Anda di halaman 1dari 17

Akidah

 ‫التوحيد‬
 Nama-nama dan Sifat-sifat

10 Dalil Naqli dan Aqli Yang Menyatakan

Bahwa Al Qur’an Adalah Kalamullah

Bukan Makhluk
Pertanyaan

Saya berharap agar anda menjelaskan kepada kami tentang cara bermuamalah dengan syubhat-
syubhat pelaku bid’ah, khususnya bid’ahnya pernyataan bahwa al Qur’an adalah makhluk, saya
berharap agar anda merinci bagaimana cara menjawab syubhat mereka, disertai dengan
penyebutan buku-buku para ulama yang terpercaya yang telah menjelaskan dengan panjang lebar
untuk menolak ahli bid’ah dalam masalah ini.
Teks Jawaban

Alhamdulillah

Untuk menjawab bid’ah bertumpu pertama kali pada penguasaan tentang sunnah, penguasaan
dasar-dasar aqidah, memposisikan ilmu pada konsep yang benar yang bertumpu pada al Qur’an
dan Sunnah.

Hal ini tidak akan sempurna hanya dengan fatwa-fatwa yang terpecah belah, atau dengan bacaan
yang tidak sistematis, akan tetapi dengan cara belajar secara sistematis dengan menuntut ilmu
untuk mengetahui dasar-dasarnya yang akan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk
meneliti, menghafal, memahami dan mendapatkannya. Pada saat itulah memungkinkan baginya
untuk memahami syubhat, memahami perkataan para ulama, menganalisa kejanggalan yang
menyisakan permasalah aqidah yang besar seperti ini.

Kami di sini akan memberikan contoh kecil saja yang memungkinkan untuk dijadikan dasar
bahwa Al Qur’an adalah kalamullah dan menolak syubhat bahwa al Qur’an adalah makhluk,
dengan singkat dan padat kami nukil dari salah satu penelitian khusus, dengan demikian semoga
anda mengetahui sedikit tentang hal-hal yang memungkinkan untuk didiskusikan dalam masalah-
masalah akidah, keluasannya, rinciannya dan membutuhkan pembahasan dan penelitian.

Adalah memungkinkan dengan 10 dalil untuk menyatakan Al Qur’an al Karim adalah


kalamullah bukan makhluk, dalil-dalil tersebut adalah:

Dalil pertama:
Alloh –Ta’ala- berfirman:

( ‫س َو أالقَ َم َر‬ ‫ار يَ أ‬


َّ ‫طلُبُهُ َحثِيثًا َوال‬
َ ‫ش أم‬ َ ‫ض فِي ِستَّ ِة أَي ٍَّام ث ُ َّم ا أست ََوى َعلَى أالعَ أر ِش يُ أغشِي اللَّ أي َل النَّ َه‬ َ ‫ت َو أاْل َ أر‬ َّ ‫َّللاُ الَّذِي َخلَقَ ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬ َّ ‫إِ َّن َربَّ ُك ُم‬
‫أ‬
54 /‫َّللاُ َربُّ ال َعالَ ِمينَ (اْلعراف‬ َّ َ‫ارك‬ ‫أ‬ ‫أ‬
َ َ‫ت ِبأ َ أم ِر ِه أ َ ََل لَهُ الخَل ُق َو أاْل َ أم ُر تَب‬
ٍ ‫س َّخ َرا‬ َ ‫ َوالنُّ ُج‬.
َ ‫وم ُم‬

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah
hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al A’raf: 54)

Berhujjah dengan ayat ini dari dua sisi:

Pertama:

Bahwa Alloh –Ta’ala- telah membedakan antara menciptakan dan memerintah, keduanya adalah
bagian dari sifat-sifat-Nya, menyandarkan keduanya kepada Dzat-Nya. Adapun penciptaan
adalah perbuatan-Nya, sedangkan perintah-Nya adalah firman-Nya. Hukum asal dari dua kata
yang digabungkan masing-masing mempunyai arti yang berbeda, kecuali jika ada indikasi yang
menyatakan tidak demikian, dalam ayat tersebut ada banyak indikasi yang menguatkan adanya
perbedaan antara keduanya di antaranya adalah sebagaimana yang akan disebutkan kemudian.

Kedua:

Bahwa penciptaan itu tidak terjadi kecuali dengan perintah, sebagaimana firman Alloh –Ta’ala-:

82 /‫ش أيئًا أَ أن َيقُو َل لَهُ ُك أن فَ َي ُكونُ ( يس‬


َ َ‫ ) ِإنَّ َما أ َ أم ُرهُ ِإذَا أ َ َراد‬.

“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:


"Jadilah!" maka terjadilah ia”. (QS. Yaasiin: 82)

Firman Alloh: “Kun !” adalah perintah-Nya, jika dianggap sebagai makhluk pasti ciptaan-Nya
tersebut membutuhkan perintah, perintah membutuhkan perintah, dan demikian seterusnya, yang
demikian itu bisa dipastikan kebatilannya.

Imam Ahmad –rahimahullah- telah berhujjah dengan ayat ini atas Jahmiyah dan Mu’tazilah,
beliau berkata:

“Pendapat saya: “Alloh berfirman:

( ‫) أَل له الخلق واْلمر‬

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (QS. Al A’raf: 54)

Dia telah membedakan antara penciptaan dan perintah”. (Diriwayatkan dari Ibnu Hambal dalam
Al Mihnah: 53)

Beliau juga berkata kepada mereka:


“Firman Alloh:

]1 :‫( [النحل‬... ‫) أتى أمر هللا‬

“ Telah pasti datangnya ketetapan Allah”. (QS. An Nahl: 1)

Maka perintah-Nya, firman-Nya dan kekuasaan-Nya bukanlah makhluk, maka janganlah kalian
membenturkan sebagian kitabullah dengan sebagian lainnya”. (Diriwayatkan dari Ibnu Hambal
dalam Al Mihnah: 54)

Beliau juga menyampaikan dalam surat kepada Al Mutawakkil pada saat ditanya tentang
masalah al Qur’an:

“Alloh –Ta’ala- telah berfirman:

6 /‫َّللاِ ث ُ َّم أَ أب ِل أغهُ َمأ أ َمنَهُ ذَلِكَ ِبأَنَّ ُه أم قَ أو ٌم ََل َي أعلَ ُمونَ (التوبة‬ َ ‫) َو ِإ أن أ َ َحد ٌ ِمنَ أال ُم أش ِركِينَ ا أست َ َج‬
َّ ‫اركَ فَأ َ ِج أرهُ َحتَّى َي أس َم َع ك َََل َم‬

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat
yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At
Taubah: 6)

Dia juga berfirman:

( ‫) أَل له الخلق واْلمر‬

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (QS. Al A’raf: 54)

Dia (Alloh) telah mengabarkan dengan kata: “penciptaan” kemudian berfirman: “dan perintah”,
maka Dia Alloh telah menjelaskan bahwa perintah bukanlah penciptaan”. (Diriwayatkan oleh
Sholeh anaknya beliau dalam Al Mihnah: 120-121)

Imam Sufyan bin Uyainah al Hilali al Hafidz, dipercaya dan cerdas yang merupakan guru dari
Imam Ahmad telah mendahului beliau dalam berhujjah seperti ini, beliau berkata:

“Alloh –‘Azza wa Jalla- berfirman:

( ‫) أَل له الخلق واْلمر‬

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (QS. Al A’raf: 54)

Yang dimaksud dengan “Al Kholqu” pada ayat tersebut bahwa Alloh –Tabaraka wa Ta’ala- telah
menciptakannya, sedangkan “Al Amru” yaitu Al Qur’an”. (Diriwayatkan oleh Al Aajiri dalam
Asy Syari’ah: 80 dengan sanad yang baik)

Dalil kedua:

Alloh –Ta’ala- berfirman:


3 – 1 /‫سانَ (الرحمن‬ ِ ‫ َخلَقَ أ‬. َ‫ َعلَّ َم أالقُ أرآن‬. ُ‫الرحأ َمن‬
َ ‫اْل أن‬ َّ ) .

“ (Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur'an. Dia menciptakan manusia”.
(QS. Ar Rahman: 1-3)

Alloh –Ta’ala- telah membedakan antara llmu-Nya dan ciptaan-Nya, Al Qur’an adalah ilmu-Nya
sedangkan manusia adalah ciptaan-Nya. Ilmunya Alloh berbeda dengan makhluk-Nya. Alloh –
Ta’ala- berfirman:

120 /‫ير (البقرة‬ َّ َ‫َّللاِ ُه َو أال ُهدَى َولَئِ ِن اتَّبَعأتَ أ َ أه َوا َء ُه أم َب أعدَ الَّذِي َجا َءكَ ِمنَ أال ِع أل ِم َما لَكَ ِمن‬
ِ ‫َّللاِ ِم أن َو ِلي ٍ َو ََل ن‬
ٍ ‫َص‬ َّ ‫) قُ أل إِ َّن ُهدَى‬.

“Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya
jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak
lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (QS. Al Baqarah: 120)

Alloh –Ta’ala- telah menamakan Al Qur’an sebagai ilmu, Nabi telah mendapatkannya dari
Tuhannya, Dialah Alloh yang telah mengajarkan kepadanya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan
ilmu-Nya bukanlah makhluk, jikalau ilmu-Nya makhluk maka Alloh akan bersifat dengan lawan
katanya sebelum menciptakan, Maha Tinggi Alloh dan Maha Suci Alloh dari semua hal itu.

Imam Ahmad –rahimahullah- telah berhujjah dengan hal itu, beliau sampaikan dalam kisah
diskusi beliau dengan Jahmiyyah di majelisnya Al Mu’tashim:

“Abdurrahman Al Qazzaz berkata kepada saya: “Alloh ada sebelum Al Qur’an”. Saya jawab:
“Kalau begitu maka Alloh ada namun tidak mempunyai ilmu..”, dia terdiam. “Kalau dia
mengklaim bahwa Alloh ada namun tidak mempunyai ilmu, maka dia telah berlaku kafir kepada
Alloh”. (Diriwayatkan oleh Hambal dalam Al Mihnah: 45)

Dikatakan juga kepada beliau –rahimahullah-:

“Suatu kaum berkata: “Jika seseorang berkata: “kalamullah bukanlah makhluk”. Mereka berkata:
“Siapa imam anda dalam masalah ini ?, dari mana ucapanmu bahwa Al Qur’an bukan makhluk
?”

Beliau berkata:

“Hujjahnya adalah firman Alloh –Tabaaraka wa Ta’ala- :

( ‫) فمن حاجك فيه من بعد ما جاءك من العلم‬

“Siapa yang membantahmu tentang kisah `Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu)”.
(QS. Ali Imron: 61)

Dan tidaklah yang datang kepada beliau kecuali Al Qur’an”.

Beliau –rahimahullah- juga berkata:


“Al Qur’an bagian dari ilmu Alloh, maka barang siapa yang mengklaim bahwa ilmu Alloh
adalah makhluk maka dia telah menjadi kafir”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Hani’ dalam Al Masa’il:
2/153-154)

Dalil yang ketiga:

Alloh –Ta’ala- berfirman:

109 /‫ت َر ِبي لَنَ ِفدَ أال َبحأ ُر قَ أب َل أ َ أن ت َ أنفَدَ َك ِل َماتُ َر ِبي َولَ أو ِجئأنَا ِب ِمثأ ِل ِه َمدَدًا (الكهف‬
ِ ‫) قُ أل لَ أو َكانَ أال َبحأ ُر ِمدَادًا ِل َك ِل َما‬.

“Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami
datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS. Al Kahfi: 109)

Alloh –Ta’ala- berfirman:

ٌ ‫َّللاَ َع ِز‬
27 /‫يز َح ِكي ٌم (لقمان‬ َّ ‫َّللاِ إِ َّن‬
َّ ُ‫ت َك ِل َمات‬ َ ‫ش َج َرةٍ أ َ أق ََل ٌم َو أالبَحأ ُر يَ ُمدُّهُ ِم أن بَ أع ِد ِه‬
‫س أبعَةُ أَ أب ُح ٍر َما نَ ِفدَ أ‬ ِ ‫) َولَ أو أَنَّ َما فِي أاْل َ أر‬.
َ ‫ض ِم أن‬

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan
kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan)
kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Luqman: 27)

Alloh –Ta’ala- telah mengabarkan –dan firman-Nya adalah benar- bahwa kalimat-kalimat-Nya
tidak terbatas, kalau saja semua lautan yang telah Dia ciptakan dijadikan tinta untuk menulisnya,
dan semua pohon menjadi penanya, maka akan habis tinta semua lautan tersebut, penanya pun
akan rusak, sedangkan kalimat-kalimat Alloh belum habis. Penjelasan ini maksudnya adalah
tentang keagungan kalam Alloh –Ta’ala- dan kalam tersebut adalah sifat dan ilmu-Nya. Hal ini
tentunya tidak bisa dianalogikan dengan kalamnya makhluk yang akan musnah, jika kalam Alloh
adalah makhluk maka akan habis sebelum habisnya tinta satu lautan dari semua lautan yang ada;
karena Alloh telah menetapkan kerusakan pada semua makhluk tidak pada Dzat dan sifat-Nya.

Dalil Keempat:

Nama-nama Alloh –Ta’ala- di dalam Al Qur’an seperti: (Alloh, Ar Rahman, Ar Rahim, As


Samii’, Al ‘Aliim, Al Ghafuur, Al Kariim) dan lainnya dari Asma’ul Husna, semua itu adalah
bagian dari kalam-Nya; karena Dia-lah sendiri yang menamakannya dengan nama-nama
tersebut, baik secara lafadz maupun maknanya.

Alloh –Ta’ala- telah menyamakan antara bertasbih pada Dzat-Nya dan bertasbih dengan Nama-
nama-Nya, Alloh –Ta’ala- berfirman:

1 /‫س ِبحِ اس َأم َر ِبكَ أاْل َ أعلَى ( اْلعلى‬


َ )،

“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi”. (QS. Al A’la: 1)

Alloh –Ta’ala- juga telah menyamakan antara berdo’a kepada Dzat-Nya dan berdo’a kepada
Nama-nama-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
180/‫) َو ِ َّّلِلِ أاْل َ أس َما ُء أال ُح أسنَى فَادأعُوهُ ِب َها (اْلعراف‬

“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul
husna itu”. (QS. Al A’raf: 180)

Demikian juga Alloh –Ta’ala- menyamakan antara berdzikir kepada-Nya dengan berdzikir
kepada Nama-nama-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

ً ‫ص‬
25/‫يَل (اْلنسان‬ ِ َ‫ ) َواذأ ُك ِر اس َأم َر ِبكَ بُ أك َرةً َوأ‬.

“Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang”. (QS. Al Insan: 25)

Tasbih, do’a dan dzikir tersebut jika dilakukan kepada makhluk, maka berarti kufur kepada
Alloh.

Jika dikatakan: “Sungguh kalam Alloh –Ta’ala- adalah makhluk”.

Maka berarti nama-nama-Nya termasuk di dalamnya, dan barang siapa yang mengklaim
demikian, maka dia telah menjadi kafir sebagaimana yang telah kami sebutkan; karena hal itu
mengandung arti bahwa Alloh –Ta’ala- tidak mempunyai nama-nama tersebut sebelum
menciptakan kalam-Nya. Maka juga berarti orang yang bersumpah dengan salah satu dari nama-
nama-Nya adalah musyrik; karena dia telah bersumpah kepada makhluk, sedangkan makhluk
bukanlah sebagai Al Kholiq (pencipta).

Dengan hujjah inilah sekelompok ulama salaf dan para imam berdalil bahwa Al Qur’an bukanlah
makhluk, di antara mereka adalah:

Imam Hujjah Sufyan bin Sa’id ats Tsauri berkata:

“Barang siapa yang berkata: “‫ هللا الصمد‬،‫ “ قل هو هللا أحد‬adalah makhluk, maka dia telah menjadi
kafir”. (Diriwayatkan oleh Abdullah dalam As Sunnah: 13 dengan sanad yang baik)

Imam Syafi’i berkata:

“Barang siapa yang bersumpah dengan salah satu nama dari nama-nama Alloh, lalu dia
melanggarnya maka wajib membayar kaffarat; karena nama Alloh bukanlah makhluk, dan
barang siapa yang bersumpah dengan Ka’bah atau dengan Shofa dan Marwah maka tidak wajib
membayar kaffarat; karena dia adalah makhluk, sedangkan nama-Nya bukanlah makhluk”. (HR.
Ibnu Abi Hatim dalam Adab Syafi’i: 193 dengan sanad yang benar)

Ahmad bin Hambal berkata:

“Nama-nama Alloh yang ada di dalam Al Qur’an, dan Al Qur’an termasuk ilmu Alloh, barang
siapa yang mengklaim bahwa Al Qur’an itu makhluk maka dia menjadi kafir, dan barang siapa
yang mengklaim bahwa nama-nama Alloh adalah makhluk maka dia menjadi kafir”. (HR.
Sholeh dalam Al Mihnah: 52, 66-67)

Dalil kelima:
Alloh –Ta’ala- telah mengabarkan bahwa Al Qur’an telah diturunkan oleh-Nya dan disandarkan
kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

2 /‫ب أال َعا َل ِمينَ (السجدة‬ ِ ‫) ت َ أن ِزي ُل أال ِكتَا‬


َ ‫ب ََل َري‬
ِ ‫أب فِي ِه ِم أن َر‬

“Turunnya Al Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam”. (QS.
As Sajdah: 2)

Dia juga berfirman:

ِ ‫َاب َي أعلَ ُمونَ أ َ َّنهُ ُمن ََّز ٌل ِم أن َربِكَ بِ أال َح‬


114/‫ق ( اْلنعام‬ َ ‫) َوالَّذِينَ آت َ أينَا ُه ُم أال ِكت‬

“Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al
Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya”. (QS. Al An’am: 114)

Dia juga berfirman:

ِ ‫) قُ أل ن ََّزلَهُ ُرو ُح أالقُد ُِس ِم أن َربِكَ بِ أال َح‬


102 /‫ق ( النحل‬

“Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Qur'an itu dari Tuhanmu dengan benar”.
(QS. An Nahl: 102)

Dia (Alloh) tidak menyandarkan sesuatu yang diturunkan kepada Dzat-Nya kecuali kalam-Nya,
hal ini menunjukkan adanya kekhususan dari sisi artinya, maka hal itu tidaklah sama dengan
turunnya hujan, besi dan lain sebagainya. Kesemuanya itu Alloh telah mengabarkan bahwa juga
diturunkan, akan tetapi tidak menyandarkan kepada Dzat-Nya secara langsung, berbeda dengan
kalam (firman) Nya, kalam itu adalah sifat, sedangkan sifat itu tidak disandarkan kecuali kepada
yang memilikinya tidak kepada yang lainnya, jika sifat itu adalah makhluk, maka akan berpisah
dengan penciptanya dan tidak sah menjadi sifat-Nya; karena Alloh –Ta’ala- tidak membutuhkan
makhluknya dan tidak memiliki sedikitpun dari sifat makhluk-Nya.

Dalil yang keenam:

Dari Khoulah bin Hakim As Sulaimiyyah berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah –
shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

َ ُ‫ت ِم أن ش َِر َما َخلَقَ لَ أم يَض َُّره‬


‫ش أي ٌء َحت َّى يَ أرت َِح َل ِم أن َم أن ِز ِل ِه ذَلِكَ ( رواه مسلم‬ ِ ‫َّللاِ التَّا َّما‬
َّ ‫ت‬ ِ ‫) َم أن نَزَ َل َم أن ِز ًَل ث ُ َّم قَا َل أَعُوذ ُ بِ َك ِل َما‬
(2708).

“Barang siapa yang singgah di suatu tempat kemudian berkata: “Aku berlindung kepada kalimat-
kalimat Alloh yang sempurna dari keburukan semua makhluk”, maka tidak akan
membahayakannya sesuatu apapun sampai dia beranjak dari tempat singgah tersebut”. (HR.
Muslim: 2708)

Jikalau kalimat-kalimat-Nya adalah makhluk, berarti meminta perlindungan kepadanya adalah


syirik; karena meminta perlindungan kepada makhluk. Sebagaimana diketahui bahwa meminta
perlindungan kepada selain Alloh, nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah syirik, maka bagaimana
mungkin Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengajarkan kepada umatnya sebuah kesyirikan
yang nyata, sedangkan beliau yang membawa ajaran tauhid yang murni ??!.

Maka hal ini menunjukkan bahwa kalimat-kalimat Alloh –Ta’ala- bukanlah makhluk.

Nuaim bin Ahmad berkata:

“Tidak boleh meminta perlindungan kepada makhluk, tidak juga dengan ucapan hamba, jin,
manusia dan malaikat”.

Al Bukhori berkata setelah itu:

“Dalam hal ini menjadi dalil bahwa kalamullah itu bukan makhluk dan selain dari itu adalah
makhluk”. (Baca Kholqu Af’aalil ‘Ibaad: 143)

Dalil ketujuh:

Hadits Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

" ‫ أخرجه عثمان الدارمي في " الرد على الجهمية‬، ‫) فضل كَلم هللا على سائر الكَلم كفضل هللا على سائر خلقه ( حديث حسن‬
‫ والَللكائي رقم‬، (340 ،287) : ‫ رقم‬: (557).

“Keutamaan firman Alloh atas semua jenis ucapan sama halnya dengan keutamaan Alloh atas
semua makhluk-Nya”. (Hadits Hasan, diriwayatkan oleh Utsman Ad Darimi dalam Ar Raddu
‘alal Jahmiyyah: 287 dan 340 dan Al Lalika’i: 557)

Hadits ini mengandung penguatan akidah salaf bahwa Al Qur’an kalamullah bukan makhluk, hal
itu bisa dilihat dari dua sisi:

1.Adanya perbedaan antara kalamullah dengan kalam lainnya. Kalam itu bisa berupa kalamullah
yang merupakan sifat-Nya atau kalamnya makhluk yang diciptakan oleh Alloh, maka yang
menjadi sifat Alloh disandarkan kepada-Nya, dan selain kalamullah disandarkan secara umum;
agar mencakup semua kalam yang disandarkan kepada selain Alloh, jikalau semuanya dianggap
makhluk maka tidak dibutuhkan lagi adanya perbedaan antara keduanya.

2.Menjadikan perbedaan antara kalamullah dengan kalam lainnya, seperti halnya perbedaan
antara Dzat-Nya dengan dzat lainnya, maka kalam dan sifat-Nya dijadikan sesuai dengan Dzat
dan dan sifat-Nya. Sebagaimana kalam dan sifat makhluk sesuai dengan dzat dan sifatnya.

Imam Utsman bin Sa’id ad Darimi telah berhujjah dengan pernyataan di atas di dalam “Ar
Raddu ‘Alal Jahmiyyah”: 162-163, setelah menyebutkan beberapa hadits dalam masalah ini
beliau berkata:

“Beberapa hadits di atas menjelaskan bahwa Al Qur’an itu bukanlah makhluk; karena tidak satu
pun dari para makhluk mempunyai tingkatan keutamaan antara keduanya, sebagaimana tingkatan
keutamaan antara Alloh dengan makhluk-Nya; karena keutamaan antara sesama makhluk bisa
diketahui dan terukur. Namun tingkatan keutamaan antara Alloh dengan makhluk-Nya tidak bisa
diukur, tidak satu pun yang mampu menghitungnya, demikian juga tingkatan keutamaan antara
kalamullah dengan kalam para makhluk, jika kalamullah dianggap makhluk maka tidak perlu
dibedakan keutamaan kalamullah dengan kalam yang lain, sebagaimana keutamaan Alloh atas
makhluk-Nya, tidak juga seperti puluhan jilid dengan ribuan jilid, tidak sama juga dengan
pemahaman yang dekat yang bisa difahami, karena tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan
Dia, maka tidaklah serupa kalam-Nya dengan kalam lainnya dan tidak akan didatangkan yang
serupa dengannya selamanya”.

Dalil ke delapan:

Termasuk dalil aqli yang nampak jelas adalah bahwa jika kalamullah dianggap makhluk, maka
tidak keluar dari salah satu dari dua hal berikut ini:

1.Menjadi makhluk setara dengan Dzat Alloh

2.Menjadi terpisah dan berbeda dengan Dzat-Nya

Kedua kemungkinan tersebut adalah batil, bahkan jelas-jelas termasuk kufur.

Adapun yang pertama, maka hal itu berarti adanya penyatuan antara makhluk dengan
penciptanya, maka hal ini batil menurut ahlus sunnah dan menurut sebagian besar ahli bid’ah;
karena Alloh tidak membutuhkan makhluk-Nya dari segala sisi.

Sedangkan yang kedua, maka hal itu berarti meniadakan sifat kalam bagi Alloh –Ta’ala-, karena
sifat itu melekat dengan yang disifati –sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya- tidak bisa
melekat kepada yang lainnya, jika sifat itu melekat kepada dzat lain maka ia akan menjadi
sifatnya, maka dalam hal ini berarti Alloh dianggap tidak berbicara, yang demikian tentunya
bentuk kekufuran yang nyata, sebagaimana yang kami jelaskan pernyataan tersebut.

Dalil yang kesembilan:

Saya mengetahui bahwa sifat itu tidak berdiri sendiri, jika sifat tersebut kepunyaan Sang
Pencipta maka melekat dengan-Nya, jika sifat itu kepunyaan makhluk maka ia pun melekat
denganya, maka pergerakan, diam, berdiri, duduk, kemampuan, keinginan, ilmu, kehidupan dan
lain sebagainya dari semua sifat, jika disandarkan kepada sesuatu maka menjadi sifat sesuatu
tersebut, ia selalu mengikuti dan melekat dengannya. Semua sifat tersebut jika disandarkan
kepada makhluk maka menjadi sifatnya, dan jika sebagiannya disandarkan kepada Sang Pencipta
seperti kekuasaan, keinginan, ilmu, kehidupan dan lain sebagainya, maka akan menjadi sifat-Nya
karena disandarkan kepada-Nya. Jika disandarkan kepada makhluk maka ia termasuk makhluk,
dan jika disandarkan kepada Sang Pencipta maka ia bukan makhluk.

Sifat kemampuan berbicara sama halnya dengan sifat-sifat yang lainnya, harus berada pada
tempat tertentu, jika sifat tersebut berada di tempat tertentu maka ia menjadi sifat dari tempat
tersebut, tidak menjadi sifat bagi selainnya. Jika sifat tersebut disandarkan kepada Sang Pencipta
(Alloh) maka ia menjadi sifat-Nya, namun jika disandarkan kepada selain-Nya maka ia menjadi
sifat dzat lain tersebut. Sifatnya Sang Pencipta bukanlah makhluk sebagaimana Dzat-Nya,
sedangkan sifatnya makhluk juga berupa makhluk seperti halnya dirinya.
Ketika Alloh telah menyandarkan kalam kepada diri-Nya, maka kalam-Nya bukanlah makhluk;
karena ia mengikuti Dzat-Nya, Dzat-Nya Alloh –Ta’ala- bukanlah makhluk, membicarakan
kalam yang berupa sifat menjadi bagian dari kalam dalam bentuk dzat.

Jika dikatakan bahwa kalam itu makhluk.

Maka pendapat kami:

“Jadi Maha Suci Alloh dari mempunyai sifat yang berupa makhluk, kalian mengklaim telah
mensucikan Alloh dari kesamaan-Nya dengan makhluk, sesuai dengan pendapat kalian tersebut,
berarti kalian harus tidak menyandarkan kalam kepada-Nya, (jika tetap menyandarkannya) maka
berarti anda mendustakan pendengaran dan akal yang menyaksikan bahwa Alloh mempunyai
sifat kalam.

Akan tetapi mereka enggan untuk mengakui bahwa kalamullah bukanlah makhluk dengan
bertumpu pada kebatilan sebelumnya mereka berkata:

“Kami menetapkan bahwa Alloh Maha Berbicara dengan kalam yang berdiri sendiri pada yang
lainnya, Alloh –Ta’ala- berbicara kepada Musa dengan kalam yang diciptakan pada pohon, tidak
langsung dari-Nya, karena kami mensucikan-Nya dari menyamakan-Nya dengan makhluk”.

Pendapat kami:

“Kalian telah menjadikan kalam menjadi sifat pada tempat tertentu yang memilikinya, maka
pendapat kalian tersebut mengharuskan untuk dikatakan sebagai kalamnya pohon, karena berarti
pohon itulah yang berbicara kepada Musa:

( َ‫َّللاُ َربُّ أالعَالَ ِمين‬


َّ ‫سى إِنِي أَنَا‬
َ ‫( يَا ُمو‬،

“Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Alloh, Tuhan semesta Alam”.

Kalau demikian maka menjadi tidak ada perbedaan antara ucapan pohon dan ucapan Fir’aun
yang terlaknat:

( ‫) أنا ربكم اْلعلى‬

“Akulah Tuhan kalian yang paling tinggi”.

Karena ucapan pohon menjadi sifatnya, bukan sifat Alloh. Sedangkan ucapan Fir’aun adalah
sifatnya, keduanya menyatakan sebagai Rabb (Tuhan). Maka Musa menjadi tidak benar jika
mengingkari ucapan Fir’aun dan menerima ucapan sebuah pohon !!?

Maka Fikirkanlah dengan baik –semoga Alloh merahmati anda- tentang kekufuran yang nyata ini
yang menjerumuskan pelakunya kepada bid’ah yang tercela, dan mereka tidak ridho dan
menerima hakikat sesuai dengan yang diturunkan (melalui Al Qur’an). Mereka mengganti wahyu
yang mulia dengan ide-ide murahan yang dipengaruhi oleh hawa nafsu.
Dalil aqli ini yang dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad –rahimahullah- kepada Jahmiyyah dan
Mu’tazilah ketika berdiskusi dengan mereka di hadapan Al Mu’tashim, beliau berkata:

“Kisah Nabi Musa ini, Alloh sendiri yang berfirman di dalam kitab-Nya:

( ‫) وكلم هللا موسى‬

“Dan Alloh telah berbicara kepada Musa”.

Maka Alloh telah menetapkan berbicara kepada Musa sebagai bentuk kemuliaan dari-Nya
kepada Musa, kemudian setelah itu Dia Alloh lanjutkan dengan kata:

( ‫) تكليما‬

sebagai penguat dari ucapan tersebut.

Alloh –Ta’ala- berfirman:

( ‫يا موسى ) إنني أنا هللا َل إله إَل أنا‬

“Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Alloh yang tiada Tuhan (yang berhak disembah)
kecuali Aku”.

Kalian mengingkari ini, maka berarti huruf: “Yaa” kembali kepada selain Alloh ?, maka
bagaimana seorang makhluk mengklaim sebagai Tuhan !!?, ketahuilah bahwa (yang berbicara itu
adalah) Alloh –‘Azza wa Jalla- sendiri”. (Diriwayatkan oleh Hambal dalam Al Mihnah: 52)

Dalil yang kesepuluh:

Termasuk di antara ucapan para ulama salaf dalam menetapkan aqidah ini:

Amr bin Dinar –salah satu Imam generasi Tabi’in- berkata:

“Saya hidup bersama para sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan genarasi setelahnya
sejak 70 tahun yang lalu, mereka mengatakan: “Alloh adalah Sang Pencipta, dan yang lain
adalah makhluk. Al Qur’an adalah kalamullah yang berasal dari-Nya dan kepada-Nya akan
kembali”.

Abdullah bin Nafi’ berkata: “Malik pernah berkata: “Al Qur’an adalah kalamullah, dan sangat
tercela pendapat yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk”. (Diriwayatkan oleh
Sholeh bin Ahmad dalam Al Mihnah: 66 dengan sanad yang shahih)

Rabi’ bin Sulaiman sahabat Imam Syafi’i dan muridnya berkata saat menceritakan diskusi antara
beliau dengan Hafsh Al Fard dalam Al Qur’an:

“Maka Imam Syafi’i bertanya, Imam Syafi’i menyampaikan hujjahnya, diskusi yang panjang,
maka Imam Syafi’i berhujjah bahwa Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk dan
mengkafirkan Hafsh Al Fard. Ar Rabii’ berkata: “Saya bertemu dengan Hafsh Al Fard setelah
majelis tersebut dan mengatakan: “Imam Syafi’i ingin membunuh saya”. (Diriwayatkan oleh
Abdur Rahman bin Abi Hatim dalam Aadab Asy Syafi’i: 194-195 dengan sanad yang shahih)

Ibnu Abi Hatim berkata:

“Saya telah bertanya kepada bapak saya dan kepada Abu Zar’ah tentang madzhab-madzhab
Ahlus Sunnah dalam masalah ushuluddin dan para tokoh ulama yang beliau berdua ketahui dan
yang menjadi keyakinan beliau berdua ?

Beliau berdua menjawab:

“Kami telah mengetahui para tokoh ulama di semua kota di daerah Hijaz, Irak, Syam dan
Yaman, maka di antara madzhab mereka bahwa iman itu ucapan dan perbuatan bisa bertambah
dan berkurang dan Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk dari semua sisinya”.
(Diriwayatkan oleh Thabrani dalam As Sunnah: 1/176 dengan sanad yang shahih)

Imam Abu Qosim Hibatullah bin Hasan Ath Thabari Al Lalika’i dalam karyanya yang besar
“Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah telah merumuskan:

“Pendapat mengenai hal itu terhitung sebanyak 550 ulamanya umat dan generasi salafnya, semua
mereka berkata: “Al Qur’an kalamullah bukan makhluk, dan barang siapa yang mengatakan
bahwa Al Qur’an adalah makhluk maka ia telah kafir”.

Beliau –rahimahullah- berkata:

“Mereka yang berjumlah 550 ulama atau lebih tersebut berasal dari kalangan tabi’iin, pengikut
tabi’iin, para imam tidak termasuk para sahabat, pada masa yang berbeda, setelah bertahun-tahun
berlalu, di antara mereka juga ada 100 para imam yang menjadi rujukan umat, mereka
menjalankan agamanya dengan madzhab mereka. Dan jika anda sibuk menukil dari perkataan
ahli hadits maka nama-nama yang muncul akan mencapai ribuan”. (As Sunnah: 493)

Secara ringkas dan dengan sedikit perubahan di salin dari buku “Al Aqidah As Salafiyah fii
Kalam Rabbil Bariyyah wa Kasyfu Abathiil Al Mubtadi’ah Ar Raddiyah: 121-147.

Untuk pendalaman materi maka baca juga jilid 12 dari Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah: “Al
Qur’an Kalamullah” dan “Mukhtashor Ash Showa’iq Al Mursalah” karya Ibnu Qayyim.

Baca juga makalah yang bermanfaat untuk dibaca dalam masalah ini dengan judul: “Lima Kaana
Al Qoulu bikholqil Qur’an Kufran ? wal Kalam An Nafsi ? karya Syeikh Amr Basyuni pada link
berikut ini: http://taseel.com/display/pub/default.aspx?id=3300&mot=1

Wallahu A’lam.
Oleh
Majdi As-Sayyid Ibrahim

‫ض ال ُم ْسل ِِّّم يُ ْذ ه ِِِّّبُ ه‬


‫َّللاُ بِّ ِّه‬ َ ‫ فَإِّ ِّن َم َر‬، ِّ‫ى يَا أ ُ ِّم العَالَء‬ َ ‫سله َم َوأَنَا َم ِّر ْي‬
ْ ‫ ا َ ْبش ِِّّر‬: ‫ فَقَا َل‬،ً‫ضة‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ِّ ‫س ْو ُل ه‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫عا َدن ِّْي َر‬ ْ َ‫ع ْن أ ُ ِّم العَالَءِّ قَال‬
َ :‫ت‬ َ
‫ض ِّة‬ ‫ب َوال ِّف ه‬ ‫ه‬
ِّ ‫ث الذ َه‬ َ َ‫ار خَبب‬ ْ
ُ ‫َخطايَاهُ َك َما تُذ هِّبُ النه‬ َ
“Dari Ummu Al-Ala’, dia berkata :”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk-ku tatkala aku
sedang sakit, lalu beliau berkata. ‘Gembirakanlah wahai Ummu Al-Ala’. Sesungguhnya sakitnya
orang Muslim itu membuat Allah menghilangkan kesalahan-kesalahan, sebagaimana api yang
menghilangkan kotoran emas dan perak”. [1]

Wahai Ukhti Mukminah !


Sudah barang tentu engkau akan menghadapi cobaan di dalam kehidupan dunia ini. Boleh jadi
cobaan itu menimpa langsung pada dirimu atau suamimu atau anakmu ataupun anggota keluarga
yang lain. Tetapi justru disitulah akan tampak kadar imanmu. Allah menurunkan cobaan kepadamu,
agar Dia bisa menguji imanmu, apakah engkau akan sabar ataukah engkau akan marah-marah, dan
adakah engkau ridha terhadap takdir Allah ?

Wasiat yang ada dihadapanmu ini disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala
menasihati Ummu Al-Ala’ Radhiyallahu anha, seraya menjelaskan kepadanya bahwa orang mukmin
itu diuji Rabb-nya agar Dia bisa menghapus kesalahan dan dosa-dosanya.

Selagi engkau memperhatikan kandungan Kitab Allah, tentu engkau akan mendapatkan bahwa
yang bisa mengambil manfaat dari ayat-ayat dan mengambil nasihat darinya adalah orang-orang
yang sabar, sebagaimana firman Allah.

ٍ ‫ش ُك‬
‫ور‬ َ ‫هار‬
ٍ ‫صب‬ ٍ ‫ظ ْه ِّر ِّه ۚ ِّإ هن فِّي ٰذَلِّكَ ََليَا‬
َ ‫ت ِّلكُ ِّل‬ َ ‫ظلَ ْلنَ َر َوا ِّك َد‬
َ ‫علَ ٰى‬ ِّ ‫َومِّ ْن آيَاتِّ ِّه ْال َج َو ِّار فِّي ْالبَحْ ِّر ك َْاْلَع َْال ِّم ِّإن يَشَأ ْ يُ ْسك ِِّّن‬
ْ َ‫الري َح فَي‬

“Dan, di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal (yang berlayar) di laut seperti gunung-
gunung. Jikalau Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu
terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kekuasaan) -Nya bagi setiap orang yang bersabar dan banyak bersyukur”. [Asy-Syura : 32-33]

Engkau juga akan mendapatkan bahwa Allah memuji orang-orang yang sabar dan menyanjung
mereka. Firman-Nya.

َ‫ص َدقُوا ۖ َوأُو ٰلَئِّكَ هُ ُم ْال ُمت هقُون‬ ٰ


َ َ‫ساءِّ َوالض ههراءِّ َوحِّ ينَ ْالبَأ ْ ِّس ۗ أُولَئِّكَ الهذِّين‬
َ ْ ‫صا ِّب ِّرينَ فِّي ْالبَأ‬
‫َوال ه‬

“Dan, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka
itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. [Al-
Baqarah : 177]

Engkau juga akan tahu bahwa orang yang sabar adalah orang-orang yang dicintai Allah,
sebagaimana firman-Nya.

َ‫صابِّ ِّرين‬
‫َّللاُ يُحِّ بُّ ال ه‬
‫َو ه‬

“Dan, Allah mencintai orang-orang yang sabar”. [Ali Imran : 146]

Engkau juga akan mendapatkan bahwa Allah memberi balasan kepada orang-orang yang sabar
dengan balasan yang lebih baik daripada amalnya dan melipat gandakannya tanpa terhitung.
Firman-Nya.

َ ْ‫صبَ ُروا أَجْ َرهُم بِّأَح‬


َ‫س ِّن َما كَانُوا يَ ْع َملُون‬ َ َ‫َولَنَجْ ِّزيَ هن الهذِّين‬
“Dan, sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan”. [An-Nahl : 96]

‫ب‬ َ ِّ‫صا ِّب ُرونَ أَجْ َرهُم ِّبغَي ِّْر ح‬


ٍ ‫سا‬ ‫نه َما ي َُوفهى ال ه‬

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.
[Az-Zumar : 10]

Bahkan engkau akan mengetahui bahwa keberuntungan pada hari kiamat dan keselamatan dari
neraka akan mejadi milik orang-orang yang sabar. Firman Allah.

ِّ ‫ع ْقبَى الد‬
‫هار‬ َ ‫علَ ْيكُم بِّ َما‬
ُ ‫صبَ ْرت ُ ْم ۚ فَنِّ ْع َم‬ َ ‫س َال ٌم‬
َ ‫ب‬ َ َ‫َو ْال َم َالئِّ َكةُ يَ ْد ُخلُون‬
ٍ ‫علَ ْي ِّهم مِّ ن كُ ِّل بَا‬

“Sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan)
:’Salamun ‘alaikum bima shabartum’. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu” [Ar-Ra’d : 23-
24]

Benar. Semua ini merupakan balasan bagi orang-orang yang sabar dalam menghadapi cobaan.
Lalu kenapa tidak ? Sedangkan orang mukmin selalu dalam keadaan yang baik ?.

Dari Shuhaib Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik.
Apabila mendapat kelapangan, maka dia bersyukur dan itu kebaikan baginya. Dan, bila ditimpa
kesempitan, maka dia bersabar, dan itu kebaikan baginya”. [2]

Engkau harus tahu bahwa Allah mengujimu menurut bobot iman yang engkau miliki. Apabila bobot
imanmu berat, Allah akan memberikan cobaan yang lebih keras. Apabila ada kelemahan dalam
agamamu, maka cobaan yang diberikan kepadamu juga lebih ringan. Perhatikalah riwayat ini.

“Dari Sa’id bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, dia berkata. ‘Aku pernah bertanya : Wahai
Rasulullah, siapakah orang yang paling keras cobaannya ?. Beliau menjawab. Para nabi, kemudian
orang pilihan dan orang pilihan lagi. Maka seseorang akan diuji menurut agamanya. Apabila
agamanya merupakan (agama) yang kuat, maka cobaannya juga berat. Dan, apabila di dalam
agamanya ada kelemahan, maka dia akan diuji menurut agamanya. Tidaklah cobaan menyusahkan
seorang hamba sehingga ia meninggalkannya berjalan di atas bumi dan tidak ada satu kesalahan
pun pada dirinya”.[3]

“Dari Abu Sa’id Al-Khudry Radhiyallahu anhu, dia berkata. ‘Aku memasuki tempat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau sedang demam. Lalu kuletakkan tanganku di badan beliau.
Maka aku merasakan panas ditanganku di atas selimut. Lalu aku berkata.’Wahai Rasulullah,
alangkah kerasnya sakit ini pada dirimi’. Beliau berkata :’Begitulah kami (para nabi). Cobaan
dilipatkan kepada kami dan pahala juga ditingkatkan bagi kami’. Aku bertanya.’Wahai Rasulullah,
siapakah orang yang paling berat cobaannya ?. Beliau menjawab. ‘Para nabi. Aku bertanya. ‘Wahai
Rasulullah, kemudian siapa lagi?. Beliau menjawab.’Kemudian orang-orang shalih. Apabila salah
seorang di antara mereka diuji dengan kemiskinan, sampai-sampai salah seorang diantara mereka
tidak mendapatkan kecuali (tambalan) mantel yang dia himpun. Dan, apabila salah seorang diantara
mereka sungguh merasa senang karena cobaan, sebagaimana salah seorang diantara kamu yang
senang karena kemewahan”. [4]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Cobaan tetap akan menimpa atas diri orang mukmin dan mukminah, anak dan juga hartanya,
sehingga dia bersua Allah dan pada dirinya tidak ada lagi satu kesalahanpun”. [5]

Selagi engkau bertanya :”Mengapa orang mukmin tidak menjadi terbebas karena keutamaannya di
sisi Rabb.?”.

Dapat kami jawab :”Sebab Rabb kita hendak membersihkan orang Mukmin dari segala maksiat dan
dosa-dosanya. Kebaikan-kebaikannya tidak akan tercipta kecuali dengan cara ini. Maka Dia
mengujinya sehingga dapat membersihkannya. Inilah yang diterangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam terhadap Ummul ‘Ala dan Abdullah bin Mas’ud. Abdullah bin Mas’ud pernah berkata.”Aku
memasuki tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang demam, lalu aku
berkata.’Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sungguh menderita demam yang sangat keras’.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata.”Benar. Sesungguhnya aku demam layaknya dua
orang diantara kamu yang sedang demam”.

Abdullah bin Mas’ud berkata.”Dengan begitu berarti ada dua pahala bagi engkau ?”

Beliau menjawab. “Benar”. Kemudian beliau berkata.”Tidaklah seorang muslim menderita sakit
karena suatu penyakit dan juga lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya
dengan penyakit itu, sebagaimana pohon yang menggugurkan daun-daunnya”. [6]

Dari Abi Sa’id Al-Khudry dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma, keduanya pernah mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Tidaklah seorang Mukmin ditimpa sakit, letih,
demam, sedih hingga kekhawatiran yang mengusiknya, melainkan Allah mengampuni kesalahan-
kesalahannya”. [7]

Sabar menghadapi sakit, menguasai diri karena kekhawatiran dan emosi, menahan lidahnya agar
tidak mengeluh, merupakan bekal bagi orang mukmin dalam perjalanan hidupnya di dunia. Maka
dari itu sabar termasuk dari sebagian iman, sama seperti kedudukan kepala bagi badan. Tidak ada
iman bagi orang yang tidak sabar, sebagaimana badan yang tidak ada artinya tanpa kepala. Maka
Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata. “Kehidupan yang paling baik ialah apabila kita
mengetahuinya dengan berbekal kesabaran”. Maka andaikata engkau mengetahui tentang pahala
dan berbagai cobaan yang telah dijanjikan Allah bagimu, tentu engkau bisa bersabar dalam
menghadapi sakit. Perhatikanlah riwayat berikut ini.

“Dari Atha’ bin Abu Rabbah, dia berkata. “Ibnu Abbas pernah berkata kepadaku. ‘Maukah
kutunjukkan kepadamu seorang wanita penghuni sorga .?. Aku menjawab. ‘Ya’. Dia (Ibnu Abbas)
berkata. “Wanita berkulit hitam itu pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya
berkata.’Sesungguhnya aku sakit ayan dan (auratku) terbuka. Maka berdoalah bagi diriku. Beliau
berkata.’Apabila engkau menghendaki, maka engkau bisa bersabar dan bagimu adalah sorga. Dan,
apabila engkau menghendaki bisa berdo’a sendiri kepada Allah hingga Dia memberimu afiat’. Lalu
wanita itu berkata. ‘Aku akan bersabar. Wanita itu berkata lagi. ‘Sesungguhnya (auratku) terbuka.
Maka berdo’alah kepada Allah bagi diriku agar (auratku) tidak terbuka’. Maka beliau pun berdoa bagi
wanita tersebut”. [8]

Perhatikanlah, ternyata wanita itu memilih untuk bersabar menghadapi penyakitnya dan dia pun
masuk sorga. Begitulah yang mestinya engka ketahui, bahwa sabar menghadapi cobaan dunia akan
mewariskan sorga. Diantara jenis kesabaran menghadapi cobaan ialah kesabaran wanita muslimah
karena diuji kebutaan oleh Rabb-nya. Disini pahalanya jauh lebih besar.

Dari Anas bin Malik, dia berkata.”Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda. “Sesungguhnya Allah berfirman.’Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan kebutaan) pada
kedua matanya lalu dia bersabar, maka Aku akan mengganti kedua matanya itu dengan sorga” [9]

Maka engkau harus mampu menahan diri tatkala sakit dan menyembunyikan cobaan yang
menimpamu. Al-Fudhail bin Iyadh pernah mendengar seseorang mengadukan cobaan yang
menimpanya. Maka dia berkata kepadanya.”Bagaimana mungkin engkau mengadukan yang
merahmatimu kepada orang yang tidak memberikan rahmat kepadamu .?”

Sebagian orang Salaf yang shalih berkata :”Barangsiapa yang mengadukan musibah yang
menimpanya, seakan-akan dia mengadukan Rabb-nya”.

Yang dimaksud mengadukan di sini bukan membeberkan penyakit kepada dokter yang
mengobatinya. Tetapi pengaduan itu merupakan gambaran penyesalan dan penderitaan karena
mendapat cobaan dari Allah, yang dilontarkan kepada orang yang tidak mampu mengobati, seperti
kepada teman atau tetangga.

Orang-orang Salaf yang shalih dari umat kita pernah berkata. “Empat hal termasuk simpanan sorga,
yaitu menyembunyikan musibah, menyembunyikan merahasiakan) shadaqah, menyembunyikan
kelebihan dan menyembunyikan sakit”.

Ukhti Muslimah !
Selanjutnya perhatikan perkataan Ibnu Abdi Rabbah Al-Andalusy : “Asy-Syaibany pernah
berkata.’Temanku pernah memberitahukan kepadaku seraya berkata.’Syuraih mendengar tatkala
aku mengeluhkan kesedihanku kepada seorang teman. Maka dia memegang tanganku seraya
berkata.’Wahai anak saudaraku, janganlah engkau mengeluh kepada selain Allah. Karena orang
yang engkau keluhi itu tidak lepas dari kedudukannya sebagai teman atau lawan.

Kalau dia seorang teman, berarti engkau berduka dan tidak bisa memberimu manfaat. Kalau dia
seorang lawan, maka dia akan bergembira karena deritamu. Lihatlah salah satu mataku ini,’sambil
menunjuk ke arah matanya’, demi Allah, dengan mata ini aku tidak pernah bisa melihat seorangpun,
tidak pula teman sejak lima tahun yang lalu. Namun aku tidak pernah memberitahukannya kepada
seseorang hingga detik ini. Tidakkah engkau mendengar perkataan seorang hamba yang shalih
(Yusuf) :”Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku”. Maka
jadikanlah Allah sebagai tempatmu mengadu tatkala ada musibah yang menimpamu.
Sesungguhnya Dia adalah penanggung jawab yang paling mulia dan yang paling dekat untuk
dimintai do’a”. [Al-Aqdud-Farid, 2/282]

Abud-Darda’ Radhiyallahu anhu berkata. “Apabila Allah telah menetapkan suatu taqdir,maka yang
paling dicintai-Nya adalah meridhai taqdir-Nya”. [Az-Zuhd, Ibnul Mubarak, hal. 125]

Perbaharuilah imanmu dengan lafazh La ilaha illallah dan carilah pahala di sisi Allah karena cobaan
yang menimpamu. Janganlah sekali-kali engkau katakan :”Andaikan saja hal ini tidak terjadi”, tatkala
menghadapi taqdir Allah. Sesungguhnya tidak ada taufik kecuali dari sisi Allah.
[Disalin dari kitab Al-Khamsuna Wasyiyyah Min Washaya Ar-Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Lin
Nisa, Edisi Indonesia Lima Puluh Wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bagi Wanita,
Pengarang Majdi As-Sayyid Ibrahim, Penerjemah Kathur Suhardi, Terbitan Pustaka Al-Kautsar]

Copyright © 2018 Almanhaj


Riba Definisi Lengkap, Kisah Nama Nabi Muhammad Ada Di Arsy, Memputus
Hubungan Tali Silatuhrahmi, Ayat Alquran Tentang Pembangunan Kabah, Resep
Kluarga Samarah, Penjelasan Islam Tentang Manusia Yang Sombong, Maksud Dari
Menjauhi Fanatik Golongan, Menutup Telalak Tangan Wanita Dalam Sholat, Azab
Orang Yang Gemar Menyantet, Efek Kompres Dingin Di Payudara Bagi Ibu
Menyusui, Hadist Shahih Latin Tentang Ilmu, Resiko Keluar Alfa Secara Mendadak
Setelah Meninggalkan Hutang, Hukum Jual Barang Tidak Sesuai Dalam Islam, Amalan
Ya Rokib, Itsar, Yang Disebut Anak Yatim, Hukum Air Liur Anjing Termasuk Najis
Mughalazah, Apakah Aliran Sufisme Itu Dilarang Dalam Islam, 5 Tanda Cinta Kepada
Nabi, Makna Mahabbah Sesuai Sunnah

Anda mungkin juga menyukai