Anda di halaman 1dari 3

Apakah Kita Membutuhkan Filsafat?

Sebelum kita mulai, Anda mungkin tergoda untuk bertanya, “Lalu, memangnya
kenapa?” Memangnya perlu kita repot-repot memikirkan masalah-masalah sains
dan filsafat yang rumit? Terhadap pertanyaan semacam ini, ada dua kemungkinan
jawaban. Jika yang dimaksudkan dengan pertanyaan itu adalah: apakah kita perlu
tahu tentang hal-hal itu agar dapat meneruskan hidup kita sehari-hari, tentu
jawabannya adalah tidak. Tapi, jika kita ingin mendapat satu pemahaman rasional
mengenai dunia yang kita diami ini, dan proses-proses dasar yang bekerja di
alam, masyarakat dan cara kita untuk memandangnya, maka persoalannya akan
jadi lain.
Aneh sebetulnya, tapi setiap orang sebenarnya memiliki “filsafat”-nya masing-
masing. Sebuah filsafat adalah cara untuk memandang dunia. Kita semua yakin
bahwa kita tahu bagaimana membedakan yang salah dari yang benar, yang baik
dari yang buruk. Hal-hal inilah yang sebenarnya merupakan hal-hal rumit yang
telah menyita pemikiran dari para pemikir terbesar di dunia sepanjang sejarah.
Ketika kita dihadapkan dengan fakta yang mengerikan akan hadirnya kejadian-
kejadian seperti perang saudara di Yugoslavia[1], kemunculan kembali
pengangguran massal, pembantaian di Rwanda[2], banyak orang akan mengakui
bahwa mereka tidak memahami hal-hal ini, dan seringkali mereka dengan samar-
samar menggunakan rujukan “watak manusia”. Tapi apa watak manusia yang
misterius ini, yang dilihat sebagai sumber dari segala kejahatan dan katanya tidak
akan pernah berubah sampai akhir jaman? Ini adalah pertanyaan filsafat yang
mendasar, pertanyaan yang hanya sedikit yang berani menjawabnya. Kecuali
orang-orang yang pikirannya telah dicor dengan pemikiran religius, di mana
mereka akan mengatakan bahwa Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya, telah
menakdirkan kita menjadi seperti demikian. Mengapa orang perlu menyembah
satu Keberadaan yang mempermainkan ciptaan-Nya sendiri, itu adalah
pertanyaan yang bukan hak kami untuk menjawabnya.
Mereka yang bersikeras bahwa mereka tidak menganut filsafat apapun telah jatuh
ke dalam kekeliruan. Alam semesta membenci kevakuman. Orang-orang yang
tidak memiliki sebuah filsafat yang tersusun secara koherenniscaya akan otomatis
menjadi cermin dari ide-ide dan prasangka yang berlaku dalam masyarakat dan
jaman di mana mereka hidup. Hal ini berarti, dalam konteks tertentu, bahwa
kepala mereka akan penuh dengan ide-ide yang dicekokkan melalui koran,
televisi, mimbar khotbah dan ruang-ruang kelas, semua yang secara setia
merupakan cerminan dari kepentingan dan moralitas dari sistem kemasyarakatan
yang sedang berlaku.
Kebanyakan orang biasanya berhasil berkayuh melalui lumpur kehidupan, sampai
terjadi satu benturan besar yang memaksa mereka untuk meninjau kembali
segala ide dan nilai yang telah menyertai mereka selama itu. Krisis masyarakat
memaksa mereka untuk mempertanyakan banyak hal yang selama itu mereka
anggap wajar. Pada masa-masa semacam itu, ide-ide yang kelihatannya jauh di
awang-awang tiba-tiba menjadi sangat relevan. Semua orang yang ingin
memahami kehidupan, bukan sekedar sebagai serangkaian kebetulan yang tak
bermakna atau rutinitasyang tak berarti, harus menggeluti filsafat, yaitu, dengan
pemikiran yang lebih tinggi daripada masalah keberadaan sehari-hari yang
mendesak. Hanya dengan cara inilah kita akan mengangkat diri kita ke tingkatan
di mana kita mulai memenuhi potensi kita sebagai umat manusia yang memiliki
kesadaran, yang mau dan mampu mengendalikan nasib kita sendiri.
Secara umum dipahami bahwa apapun yang berharga dalam hidup ini harus
diperjuangkan. Studi filsafat, pada dasarnya, melibatkan beberapa kesulitan,
karena studi itu menangani hal-hal yang jauh terpisah dari dunia pengalaman
sehari-hari. Bahkan istilah yang digunakan menghadirkan kesulitan-kesulitan
karena kata-kata digunakan dengan susunan yang tidak selalu berhubungan
dengan makna di mana kata-kata itu dipergunakan sehari-hari. Tapi, hal yang
sama terjadi pula dalam berbagai bidang studi khusus, dari psikoanalisis sampai
permesinan.
Hambatan yang kedua lebih serius lagi. Di abad yang lalu, ketika Marx dan Engels
pertama menerbitkan tulisan-tulisan mereka tentang materialisme dialektik,
mereka dapat mengasumsikan bahwa banyak pembaca mereka setidaknya
memiliki pengalaman bergaul dengan filsafat klasik, termasuk Hegel. Kini mustahil
membuat asumsi semacam itu. Filsafat tidak lagi menempati tempat sepenting
dulu, karena spekulasi atas alam semesta telah digantikan oleh sains. Adanya
teleskop-radio dan pesawat antariksa membuat kita tidak perlu lagi menerka-
nerka sifat dan cakupan dari sistem tata surya kita. Bahkan misteri kejiwaan
manusia kini semakin tersingkap oleh neurobiologi dan psikologi.
Situasinya tidak sebaik itu di bidang ilmu-ilmu sosial, terutama karena gairah
untuk mencapai pengetahuan yang akurat kini telah demikian berkurang sehingga
sains justru menjadi hambatan bagi kepentingan material yang mengatur
kehidupan manusia. Kemajuan-kemajuan besar yang dicapai oleh Marx dan
Engels dalam bidang analisis sosial dan sejarah dan ekonomi tidak termasuk
cakupan dari buku ini. Cukuplah jika kami menunjukkan bahwa, sekalipun terus-
menerus diserang dengan ganas sejak kelahirannya, teori Marxisme tentang
perkembangan sosial telah menjadi satu faktor penentu dalam perkembangan
ilmu-ilmu sosial modern. Untuk bukti tentang vitalitas teori ini, cukuplah kita
melihat fakta bahwa serangan kepadanya bukan hanya berlanjut, tapi malah
semakin meningkat intensitasnya seiring dengan berjalannya waktu.
Di masa lalu, perkembangan sains, yang selalu terkait erat dengan perkembangan
kekuatan produktif, belumlah mencapai tingkat yang cukup tinggi untuk membuat
orang sanggup memahami dunia yang mereka huni. Karena ketiadaan
pengetahuan yang ilmiah, atau alat-alat material untuk menggapai pengetahuan
itu, mereka terpaksa menyandarkan diri pada satu-satunya instrumen milik
mereka yang dapat membantu mereka untuk memahami dunia dan
mengendalikannya – nalar manusia. Perjuangan untuk memahami dunia sangat
dekat dengan perjuangan umat manusia untuk melepaskan diri dari tingkatan
kesadaran hewani, untuk menguasai kekuatan alam yang membabi-buta itu dan
untuk membebaskan diri dalam makna yang sejati, bukan legalistik. Perjuangan
ini adalah benang merah yang merajut seluruh rangkaian kesejarahan manusia.

Anda mungkin juga menyukai