Anda di halaman 1dari 20

Hubungan Antara Komunikasi Efektif Orangtua Dan Anak

Dengan Tingkat Stres Pada Remaja Siswa


Smk Negeri 6 Yogyakarta

Rasmin Kamumu
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan
Jalan Kapas 9 Semaki Yogyakarta
rasminkamumu@ymail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara komunikasi


efektif orangtua dan anak dengan tingkat stres pada remaja. Subjek penelitian ini
adalah Siswa Kelas XI SMK Negeri 6 Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini
berusia 16-18 tahun dan tinggal bersama orangtua. Jumlah sampel dalam
penelitian ini adalah sebanyak 122 orang. Pengambilan sampel menggunakan
teknik cluster random sampling.Metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kuantitatif, data berupa skor diambil menggunakan
skala yaitu skala stres dan skala komunikasi efektif orangtua dan anak. Teknik
analisis data yang digunakan adalah analisis korelasi product moment dari pearson
dengan bantuan komputasi statistik program SPSS 16,0 for windows.Hasil analisis
data menunjukkan adanya hubungan negatif yang sangat signifikan antara
komunikasi efektif orangtua dan anak dengan tingkat stres pada remaja, dengan
koefisien korelasi r=-0,425 dengan taraf signifikan p=0,000 (p<0,01). Variabel
komunikasi efektif orangtua dan anak memberikan sumbangan yang efektif
sebesar 18,1 % dalam mempengaruhi stres pada remaja. Kategorisasi skor stres
pada remaja sebesar 74,59 % subjek berada pada kategorisasi sedang dan
kategorisasi skor komunikasi efektif orangtua dan anak sebesar 63,12 % subjek
berada pada kategori sedang.Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti
menyimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara
komunikasi efektif orangtua dan anak dengan tingkat stres pada remaja.Semakin
baik komunikasi efektif yang dilakukan orangtua pada anak maka semakin rendah
stres yang dialami remaja, sebaliknya semakin buruk komunikasi efektif orangtua
pada anak maka semakin tinggi stres yang dialami remaja.

Kata Kunci : komunikasi efektif, stres

Abstract

This study aims to know the relation between effective communication


parent and child with a stress on teen. A subject of study this is students public
SMK Negeri 6 Yogyakarta. The subjects in this study was 16-18 years and live
with parents. The number of samples in this research is about 122nd people. The

1
sample uses the technique clusters of random sampling. A method of data used in
this research is quantitative method, data in form of score taken use scale namely
scale stress and scale effective communication parent and child. Engineering
analysis of data used is analysis correlation product moment of pearson with the
help of computing statistics program spss 16,0 for windows.The result analysis of
data show a relationship negative very significant effective communication
between parent and child with a stress on remaja, with a correlation coefficient r =
-0,425 standard with significant p = 0,000 (p < 0,01). Variable effective
communication parent and child contributing effective of 18,1% in effecting stress
on teen. A categorization score stress on remaja of 74,59% subject is at a
categorization being and a categorization score effective communication parent
and child of 63,12% subject is at category being. Based on the research that has
been done, the researchers concluded that there was a very significant negative
relationship between parent and child is effective communication with the level of
stress in teenagers.The better the effective communication is done on the child's
parents then the lower the stress experienced by adolescents, instead getting worse
parents effective communication in children then the higher the stress experienced
by teenagers.

Key words: effective communication, stress

PENDAHULUAN

Masa remaja merupakan masa peralihan dan perubahan dari masa anak-
anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai
perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk
tubuh orang dewasa yang disertai dengan berkembangnya kapasitas reproduksi.
Selain itu terjadi perubahan secara kognitif dan mulai mampu berpikir abstrak
seperti orang dewasa. Pada periode ini remaja mulai melepaskan diri secara
emosional dari orangtua dalam rangka menjalankan peranan sosialnya yang baru
sebagai orang dewasa (Clarke-Stewart & Friedman dalam Agustiani, 2006).
Perubahan terjadi juga dalam lingkungan sosial remaja itu sendiri, bahwa sikap
orangtua atau anggota keluarga lain, sikap guru maupun sikap masyarakat pada
umumnya mengubah pandangan bahwa remaja tidak lagi diperlakukan sebagai
anak-anak, melainkan memandang remaja sebagai orang yang sudah mampu
mandiri dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Pada periode ini, remaja
menghadapi berbagai tantangan perkembangan dengan mampu menampilkan
tingkah laku yang dianggap pantas atau sesuai dengan orang-orang seusianya.
Remaja yang tumbuh dengan baik harus mampu dan berhasil melalui
tugas-tugas perkembangannya dengan baik, namun pada kenyataannya tidak
semua remaja berhasil melalui tahap perkembangannya, seperti ketidakmampuan
remaja dalam menghadapi masalah, terkadang tergesa-gesa dalam pengambilan
keputusan yang penting dan ketidakmampuan menempatkan diri dalam
lingkungan sosialnya sebagai anak yang beranjak dewasa. Hal ini membuat
remaja mudah mengalami ketidakpahaman akan apa yang sedang dialaminya,

2
sehingga membuat remaja mudah mengalami “stress dan strain” (kegoncangan
dan kebimbangan) (Hurlock,1999).
Stres adalah suatu proses penilaian suatu peristiwa sebagai sesuatu yang
mengancam, menentang, ataupun membahayakan dan individu merespon peristiwa
itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku (Feldmen dalam Fausiah
& Widury, 2005). Stres juga diartikan sebagai sebuah keadaan yang dialami
seseorang ketika ada ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan
kemampuan untuk mengatasinya (Looker & Gregson,2005).
Gejala-gejala stres ditunjukkan dengan melihat aksi-aksi fisiologis, antara
lain detak jantung berdebar-debar, nafas tidak teratur, mulut kering, mules, diare,
sembelit, kegelisahan, sulit tidur, sakit kepala, telapak tangan berkeringat, tangan
dan kaki dingin, sering buang air kecil, makan berlebihan, hilang selera makan,
merokok lebih banyak dan makin banyak minum alkohol. Selain itu gejala
psikologisnya antara lain cemas, gelisah, histeris, depresi, tidak sabar, mudah
tersinggung, mudah marah, agresif, dan sulit berkonsentrasi (Looker &
Gregson,2005).
Stres merupakan bagian yang tidak terhindarkan dari kehidupan. Setiap
hari dan setiap saat, selalu saja ada kejadian dan adanya tuntutan yang berlebihan
baik dari diri sendiri maupun orang lain sehingga membuat individu merasa
tertekan atau stres. Begitu juga dengan remaja, mereka sering menghadapi
masalah-masalah dalam hidup yang menyebabkan remaja menjadi stres, antara
lain tuntutan akademis yang terlalu berat, hasil-hasil ulangan atau ujian-ujian
yang buruk, tugas yang menumpuk dan juga tuntutan orangtua yang dianggap
terlalu berat, serta lingkungan pergaulan tempat remaja melakukan hubungan
interaksi dengan teman-teman seusianya. Teman bagi seorang remaja bisa
dianggap segalanya bahkan bisa melebihi keluarganya sendiri.
Keadaan fisik juga bisa membuat remaja stres, seperti tubuh yang terlalu
gemuk, terlalu kurus, tinggi, pendek dan jerawat yang banyak tumbuh pada wajah
dapat menumbuhkan perasaan ketidakpercayaan diri dan mengganggu pikiran
remaja, apalagi pada masa sekarang ini menurut sebagian remaja penampilan
adalah faktor yang dapat mempengaruhi suksesnya pergaulan.
Penyebab lain yang membuat remaja stres yakni kondisi keluarga yang
mengalami hubungan yang tidak harmonis antara anak dengan orangtua. Kondisi
keuangan keluarga yang tidak baik juga dapat menjadikan remaja stres karena
kondisi keuangan keluarga menjadi masalah yang sensitif bagi para remaja.
Hubungan remaja dengan lawan jenis juga dapat membuat remaja mengalami stres
(Kusuma, 2009). Semua permasalahan yang remaja hadapi, membuat sebagian
dari remaja sering merokok, mengkonsumsi alkohol dan penyalahgunaan obat-
obatan sebagai pelarian dari masalah yang dihadapinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Walker (Kemala & Hasnida, 2007) pada 60
orang remaja, penyebab utama ketegangan dan masalah yang ada pada remaja
berasal dari hubungan dengan teman dan keluarga, tekanan dan harapan dari diri
mereka sendiri dan orang lain, tekanan di sekolah oleh guru dan pekerjaan rumah,
tekanan ekonomi dan tragedi yang ada dalam kehidupan mereka misalnya
kematian, perceraian dan penyakit yang dideritanya atau anggota keluarganya.

3
Gambaran kasus stres peneliti temukan di salah satu sekolah yakni
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 6 Yogyakarta. Informasi mengenai kasus ini
didapatkan melalui wawancara. Wawancara dilakukan dengan guru bimbingan
konseling (BK) pada hari Rabu tanggal 17 Oktober 2012. Berdasarkan hasil
wawancara yang peneliti lakukan, ditemukan beberapa siswa yang mengalami
stres dengan gejala-gejala seperti melamun saat proses belajar mengajar
berlangsung, suka menyendiri, keras kepada teman dan bahkan meninggalkan
rumah tanpa izin. Sumber masalah yang dialami siswa tersebut salah satunya
yakni masalah perceraian kedua orangtua.
Menurut Ariesandi (2011) remaja yang mengalami stres, seharusnya sudah
mengembangkan kemampuan untuk mencari jalan keluar atas suatu permasalahan,
namun dikarenakan emosi remaja yang dapat berubah dengan tiba-tiba dan
keraguan akan keputusan yang penting, maka remaja memerlukan bantuan khusus
dan dukungan dari orang dewasa terutama kedua orangtua. Hal ini biasanya akan
terlewati dengan baik jika orangtua mengembangkan sebuah komunikasi yang
efektif dengan anak. Komunikasi orangtua dan anak yang beranjak remaja dapat
dikatakan efektif bila kedua belah pihak saling dekat, saling menyukai, adanya
keterbukaan sehingga komunikasi antara keduanya menjadi hal yang
menyenangkan dan tumbuh sikap percaya antara keduanya. Komunikasi efektif
dilandasi adanya kepercayaan, keterbukaan, dan dukungan yang positif pada anak
agar anak dapat menerima dengan baik apa yang disampaikan oleh orangtua.
Menurut Gunadi (2010) komunikasi orangtua dan remaja juga merupakan pengisi
kebutuhan remaja yang hakiki akan interaksi. Tanpa komunikasi, remaja akan
tumbuh dalam kehampaan sehingga remaja mudah mengalami stres.
Komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Selain
karena manusia adalah makhluk yang membutuhkan orang lain untuk memenuhi
segala kebutuhannya, komunikasi juga mempengaruhi perkembangan kepribadian
seseorang. Apabila dalam lingkungan keluarga, remaja banyak menghabiskan
waktu bersama dengan orang-orang terdekatnya dengan mampu menjaga
keefektifan komunikasi antara orangtua dan remaja, maka besar peluang bagi
remaja untuk tumbuh sebagai manusia dewasa yang dapat berkomunikasi dengan
baik dan bersikap positif pada diri sendiri dan lingkungannya sehingga tidak
mudah membuat remaja mengalami stres (Henny, 2006).
Keluarga adalah penyedia utama lingkungan fisik intelektual dan
emosional bagi kehidupan remaja. Lingkungan ini akan mempengaruhi
pandangan dunia anak remaja dikemudian hari dan kemampuan anak tersebut
untuk mengatasi berbagai tantangan di masa depan (Geldard & Geldard, 2010).
Keluarga yang harmonis sangat menentukan terciptanya lingkungan yang baik
dalam suasana kekeluargaan dan menjadi pusat ketenangan hidup. Semua itu
dapat terwujud dengan upaya adanya pola komunikasi yang efektif antara
anggota keluarga terutama antara orangtua dan anak (Laily & Matulessy, 2004)
maka harus ada komunikasi efektif agar diantara keduanya dapat mengerti
kebutuhan satu sama lain.
Adanya komunikasi efektif bertujuan agar pikiran antara orangtua dan anak
tidak mengalami kesenjangan yang drastis dan anak lama kelamaan akan lebih
terbuka dan leluasa membicarakan masalah yang dihadapi dan ini akan

4
mempengaruhi tingkat stres pada remaja. Hal ini sesuai dengan pedapat Devito
(Suranto, 2011) tentang ciri-ciri komunikasi interpersonal yang efektif yakni ketika
saat orangtua melakukan komunikasi dengan anak sebaiknya mampu memahami
konsep komunikasi itu sendiri, sehingga anak tidak merasakan tuntutan yang
berlebihan pada dirinya.
Berdasarkan permasalahan dan fenomena di atas, muncul permasalahan
apakah ada hubungan antara komunikasi efektif orangtua dan anak dengan tingkat
stres pada remaja, sehingga peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian yang
berjudul “Hubungan Antara Komunikasi Efektif Orangtua dan Anak dengan
Tingkat Stres Pada Remaja Siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta”.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Stres
1. Pengertian Stres
Menurut Lazarus dan Launier (Lurr, 2010) stres adalah ketegangan fisik
dan mental atau emosional karena tubuh merespon terhadap tuntutan dan
gangguan yang ada di sekeliling. Stres adalah suatu keadaan atau tantangan yang
kapasitasnya di luar kemampuan seseorang, oleh karena itu stres sangat individual
sifatnya. Stres juga dianggap sebagai respon individu terhadap stressor, yaitu
situasi dan peristiwa yang mengancam dan menuntut kemampuan coping
(Santrock, 2007).
Menurut Selye (Lurr, 2010) stres sebagai respon umum dari tubuh terhadap
segala jenis tuntutan (stressor) yang diberikan kepadanya. Menurut Putra (2011)
stres adalah faktor fisik, kimia atau emosional yang dapat menyebabkan
ketegangan pada tubuh atau mental.
2. Pengertian Stres Pada Remaja
Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, yang berasal dari
bahasa latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan” (Ali &
Asrori, 2009). Menurut Geldard & Geldard (2010) masa remaja sebagai tahapan
dalam kehidupan seseorang yang berada di antara tahap kanak-kanak dengan tahap
dewasa, periode ini adalah ketika seorang anak muda harus beranjak dari
ketergantungan menuju kemandirian, otonomi dan kematangan.
Perkembangan lebih lanjut istilah adolescence sesungguhnya memiliki
arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa
remaja juga adalah masa sebagai periode “badai dan tekanan” atau “ strom and
stress”, suatu masa dimana ketegangan emosi meningkatkan sebagai akibat dari
perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock,1999). Stres diyakini disebabkan oleh
berbagai masalah yang ada, seperti masalah di sekolah, masalah keuangan,
masalah keluarga dan masalah dalam lingkungan mereka. Remaja juga
mengalami stres karena remaja kadang-kadang terperangkap di antara membuat
keputusan yang mengikuti aturan dan perintah atau untuk bebas dan menemukan
dunia seusia remaja seharusnya. Jika tidak dikelola dengan baik, stres dapat
menyebakan gangguan psikologis bagi remaja ketika dewasa kelak (Sulaiman
dkk, 2009).

5
Menurut Needlmen (Nasution, 2007) ada beberapa sumber stres yang
dialami remaja, yakni sebagai berikut:
a. Biological Stress
Pada umumnya perubahan fisik pada remaja sangat cepat, dari umur 12-14
tahun pada remaja perempuan dan 13 – 15 pada remaja laki-laki. Tubuh remaja
berubah sangat cepat. Remaja merasa bahwa semua orang melihat dirinya.
Jerawat juga dapat membuat remaja stres, terutama bagi mereka yang
mempunyai pikiran sempit tentang kecantikan yang ideal. Saat yang sama,
remaja menjadi sibuk di sekolah, bekerja dan bersosialisasi, sehingga membuat
remaja kurang tidur.
b. Family Stress
Salah satu sumber utama stres pada remaja adalah hubungannya dengan
orangtua karena remaja merasa bahwa mereka ingin mandiri dan bebas, tapi
dilain pihak mereka juga ingin diperhatikan.
c. School Stress
Tekanan dalam masalah akademik cenderung tinggi pada dua tahun terakhir di
sekolah. Keinginan untuk mendapat nilai tinggi, atau keberhasilan dalam
bidang olahraga, dimana remaja selalu berusaha untuk tidak gagal, ini semua
dapat menyebabkan stres.
d. Peer Stress
Stres pada kelompok teman sebaya cenderung tinggi pada pertengahan tahun
sekolah. Remaja yang tidak diterima oleh teman-temannya biasanya akan
menderita, tertutup dan mempunyai harga diri yang rendah. Pada beberapa
remaja, agar dapat diterima oleh teman-temannya, mereka melakukan hal-hal
yang negatif seperti merokok, minum alkohol dan menggunakan obat terlarang.
Beberapa remaja merasa bahwa alkohol, rokok dan obat-obatan terlarang dapat
mengurangi stres, tetapi justru meningkatkan stres tersebut.
e. Social Stress
Remaja tidak mendapat tempat pada pergaulan orang dewasa karena mereka
tidak diberikan kebebasan mengungkapkan pendapat mereka, tidak boleh
membeli alkohol secara legal, dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang
bayarannya tinggi. Pada saat yang sama mereka tahu bahwa mereka semua
nanti akan mewarisi masalah besar dalam kehidupan sosial, seperti perang,
polusi dan masalah ekonomi yang tidak stabil, ini dapat membuat remaja
menjadi stres.
3. Aspek-Aspek Stres
Stressor yang dihadapi individu akan menimbulkan respon atau reaksi dari
individu tersebut baik secara fisiologis, psikologis, dan sosial. Sarafino (1994)
membagi reaksi terhadap stres dibagi kedalam dua aspek, yaitu:
a. Aspek Biologis
Walter Canon (Sarafino,1994) menyatakan reaksi tubuh yang mengancam yakni
fight or flight response karena respon fisiologis mempersiapkan individu untuk
menghadapi atau menghindari situasi yang mengancam tersebut. Fight or flight
response menyebabkan individu dapat merespon dengan cepat terhadap situasi
yang mengancam. Akan tetapi arousal yang tinggi, bersifat terus menerus
muncul dapat membahayakan kesehatan individu.

6
b. Aspek Psikososial
Stresor akan menghasilkan perubahan-perubahan psikologis dan juga sosial
individu. Perubahan-perubahan tersebut antara lain:
1) Kognitif
Stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam kegiatan kognitif (Cohen
dkk dalam Sarafino, 1994). Baum (Sarafino, 1994) mengatakan bahwa individu
yang terus menerus memikirkan stresor dapat menimbulkan stres yang lebih
parah terhadap stresor.
2) Emosi
Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering menggunakan keadaan
emosionalnya untuk mengevaluasi stres.
3) Perilaku sosial
Stres dapat merubah perilaku individu terhadap orang lain (Sarafino, 1994).
Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negatif
cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilku agresif
(Donnerstein & Wilson dalam Sarafino, 1994). Stres juga dapat mempengaruhi
perilaku pada individu (Cohen & Spacapan dalam Sarafino, 1994).
4. Faktor-Faktor Mempengaruhi Stres
Faktor-faktor yang mempengaruhi stres di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Faktor Perilaku
Ada beberapa pendapat mengenai faktor perilaku yang mempengaruhi stres,
yakni:
1) Tatkala seseorang menjumpai stressor dalam lingkungannya, ada dua
karakteristik pada stressor tersebut yang akan mempengaruhi reaksinya
terhadap stressor itu, yakni berupa lamanya (duration) ia harus menghadapi
stressor itu dan berapa terduganya stressor itu (predictability) (Lurr, 2010)
2) Reaksi individu terhadap stres berbeda-beda yakni ada individu-individu
yang memandang stres yang dihadapi sebagai tantangan sehingga individu
bergerak untuk mengatasinya maka stres berfungsi menjadi motivator yang
membuat individu berusaha mencari jalan keluar dari tekanan yang dihadapi.
Sedangkan ada individu-individu yang memandang stres yang dihadapi sebagai
ancaman yang membahayakan diri sehingga individu merasa tertekan dan
terganggu dengan permasalahan yang dihadapi dan tidak melakukan langkah-
langkah yang berorientasi untuk menyelesaikan permasalahannya (Widiana,
2008)
b. Faktor Psikologis
1) Menurut Lurr (2010) ada tiga faktor psikologis yang terlibat, yakni:
a) Perceived control, yakni keyakinan bahwa seseorang dapat
menguasai stresor itu. Orang dengan internal locus of control (peristiwa
yang terjadi sangat dipengaruhi oleh perilakunya) cenderung lebih mampu
mengatasi stres dibanding dengan orang dengan external locus of control
(peristiwa yang terjadi bergantung pada nasib, keberuntungan, atau orang
lain).
b) Learned helplessness, adalah reaksi tidak berdaya akibat seringnya
mengalami peristiwa yang berada di luar kendalinya. Produk akhirnya
adalah motivational deficit (menyimpulkan bahwa semua upaya adalah sia-
sia), cognitive deficit (kesulitan mempelajari respons yang dapat membawa

7
hasil yang positif), dan emotional deficit (rasa situasinya tak terkendalikan
karena melihat bahwa individu tidak dapat berbuat apa-apa lagi).
c) Hardiness (keberanian, ketangguhan), yang terdiri dari tiga karakterisitik
yakni keyakinan bahwa seseorang dapat mengendalikan atau mempengaruhi
apa yang terjadi padanya, komitmen, keterlibatan, dan makna pada apa yang
dilakukannya hari demi hari, dan fleksibel untuk beradaptasi dengan
perubahan yang terjadi, seakan-akan perubahan merupakan tantangan untuk
pertumbuhannya.
2) Adapun menurut Walker (2002) faktor psikologis yang mempengaruhi stres
yakni sebagai berikut:
a) Persepsi. Salah satu faktor yang terlibat dalam persepsi adalah
sistem panca indera perilaku seseorang dapat mengontrol persepsi.
b) Perasaan dan Emosi. Tujuh macam emosi yang paling berkaitan
dengan
stres adalah kecemasan (kegelisahan), rasa bersalah,
kekhawatiran/ketakutan, kemarahan, kecemburuan, kesedihan. Misalnya
kehilangan orang yang dicintai seperti kematian teman atau anggota
keluarga, putus cinta, kepindahan teman dekat.
c) Situasi adalah sebuah konsepsi individual tentang keadaan atau
kondisi dimana individu berada pada suatu waktu. Misalnya tidak dapat
menyelesaikan konflik dengan keluarga, teman sebaya, guru, pelatih yang
dapat menyebabkan frustasi dan penolakan.
d) Pengalaman hidup meliputi seluruh kejadian psikologis seseorang
selama rentang kehidupan seperti pengalaman yang dapat membuat individu
merasa rendah diri sehingga membuat remaja kehilangan harga diri atau
penolakan dan pengalaman buruk seperti hamil atau masalah keuangan.
e) Perilaku (behavioral) adalah semua output dari setiap tingkatan
hierarki dari sistem syaraf seperti sensasi, perasaan, emosi, kesadaran,
penilaian. Misalnya tidak dapat memenuhi harapan orangtua seperti gagal
dalam mencapai sesuatu harapan, tinggal kelas dan penolakan sosial.
c. Faktor Kepribadian
1) Menurut Walker (2002) faktor kepribadian juga dapat mempengaruhi stres
pada remaja, yakni: tingkah laku impulsif, obesitas dan ketakutan yang tidak
nyata, tingkah laku agresif dan anti sosial, penggunaan dan ketergantungan obat
terlarang, hubungan sosial yang buruk dengan orang lain, menyalahkan diri
sendiri dan merasa bersalah, masalah tidur atau makan.
2) Rosenmen & Chesney (Lurr, 2010) tipe kepribadian juga dapat
mempengaruhi stres. Tipe kepribadian terbagi atas dua tipe kepribadian antara
lain dengan ciriciri tipe kepribadian “A” sebagai berikut:
a) Ambisius, agresif dan kompetitif, banyak jabatan rangkap
b) Kurang sabar, mudah tegang, mudah tersinggung dan marah
(emosional)
c) Kewaspadaan berlebihan, kontrol diri kuat, percaya diri kuat,
percaya diri berlebihan (over confidence)
d) Cara bicara cepat, bertindak serba cepat, hiperaktif, tidak dapat
diam
e) Bekerja tidak mengenal waktu (workaholic)
f) Pandai berorganisasi dan memimpin dan memerintah (otoriter)
g) Lebih suka bekerja8 sendirian bila ada tantangan
h) Kaku terhadap waktu, tidak dapat tenang dan serba tergesa-gesa
i) Mudah bergaul (ramah), pandai menimbulkan perasaan empati dan bila tidak
tercapai maksudnya mudah bersikap bermusuhan
j) Tidak mudah dipengaruhi, kaku (tidak fleksibel)
k) Bila berliburan pikirannya ke pekerjaan, tidak dapat santai
l) Berusaha keras untuk dapat segala sesuatunya terkendali.
Individu dengan kepribadian tipe “B” adalah kebalikan dari tipe kepribadian “A” yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Ambisinya wajar-wajar saja, tidak agresif dan sehat dalam berkompetisi serta
tidak memaksakan diri
b) Penyabar, tenang, tidak mudah tersinggung dan tidak mudah marah
c) Kewaspadaan dalam batas yang wajar, demikian pula kontrol diri dan percaya
diri tidak berlebihan.
d) Cara bicara tidak tergesa-gesa, bertindak pada saat yang tepat, perilaku tidak
hiperaktif
e) Dapat mengatur waktu dalam bekerja (menyediakan waktu untuk istirahat)
f) Dalam mengorganisasikan dan memimpin bersikap akomodatif
g) Lebih suka bekerja sama dan tidak memaksakan diri bila menghadapi tantangan
h) Pandai mengatur waktu dan tenang (relaks), tidak tergesa-gesa
i) Mudah bergaul, dan dapat menimbulkan empati untuk mencapai kebersamaan
(mutual benefit)
j) Tidak kaku (fleksibel), dapat menghargai pendapat orang lain, tidak merasa
dirinya paling benar
k) Dapat membebaskan diri dari segala macam problem kehidupan
l) Dalam mengendalikan segala sesuatunya mampu menahan serta mengendalikan
diri.
d. Faktor Sosial
Faktor sosial yang mempengaruhi stres terbagi atas 2 bagian yakni:
1) Lingkungan Keluarga
a) Suksesnya perkembangan remaja dilihat dari ketika remaja terpisah dari orangtua
namun tetap menjaga keterhubungan emosional. Adanya komunikasi efektif membuat
hubungan orangtua dan anak lebih kuat dan relatif mengurangi stres yang dialami remaja
(Weichold dkk, 2007).
b) Ikatan orangtua dan anak remaja yang tidak harmonis membuat remaja merasa
orangtua tidak mampu memberikan rasa aman, tidak adanya cinta dan kasih sayang dalam
pengasuhan anak, sehingga remaja merasa hampa dan membuat remaja mudah mengalami
stres (Santrock, 2007). Sebuah studi, remaja dapat mengatasi stres dengan lebih efektif
apabila individu memiliki relasi afektif dengan komunikasi dengan orangtua (Wagner,
Cohen & Brook dalam Santrock, 2007).
2) Lingkungan Sosial
a) Faktor sosial budaya, meliputi stres akultural dan stres sosial ekonomi seperti kemiskinan
(Santrock, 2007)

9
b) Kehidupan perkotaan, gaya hidup modern, kejadian besar dalam hidup seperti
kehilangan seseorang yang disayangi, ketidakharmonisan dengan teman dan lawan jenis
(Welker, 2002).
c) Peristiwa lainnya seperti tugas rutin sehari-hari juga dapat berpengaruh terhadap
kesehatan jiwa seperti kecemasan, stres dan depresi (Lurr, 2010).

B. Komunikasi Efektif Orangtua dan Anak


1. Pengertian Komunikasi Efektif Orangtua dan Anak
Komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Selain karena
manusia adalah makhluk yang membutuhkan orang lain untuk memenuhi segala kebutuhannya,
komunikasi juga mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang. Istilah komunikasi berasal
dari kata communication yang bersumber dari kata communis yang artinya sama makna, jadi yang
dimaksud dengan komunikasi adalah terjadinya percakapan antara komunikan dengan komunikator
karena keduanya ada kesamaan dalam makna yang disampaikan (Bahri, 2004).
Komunikasi juga dikatakan sebagai suatu proses antara dua orang atau lebih membentuk
atau melakukan pertukaran informasi satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling
pengertian yang mendalam (Rogers & Kincaid dalam Cangara, 2011). Effendy (2011) menyatakan
bahwa proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh
seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran dapat merupakan gagasan,
informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan dapat berupa keyakinan,
kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan dan lain-lain yang
timbul dari lubuk hati.
Memahami istilah komunikasi di atas, komunikasi dapat dikatakan efektif apabila pesan
diterima dan dimengerti sebagimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan
sebuah perbuatan secara suka rela oleh penerima pesan dapat meningkatkan kualitas hubungan
antarpribadi dan tidak ada hambatan untuk hal itu (Hardjana dalam Suranto, 2011). Menurut
Gunawati, dkk (2006) Komunikasi efektif adalah proses penyampaian pesan verbal dan non verbal
secara timbal balik dari komunikator ke komunikan, pesan diinterpretasi sesuai dengan maksud
pesan, dan ada umpan balik dari pesan yang disampaikan.
Menurut Supratiknya (1995) komunikasi efektif tercapai, bila komunikan
menginterpretasikan pesan yang diterima mempunyai makna yang sama dengan maksud pesan
yang disampaikan oleh komunikator. Komunikasi yang efektif juga dibangun dengan dasar
keterbukaan yang menjadi kunci dasar bagi kepercayaan dan kesenangan (Stephen, 2011).
Komunikasi orangtua dan anak dikatakan efektif bila kedua belah pihak saling dekat,
saling menyukai dan komunikasi diantara keduanya merupakan hal yang menyenangkan dan
adanya keterbukaan sehingga tumbuh sikap percaya. Komunikasi yang efektif dilandasi adanya
kepercayaan, keterbukaan, dan dukungan yang positif pada anak agar anak dapat menerima dengan
baik apa yang disampaikan oleh orangtua (Rakhmat, 2011).
Komunikasi efektif antara orangtua dan anak sangat penting untuk menumbuhkan
keakraban. Ketika orangtua mendengarkan secara aktif, kemampuan anak untuk mengungkapkan
perasaan dan isi hatinya dirangsang dan

10
semakin meningkat. Kebutuhan komunikasi merupakan kebutuhan vital dalam
hubungan orangtua dan anak. Orangtualah yang diharapkan anak sebagai teman
untuk berkomunikasi karena hanya orangtualah yang dekat dan dapat mendengar
dengan penuh perhatian, menerima dan menanggapi segala bentuk perasaan yang
dikemukakan anak sehingga anak tidak lari mencari orang lain yang dapat
mendengar keluh kesah dan ungkapan perasaan hatinya (Laily & Matulessy,
2004).
2. Aspek-Aspek Komunikasi Efektif
Aspek-aspek efektivitas komunikasi antar pribadi yang diungkapkan oleh
Devito (Suranto, 2011) sebagai berikut:
a. Keterbukaan (openness)
Keterbukaan adalah sikap dapat menerima masukan dari orang lain, serta
berkenan menyampaikan informasi penting kepada orang lain. Hal ini tidaklah
berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat
hidupnya, tetapi rela membuka diri ketika orang lain menginginkan informasi
yang diketahuinya. Sikap keterbukaan ditandai adanya kejujuran dalam
merespon segala stimulasi komunikasi. Tidak berbohong dan tidak
menyembunyikan informasi yang sebenarnya.
b. Empati (empathy)
Empati ialah kemampuan seseorang untuk merasakan kalau seandainya
menjadi orang lain, dapat memahami sesuatu yang sedang dialami orang lain,
dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain dan dapat memahami sesuatu
persoalan dari sudut pandang orang lain melalui kacamata orang lain. Empati
akan membuat seseorang lebih mampu menyesuaikan komunikasinya.
c. Dukungan (supportivenness)
Hubungan antarpribadi yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap
mendukung, artinya masing-masing pihak yang berkomunikasi memiliki
komitmen untuk mendukung terselenggaranya interaksi secara terbuka. Oleh
karena itu respon yang relevan adalah respon yang bersifat spontan dan lugas.
Dukungan ini lebih diharapkan dari orang terdekat yaitu keluarga. Individu
memperlihatkan sikap mendukung dengan cara:
1) Ketika memaparkan gagasan harus bersifat deskripstif dan bukan
evaluatif. Suasana yang bersifat deskriptif dan bukan evaluatif membantu
terciptanya sikap mendukung bila individu mempersepsikan suatu
komunikasi sebagai permintaan akan informasi atau uraian mengenai suatu
kejadian tertentu, individu pada umumnya tidak merasakan ini sebagai
ancaman. Sebaliknya, komunikasi yang bernada menilai seringnya membuat
orang lain defensif.
2) Spontan bukan strategi. Orang yang spontan dalam komunikasi dan
terus terang serta terbuka dalam mengutarakan pikirannya, biasanya bereaksi
dengan cara yang sama, terus terang dan terbuka. Sebaliknya bila individu
merasa bahwa seseorang menyembunyikan perasaan yang sebenarnya,
bahwa mempunyai rencana tersembunyi, maka individu juga akan bereaksi
secara defensif.
0) Provisionalisme. Provisionalisme dalam bahasa inggris artinya
bersifat sementara atau menunggu sampai ada bukti yang lengakp. Bersikap
provisionalisme artinya kesediaan untuk meninjau kembali pendapat yang

11
disampaikan untuk mengetahui bahwa pendapat manusia adalah tempat
kesalahan karena itu wajar juga kalau suatu saat pendapat dan keyakinan
bisa berubah. Kata lain sikap provisionalisme merupakan sikap tentatif dan
berpikiran terbuka, serta bersedia mendengar pandangan yang berlawanan
dan bersedia mengubah posisi jika keadaan mengharuskan.
d. Rasa positif (positiveness).
Sikap positif ditunjukkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Seseorang harus
memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif
berpartisipasi dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi
yang efektif. Apabila seseorang berpikir positif tentang dirinya, maka akan
berpikir positif juga terhadap orang lain, sebaliknya bila menolak diri sendiri,
maka akan menolak orang lain. Bila seseorang memahami dan menerima
perasaan-perasaannya, maka akan lebih menerima perasaan-perasaan sama
yang ditunjukkan orang lain. Rasa positif dapat ditunjukkan dengan adanya
ketertarikan terhadap komunikasi disertai dengan memberikan reinforcement
terhadap perilaku yang diharapkan, seperti tepukan di bahu dan senyuman.
Selain itu sikap positif lainnya dapat ditunjukkan dengan berbagai macam
perilaku dan sikap, antara lain menghargai orang lain, tidak menaruh curiga
secara berlebihan dan meyakini pentingnya orang lain.
e. Kesetaraan/kesamaan (equality)
Kesetaraan ialah pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki kepentingan,
kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga serta saling memerlukan.
Komunikasi antar pribadi akan lebih efektif bila suasananya setara, artinya
harus ada pengakuan diam-diam bahwa kedua belah pihak (orangtua dan
remaja) menghargai, berguna dan mempunyai sesuatu yang penting untuk
disumbangkan. Kemampuan orangtua dalam melakukan komunikasi akan
efektif jika orangtua dapat membaca dunia anaknya (selera, keinginan, hasrat,
pikiran dan kebutuhan). Indikator kesetaraan meliputi:
1) Menempatkan diri setara dengan orang lain
2) Menyadari akan adanya kepentingan yang berbeda
3) Mengakui pentingnya kehadiran orang lain
4) Tidak memaksakan kehendak
5) Komunikasi dua arah
6) Saling membutuhkan
7) Suasana komunikasi: akrab dan nyaman.

C. Hubungan Antara Komunikasi Efektif Orangtua dan Anak dengan


Tingkat Stres Pada Remaja
Melakukan komunikasi dengan orangtua tentang pengalaman sehari-hari
bagi anak sangatlah penting karena akan mengurangi stresor yang dihadapi anak.
Sebuah studi, remaja dapat mengatasi stres dengan lebih efektif apabila individu
memiliki relasi afektif dengan komunikasi dengan orangtua (Wagner, Cohen &
Brook dalam Santrock, 2007). Adanya komunikasi efektif membuat hubungan
orangtua dan anak lebih kuat dan relatif mengurangi stres yang dialami remaja
(Weichold dkk, 2007).

12
Komunikasi yang dilakukan orangtua dan anak menurut Devito (Suranto,
2011) melibatkan lima aspek komunikasi. Pertama keterbukaan (openness),
dengan keterbukaan antara orangtua dan anak, anak dapat terbuka dalam pikiran
dan perasaannya kepada orangtua begitupun sebaliknya, sehingga komunikasi
yang dilakukan dapat berjalan secara jujur dan terbuka. Anak yang berkomunikasi
secara terbuka kepada orangtuanya akan membuat orangtua memahami
permasalahan yang dihadapi anak terutama saat anak memasuki usia remaja
sehingga stres yang dialami remaja akan menurun.
Aspek kedua empati (empathy) merupakan kemampuan untuk bisa
merasakan setiap apa yang dialami atau dirasakan oleh orang lain. Anak dapat
merasakan apa yang orangtua alami seperti ia mengalami sendiri tanpa kehilangan
identitas dirinya sebagai anak yang harus membantu dan bertanggung jawab
terhadap dirinya. Empati yang sama-sama dirasakan menambah kedekatan yang
lebih akrab sehingga anak dapat menjadi orang yang peduli sehingga anak mampu
mengatasi stresnya ketika menghadapi masalah dan stres yang dialami remaja
cenderung menurun.
Aspek ketiga dukungan (supportivenness), komunikasi yang dilakukan
orangtua dan anak lebih bersikap deskriptif daripada evaluatif. Suasana yang
bersifat deskriptif yakni proses penyampaian perasaan dan persepsi tanpa menilai,
dengan hal ini membantu terciptanya sikap mendukung bila individu
mempersepsikan suatu komunikasi sebagai permintaan akan informasi atau uraian
mengenai suatu kejadian tertentu, individu pada umumnya tidak merasakan ini
sebagai ancaman, sedangkan komunikasi yang bersifat evaluatif yakni
komunikasi yang bernada menilai dan hal ini sering membuat orang lain defensif,
sehingga anak didalam menggunakan pikiran dan perasannya mengalami
ketakutan. Jadi akan lebih baik orangtua melakukan komunikasi dengan sikap
deskriptif supaya anak lebih nyaman menyampaikan gagasan dan perasaan
sehingga anak merasa dihargai. Keadaan demikian membuat stres yang dialami
remaja akan cenderung menurun.
Aspek keempat adalah sikap positif (positiveness), komunikasi yang
dilakukan orangtua dan anak memiliki nilai-nilai penghargaan dan memuji apa
yang disampaikan anak kepada orangtua. Pujian tersebut dapat meningkatkan rasa
percaya diri anak dalam mengemukakan pendapat yang dirasakan dan pikirkan
anak sehingga membuat anak lebih menghargai dirinya, dengan demikian anak
merasa hidupnya lebih bermakna dan stres yang dialami anak remaja akan
menurun.
Aspek kelima kesamaan (equality), komunikasi akan lebih efektif jika
banyak faktor yang sama diantara orangtua dan anak sehingga akan tercipta
keharmonisan komunikasi. Anak akan selalu mendapatkan kebahagiaan dan
mampu menjalin relasi dengan baik pada siapa saja sehingga membuat anak tidak
merasa sendiri dan merasa memiliki teman yang lebih dewasa untuk berbagi cerita
sehingga dengan hal ini cenderung akan menurunkan stres yang dialami remaja.

D. Hipotesis
Berdasarkan uraian tinjauan pustaka yang telah dikemukakan, peneliti
mengajukan hipotesis: “Ada hubungan yang negatif antara komunikasi efektif

13
orangtua dan anak dengan tingkat stres pada remaja siswa SMK Negeri 6
Yogyakarta”. Semakin baik komunikasi efektif yang dilakukan orangtua dan anak
yang menginjak remaja maka semakin rendah stres yang dialami remaja siswa
SMK Negeri 6 Yogyakarta, sebaliknya semakin buruk komunikasi efektif orangtua
dan anak yang menginjak remaja maka semakin tinggi stres yang dialami remaja
siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta.

METODE PENELITIAN
1. Populasi dan Sampel
Pada penelitian ini, populasi yang akan digunakan adalah remaja siswa
yang duduk di kelas XI SMK Negeri 6 Yogyakarta.
Sampel adalah sebagian dari populasi, maka sampel tersebut harus
memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh populasinya. Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini yaitu menggunakan cluster random sampling, yaitu
melakukan randomisasi (acak) terhadap kelompok dan bukan terhadap subjek
secara individual (Azwar, 2007). Hasil dari melakukan randomisasi, terpilih empat
kelas sebagai sampel penelitian yakni kelas XI Jasa Boga 2, XI Jasa Boga 3, XI
Kecantikan Rambut 1 dan XI Busana Butik SMK Negeri 6 Yogyakarta, yang
keseluruhan jumlah sampel penelitian yakni sebanyak 122 orang siswa.
2. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kuantitatif dengan
menggunakan alat ukur berupa skala psikologis dengan metode pernyataan diri
(self report). Skala psikologis yang digunakan dalam penelitian ini ada dua
macam, yaitu skala stres yang terdiri dari 24 aitem (r tt=0,853) dan skala
komunikasi efektif yang terdiri dari 25 aitem (rtt=0,930).
3. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini mengguna metode korelasi product
moment dari Karl Person dengan menggunakan fasilitas komputer dengan program
Statistical Program For Socials Science For Windows (SPSS) versi 16.00.
Sebelum dilakukan analisis teknik korelasi product moment, terlebih dahulu
dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji linieritas.

HASIL PENELITIAN
1. Hasil Utama/Uji Hipotesis
Dari hasil perhitungan dan pengujian korelasi dengan menggunakan
Pearson Product Moment, diperoleh hasil rxy=-0,425 dengan p=0,000. Dengan
demikian hipotesis yang diajukan terbukti, bahwa terdapat hubungan negatif
yang sangat signifikan antara komunikasi efektif orangtua dan anak dengan stres
pada remaja. Hipotesis penelitian diterima. Selain itu komunikasi efektif
orangtua dan anak memberikan sumbangan efektif ( � ) sebesar 18,1% terhadap
2

stres pada remaja. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi yang dilakukan
orangtua dan anak dapat mengurangi stres pada remaja sebesar 18,1 %,
sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain.

14
Tabel 1. Product Moment Pearson Komunikasi Efektif dengan Stres
kominikasiefekti
f stres
komunikasiefektif Pearson Correlation 1 -.425**
Sig. (2-tailed) .000
N 122 122
stres Pearson Correlation -.425** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 122 122
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

2. Hasil Tambahan/Kategorisasi Komunikasi Efektif dan Stres Berdasarkan


hasil penelitian, diperoleh skor empirik dan skor hipotetik. Tabel 2.
Deskripsi Data Penelitian
Variabel Empirik Hipotetik
Min Max Mean SD Min Max Mean SD
Komunikasi 47 98 76,08 12,515 25 100 62,5 12,5
efektif
Stres 31 71 48,39 7,853 24 96 60 12
Deskripsi data penelitian di atas, maka dapat dilakukan suatu
pengkategorisasian skor pada kedua variabel penelitian. Skor yang diperoleh
subjek diklasifikasikan menggunakan tiga kategori yaitu rendah, sedang dan
tinggi.
Tabel 3. Kategorisasi Nilai Variabel Komunikasi Efektif Berdasarkan Mean
Empirik
Norma Kategori Interval Frekuensi Persentase
x < (µ-1σ) Rendah x < 63,6 20 16,39 %
(µ-1σ) ≤ x < (#i+1σ) Sedang 63,6 ≤ x < 77 63,12 %
88,6
(#i+1σ) ≤ x Tinggi 88,6 ≤ x 25 20,49 %
Jumlah 122 100 %
Berdasarkan kategori variabel komunikasi efektif, siswa yang melakukan
komunikasi dengan orangtuanya dalam kategori rendah sebanyak 16,39 %,
kategori sedang sebanyak 63,12 % dan kategori tinggi sebanyak 20,49 %,
sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa komunikasi efektif antara orangtua
dan anak yang diperoleh dari subjek dalam penelitian ini berdasarkan persepsi
anak mayoritas termasuk sedang.
Tabel 4. Kategorisasi Nilai Variabel Stres Berdasarkan Mean Empirik
Norma Kategori Interval Frekuensi Persentase
x < (µ-1σ) Rendah x < 40,5 9 7,38 %
(µ-1σ) ≤ x < (#i+1σ) Sedang 40,5 ≤x < 91 74,59 %
56,2
(#i+1σ) ≤ x Tinggi 56,2 ≤ x 22 18,03 %
Jumlah 122 100 %
Berdasarkan kategori variabel stres pada remaja, siswa yang mengalami
keadaan stres dalam kategori rendah sebanyak 7,38 %, kategori sedang 74,59 %

15
dan kategori tinggi sebanyak 18,03 %, sehingga dapat diperoleh kesimpulan
bahwa stres yang dialami subjek dalam penelitian ini mayoritas termasuk sedang.

Pembahasan
Berdasarkan uji hipotesis menunjukkan besarnya koefisien korelasi antara
kedua variabel dalam penelitian ini adalah sebesar r = -0,425 dan p=0,000
(p<0,01), maka hal ini berarti terdapat korelasi negatif yang sangat siginifikan
antara komunikasi efektif orangtua dan anak dengan stres remaja siswa SMK
Negeri 6 Yogyakarta. Semakin baik komunikasi efektif yang dilakukan orangtua
dan anak maka semakin rendah stres yang dialami remaja siswa SMK Negeri 6
Yogyakarta, sebaliknya semakin buruk komunikasi efektif orangtua pada anak
maka semakin tinggi stres yang dialami remaja siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecenderungan terjadinya stres
pada remaja dapat dipengaruhi oleh komunikasi efektif antara orangtua dan anak,
yang memiliki arti bahwa jika terjalin suatu komunikasi efektif yang baik antara
orangtua dan anak remajanya maka dapat mengurangi atau menekan tingkat stres
pada remaja tersebut. Sebaliknya, jika terjalin suatu komunikasi efektif yang
buruk antara orangtua dan anak remajanya maka dapat menambah atau
meningkatkan stres pada remaja.
Komunikasi efektif orangtua dan anak memberikan sumbangan efektif
2
(� ) sebesar 18,1% terhadap stres pada remaja. Hal ini menunjukkan bahwa
komunikasi yang dilakukan orangtua dan anak dapat mengurangi stres pada
remaja sebesar 18,1 %, sedangkan sisanya 81,9% dipengaruhi oleh faktor-faktor
lain yang tidak diteliti, yang kemungkinan dapat mengurangi tingkat stres pada
remaja, misalnya dari faktor internal locus of control yang artinya pengelolaan
atau kontrol diri dan faktor hardiness (keberanian, ketangguhan) untuk mengelola
stres (Lurr, 2010). Faktor lainnya seperti kestabilan emosi dan sikap berpikir
positif (walker, 2002).
Hasil penelitian Gunawati, dkk (2006) menunjukkan bahwa faktor yang
mempengaruhi stres pada mahasiswa yang sedang skripsi adalah 29,3%
ditentukan oleh faktor efektivitas komunikasi mahasiswa-dosen pembimbing
utama skripsi. Semakin baik efektivitas komunikasi mahasiswa-dosen
pembimbing maka semakin rendah stres pada mahasiswa yang sedang skripsi,
sebaliknya semakin buruk efektivitas komunikasi mahasiswa-dosen pembimbing
maka semakin tinggi stres yang dialami mahasiswa yang sedang skripsi.
Penelitian Gunawati, dkk ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
peneliti yang menjelaskan bahwa komunikasi efektif memberikan sumbangan
efektif dalam mengurangi stres.
Berdasarkan desksripsi data hasil penelitian, menunjukkan hubungan
negatif yang sangat signifikan antara komunikasi efektif orangtua dan anak
dengan tingkat stres pada remaja. Hal ini dapat diperkuat datanya dengan melihat
hasil skor psikologis masing-masing subjek penelitian dari kedua skala psikologis
yakni skala stres dan skala komunikasi efektif. Hasil skor psikologis dari masing-
masing subjek menunjukan bahwa kelompok subjek yang memiliki skor stres
yang tergolong pada kategori rendah yakni sebanyak 7,38 % atau ada 9 siswa yang
mengalami stres yang rendah, ternyata sebagian besar siswa tersebut

16
memiliki skor komunikasi efektif yang tergolong pada kategori tinggi, artinya
menunjukkan bahwa komunikasi efektif yang baik antara orangtua dan siswa
dapat memberikan kontribusi untuk menurunkan stres pada remaja siswa tersebut.
Selain itu ada juga kelompok subjek yang memiliki skor stres yang tergolong pada
kategori tinggi yakni sebanyak 18,03% atau ada 22 siswa yang mengalami stres
yang tinggi. Ternyata sebagian besar siswa tersebut memiliki skor komunikasi
efektif yang tergolong pada kategori rendah sehingga dapat disimpulkan bahwa
komunikasi efektif yang buruk antara orangtua dan siswa memberikan kontribusi
tingginya stres pada remaja siswa tersebut.
Kategorisasi subjek menunjukkan bahwa sebagian besar remaja siswa
tersebut sudah melakukan komunikasi efektif dengan orangtuanya dalam
kategorisasi sedang yakni sebesar 63,12%, artinya ada 63,12% atau 77 siswa yang
sudah melakukan komunikasi efektif yang cukup baik dengan orangtuanya. Begitu
juga dengan stres pada remaja siswa tersebut yang mayoritas berada pada
kategorisasi sedang yaitu sebesar 74,59 %, yang memiliki arti bahwa ada 74,59%
atau 91 siswa mengalami stres yang sedang. Jadi kedua kategori ini menunjukkan
bahwa sebagian besar remaja siswa kelas XI SMK Negeri 6 Yogyakarta sudah
melakukan komunikasi efektif yang cukup baik dengan orangtuanya sehingga
remaja siswa kelas XI SMK Negeri 6 Yogyakarta sudah cukup mampu menekan
atau menurunkan stres yang dialaminya.

Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah bahwa ada
hubungan yang negatif yang sangat signifikan antara komunikasi efektif orangtua
dan anak yang menginjak remaja dengan stres pada remaja siswa SMK Negeri 6
Yogyakarta. Hubungan negatif tersebut mengindikasikan atau memiliki arti
semakin baik komunikasi efektif yang dilakukan orangtua dan anak yang
menginjak remaja maka semakin rendah stres yang dialami remaja siswa SMK
Negeri 6 Yogyakarta, sebaliknya semakin buruk komunikasi efektif orangtua dan
anak yang menginjak remaja maka semakin tinggi stres yang dialami remaja siswa
SMK Negeri 6 Yogyakarta.
Sumbangan efektif (�2) dari komunikasi efektif orangtua dan anak
terhadap stres pada remaja sebesar 18,1 %, hal ini menunjukkan bahwa
komunikasi yang dilakukan orangtua dan anak dapat mengurangi stres pada
remaja sebesar 18,1 %, sedangkan 81,9 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
yang kemungkinan dapat mengurangi tingkat stres pada remaja.

Saran
Penelitian selanjutnya dapat disarankan untuk meneliti faktor-faktor lain
yang dapat mempengaruhi stres terutama pada faktor yang memungkinan dapat
menurunkan stres. Hal ini diperlukan untuk pengembangan lebih lanjut untuk
menjadi pembanding bagi penelitian ini agar dapat memberikan manfaat dalam
rangka meningkatkan keilmuan. Selain itu berdasarkan hasil penelitian, peneliti
menyarankan:

17
a. Bagi remaja
Berdasarkan hasil penelitian ternyata ada juga remaja yang mengalami stres tinggi yakni
sebesar 18,03%, untuk itu peneliti menyarankan agar remaja perlu membutuhkan orang dewasa
yang dapat diajak bertukar pikiran mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh remaja itu
sendiri. Hal ini orangtualah yang tepat untuk diajak berbagi atau bertukar pikiran karena
orangtua merupakan sosok terdekat dan dapat dipercaya untuk dapat memberikan penjelasan-
penjelasan yang tidak diketahui oleh anak.
Remaja juga harus menjaga hubungan yang baik dengan orangtua dengan cara mau
mendengarkan kata orangtua dan bersikap lebih kooperatif. Belajar dan membiasakan diri
untuk dapat menyampaikan pendapat kepada orang lain dengan baik, dengan demikian ketika
anak remaja menghadapi masalah, anak dapat berbagi dengan orangtua tanpa merasa canggung
dan takut agar remaja dapat menekan terjadinya stres pada dirinya dan tidak akan mengalami
stres yang berat.
b. Bagi Orangtua
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata masih ada orangtua dan anak remaja yang memiliki
komunikasi efektif yang buruk yakni sebesar 16,39%, hal ini peneliti menyarankan agar
orangtua lebih meningkatkan hubungan yang baik dengan anak remaja dengan memperhatikan
perkembangan anak tersebut dan memberi perhatian pada anak remajanya dengan cara sering
menghabiskan waktu bersama, mengobrol, jalan-jalan sehingga anak merasa dekat dengan
orangtua. Selain itu orangtua harus lebih bersikap terbuka dengan cara mau mendengarkan
pendapat anak dan mau dikritik, sehingga anak remaja merasa lebih dihargai. Hal ini membuat
remaja dapat menekan terjadinya stres pada dirinya.
Ada juga orangtua dan anak remaja yang sudah melakukan komunikasi efektif dengan
baik yakni sebesar 20,49% dan pada kategori sedang sebesar 63,12%, dengan demikian peneliti
menyaran agar orangtua tetap menjaga dan mempertahankan hubungan yang baik dengan anak
remaja dengan melakukan komunikasi yang efektif agar remaja dapat berkembang dengan baik
dan tidak mudah mengalami stres.
c. Bagi Sekolah
Berdasarkan hasil penelitian terdapat 18,03% siswa yang mengalami stres yang tinggi.
Hal ini peneliti menyarankan agar pihak sekolah khususnya guru BK (Bimbingan Konseling)
lebih memperhatikan siswa-siswanya pada saat berada di lingkungan sekolah. Jika ditemukan
ada sikap dan perilaku siswa yang sudah berbeda dari biasanya, seperti lebih banyak murung,
tidak tertarik pada pelajaran, bersikap keras pada temannya dan mengalami prestasi yang
menurun maka dalam hal ini guru harus segera mendekati siswa yang bermasalah tersebut
untuk diajak mengobrol dengan tujuan menggali penyebab siswa tersebut bersikap lain dari
biasanya agar guru segera memberikan penanganan lebih dini atas permasalahn yang dihadapi
siswa agar siswa tersebut tidak mengalami stres yang berat.
Dalam menangani siswa yang bermasalah, guru diharapkan melakukan komunikasi yang
efektif dengan siswa tersebut dengan cara tidak adanya unsur

18
menghakimi agar siswa tidak merasa diadili, melainkan dalam proses
perbincangan diharapkan guru mampu menciptakan rasa nyaman kepada
siswa agar siswa tersebut dapat menceritakan segala permasalahan tanpa
merasa takut dan canggung. Hal ini dapat menekan atau mengurangi stres
pada remaja siswa.
Guru BK juga disarankan disetiap kesempatan dapat melakukan pertemuan
dengan para orangtua siswa untuk membahas perkembangan siswa di sekolah,
khususnya siswa yang bermasalah. Guru diharapkan mengadakan diskusi
dengan para orangtua siswa, membahas peran orangtua dalam lingkungan
keluarga agar lebih peka terhadap keadaan dan perkembangan anak remajanya
serta memberikan motivasi kepada anak remajanya tanpa ada unsur tuntutan-
tuntutan yang berlebihan yang membuat anak merasa terbebani. Hal ini
bertujuan agar anak tersebut dengan kesadaran sendiri bersungguh-sungguh
dalam menuntut ilmu tanpa ada beban yang membuat stres siswa tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, H. 2006. Psikologi Perkembangan “Pendekatan Ekologi kaitannya
dengan konsep diri dan Penyesuaian diri pada Remaja”. Bandung: PT
Refika Aditama.
Ali, M & Asrori, M. 2009. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Ariesandi. 2011. Peran Orang tua mengatasi masalah Remaja Broken Home.
http://pikrtulipmayang.blogspot.com/2011/04/.html. [on line] 19 April
2012.
Azwar, S. 2007. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bahri, S.D. 2004. Pola Komunikasi Orangtua dan Anak dalam Keluarga. Jakarta:
Rineka Cipta.
Cangara, H. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Effendy, O. U. 2011. Ilmu Komunikasi “Teori dan Praktik”. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Fausiah, F. & Widuri, J. 2005. Psikologi Abnormal “Klinis Dewasa”. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Geldard, K. & Geldard, D. 2010. Konseling Remaja. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Gunadi, P. (2010). Putusnya komunikasi dan Pemberontakan Anak.
www.tegala.org [on line]. 24 April 2012.
Gunawati, R., Hartati, S., & Listiara, A. 2006. Hubungan Antara Efektivitas
Komunikasi Mahasiswa dan dosen Pembimbing Utama Skripsi Dengan
Stres Dalam Menyusun Skripsi Pada Mahasiswa Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Jurnal Psikologi
Universitas Diponegoro. Vol. 3, No. 2 : 93-115.
Hurlock. 1999. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga
Henny, A. 2006. Hubungan antara Komunikasi Orang Tua-Anak Mengenai
Seksualitas dan Kontrol Diri dengan Perilaku Seks Pranikah. Skripsi.
(tidak diterbitkan). Malang: Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang.

19
Kemala, I. & Hasnida. 2007. Hubungan antara Stres dan Perilaku Merokok pada
Remaja Laki-laki. Jurnal Psikologi. Vol. 1, No. 2 : 105-111.
Kusuma, I. 2009. Remaja Stres. http://blog-oda.blogspot.com. [on line] 16
november 2011
Laily, N. & Matulessy, A. 2004. Pola komunikasi Masalah Seksual Antara Orang
Tua dan Anak. Jurnal Psikologi. Vol. 19, No. 2 : 194-205.
Looker, T. & Gregson, O. 2005. Managing Stress. Yogyakarta: Baca.
Lurr, R.K. 2010. Kesehatan Mental. Yogyakarta: Stain Press.
Nasution, I.K. 2007. Stres Pada Remaja. Skripsi. (tidak diterbitkan). Palembang:
Universitas Sumatra Selatan.
Putra, H. 2011. STRESS Cara Mencegah dan Menanggulanginya. Bali: Udayana
University Press.
Rakhmat, J. 2011. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Santrock, J.W. 2007. Remaja “edisi kesebelas”. Jakarta: Erlangga.
Sarafino, E.P. 1994. Health Psychology. New York: John Wiley and Sons.
Stephen. 2011. Seni Mendengar dan Komunikasi yang Efektif. Jakarta: Klik
Publishing.
Sulaiman, T., Hassan, A., Sapian, M.V., & Abdullah, K.S. 2009. The Level of
Stress Among Students in Urban and Rural Secondary Schools in
Malaysia. European Journal of Social Sciences. Vol. 10, No. 2 : 179-184.
Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antar Pribadi Tinjauan Psikologis. Yogyakarta:
Kanisius.
Suranto, AW. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Walker, J. 2002. Teens In Distress Series Adolescent Stress and Depression.
http://www.extension.umn.edu/distribution/youthdevelpoment/DA3083.ht
ml[on line]. 12 desember 2011.
Weichold, K., Buttig, S., & Silbereisen, R.K. 2008. Effects Of Pubertal Timing On
Communication Behaviors And Stress Reactivity In Young Women During
Conflict Discussions With Their Mothers. Journal of Youth Adolescence.
37:1123-1133.
Widiana, H.S. 2008. Peranan Keberfungsian Keluarga dan Efikasi Diri terhadap
Reaksi Stres. Jurnal Humanitas. Vol 5, No. 2 : 108-123.

20

Anda mungkin juga menyukai