Anda di halaman 1dari 15

ARA ILMU SYARIAT (Bagian 04)

Syekh Malaya masuk dengan segera melalui telinga Kanjeng Nabi Khidir. Sesampainya di dalam tubuh
Kanjeng Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat samudera luas tiada bertepi sejauh mata memandang,
semakin diamati semakin jauh tampaknya. Kanjeng Nabi Khidir bertanya keras-keras, “hai apa yang
kamu lihat?”

Syekh Malaya segera menjawab, “Angkasa Raya yang kuamati, kosong melompong jauh tidak kelihatan
apa-apa, kemana kakiku melangkah, tidak tahu arah utara selatan barat timur pun tidak kami kenal lagi,
bawah dan atas serta muka belakan, tidak mampu saya bedakan. Bahkan semakin membingungkanku”.

Kanjeng Nabi Khidir berkata lemah-lembut, “usahakan jangan sampai bingung hatimu”. Tiba-tiba Syekh
Malaya melihat suasana terang benderang. Dihadapannya nampak Kanjeng Nabi Khidir, Syekh Malaya
melihat Kanjeng Nabi Khidir malayang di udara kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itu
Syekh Malaya melihat arah utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan jelas, atas serta bawah juga
sudah terlihat dan mampu menjaring matahari, tenang rasanya sebab melihat Kanjeng Nabi Khidir,
rasanya berada di alam yang lain dari yang lain.

Kanjeng Nabi Khidir berkata lembut, “jangan berjalan hanya sekedar berjalan, lihatlah dengan sungguh-
sungguh apa yang terlihat olehmu”. Syekh Malaya menjawad, “Ada warna empat macam yang nampak
padaku semua itu sudah tidak kelihatan lagi, hanya empat macam yang kuingat yaitu hitam merah
kuning dan putih”.

Berkata Kanjeng Nabi Khidir, “yang pertama kau lihat cahaya mencorong tapi tidak tahu namanya
ketahuilah itu adalah pancamaya, yang sebenarnya ada di dalam dirimu sendiri yang mengatur dirimu.
Pancamaya yang indah itu disebut mukasyafah, bila mana kamu mampu membingbing dirimu ke dalam
sifat terpuji, yaitu sifat yang asli. Maka dari itu jangan asal bertindak, selidikilah semua bentuk jangan
sampai tertipu nafsu. Usahakan semaksimal mungkin agar hatimu menduduki sifat asli, perhatikan terus
hatimu itu, supaya tetap dalam jati diri!” Tentramlah hati Syekh Malaya, setelah mengerti itu semua dan
baru mantap rasa hatinya serta gembira.

Kanjeng Nabi Khidir melanjutkan penjelasannya, “adapun yang kuning, merah, hitam serta putih itu
adalah penghalanya. Sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi kedalam tiga golongan,
semuanya adalah penghalang tingkah laku, kalau mampu menjauhi itu pasti dapat berkumpul dengan
ghaib, itu yang menghalangi meningkatkan citra diri. Hati yang tiga macam yaitu hitam, merah dan
kuning, semua itu menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya. Maksudnya akan
menghalangi menyatunya hamba dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi mulia. Jika tidak tercampur
oleh tiga hal itu, tentu terjadi hilangnya jiwa, maksudnya orang akan mencapai tingkatan Maqom Fana
dan akan masuk Maqom Baqo atau abadi. Maksudnya senantiasa berdekatan rapat dengan Sang
Pencipta. Namun yang perlu diperhatikan dan diingat dengan seksama, bahwa penghalang yang ada
dalam dihati, mempunyai kelebihan yang perlu kamu ketahui dan sekaligus sumber inti kekuatannya.
Yang hitam lebih perkasa, pekerjaanya marah, mudah sakit hati, angkara murka secara membabi buta.
Itulah hati yang menghalangi, menutup kepada kebajikan.

Sedangkan yang berwarna merah, ikut menunjukkan nafsu yang tidak baik, segala keinginan nafsu
keluar dari si merah, mudah emosi dalam mencapai tujuan, hingga menutup kepada hati yang sudah
jernih tenang menuju akhir hidup yang baik (khusnul khatimah). Adapun yang berwarna kuning,
kemampuannya mengahalangi segala hal, pikiran yang baik maupun pekerjaan yang baik. Hati kuninglah
yang menghalangi timbulnya pikiran yang baik hanya membuat kerusakan, menelantarkan ke jurang
kehancuran. Sedangkan yang putih itulah yang sebenarnya, membuat hati tenang serta suci tanpa ini
itu, pahlawan dalam kedamaian”.

Kanjeng Nabi Khidir memberi kesempatan bagi Syekh Malaya untuk merenungkan penjelasannya tadi.
Selanjutnya beliu berkata, “hanya itulah yang dapat dirasakan manusia akan kesaksiannya.
Sesungguhnya yang terwujud adanya, hanya menerima anugrah semata-mata dan hanya itulah yang
dapat dilaksanakan. Kalau kamu tetap berusaha agar abadi berkumpulnya diri dekat Tuhan, maka
senantiasalah menghadapi tiga musuh yang sangat kejam, besar dan tinggi hati (bohong). Ketiga
musuhmu saling kerjasama, padahal si putih tanpa teman, hanya sendirian saja, makanya sering dapat
dikalahkan. Kalau sekiranya dapat mengatasi akan segala kesukaran yang timbul dari tiga hala itu, maka
terjadilah persatuan erat wujud, tanpa berpedoman itu semua tidak akan terjadi persatuan eret antara
manusia dan Penciptanya”. Syekh Malaya sudah memahaminya, dengan semangat mulai berusaha
disertai tekad membaja demi mendapatkan pedoman akhir kehidupan, demi kesempurnaan dekatnya
dengan Allah SWT.

Kanjeng Nabi Khidir kembali melanjutkan wejanganya, “Setelah hilang empat macam warna ada hal lain
lagi nyala satu delapan warnanya”. Syekh Malaya berkata, “Apakah namanya, nyala satu delapan
warnanya, apakah namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah yang dimaksud sebenarnya?
Nyalanya semakin jelas nyata, ada yang tampak berubah-ubah warna menyambar-nyambar, ada yang
seperti permata yang berkilau tajam sinarnya”.
Sang Kanjeng Nabi Khidir berpesan, “Nah, itulah sesungguhnya tunggal. Pada dirmu sendiri sudah
tercakup makna di dalamnya, rahasianya terdapat pada dirimu juga, serta seluruh isi bumi tergambar
pada tubuhmu dan juga seluruh alam semesta. Dunia kecil tidak jauh berbeda. Ringkasnya, utara, barat,
selatan, timur, atas serta bawah. Juga warna hitam, merah, kuning dan putih itulah isi kehidupan dunia.
Didunia kecil dan alam semesta, dapat dikatakan semua isinya. Kalau ditimbang dengan yang ada dalam
dirimu dalam dirimu ini, kalau hilang warna yang ada, dunia kelihatan kosong kesulitannya tidak ada,
dikumpulkan kepada wujud rupa yang satu, tidak lelaki tidak pula perempuan. Sama pula dengan bentuk
yang ada ini, yang bila dilihat berubah-ubah putih. Camkanlah dengan cermat semua itu”. Syekh Malaya
mengamati, “yang seperti cahaya berganti-ganti kuning, cahayanya terang benderang memancar,
melingkar mirip pelangi, apakah itu yang dimaksudkan wujud dari Dzat yang dicari dan didambakan?
Yang merupakan hakikat wujud sejati?”

Kanjeng Nabi Khidir menjawab dengan lemah lembut, “itu bukan yang kau dambakan, yang dapat
mmenguasai segala keaadaan. Yang kamu dambakan tidak dapat kamu lihat, tiada bentuk apalagi
berwarna, tidak berwujud garis, tidak dapat ditangkap mata, juga tidak bertempat tinggal hanya dapat
dirasakan oleh orang yang awas mata hatinya, hanya berupa pengambaran-pengambaran (simbol) yang
memenuhi jagad raya, dipegang tidak dapat. Bila itu yang kamu lihat, yang nampak seperti berubah-
ubah putih, yang terang benderang sinarnya, memancarkan sinar yang menyala-nyala. Sang Permana
itulah sebutannya.

Hidupnya ada pada dirimu. Permana itu menyatu pada dirmu sendiri, tetapi tidak merasakan suka dan
duka, tempat tinggalnya pada ragamu. Tidak ikut suka dan duka, juga tidak ikut sakit dan menderita jika
Sang Permana meninggalkan tempatnya, raga menjdi tak berdaya dan pastilah lemahlah seluruh
badanmu, sebab itulah letak kekuatannya, ikut merasakan kehidupan, yang mengerti rahasia di dunia.
Dan itulah yang sedang mengenai pada dirimu, seperti diibaratkan pula pada hewan, yang tumbuh di
sekitar raga.

Hidupnya karena adanya Permana, dihidupi oleh nyawa yang mempunyai kelebihan, mengusai seluruh
badan. Permana itu bila mati ikut menggung, namun bila telah hilang nyawanya kemudian yang hidup
hanya sukma atau nyawa yang ada. Kehilangan itulah yang didapatkan, kehidupan nyawalah yang
sesungguhnya, yang sudah berlalu diibaratkan seperti rasanya pohon yang tidak berbuah, sang Permana
yang mengetahui dengan sadar, sesungguhnya satu asal.

Menjawablah Syekh Malaya, “Kalau begitu manakah warna bentuk sebenarnya?” kanjeng Nabi Khidir
berkata, “Hal itu tidak dapat kamu pahami di dalam keadaan nyata semata-mata, tidak semudah itu
untuk mendapatkannya”, Syekh Malaya menyela pembicaraan< “Saya mohon pelajaran lagi, sampai
saya paham betul, sampai putus. Saya menyerahkan hidup dan mati, demi mengharapkan tujuan yang
pasti, jangan sampai tanpa hasil”.

Kanjeng Nabi Khidir berkata lembut dan manis yang isinya bercampur perlambang dan sindiran,
“Misalnya ada orang membicarakan sesuatu hal, lotnya seharusnya baik, nyatanya lotnya justru
merupakan bumbunya yang bercampur dengan rahasia yang terasa sebagai jiwa suci. Nubuwah yang
penuh rahasia itu sebenarnya rahasia ini. Yaitu ketika masih berada di sifat jamal ialah jauhar awal. Bila
sudah keluar menjadi jauhar akhir yang sudah dewasa, yang awal itulah rahasia sejati. Si jauhar akhir itu
ternyata dalam satu wujud, satu mati dan satu hidup dengan jauhar, ketika dalam kesatuan satu wujud,
satu raksa, satu hidup menyatu dalam keadaan sehidup-semati. Segala ulah jauhar akhir selamanya
bersikap pasrah, sedangkan jauhar batin ini ialah yang dipuji dan disembah hanyalah Allah yang sejati.
Tidak ada sama sekali rasa sakit karena sebenarnya kamu ini nukad ghaib. Nukad ghaib ialah ketika di
masa awal atau kuna, ia tidak hidup juga tidak mati. Sebenarnya yang dikatakan nukad itu, tidak lain
ghaib jugalah namanya itu. Setelah datangnya nukad itu, yang sudah hidup sejak dulu, dicipta menjadi
Alif. Alif itu sendiri jisim latif. Dan keberadaanmu yang sebenarnya itulah yang disebut atau dinamakan
neqdu”.

Sambil menghela nafas Kanjeng Nabi Khidir berkata pelan, “Sekarang jauhar sejati, yaitu namamu itu
semasa hidup ialah syahadat jati. Dalam hidup dan kehidupanmu disebut juga darah hidup. Darah hidup
itu sendiri ialah yang dinamakan Rasulullah rasa sejati. Syahadat jati adalah darah, tempat segala Dzat
atau makhluk merasakan rasa yang sebenarnya tentang hidup dan kehidupan. Yang sama dengan satuan
Jibril-Muhammad-Allah. Sedangkan keempatnya adalah yang disebut darah hidup. Jelasnya coba
perhatikan orang mati! Apa darahnya? Darah itu kini hilang, hilangnya bersama atau menyatu dengan
sukma. Sukma atau ruh hilang dan kembali pada Alif itu disebut Ruh Idhafi. Pengertian jisim Latif ialah
Jisim Angling yang sudah ada terdahulu kala yaitu Alif yang disebut Angling. Padahal alif itu tanpa mata,
tidak berkata-kata dan tidak mendengar, tanpa perilaku dan tidak melihat. Dan itulah Alif, yang artinya,
menjadi Alif itu karena dijabarkan atau dikembangkang. Bukankah ruh Idhafi itu bagian Dzatullah”?.

Setelah mengajarkan semua pelajaran sampai selesai, tentang Ruh Idhafi yang menjadi inti
pembahasannya. Kanjeng Nabi Khidir berkata, “Adapun wujud sesungguhnya alif itu, asal muasalnya
berasal dari jauhar alif itu. Yang dinamakan Kalam Karsa. Timbullah hasrat kehendak Allah untuk
menjadikan terwujudnya dirimu. Dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan
sesungguhnya. Allah tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian
dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri! Adapu sifat
jamal (sifat yang bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan bahwa pada dasarnya adanya
dirinya itu, karena adanya yang mewujudkan keberadannya”.
Kanjeng Nabi Khidir menandaskan penjelsannya, “Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi
Muhammad yang menjadi kekasih-Nya, bunyi firman-Nya sebagai berikut : kalau tidak ada dirimu, Saya
(Allah) tidak akan dikenal atau disebut. Hanya dengan sebab adanya kamulah yang menyebut akan
keberadaan-Ku. Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya Aku (Allah), menjadikan ada
dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya wujud Dzat-Ku.

Dan untuk menjelaskan jati dirmu, tidakkah kau sadari, bahwa hampir ada persamaan Asma-Ku yang
baik (Asmaul Husna) dengan sebutan manusia yang baik itu semua kau maksudkan untuk memudahkan
pengambaran perwujudan tentang Diri-Ku. Padahal kau tahu, Aku berada dengan dirimu, yang tak
mungkin dapat disamakan satu sama lain. Dan kamu pasti mengalami dan tidak mungkin dapat
melukiskan atau menyebutkan Asma-Ku dengan setepat-tepatnya. Namamu yang baik dapat
menyerupai nama-Ku yang baik (Asmaul Husna)”. Selanjutnya Kanjeng Nabi Khidir bertanya, “Apakah
kamu sudah dapat meraih sebutan nama yang baik itu? Baik di dunia maupun di akhirat? Kamu ini
merupakan penerus atau pewaris Muhammad Rasulullah, sekaligus Nabi Allah. Ya Illahi, ya Allah ya
Tuhanku……”.

Kanjeng Nabi Khidir mengakhiri pembacaan Firman Allah SWT, kemudian melanjutkan memberi
penjelasan pada Sunan Kalijaga, “Tanda-tanda adanya Allah itu, ada pada dirimu sendiri harap
direnungkan dan diingat betul. Asal mula Alif itu akan menjadikan dirimu bersusah-payah selagi hidup,
Budi Jati sebutannya. Yang tidak terasa, menimbulkan budi atau usaha untuk mengatasi lika-liku
kehidupan. Bagi orang yang senang membicarakan dan memuji dirinya sendiri, akan dapat melemahkan
semangat usahanya, antara tidak dan ya, penuh dengan kebimbangan. Sedang yang dimaksudkan
dengan jauhar budi (mutiara budi) ialah, bila sudah mengetahui maksud dan budi iman yaitu
menjalankan segala tingkah laku dengan didasari keimanan kepada Allah. Alif tercipka karena sudah
menjadi ketentuan yang sudah digariskan. Sesungguhnya Alif itu, tetap kelihatan apa adanya dan tidak
dapat berubah. Itulah yang disebur Alif. Adapun bila terjadi perubahan, itulah yang disebut Alif Adi, yang
menyesuaikan diri dengan keadaanmu Mutiara awal kehidupan (jauhar awal) dimaksudkan dengan
kehidupan tempo dulu yang betul-betul terjadisebagaimana tinja junub dan jinabat. Jauhar awal ibarat
bebauan atau aroma akan tiba saatnya, tidak boleh tidak akan kita laksanakan dan rasakan di dalam
kehidupan kita didunia. Jelasnya, kehidupan yang telah digariskan sebelumnya oleh jauhar itu, telah
memuat garis hidup dan mati kita. Segalanya telah ditentukan di dalam jauhar awal.

Dari keterangan tentang jauhar awal tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan, diantaranya, mengapa
kamu wajib shalat di dalam dunia ini? Penjelasannya demikian : Asal mula diwajibkan menjalankan
shalat itu ialah disesuaikan dengan ketentuan di zaman azali, kegaiban yang kau rasakan, bukankah juga
berdiri tegak, bersidakep mencipkatakan keheningan hati, bersidekep menyatukan konsentrasi,
menyatukan segala gerakmu? Ucapanmu juga kau satukan, akhirnya kau rukuk tunduk kepada yang
menciptakanmu. Merasa sedih karena malu, sehingga menimbulkan keluar air matamu yang jernih,
sehingga tenanglah segala kehidupan ruhmu. Rhasia iman dapat kau resapi. Setelah merasakan semua
itu, mengapa harus sujud ke bumi? Pangkal mula dikerjakan sujud bermula adanya cahaya yang
memberi pertanda pentingnya sujud. Yaitu merasa berhadapan dengan wujud Allah, biarpun tidak dapat
melihat Allah sesungguhnya, dan yakin bahwa Allah melihat segala gerak kita (pelajaran tentang ikhsan).
Dengan adanya agama Islam yang dimaksudkan, agar makhluk yang ada di bumi dan di langit termasuk
dirimu itu, beribadah sujud kepada Allah dengan hati yang ikhlas sampai kepala diletakkan di muka
bumi, sehingga bumi dengan segala keindahannya tidak tampak dihadapanmu, hatimu hanya ingat Allah
semata-mata. Ya demikianlah seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa sujud dimuka bumi ini.
Mengapa pula menjalankan duduk diam seakan-akan menunggu sesuatu? Melambungkan pengosongan
diri dengan harapan ketemu Allah. Padahal sebenarnya itu tidak dapat mempertemukan dengan Allah.
Allah yang kau sembah itu betul-betul ada. Dan hanya Allah-lah tempat kamu mengabdikan diri dengan
sesungguhnya.

Dan janganlah sekali-kali dirimu menggap sebagai Allah. Dan dirimu jangan pula menganggap sebagai
Nabi Muhammad. Untuk menemukan rahasia (rahsa) yang sebenarnya herus jeli, sebab antara rahasia
yang satu berbeda dengan rahasia yang lain. Dari Allah-lah Nabi Muhammad mengetahui segala rahasia
yang tersembunyi. Nabi Muhammad sebagai makhluk yang dimuliakan Allah. Beliu sering menjalankan
puasa. Dan akan dimuliakan makhluk-Nya, kalau mau mengeluarkan shodagoh. Dimuliakan makhluk-Nya
bagi yang dapat naik haji. Dan makhluk-Nya akan dimuliakan, kalau melakukan ibadah shalat”.

Bersambung……………..

Alang alang kumitir


MAKRIFAT SUNAN KALIJAGA

Jeng Sunan Kalijaga ngling

Amdehar ing pangawikan

Den waspada ing mangkene

Sampun nganggo kumalamat

Den awas ing pangeran

Kadya paran awasipun

Pangeran pan ora rupa

Nora arah nora warni

Tan ana ing wujudira

Tanpa mangsa tanpa enggon

Sajatine nora nana

Lamun ora anaa

Dadi jagadipun suwung

Nora nana wujudira

(Sunan Kalijaga berkata, memaparkan pengetahuannya.

Hendaknya waspada pada yang berikut ini.

Janganlah ragu-ragu. Lihatlah Tuhan secara jelas.

Tapi, bagaimana melihat-Nya.

Karena Tuhan itu tidak memiliki rupa.

Tuhan tidak berarah dan tidak berwarna.


Tidak ada wujud-Nya. Tidak terikat oleh waktu dan tempat.

Sebenarnya Ada-Nya itu tiada.

Seandainya Dia tidak ada,

maka alam raya ini kosong dan tidak ada wujudnya.)

–Serat Siti Jenar, Tan Khoen Swie Kediri 1922

Pendakian spiritual itu mulai dari mana? Mulai dari syariat dulu, kemudian menuju tarikat, hakikat dan
akhirnya sampai pada makrifat? Atau Makrifat (mengenal Tuhan) dulu, kemudian penghayatan hakikat,
kemudian menjalankan tarikat dan melaksanakan syariat? Menurut saya, pendakian spiritual bisa dari
mana-mana. Kita tidak perlu kebingungan terhadap mana yang harus terlebih dulu kita jalani. Semuanya
boleh sebagai titik pijak untuk memulai perjalanan.

Ada banyak teman yang memulai perjalanan spiritual dengan “tidak percaya” terhadap adanya Tuhan.
Lalu belajar tentang ilmu ketuhanan, dan setelah kedewasaan intelektualnya mengalami kemapanan
dan kemudian dia yakin adanya Tuhan dan kemudian menjalankan syariat. Yang demikian ini hebat.

Ada yang memulai dengan menjalankan syariat agama. Sebab dari kecil dia berada di dalam lingkungan
yang taat beragama. Oleh orang tuanya, dia dididik untuk menjalankan syariat agama secara leterluks.
Kemudian seiring perjalanan usianya, dia mulai mencari tahu dengan banyak belajar tentang agama,
yang telah dijalaninya selama ini. Himngga kemudian pengetahuan dan perenungannya sampai pada
hakikat. Kemudian dia menjalani laku suluk/tasawuf dan akhirnya mendapatkan pencerahan Makrifat.
Yang demikian ini luar biasa.

Ada pula yang tidak mulai apa-apa. Ya tidak menjalankan syariat agama, ya tidak berusaha mencari tahu
tentang Tuhan. Dia skeptis dan agnostik terhadap berbagai wacara agama serta kerokhanian. Dia seakan
puas dengan apa yang ada pada dirinya. Otaknya tidak digunakan untuk berpikir tentang Tuhan. Namun,
di tengah hidupnya dia dipaksa untuk menerima banyak hal yang tidak mauk akal hingga suatu ketika
kesadarannya mengalami “BYAR”. Tiba-tiba dia sadar apa yang telah dijalaninya selama ini. Dia pun
menemukan Tuhan di dalam hidupnya. Sukur alhamdulillah.
Suatu saat dalam hidupnya, Tuhan pasti akan datang membawa cahaya-Nya yang suci. Dia akan
menerangi diri pribadi kita sehingga yang sebelumnya hanya mampu melihat fakta-fakta dengan
inderanya, maka setelah pencerahan Tuhan itu datang maka dia mampu untuk melihat hubungan antar
fakta dan akhirnya menemukan kesimpulan bahwa hanya ada satu Tuhan yang wajib disembah oleh
manusia.

Tuhan itu bukan benda-benda. Tuhan ya Tuhan. Adanya berbeda dengan apa yang pernah diketahui
oleh manusia. Yang pernah diketahui oleh manusia berasal dari pengalaman inderanya. Nah, wujud
Tuhan ini tidak ada di dalam gudang memori manusia. Sehingga mengatakan Tuhan seperti A, B, C pasti
jelas bukan Tuhan. Tuhan sebagaimana yang dibayangkan oleh manusia, tentu berbeda dengan Tuhan
sebagaimana wujud-Nya yang asli. Anggapan tentang Tuhan beda dengan Tuhan yang sebenarnya. Sama
seperti anggapan saya tentang mobil Mercy, tidak sama dengan mobil Mercy yang sebenarnya. Sebab
saya buta tentang mobil, apalagi tidak pernah memiliki mercy sebelumnya sehingga penggambaran saya
tentang Mercy berbeda dengan Mercy yang sebenarnya.

Dikatakan oleh Sunan Kalijaga, sebenarnya wujud Tuhan sangat jelas… sangat sangat jelas! Nah,
kejelasan ini pasti tidak dimaknai sebagaimana kejelasan benda-benda. Benda bisa dilihat oleh indera.
Namun wujud Tuhan? Disinilah kita akan semakin beranjak arif bahwa Tuhan yang tidak bisa
digambarkan oleh kata-kata manusia itu harusnya tidak dilihat dengan indera. Namun oleh “sesuatu”
yang adanya jauh berada di dalam diri manusia. Yaitu batin yang intuitif yang disebut dengan guru sejati.
Guru sejatilah yang mampu mengantarkan kita untuk melihat dengan jelas diri pribadi. (sukma sejati)
Diri sejati adalah tempat bersemayam Tuhan dalam diri manusia. Di situlah Tuhan duduk di atas arasy.

Sukma sejati atau Diri Sejati berasal dari Cahaya Yang Terpuji yaitu dari NUR MUHAMMAD. Nur
Muhammad hanya ada SATU. Dan NUR MUHAMMAD inlah yang selalu mendapatkan PANCARAN ILAHI.
Semua yang ada ini pada mulanya satu, termasuk manusia. Asal cahaya itu satu. Pancarannya ke
segenap arah inilah yang menyebabkan terjadinya “aku” yang jumlahnya banyak. Meski sekarang kita
melihat YANG BANYAK namun itu semua adalah perwujudan dari satu CAHAYA.

Melatih kepekaan batin yang intuitif oleh karenanya sangat penting. Berbagai macam cara dilakukan
oleh peradaban manusia untuk menemukan Tuhan di dalam diri manusia. Misalnya dengan berkhalwat,
atau mengadakan perjalanan spiritual ke tempat-tempat yang sepi untuk kemudian berdzikir hingga dia
merasakan kefanaan.
Dalam kesendiriannya, sang pejalan spiritual akan menemui banyak ilusi/bayangan yang mempesona
batin. Namun dia tidak boleh menggap bayangan itulah kenyataan Tuhan. Perjalanan diteruskan hingga
pendakian memasuki godaan besar. Dia ditawari berbagai macam kemuliaan dunia. Egonya yang masih
melekat pada harta, benda, tahta dan wanita ditantang agar dituruti namun dengan imbalan dia harus
menghentikan perjalanannya. Ini tahap berbahaya menuju final.

Bila perjalanan diteruskan lagi, dia akan sampai pada kesendirian dan kesenyapan, Tiba-tiba semua
yang nggandoli egonya terlepas begitu saja. Dia tidak butuh apa-apa lagi. Di tahap ini, semua
pendamping perjalanan yang selama ini menemaninya satu persatu otomatis terlepas. Pengiring batin
terlepas, Malaikat lepas karena tidak sanggup menemani lagi, semua saudara gaib melepaskan dirinya.
Ya, dia polos seorang diri menuju Tuhan. Dia kini sudah dituntun oleh Tuhan sendiri untuk melihat Sang
Penuntun, yaitu AKU. Ya, manusia sudah bisa melihat AKU SEJATI-NYA tanpa was-was tanpa samar-
samar lagi. AKU SEJATI itu begitu terang benderang.

Inilah saat mind/pikiran/budi/rasa sudah tidak lagi digunakan. Atau disebut dengan NO MIND. Dia
sampai tahap SUWUNG atau FANA. Kata tidak lagi mampu untuk membahasakan apa fana itu. Sebab
kata sangatlah terbatas untuk menggambarkan sesuatu. Apalagi ini menunjuk pada kata yang bukan
kata benda, bukan kata sifat, bukan kata keterangan, bukan kata kerja, bukan apa-apa…. ya paling
gampang kita sebut saja SUWUNG alias MBUH ORA WERUH. Sebab kita tidak membutuhkan berbagai
alat indera dan batin lagi. Kita hanya pasrah, sumeleh, sumarah saja pada Iradat GUSTI.

Oleh Tejabuwana ( Blog Warisan Adiluhung )


PERJALANAN SUNAN KALIJAGA MENCARI GURU SEJATI

CARA RADEN SYAHID MENCARI GURU SEJATI

Di antara para wali yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga bisa dikatakan satu-satunya wali yang
menggunakan pendekatan yang pas yaitu budaya Jawa. Dia sadar, tidak mungkin menggunakan budaya
lain untuk menyampaikan ajaran sangkan paraning dumadi secara tepat. Budaya arab tidak cocok
diterapkan di Jawa karena manusia Jawa sudah hidup sekian ratus tahun dengan budayanya yang sudah
mendarah daging. Bahkan, setelah “dilantik” menjadi wali, dia mengganti jubahnya dengan pakaian
Jawa memakai blangkon atau udeng.

Nama mudanya Raden Syahid, putra adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta dan Dewi Nawangrum.
Kadpiaten Tuban sebagaimana Kadipaten yang lain harus tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan
Majapahit. Nama lain Tumenggung Wilatikta adalah Ario Tejo IV, keturunan Ario Tejo III, II dan I. Arti
Tejo I adalah putra Ario Adikoro atau Ronggolawe, salah seorang pendiri Kerajaan Majapahit. Jadi bila
ditarik dari silsilah ini, Raden Syahid sebenarnya adalah anak turun pendiri kerajaan Majapahit.

Raden Syahid lahir di Tuban saat Majapahit mengalami kemunduran karena kebijakan yang salah
kaprah, pajak dan upeti dari masing-masing kadipaten yang harus disetor ke Kerajaan Majapahit sangat
besar sehingga membuat miskin rakyat jelata. Suatu ketika, Tuban dilanda kemarau panjang, rakyat
hidup semakin sengsara hingga suatu hari Raden Syahid bertanya ke ayahnya: “Bapa, kenapa rakyat
kadipaten Tuban semakin sengsara ini dibuat lebih menderita oleh Majapahit?”. Sang ayah tentu saja
diam sambil membenarkan pertanyaan anaknya yang kritis ini.

Raden Syahid yang melihat nasib rakyatnya merana, terpanggil untuk berjuang dengan caranya sendiri.
Cara yang khas anak muda yang penuh semangat juang namun belum diakui eksistensinya; menjadi
“Maling Cluring”, yaitu pencuri yang baik karena hasil curiannya dibagi-bagikan kepada orang-orang
miskin yang menderita. Tidak hanya mencuri, melainkan juga merampok orang-orang kaya dan kaum
bangsawan yang hidupnya berkecukupan.

Suatu ketika, perbuatan mulia namun tidak lazim itu diketahui oleh sang ayah dan sang ayah tanpa
ampun mengusir Raden Syahid karena dianggap mencoreng moreng kehormatan keluarga adipati.
Pengusiran tidak hanya dilakukan sekali namun beberapa kali. Saat diusir Raden Syahid kembali
melakukan perampokan namun sialnya dia tertangkap pengawal kadipaten hingga sang ayah kehabisan
akal sehat. “Syahid anakku, kini sudah waktunya kamu memilih, kau yang suka merampok itu pergi dari
wilayah Tuban atau kau harus tewas di tangan anak buahku”. Syahid tahu dia saat itu harus benar-benar
pergi dari wilayah Tuban dan akhirnya, dia pun dengan hati gundah pergi tanpa arah tujuan yang jelas.
Suatu hari dalam perjalanannya di hutan Jati Wangi, dia bertemu lelaki tua yang kemudian
memperkenalkan dirinya sebagai Sunan Bonang. Sunan Bonang adalah putra dan murid Sunan Ampel
yang berkedudukan di Bonang, dekat Tuban.

Syahid yang ingin merampok Sunan Bonang akhirnya harus bertekuk lutut dan Syahid akhirnya berguru
pada Sunan Bonang. Oleh Bonang yang saat itu sudah jadi guru spiritual ini, Syahid diminta duduk diam
bersila di pinggir sungai. Posisi duduk diam meneng ini di kalangan para yogi dikenal dengan posisi
meditasi. Syahid saat itu telah bertekad untuk mengubah orientasi hidupnya secara total seratus
delapan puluh derajat. Yang awalnya dia berjuang dalam bentuk fisik, menjadi perjuangan dalam bentuk
batin (metafisik). Dia telah meninggalkan syariat masuk ke ruang hakekat untuk mereguk nikmatnya
makrifat. Namun syarat yang diajarkan Sunan Bonang cuma satu: duduk, diam, meneng, mengalahkan
diri/ego dan patuh pada sang guru sejati (kesadaran ruh). Untuk menghidupkan kesadaran guru sejati
(ruh) yang sekian lama terkubur dan tertimbun nafsu dan ego ini, Bonang menguji tekad Raden Syahid
dengan menyuruhnya untuk diam di pinggir kali.

Ya, perintahnya hanya diminta untuk diam tok, tidak diminta untuk dzikir atau ritual apapun. Cukup
diam atau meneng di tempat. Dia tidak diminta memikirkan tentang Tuhan, atau Dzat Yang Adikodrati
yang menguasai alam semesta. Tidak, Sunan Bonang hanya meminta agar sang murid untuk patuh, yaitu
DIAM, MENENG, HENING, PASRAH, SUMARAH, SUMELEH. Awalnya, orang diam pikirannya kemana-
mana. Namun sekian waktu diam di tempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan akhirnya
benar-benar tidak memiliki daya lagi untuk berpikir, energi keinginan duniawinya lepas landas dan
lenyap. Raden Syahir mengalami suwung total, fana total karena telah hilang sang diri/ego.

“BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA,
KUMEBUL TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO
NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA TURU, AMONG
AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”

Demikian gambaran kesadaran ruh Raden Syahid kala itu. Berapa lama Raden Syahid diam di pinggir
sungai? Tidak ada catatan sejarah yang pasti. Namun dalam salah satu hikayat dipaparkan bahwa sang
sunan bertapa hingga rerumputan menutupi tubuhnya selama lima tahu. Setelah dianggap selesai
mengalami penyucian diri dengan bangunnya kesadaran ruh, Sunan Bonang menggembleng muridnya
dengan kawruh ilmu-ilmu agama. Dianjurkan juga oleh Bonang agar Raden Syahid berguru ke para wali
yang sepuh yaitu Sunan Ampel di Surabaya dan Sunan Giri di Gresik. Raden Syahid yang kemudian
disebut Sunan Kalijaga ini menggantikan Syekh Subakir gigih berdakwah hingga Semenanjung Malaya
hingga Thailand sehingga dia juga diberi gelar Syekh Malaya.

Malaya berasal dari kata ma-laya yang artinya mematikan diri. Jadi orang yang telah mengalami “mati
sajroning urip” atau orang yang telah berhasil mematikan diri/ego hingga mampu menghidupkan diri-
sejati yang merupakan guru sejati-NYA. Sebab tanpa berhasil mematikan diri, manusia hanya hidup di
dunia fatamorgana, dunia apus-apus, dunia kulit. Dia tidak mampu untuk masuk ke dunia isi, dan
menyelam di lautan hakikat dan sampai di palung makrifatullah.

Salah satu ajaran Sunan Kalijaga yang didapat dari guru spiritualnya, Sunan Bonang, adalah ajaran
hakikat shalat sebagaimana yang ada di dalam SULUK WUJIL: UTAMANING SARIRA PUNIKI,
ANGRAWUHANA JATINING SALAT, SEMBAH LAWAN PUJINE, JATINING SALAT IKU, DUDU NGISA TUWIN
MAGERIB, SEMBAH ARANEKA, WENANGE PUNIKU, LAMUN ARANANA SALAT, PAN MINANGKA
KEKEMBANGING SALAM DAIM, INGARAN TATA KRAMA. (Unggulnya diri itu mengetahui HAKIKAT SALAT,
sembah dan pujian. Salat yang sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat Isya atau maghrib. Itu
namanya sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu hanya hiasan dari SALAT DAIM, hanya tata
krama).

Di sini, kita tahu bahwa salat sejati adalah tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat
mengerjakan sholat lima waktu. Salat sejati adalah SALAT DAIM, yaitu bersatunya semua indera dan
tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya
Tuhan: HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat mengeluarkan nafas. Sebagaimana
yang ada di dalam Suluk Wujil:

PANGABEKTINE INGKANG UTAMI, NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA SEMBAHE
MENENG MUNI PUNIKU, SASOLAHE RAGANIREKI, TAN SIMPANG DADI SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN,
TINJA TURAS DADI SEMBAH, IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. (Berbakti yang
utama tidak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua
gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan
menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhir)

Jadi hakikat yang disebut Sholat Daim nafas kehidupan yang telah manunggaling kawulo lan gusti, yang
manifestasinya adalah semua tingkah laku dan perilaku manusia yang diniatkan untuk menyembah-Nya.
Selalu awas, eling dan waspada bahwa apapun yang kita pikirkan, apapun yang kita kehendaki, apapun
yang kita lakukan ini adalah bentuk yang dintuntun oleh AKU SEJATI, GURU SEJATI YANG SELALU
MENYUARAKAN KESADARAN HOLISTIK BAHWA DIRI KITA INI ADALAH DIRI-NYA, ADA KITA INI ADALAH
ADA-NYA, KITA TIDAK ADA, HANYA DIA YANG ADA.

Sholat daim ini juga disebut dalam SULUK LING LUNG karya Sunan Kalijaga: SALAT DAIM TAN KALAWAN,
MET TOYA WULU KADASI, SALAT BATIN SEBENERE, MANGAN TURU SAHWAT NGISING. (Jadi sholat daim
itu tanpa menggunakan syariat wudhu untuk menghilangkan hadats atau kotoran. Sebab kotoran yang
sebenarnya tidak hanya kotoran badan melainkan kotoran batin. Salat daim boleh dilakukan saat
apapun, misalnya makan, tidur, bersenggama maupun saat membuang kotoran.)

Ajaran makrifat lain Sunan Kalijaga adalah IBADAH HAJI. Tertera dalam Suluk Linglung suatu ketika
Sunan Kalijaga bertekad pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan dia
dihentikan oleh Nabi Khidir. Sunan dinasehati agar tidak pergi sebelum tahu hakikat ibadah haji agar
tidak tersesat dan tidak mendapatkan apa-apa selain capek. Mekah yang ada di Saudi Arabia itu hanya
simbol dan MEKAH YANG SEJATI ADA DI DALAM DIRI. Dalam suluk wujil disebutkan sebagai berikut:

NORANA WERUH ING MEKAH IKI, ALIT MILA TEKA ING AWAYAH, MANG TEKAENG PRANE YEN ANA
SANGUNIPUN, TEKENG MEKAH TUR DADI WALI, SANGUNIPUN ALARANG, DAHAT DENING EWUH, DUDU
SREPI DUDU DINAR, SANGUNIPUN KANG SURA LEGAWENG PATI, SABAR LILA ING DUNYA.

MESJID ING MEKAH TULYA NGIDERI, KABATOLLAH PINIKANENG TENGAH, GUMANTUNG TAN
PACACANTHEL, DINULU SAKING LUHUR, LANGIT KATON ING NGANDHAP IKI, DINULU SAKING
NGANDHAP, BUMI ANENG LUHUR, TINON KULON KATON WETAN, TINON WETAN KATON KULON IKU
SINGGIH TINGALNYA AWELASAN.

(Tidak tahu Mekah yang sesugguhnya. Sejak muda hingga tua, seseorang tidak akan mencapai
tujuannya. Saat ada orang yang membawa bekal sampai di Mekah dan menjadi wali, maka sungguh
mahal bekalnya dan sulit dicapai. Padahal, bekal sesungguhnya bukan uang melainkan KESABARAN DAN
KESANGGUPAN UNTUK MATI. SESABARAN DAN KERELAAN HIDUP DI DUNIA. Masjid di Mekah itu
melingkar dengan Kabah berada di tengahnya. Bergantung tanpa pengait, maka dilihat dari atas tampak
langit di bawah, dilihat dari bawah tampak bumi di atas. Melihat yang barat terlihat timur dan sebalinya.
Itu pengelihatan yang terbalik).

Maksudnya, bahwa ibadah haji yang hakiki adalah bukanlah pergi ke Mekah saja. Namun lebih
mendalam dari penghayatan yang seperti itu. Ibadah yang sejati adalah pergi ke KIBLAT YANG ADA DI
DALAM DIRI SEJATI. Yang tidak bisa terlaksana dengan bekal harta, benda, kedudukan, tahta apapun
juga. Namun sebaliknya, harus meletakkan semua itu untuk kemudian meneng, diam, dan mematikan
seluruh ego/aku dan berkeliling ke kiblat AKU SEJATI. Inilah Mekah yang metafisik dan batiniah. Memang
pemahaman ini seperti terbalik, JAGAD WALIKAN. Sebab apa yang selama ini kita anggap sebagai
KEBENARAN DAN KEBAIKAN MASIHLAH PEMAHAMAN YANG DANGKAL. APA YANG KITA ANGGAP
TERBAIK, TERTINGGI SEPERTI LANGIT DAN PALING BERHARGA DI DUNIA TERNYATA TIDAK ADA APA-
APANYA DAN SANGAT RENDAH NILAINYA.

Apa bekal agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati? Bekalnya adalah
kesabaran dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki iman yang teguh dalam memilih jalan yang
barangkali dianggap orang lain sebagai jalan yang sesat. Ibadah haji metafisik ini akan mengajarkan
kepada kita bahwa episentrum atau pusat spiritual manusia adalah BERTAWAF. Berkeliling ke RUMAH
TUHAN, berkeliling bahkan masuk ke AKU SEJATI dengan kondisi yang paling suci dan bersimpuh di KAKI-
NYA YANG MULIA. Tujuan haji terakhir adalah untuk mencapai INSAN KAMIL, yaitu manusia sempurna
yang merupakan kaca benggala kesempurnaan-Nya.

Sunan Kalijaga adalah manusia yang telah mencapai tahap perjalanan spiritual tertinggi yang juga telah
didaki oleh Syekh Siti Jenar. Berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang berjuang di tengah rakyat jelata,
Sunan Kalijaga karena dilahirkan dari kerabat bangsawan maka dia berjuang di dekat wilayah kekuasaan.
Di bidang politik, jasanya terlihat saat akan mendirikan kerajaan Demak, Pajang dan Mataram. Sunan
Kalijaga berperan menasehati Raden Patah (penguasa Demak) agar tidak menyerang Brawijaya V
(ayahnya) karena beliau tidak pernah berlawanan dengan ajaran akidah. Sunan Kalijaga juga mendukung
Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang dan menyarankan agar ibukota dipindah dari Demak ke Pajang
(karena Demak dianggap telah kehilangan kultur Jawa.

Pajang yang terletak di pedalaman cocok untuk memahami Islam secara lebih mendalam dengan jalur
Tasawuf. Sementara kota pelabuhan jalurnya syariat. Jasa lain Sunan Kalijaga adalah mendorong Jaka
Tingkir (Pajang) agar memenuhi janjinya memberikan tanah Mataram kepada Pemanahan serta
menasehati anak Pemanahan, yaitu Panembahan Senopati agar tidak hanya mengandalkan kekuatan
batin melalui tapa brata, tapi juga menggalang kekuatan fisik dengan membangun tembok istana dan
menggalang dukungan dari wilayah sekeliling. Bahkan Sunan Kalijaga juga mewariskan pada
Panembahan Senopati baju rompi Antakusuma atau Kyai Gondhil yang bila dipakai akan kebal senjata
apapun

Sumber :

SUNAN KALIJAGA MENCARI GURU SEJATI http://wongalus.wordpress.com/category/sunan-kalijaga-


mencari-guru-sejati/

Anda mungkin juga menyukai