Anda di halaman 1dari 6

Pucuk Harapan

Karya : Rananda Oktarina

Senja selalu indah. Diantara senja dan keheningan di tempat ini, mengingatkannku
tentang kesibukan kecil yang membahagiakan. Aku Septi, pelajar tingkat SMA di salah satu
sekolah favorit di Yogyakarta. Aku terlahir dari keluarga yang sederhana, serba
berkecukupan. Ya, bapak dan ibuku hanyalah seorang penjual gudeg.

Hari mulai gelap, tidak ada bapak dan ibu di rumah. Mungkin mereka masih menjual
dagangannya. Dari pagi sampai siang bapak dan ibu berjualan di alun-alun yogyakarta,
sedangkan malam harinya mereka berjualan di sekitaran jalan Malioboro. Aku tidak diam,
malam harinya aku mempersiapkan bumbu-bumbu yang akan diracik untuk ibu membuat
gudeg pada subuh hari.

Hari pun sudah pagi, embun menetes, namun kali ini tidak ada yang menantinya. Aku
awali pagi dengan semangat baru.

“Ndhuk, belum berangkat sekolah? Jangan sampai telat ya!.” Perintah bu iyem kepada
anak sulungnya. Gendhuk merupakan panggilan untuk anak perempuan. Yang dimaknai
sebagai sebutan yang akrab, dekat dan penuh kasih kepada anak perempuan.

“Iya bu, bapak diamana bu? Ada surat untuk bapak.”

“Tinggalkan saja ndhuk, bapakmu lagi pergi kepasar” sahut ibu

“Septi pamit bu” .

Aku kemudian mengeluarkan barang kebanggaanku untuk pergi ke sekolah. Ya itu


adalah sepeda, pemberian bapak beberapa tahun yang lalu hadiah ulang tahunku.

Jam menunjukan pukul 07.00, bergegas aku memasuki kelas dan semoga guruku belum
masuk. Aku memiliki teman akrab di kelas, namanya fina. Teman sekelasku yang cantik dan
kaya. Tetapi pagi itu merupakan pagi yang buruk bagi fina.

“Permisi bu, apa saya boleh masuk? Fina muncul dari balik pintu setelah 30 menit jam
pelajaran dimulai.

“masuklah setelah jam pelajaran saya selesai!” jawab bu Ayu sembari menutup pintu
dengan keras.
Fina, dia perempuan yang sangat rajin, biasanya ia tidak pernah setelat ini, entah apa
yang menyebabkan dia telat aku pun tak tau. Setelah jam pelajaran selesai, fina pun masuk
kali ini dengan rasa yang tidak bersalah.

Aku berhenti sejenak, tiba-tiba di luar kelas terdengar suara audio yang diumumkan
nama-nama siswa yang akan memakili sekolah dalam perlombaan Budaya, dalam rangka
Hari Anak Nasional di depan Kraton Yogyakarta. Ada banyak cabang lomba yang
diselenggarakan, anatra lain adalah Fashion Show, Lomba menari, Lomba Solo Song,
Melukis dan pakaian adat Jawa.

Septiani, namaku disebut untuk mewakili lomba menari tradisional. Mungkin karena
aku ikut ekstrakulikuler tari sejak aku bersekolah di sini. Aku memang tak cantik, kulit ku
pun tidak terlalu cerah, tapi untuk menggerakan anggota tubuku aku selalu megusahakannya
setiap latihan agar terlihat gemulai.

Audio pun berhenti.

“wah sep, nama kamu disebut, pasti kamu bawa pulang piala” celetuk Fina

“lomba gitu aja kok bangga sih, Cuma tari tradisional aja bangga. Dance dong biar
kece” kata diah.

Aku hanya diam. Diah memang begitu orangnya. Temen kelasku yang selalu ingin
menjatuhkan teman-teman nya agar terlihat ia paling hebat.

“Kring kring kring”

Bel pun berbunyi, menandakan pelajaran hari ini telah selesai.

Setelah pulang sekolah, aku pun kumpul dengan teman-teman ekstrakulikuler dan
peserta yang lain yang akan ikut perlombaan. Perlombaan akan dilaksanakan 1 minggu lagi
setelah hari ini dan latihan dimulai besok siang setelah kegiatan belajar selesai.

Matahari benar-benar diatas kepala, waktu menunjukan pukul 12.00. dengan sepedaku
aku menggayu untuk sampai ke rumah. Lelah memang terasa, tetapi aku membawa kabar
gembira untuk bapak dan ibuku.
Tidak ada bapak dan ibuk di rumah, mungkin karena mereka lagi menjual barang
dagangannya. Ya, semua ini demi surat yang tadi pagi aku berikan kepada bapak. Uang SPP
ku belum terbayarkan. Sambil duduk aku melamunkan gerakan tarian yang akan aku
persembahkan esok di depan guru menariku sambil aku latihan.

“Ndhuk, udah sore kok belum ganti baju? Tegur bapaku yang membuat lamunanku
buyar.

“Iya pak, sebentar lagi. Pak, minggu depan aku mewakili sekolah untuk lomba manari
di Kraton” kataku antusias

“dalam rangka apa ndhuk?”

“Dalam rangka Hari anak Nasional, katanya agar pelajar sekarang menegerti budaya
pak”

“Ohh, bagus sekali ndhuk, istirahat sana, bapak mau siap-siap ingin jualan lagi” ibumu
tidak pulang karena nunggu bapak di malioboro” jelas bapakku.

“Nggih pak” jawabku

Hari sudah mulai gelap. Orang-orang berhenti beraktifitas. Tapi tidak untuk keluargaku.
Sementara bapak dan ibu berjualan di malioboro. Aku di rumah belajar dan latihan menari
untuk persiapan lomba. Bukan karena aku tidak lelah, tetapi aku tidak mau waktu terbuang
sia-sia.

Hari berjalan tiada henti. Aku melakukan aktivitas yang sama pada waktu yang
berbeda. Melakukannya dengan tulus dan ikhlas. Hari ini adalah hari terakhirku latihan
menari di sekolah. Perlahan aku pun bisa membiasakan diri dengan gerakan tarian ini.

Aku melihat diah di luar gedung tempat latihan ku. Dan aku pun menyampirinya

“ Diah, 2 minggu lagi ada lomba menyanyi lagi di daerah taman budaya, suaramu kan
bagus, ini formulir pendaftaran jika kamu mau” aku meletakan kertas formulir di meja depan
diah duduk.

Tidak ada pembicaraan. Hanya senyap. Dan aku kemudian pulang untuk menyiapkan
perlombaan esok hari.

***
Pagi ini aku memulai hariku dengan restu kedua orang tuaku untuk mengikuti lomba
pentas seni tingkat SMA se provinsi di depan kraton.

Aku datang di aula paling awal. Setelah sebelumnya rias dan menyiapkan musik.
Waktu memang tidak pernah salah. Aku menjadi peserta yang tampil pertama. Alunan musik
menghantarkan aku menggerakan kaki, tangan dan kepala sehingga harmoni setiap detik
waktu penampilanku.

“sep, tarianmu indah sekali, aku yakin kamu pasti juara” Kata fina yang
mendampingiku di perlombaan ini.

“bukan tarianku yang indah fin, tapi kebudayaan indoensia lah yang selalu indah,
menarik dan harus dilestarikan” kata ku sambil menarik nafas lega

“andai saja semua siswa di indonesia ini sadar untuk melestarikannya ya sep” tutur fina

“ semoga kita semua sadar ya fin”

Diperlombaan ini aku hanya di temeni dengan fina, sahabat karibku. Bapak dan ibu
tidak bisa datang bukan karena tidak mendukung dan bangga. Tetapi karena jika mereka
datang berarti tidak ada uang SPP yang akan terbayarkan.

Doa orang tua terutama ibu memang doa yang terbaik. Setelah beberapa saat menunggu
selesai pertunjukan. Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Pengumuman juara
dibacakan. Dan yang menjadi juara 1 adalah SMK. Satu-satunya SMK yang khusus jurusan
tari.

“memang sangat mengesankan tarian mereke” batinku dalam hati setelah mendengar
pengumuman itu.

“aaaaaa...” fina pun menjerit mengangetkanku

“SMA kita menjadi runner up sep, selamat ya, aku bangga sama kamu” jeritan dan
pelukannya benar-benar mengagetkanku.

“Terima kasih tuhan, kau berikan hasil terbaik atas usaha dan doaku” batin ku kali ini
membuat air metes di pipiku.

***
Seperti selalu ada di pikiran, pagi memang selalu indah. Tetapi pagi ini adalah sebuah
kemenangan. Pohon-pohon menjadi saksi penyerahan piala yang aku peroleh pada
perlombaan kesenian di bidang tarian tradisional yang diselenggarakan.

“penyerahan piala dari Septiani kepada bapak kepala sekolah, kepada septiani dimohon
maju” perkataan wakil kesiswaan saat pengumuman di upacara ini dan diikuti oleh tepukan
tangan teman-teman. Tapi tidak dengan diah.

Diah kali ini tampak berbeda, cenderung diam dan menatap kosong. Entah apa yang
sedang ada di benaknya, namun, pagi ini aku melihat nya tidak lagi sama seperti dulu.

“Sep, aku minta maaf atas segala perilaku selama ini yang mungkin kurang berkenan di
hatimu” diah menghampiriku.

“tidak ada yang salah dalam pertemanan diah”

“kamu mengajarkan banyak hal kepada ku sep, dengan semua kekuranganmu, kamu
mau berusaha menjadi orang hebat. Dan aku ingin sepertimu” diah memeluku erat dan
menangis.

Tidak ada yang dapat aku bisa ucapkan kepadanya. Semua tampak tak terfikir
dibenakku.

“minggu depan aku mengikuti lomba menyanyi lagu daerah di taman budaya. Formulir
dari kamu udah aku isi dan udah aku kirim. Nanti temenin aku latihan ke studio ya. Aku juga
ingin mempersembahkan piala untuk sekolah. Aku pengen seperti kamu bantu aku untuk
berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi sep” tutur diah penuh penyesalan.

“ Aku tak sebaik yang kamu kira diah, masih banyak kekuranganku. Kamu orang hebat,
aku yakin kamu bisa mempersembahkan piala juga ke sekolah ini” jawabku untuk diah.

Karena pada dasarnya setiap orang memiliki sisi baik di dalam hati kecilnya. Hanya
terkadang pergaulan lah membuat kita terlena dan terpengaruh. Mungkin sebagai bentengnya
harus memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi

***
Hari ini gerimis dengan syahdunya di kota tercinta ini. Para peserta lomba memadukan
suara emasnya dengan lagu daerah kita ini. Diawali nyanyian lagu indonesia raya dan
dilanjutkan dengan lagu daerah dengan pesertanya masing-masing. Benar-benar momen
mengesankan untuk diah, diah mendapatkan juara 1. Suara emasnya membuatnya membawa
pulang piala.

Dan akhirnya aku dan diah serta fina menjadi teman yang selalu ingin berbuat baik
tanpa memperdulikan status sosial dan kekayaan. Kami bertiga mengembangkan bakat di
bidang kami masing-masing

_TAMAT_

Anda mungkin juga menyukai