narkoba dan Alkohol: Pengaruh Neurotoksisitasnya


Pada Saraf. Jakarta: UI-Press

Ethel. 2003. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta : EGC

Radhian. 2013. “Analisis Perilaku Sosial Pengguna Narkoba Pada Remaja Di Kota
Makassar”. Dosen Fakultas Dakwah Dan Komunikasi. UIN Alauddin
Makassar.

Anda mungkin juga menyukai