Oleh:
ALFAJRI JUM'AH
NIM 1810112112
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019
ABSTRAK
Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu
persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai
dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah, para anggota
persekutuan dalam melakukan tindakan untuk menggunakan tanah adat tersebut
harus terlebih dahulu meminta izin dari kepala adat. Hukum adat yang dimaksud
dalam UUPA adalah hukum asli golongan rakyat pribumi yang merupakan hukum
yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang
asli yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan
serta diliputi oleh suasana keagamaan. Pernyataan hukum adat dapat dijumpai
dalam UUPA pada : Konsiderans UUPA yang berpendapat Bahwa Hukum Tanah
disusun berdasarkan Hukum Adat. Hukum Adat yang melekat pada masyarakat
Hukum Adat tidak hanya diartikan sebagai hukum positif yakni sebagai rangkaian
norma-norma hukum. Namun apabila ditinjau lebih lanjut maka hukum adat
disusun dalam satu tatanan atau sistem, dengan lembaga-lembaga hukum yang
senantiasa berubah dan diperlukan dalam memenuhi kebutuhan kongkrit
masyarakat-masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dan hal tersebut sangat
tergantung pada situasi dan keadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
dengan rahmat-Nyalah penulis akhirnya bisa menyelesaikan karya ilmiah yang
berjudul “Kedudukan hukum adat dalam hukum agraria ” ini dengan baik tepat pada
waktunya.
Tidak lupa penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pembimbing
yang telah memberikan banyak bimbingan serta masukan yang bermanfaat dalam
proses penyusunan karya ilmiah ini. Rasa terima kasih juga hendak kami ucapkan
kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan kontribusinya baik secara
langsung maupun tidak langsung sehingga karya ilmiah ini bisa selesai pada waktu
yang telah ditentukan.
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari segala tindak
tanduk manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk
menjalani kelanjutan dalam kehidupan. Oleh karena itu tanah sangat dibutuhkan
oleh setiap anggota masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa diantara
sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaedah –
kaedah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah. Di dalam Hukum
Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia
dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tanah sebagai
tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.
Hukum adat merupakan keseluruhan aturan adat yang tidak tertulis dan hidup
dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai
akibat hukum. 1 Dengan demikian hukum adat yang berlaku itu hanya dapat
diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para ahli-ahli hukum.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dinegara kita masih berlaku dua macam
hukum yang menjadi dasar bagi hukum pertanahan yaitu hukum Adat dan Hukum
Barat, Sehingga ada dua macam Hukum Tanah yaitu Hukum Tanah Adat atau
disebut Tanah Indonesia dan tanah Barat yang biasanya disebut Tanah Erofah.2
Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat ‘dualisme’, yang
1
Samijo, Pengantar Hukum Indonesia, Armico, Bandung, 1985, Hlm. 54.
2
K. Wantjik Saleh, Hak Atas Tanah, Ghalia, Jakrta, 1982, Hlm. 8
dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah, ada yang dikuasai oleh hukum
Eropa di satu pihak, dan yang dikuasai oleh hukum adat, di pihak lain.3
B. Permasalahan
3
Prof.Dr.Ahmad Fauzie Ridwan, SH; Hukum Tanah Adat – Multi disiplin Pembudayaan Pancasila;
Dewaruci Press; Jakarta; 1982; halaman 12.
4
H. Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif
Sejarah, Refika Aditama, Bandung, 2007 Hlm. 66.
5
Muhammad Hatta, SH.,MKn, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan,
Media Abadi, Yogyakarta, 2005, Hlm.127.
6
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung,
1993, Hlm. 52.
Bertitik tolak dari penjelasan tersebut diatas, maka kita dapat melihat adanya
dualisme hukum adat di Indonesia. Sifat seperti ini adalah hal yang perlu dihindari
dalam lapangan hukum, sebab sifat dualisme dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum, suatu keadaan yang bertentangan dengan falsafah dan tujuan dari Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Pertanahan (UUPA 1960), yang
bertujuan untuk mengunifikasi hukum pertanahan nasional, yang pada gilirannya
munculkan pertanyaan antara lain adalah :
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau
manfaat, baik untuk kepentingan ilmu pengetahuan (teoritis) maupun kepentingan
praktis dalam bidang Pertanahan, antara lain sebagai berikut :
E. Metode Penelitian
c. Bahan hukum tersier bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari majalah, jurnal
hukum dan literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian.
Dasar pembentukan utama sifat kebersamaan pada hak-hak ulayat terletak pada
hubungan timbal balik antara hak-hak bersama dan hak-hak individu. Jika
seseorang menanam usaha secara individu pada sebidang tanah, dia menciptakan
suatu hubungan antara dirinya sendiri dan tanah yang dikuasainya. Pada derajat
tertentu dimana dia mengintensifkan kegiatannya, pada saat itu terjadi suatu
hubungan hukum, maka kekuatan komunal masyarakat hukum adat khususnya atas
tanah yang dimiliki anggotanya akan berkurang. Jika ia menelantarkan tanah
miliknya dan membiarkan kegunaan tanahnya berkurang, maka kekuatan komunal
masyarakat hukum adat akan muncul dan terbentuk kembali.
Menurut Prof. Boedi Harsono, SH., Hak Ulayat adalah nama yang diberikan
Undang-Undang dan para ahli hukum merupakan hubungan hukum antara suatu
masyarakat hukum adat tertentu dengan suatu wilayah tertentu, yang merupakan
”lebens raum” bagi para warganya sepanjang masa. Masyarakat hukum adat sendiri
tidak memberi nama pada lembaga tersebut. Dalam hukum adat yang dikenal
adalah sebutan tanahnya atau sebutan hutannya yang berada dalam masyarakat
hukum adat yang bersangkutan dalam bahasa adat setempat. 8 Misalnya ; tanah
ulayat menurut ajaran adat Minangkabau adalah sebidang tanah yang pada kawasan
terdapat ulayat penghulu. Didaerah ini dikenal 4 (empat) macam tanah ulayat yakni
tanah ulayat Rego, tanah ulayat Nagari, tanah ulayat Suku dan tanah Ulayat Kaum
(yang lebih dikenal dengan nama tanah Pusako tinggi).9
7
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I, Bagian I, Penerbit Jambatan, Jakarta, 1973
Hlm. 95
8
Boedi Harsono, Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Penerbit Universitas Trisakti, Cet. 1,
2002, Hlm. 54.
9
H. Nurullah Dt. Perpatih Nantuo, Tanah Ulayat Menurut Ajaran Adat Minangkabau, Cet. I
(Sumatera Barat, PT. Singgalang Press, 1999, Hal. 7.
10
Boedi Harsono, Opcit, Hal 54
Ulayat adalah Penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yaitu
kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan para tertua adat masing-masing.
Penguasa adat dalam huibungannya dengan tanah ulayat melaksanakan tugas
kewenangan yang termasuk bidang hukum publik sebagai petugas masyarakat
hukum adatnya.
Tanah dan masyarakat hukum adat mempunyai hubungan erat satu sama lain.
Hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya menciptakan
hak yang memberikan masyarakat sebagai suatu kelompok hukum, hak untuk
menggunakan tanah bagi keuntungan masyarakat.11 Ini adalah hak yang asli dan
utama dalam hukum tanah adat dan meliputi semua tanah dilingkungan masyarakat
hukum adat, yang juga dianggap sebagai sumber hak atas tanah lainnya di dalam
lingkungan masyarakat hukum adat dan dapat dipunyai oleh seluruh anggota
masyarakat hukum adat tersebut.
Menurut hukum adat di Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul atas
tanah, antara lain yaitu:Hak persekutuan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai,
dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh sekelompok manusia yang hidup dalam
suatu wilayah tertentu yang disebut dengan masyarakat hukum (persekutuan
hukum). Lebih lanjut, hak persekutuan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak
dipertuan, hak purba, hak komunal, atau beschikingsrecht. Hak Perseorangan, yaitu
hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh seseorang
anggota dari persekutuan tertentu.
Secara umum, Prof.Ter Haar Bzn mengatakan bahwa hubungan antara hak
persekutuan dengan hak perseorangan adalah seperti ‘teori balon’. Artinya, semakin
besar hak persekutuan, maka semakin kecillah hak perseorangan. Dan sebaliknya,
semakin kecil hak persekutuan, maka semakin besarlah hak perseorangan.
Ringkasnya, hubungan diantara keduanya bersifat kembang kempis. Hukum tanah
11
Arie S Hutagalung, Tebaran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan
Hukum Indonesia, Jakarta, 2005, Hlm. 120.
adat dalam hal hak persekutuan atau hak pertuanan : Dapat dilihat dengan jelas
bahwa umat manusia itu ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman yang
selanjutnya disebut masyarakat desa atau mereka ada yang berdiam secara tersebar
di pusat–pusat kediaman yang sama nilainya satu sama lain, di suatu wilayah yang
terbatas, maka dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah. Persekutuan
masyarakat seperti itu, berhak atas tanah itu, mempunyai hak–hak tertentu atas
tanah itu, dan melakukan hak itu baik keluar maupun ke dalam persekutuan.12
Hukum Adat sebagai Pelengkap Hukum Tanah Nasional positif yang tertulis.
Dan jika sesuatu soal dalam Hukum Tanah tertulis belum lengkap maka berlakulah
Hukum Adat setempat, dengan ketentuan hukum Adat tersebut sudah semestinya
untuk tidak bertentangan dengan Kepentingan Nasional Negara.
Hukum kebiasaan baru yang bukan Hukum adat dan lahir dari
Yurisprudensi Pengadilan ataupun Hukum Adat yang lahir dari Praktik
12
Mr.B.Ter.Haar.Bzn;Asas – Asas dan Susunan Hukum Adat; Pradnya Paramita; Jakarta; 1981;
halaman 71
13
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Djambatan, Jakarta, 2003, Hlm.185.
Administrasi tidaklah dianggap sebagai Hukum Adat. Begitu juga dengan
pembentukan hukum baru karena adanya kekosongan hukum tidak dianggap
sebagai hukum ada.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu
persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai
dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para
anggota persekutuan mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa adanya pihak yang
melarang.
Hukum adat yang dimaksud dalam UUPA adalah hukum asli golongan rakyat
pribumi yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan
mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat kemasyarakatan dan
kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana
14
H. Muchsin, Hukum Agraria Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2007, Hlm. 67.
keagamaan. Pernyataan hukum adat dapat dijumpai dalam UUPA pada :
Konsiderans UUPA berpendapat ” Bahwa Hukum Tanah disusun berdasarkan
Hukum Adat ” dan dalam Penjelasan Umum angka III (1),dinyatakan sebagai
berikut :
”Dengan sendirinya hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan
kesadaran hukum dari pada rakyat Indonesia sebagian besar hukum tunduk pada
hukum adat, maka Hukum Agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada
ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum asli, yang disempurnakan dan
disesuiakan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan
dalam huabungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan
sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam
pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial
yang kapitalia dan masyarakat swapraja yang feoda ”.
Dalam pasal 5 UUPA dinyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini ” C. Van Vollenhoven ” menyebut hukum adat sebagai hukum
adat sebagai hukum adat golongan pribumi (Golongan III Pasal 131 IS) atau hukum
adat golongan timur asing (Golongan II Pasal 131 IS). Sementara itu dalam
Penjelasan Umum III angka 1 mengisyaratkan bahwa hukum adat yang dimaksud
ialah hukum aslinya golongan pribumi, yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan
mengandung unsure-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan
kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana
keagamaan, dan unsur Pengejah wantahan Hukum Adat. Setelah berlakunya
ketentuan tersebut di atas, maka kewenangan berupa penguasaan tanah–tanah oleh
persekutuan hukum mendapat pembatasan sedemikian rupa dari kewenangan pada
masa–masa sebelumnya karena sejak saat itu segala kewenangan mengenai
persoalan tanah terpusat pada kekuasaan negara. kalau demikian bagaimana
kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah yang disebut hak ulayat tersebut,
apakah juga masih diakui berlakunya atau mengalami perubahan sebagaimana
halnya dengan ketentuan–ketentuan hukum adat tentang tanah. Mengenai hal
tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dari UUPA, antara lain :
Pasal 2 ayat (4) “Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya
dapat dikuasakan kepada daerah – daerah swantanra dan masyarakat–masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
Nasional, menurut Peraturan Pemerintah.”
Pasal 22 ayat (1) “Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan
peraturan Pemerintah.”
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa setelah berlakunya UUPA ini,
tanah adat di Indonesia mengalami perubahan. Maksudnya segala yang
bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak ulayat, tentang jual beli tanah dan
sebagainya mengalami perubahan. Jika dulu sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat
masih milik persekutuan hukum adat setempat yang sudah dikuasai sejak lama dari
nenek moyang mereka dahulu masih diakui dan tetap berlaku, hal ini dapat dilihat
dari pasal 3 UUPA, hak ulayat dan hak–hak yang serupa dari masyarakat hukum
adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih ada.
Hukum Adat yang melekat pada masyarakat Hukum Adat tidak hanya diartikan
sebagai hukum positif yakni sebagai rangkaian norma-norma hukum. Namun
apabila ditinjau lebih lanjut maka hukum adat disusun dalam satu tatanan atau
sistem, dengan lembaga-lembaga hukum yang senantiasa berubah dan diperlukan
dalam memenuhi kebutuhan kongkrit masyarakat-masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa hukum tanah adat di Indonesia telah
mengalami perkembangan dalam berbagai hal, karena ini disesuaikan dengan
adanya perkembangan zaman tidak tertulis, tepat keberadaannya masih tetap
dipandang kuat oleh para masyarakat. Begitu juga kiranya dengan tanah adat yang
sudah merupakan bagian dari diri mereka dan tetap dipertahankan kelestariannya
jika ada pihak–pihak yang ingin merusaknya. Memang, setelah perkembangan
zaman ditambah lagi setelah berlakunya UUPA, hukum tanah adat masih tetap
diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara.
Ada banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum
agraria nasional, yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius.
Dalam ketentuan UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak
ulayat merupakan salah satu dari lembaga–lembaga hukum adat dan kemudian
dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak–hak atas tanah. Pasal 5 UUPA
mengatur bahwa :
“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional danegara , yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini, dan dengan
peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini , dan denga
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur – unsur
yang bersandar pada hukum agama.”15
Untuk itu, dalam substansi Pasal 5 UUPA 1960 kita dapat menarik kesimpulan,
sebagaimana yang diuraikan oleh Prof. Dr. A. P. Parlindungan,SH bahwa hukum
adat yang berlaku dalam bidang pertanahan atau agraria adalah yang terhadap
kepentingan nasional (prinsip nasionalitas) , pro kepada kepentingan negara, pro
kepada sosialisme Indonesia, tidak bertentangan dengan undang–undang atau
peraturan yang lebih tinggi, dan ditambah dengan unsur agama.16 Jadi, motivasi
dari hukum agraria nasional, dalam hal ini UUPA 1960 sebagai induknya, benar–
benar akan mengurangi konflik pertanahan yang dapat timbul sebagai akibat
penerapan hukum tanah adat yang bersifat kedaerahan.
Di sisi lain dapat dilihat bahwa semua masalah hukum tanah adat secara
praktis di akomodasi oleh peraturan perundang–undangan yang dibuat oleh
pemerintah (penguasa). Bahkan dalam Undang–Undang Nomor 23 tahun 1997
15
Prof Dr. A.P. Parlindungan, SH; Komentar Atas Undang – Undang Pokok Agraria; Mandar Maju;
Bandung; 1998; halaman 56.
16
Prof. Dr.A.P.Parlindungan,SH; Ibidt,halaman 58,67.
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23 Tahun 1997), hukum adat juga
dijadikan dasar penetapan dan pembentukannya. Dimana dalam Pasal 9 UU No.23
Tahun 1997 disebutkan bahwa pemerintah menetapkan Kebijaksanaan nasional
tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap
memperhatikan nilai – nilai agama, adat istiadat, dan lain – lain yang hidup dalam
masyarakat.17
Dalam hal ini kita bisa mendapati bahwa pengelolaan dan penataan lingkungan
hidup, yang bagian utamanya adalah tanah, juga mengandalkan hukum adat yang
berlaku secara nasional untuk menjadi dasar pengaturannya. Untuk kesekian
kalinya hukum adat (hukum tanah adat) mendapat kedudukan yang tepat dalam hal
ini. Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar.
Hukum tanah adat yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya menunjukkan
bahwa dengan adanya tanah persekutuan dan tanah perseorangan menunjukkan
bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang serupa diatur dalam
UUPA. 1960.18
17
Prof.Dr.Koesnadi Hardjasoemantri, SH,ML; Hukum Tata Lingkungan; Gadjah Mada University
Press; Yogyakarta; 2000; halaman 559.
18
Prof.Dr.A.P. Parlindungan,SH; Loc.cit. halaman 65
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
Perlunya sosialisasi mengenai pendaftaran hak atas tanah, dan peningkatan
hak-hak atas tanah, sehingga diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum
yang lebih optimal terhadap hak-hak tanah adat, dengan proses dan pembiayaan
yang terjangkau, sehingga diharapkan menguranggi benturan-benturan hak-hak
adat dengan ketentuan hak menguasai dari negara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
DAFTAR KEPUSTAKAAN