Anda di halaman 1dari 65

LAPORAN PENELITIAN

PERAN SOLIDARITAS PEREMPUAN UNTUK KEMANUSIAAN DAN


HAK ASASI MANUSIA (SPEK-HAM) SURAKARTA DALAM
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN UNTUK PENGELOLAAN BANK
SAMPAH “GAJAH PUTIH” KELURAHAN KARANGASEM
KECAMATAN LAWEYAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Pemberdayaan Masyarakat
Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Mahendra Wijaya, MS

Disusun Oleh :
KELOMPOK 2
1. Ayu Bella Ganawati (D0316016)
2. Muh. Ta’aruf Huda (D0316050)
3. Muhammad Arbi Yuli Utomo (D0316052)
4. Nofiska Ade Lutfiah (D0316054)
5. Refa’i Zinedine (D0316058)
6. Sya’ifudin (D0316064)
7. Titin Marliyana (D0316066)
8. Zaky Gunawantoro (D0316072)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................... 2
BAB 1 ................................................................................................................................. 3
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 7
C. Tujuan ..................................................................................................................... 7
BAB 2 ................................................................................................................................. 8
A. Telaah Pustaka ........................................................................................................ 8
1. Peran ................................................................................................................... 8
2. Peran SPEK-HAM ............................................................................................ 10
3. Pemberdayaan Perempuan ................................................................................ 11
4. Bank Sampah .................................................................................................... 14
5. Pengelolaan Sampah ......................................................................................... 16
B. Kajian Teori .......................................................................................................... 18
1. Pemberdayaan ................................................................................................... 18
2. Modal Sosial ..................................................................................................... 23
C. Studi Terdahulu ..................................................................................................... 30
D. Kerangka Berpikir ................................................................................................. 33
BAB 3 ............................................................................................................................... 35
1. Lokasi Penelitian ............................................................................................... 35
2. Jenis Penelitian .................................................................................................. 35
3. Teknik Pengumpulan Data ................................................................................ 35
4. Teknik Pengambilan Sampel ............................................................................. 37
5. Validitas Data .................................................................................................... 38
6. Analisis Data ..................................................................................................... 39
BAB 4 ............................................................................................................................... 41
A. Peran SPEK-HAM ................................................................................................ 41
B. Modal Sosial Perempuan di Bank Sampah Gajah Putih ....................................... 45
C. Pengelolaan Bank Sampah .................................................................................... 53
Kesimpulan ....................................................................................................................... 59
Lampiran……………………………………………………………...........…………….60

Daftar Pustaka……....………………………………………………………...........….....64

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dan lingkungan pada hakekatnya ibarat satu bangunan yang


seharusnya saling menguatkan karena manusia amat bergantung pada
lingkungan, sedang lingkungan juga bergantung pada aktivitas manusia.
Namun dilihat dari sisi manusia maka lingkungan adalah sesuatu yang pasif,
sedang manusialah yang aktif, sehingga kualitas lingkungan amat bergantung
pada kualitas manusia. Ketika kualitas manusia tidak menunjukkan sifat
positif terhadap etika lingkungan, maka yang terjadi adalah timbulnya
berbagai permasalahan lingkungan yang cenderung bersifat destruktif.

Permasalahan lingkungan yang sekarang terjadi salah satunya adalah


permasalahan sampah, yang kian hari terus menumpuk jumlahnya dan masih
belum juga ditemukan solusinya secara global. Penanganan sampah yang ada
selama ini selalu bertumpu pada pendekatan akhir (end of pipe), yakni
memindahkan sampah dari satu tempat ke tempat yang lain (TPS/TPA).
Penanganan sampah yang demikian sama halnya dengan memindahkan
masalah dari satu tempat ke tempat yang lain. Bila hal ini terus menerus
dilakukan maka tak heran jika beberapa dekade kedepan lingkungan hidup
kita akan dipenuhi tumpukan sampah.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2012) setiap harinya


masyarakat di indonesia menghasilkan 490.000 ton per hari atau total
178.850.000 ton sampah dalam waktu setahun. Masalah pencemaran
lingkungan ini di dasarkan atas kurangnya kesadaran dari masyarakat akan
pentingnya kebersihan lingkungan, kurangnya sosialisasi dari pemerintah atau
pihak-pihak terkait dalam upaya pengelolaan masalah lingkungan dan juga
pemberdayaan masyarakat.

3
Edukasi masyarakat mengenai permasalahan lingkungan yang bersifat
kompleks akibat timbulan sampah diperlukan untuk membentuk kesadaran
masyarakat. Faktor penyebab kepedulian lingkungan didasari cara berpikir
dan perilaku manusia. Partisipasi aktif warga menjadi hal yang penting untuk
diidentifikasikan dalam aksi pengelolaan sampah. Upaya menjaga kelestarian
lingkungan harus bermula dari diri individu dengan memulai dengan
melakukan hal-hal kecil. Perubahan yang dilakukan kemudian dapat
“ditularkan” menjadi kebiasaan dalam keluarga ataupun masyarakat, sehingga
terjadi perubahan besar. Menurut Singhirunnusorn dkk. (2012), perubahan
cara berpikir masyarakat mengenai pengelolaan sampah rumah tangga untuk
mengurangi sampah di sumber melalui partisipasi warga harus diintegrasikan
ke dalam proyek bank sampah yang berbasis masyarakat.

Sesuai dengan filosofi mendasar mengenai pengelolaan sampah sesuai


dengan ketetapan dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah, kini perlu perubahan cara pandang masyarakat
mengenai sampah dan cara memperlakukan atau mengelola sampah. Cara
pandang masyarakat pada sampah seharusnya tidak lagi memandang sampah
sebagai hasil buangan yang tidak berguna. Sampah seharusnya dipandang
sebagai sesuatu yang mempunyai nilai guna dan manfaat. Dalam rangka
melaksanakan Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, maka
praktek mengolah dan memanfaatkan sampah harus menjadi langkah nyata
dalam mengelola sampah. Masyarakat harus meninggalkan cara lama yang
hanya membuang sampah dengan mendidik dan membiasakan masyarakat
memilah, memilih, dan menghargai sampah sekaligus mengembangkan
ekonomi kerakyatan melalui pengembangan bank sampah (Tallei dkk., 2013).
Hal ini khususnya dalam pengelolaan sampah rumah tangga berbasis
komunitas dikarenakan sumber sampah domestik perlu dikelola secara
mandiri (Riswan dkk, 2011).

4
Pengetahuan, sikap, dan keterampilan warga mengelola sampah rumah
tangga untuk melakukan daur ulang juga menjadi hal penting dalam
pengelolaan sampah (Akhtar dan Soetjipto, 2014). Pemilahan sampah rumah
tangga yang termasuk kategori sampah organik dapat dijadikan kompos
sedangkan sampah rumah tangga anargonik ditabungkan ke bank sampah
untuk didaur ulang kembali dan dapat dijadikan bahan yang bernilai
ekonomis (Jumar dkk. 2014). Adaptasi bank sampah pada setiap komunitas
sangat ditentukan partisipasi warga yang juga akan menentukan keberlanjutan
program bank sampah sehingga pengelolaan berbasis komunitas menjadi
perlu diperhatikan (Kristina, 2014).

Pendekatan yang sesuai dengan konteks masyarakat dan kesesuaian


kebutuhan masyarakat menjadi kunci dari perubahan. Sementara Purba dkk.
(2014) menjelaskan bahwa pengembangan bank sampah ini juga akan
membantu pemerintah lokal dalam pemberdayaan masyarakat untuk
mengelola sampah berbasis komunitas secara bijak dan dapat mengurangi
sampah yang diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Inovasi
pengolahan sampah dengan program bank sampah menjadi inovasi di tingkat
akar rumput yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat miskin
perkotaan (Winarso dan Larasati, 2011).

Penekanan pada kajian ini yang menjadi kebaruan dari kajian


sebelumnya adalah pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas yang lebih
berperspektif gender. Peran warga perempuan penting diperhatikan sebagai
modal sosial. Warga perempuan dapat menggerakan individu dan komunitas
masyarakat untuk berperan serta dan aktif dalam pengelolaan lingkungan
(Blocker dan Eckberg, 1997). Warga perempuan dapat menjadi agen
perubahan dalam pengelolaan lingkungan di perkotaan, bahkan menjadi
bagian dari penyelesaian konflik lingkungan di perkotaan (Asteria, 2013).

Berdasarkan beberapa penelitian tentang lingkungan (environmental


sustainability) perempuan dapat berperan sebagai agent of change yang dapat
merespons perubahan lingkungan dengan lebih baik dari pada laki-laki karena

5
sifat ‘memelihara’yang dimiliki perempuan. Bentuk komitmen kaum
perempuan adalah aktivitas kepedulian dalam menyelamatkan dan
melestarikan fungsi lingkungan hidup, dengan mencegah pencemaran dan
perusakan yang diakibatkan oleh kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber
daya alam (Saleh Meylan, 2014).

Bank Sampah Gajah Putih yang berlokasi di Kelurahan Karangasem,


Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta adalah salah satu Bank Sampah binaan
SPEK-HAM Surakarta berbasis komunitas gender yang memprioritaskan
perempuan setempat untuk diberdayakan. Oleh karena itu, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian di Bank Sampah Karangasem dengan
menggunakan metode deskriptif kualitatif. Melalui pendekatan ini diharapkan
peneliti dapat menghasilkan data yang bersiat deskriptif guna mengungkap
sebab dan proses terjadinya di lapangan. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif karena permasalahan yang akan dibahas tidak
berkenaan dengan angka-angka, tetapi mendeskripsikan, menguraikan dan
menggambarkan bagaimana pemberdayaan kelompok perempuan melalui
program bank sampah. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh
Ilham Budi Irawan yang menggunakan metode studi kasus jamak dalam
penelitiannya yang berjudul “Pemberdayaan Masyarakat Pengelola Bank
Sampah Mapan, Bank Sampah Green Life, Bank Sampah Mayang Dan Bank
Sampah Menur Di Kota Surakarta”.

Sedang kanteori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori


pemberdayaan dan teori modal sosial. Karena selain ingin mengkaji
bagaimana kegiatan pemberdayaan kelompok perempuan, peneliti juga ingin
mengkaji modal social apa saja yang dibutuhkan untuk menjalankan Bank
Sampah Karangasem. Berbeda dengan penelitian Ilham Budi Irawan yang
menggunakan teori aksi dan teori pemberdayaan.

B. Rumusan Masalah

6
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka rumusan
masalah dari penelitian yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Peran SPEK-HAM terhadap kegiatan pemberdayaan


perempuan dalam pengelolaan bank sampah?

2. Bagaimana modal sosial yang dimiliki kelompok perempuan di Bank


Sampah Gajah Putih untuk program pengelolaan bank sampah?

3. Bagaimana pengelolaan Bank Sampah Gajah Putih yang dilakukan oleh


kelompok perempuan Gajah Putih dan SPEK-HAM?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sekaligus manfaat sebagai


berikut:

1. Mengetahui peran SPEK-HAM terhadap kegiatan pemberdayaan


perempuan dalam pengelolaan bank sampah.

2. Mengetahui modal sosial yang dimiliki kelompok perempuan di Bank


Sampah Gajah Putih untuk program pengelolaan bank sampah.

3. Mengetahui pengelolaan Bank Sampah Gajah Putih yang dilakukan oleh


kelompok perempuan Bank Sampah Gajah Putih dan SPEK-HAM.

7
BAB II
TELAAH PUSTAKA

A. Definisi Konseptual
1. Peran
St Harahap mengemukakan bahwa peran berarti laku, bertindak.
Didalam kamus besar bahasa Indonesia peran ialah perangkat tingkah
laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di
masyarakat (2007) Sedangkan makna peran yang dijelaskan dalam
Status, Kedudukan dan Peran dalam masyarakat, dapat dijelaskan melalui
beberapa cara, yaitu pertama penjelasan historis. Menurut penjelasan
historis, konsep peran semula dipinjam dari kalangan yang memiliki
hubungan erat dengan drama atau teater yang hidup subur pada zaman
yunani kuno atau romawi. Dalam hal ini, peran berarti karakter yang
disandang atau dibawakan oleh seorang actor dalam sebuah pentas
dengan lakon tertentu. Kedua, pengertian peran menurut ilmu sosial.
Peran dalam ilmu sosial berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang
ketika menduduki jabatan tertentu, seseorang dapat memainkan
fungsinya karena posisi yang didudukinya tersebut.
Poerwadarminta mengemukakan bahwa (1995) “peran merupakan
tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu
peristiwa”. Berdasarkan pendapat Poerwadarminta maksud dari tindakan
yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa
tersebut merupakan perangkat tingkah laku yang diharapkan, dimiliki
oleh orang atau seseorang yang berkedudukan di masyarakat. Kedudukan
dan peranan tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena jika melihat
dari pengertian tersebut keduanya saling berhubungan.
Sedangkan Soerjono Soekanto (1987) mengemukakan definisi
“peranan lebih banyak menunjukkan pada fungsi, penyesuaian diri dan
sebagai suatu proses, jadi tepatnya adalah bahwa seseorang menduduki

8
suatu posisi atau tempat dalam masyarakat serta menjalankan suatu
peranan”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa peranan
merupakan suatu aspek dinamis kedudukan atau status. Apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan.
Lebih lanjut Soerjono Soekanto juga mengemukakan aspek–aspek
peranan sebagai berikut:
a) Peranan meliputi norma–norma yang berhubungan dengan posisi
seseorang dalam masyarakat, peranan dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan–peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan masyarakat.
b) Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c) Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat.
Bryant dan White dalam Amira (2012) menyatakan bahwa peran
didefinisikan sebagai suatu deskripsi “pekerjaan untuk seseorang atau
individu yang mengandung harapan-harapan tertentu yang tidak
mempedulikan siapa yang menduduki suatu posisi tersebut”. Definisi
tersebut dapat menjelaskan bahwa peran merupakan suatu deskripsi
pekerjaan atau tugas seseorang yang di dalamnya mengandung harapan-
harapan terhadap orang–orang yang menduduki posisi terssebut.
Pengharapan merupakan suatu norma yang dapat mengakibatkan
terjadinya peran. Konsep peran selalu berkaitan dengan struktur organisai
(lembaga atau institusi formal) karena dari peran tersebut dapat diketahui
struktur organisasi yang ada di suatu lembaga atau institusi yang berisi
tentang uraian status atau kedudukan sesorang atas suatu peran yang
harus dilakukan dan bersifat kolektif. Peran diperoleh dari uraian jabatan
atas suatu pekerjaan dan uraian jabatan memberikan serangkaian
pengharapan yang menentukan terjadinya peran.

9
Dari beberapa konsep di atas dapat diambil pengertian bahwa peran
merupakan penilaian sejauh mana fungsi seseorang atau sekelompok
orang dalam suatu kedudukan (status) sebagai bagian dalam menunjang
usaha pencapaian tujuan yang ditetapkan.
2. Peran SPEK-HAM
Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia
(SPEK-HAM) Solo, adalah sebuah organisasi non profit, independen,
mandiri, yang merupakan kumpulan orang-orang berlatar belakang
gerakan mahasiswa, organisasi sosial, serta bersifat pluralis, dengan
komitmen pada penegakan Hak Asasi Manusia khususnya Hak Asasi
Perempuan. Didirikan pertama kali pada tanggal 20 November 1998 serta
terdaftar pada Akta Notaris No. 4, tanggal 6 Januari 1999 oleh kantor
Notaris Sunarto, S.H di Jl. Prof. Dr. Supomo 20 A Surakarta dalam
bentuk Yayasan.
SPEK-HAM menyadari bahwa terjadinya berbagai bentuk
ketidakadilan di masyarakat. Dan pada kenyataannya problem sosial,
ekonomi, politik, dan budaya di masyarakat masih menempatkan
perempuan dalam posisi paling terpinggirkan diantara kelompok
masyarakat yang termiskinkan. Hal ini disebabkan oleh konsep
pembangunan yang berpihak pada kekuatan modal dan pasar. Akumulasi
modal dan kebutuhan pasar terbukti gagal menyelesaikan berbagai
persoalan kebutuhan dasar dan hak dasar masyarakat, persoalan dominasi
ideologi/budaya, persoalan kelas, gender, dan lingkungan. Kebutuhan
dasar dan hak dasar masyarakat tidak menjadi prioritas untuk dipenuhi,
sehingga berbagai bentuk ketidakadilan menjadi muara atas situasi
kemiskinan yang diciptakan. Dalam situasi ini, kelompok perempuan
yang secara kultural dan struktural terdiskriminasi menjadi bagian paling
menderita dan terlemahkan oleh Negara.
Untuk itu sejak awal berdirinya, SPEK-HAM telah melakukan
berbagai upaya penguatan dan pembangunan kesadaran masyarakat sipil.
Upaya-upaya ini dilakukan sebagai komitmen organisasi untuk ikut

10
berkontribusi dalam proses perubahan sosial menuju tatanan masyarakat
yang lebih adil dan bermartabat, dengan menggunakan perspektif gender,
hak asasi manusia, pluralisme, dan keseimbangan lingkungan sebagai
landasan gerak organisasi dalam memperjuangkan visi, misi, dan
tujuannya.
Berdasarkan kerangka pikir tersebut di atas, SPEK-HAM melihat
perjuangan untuk mendapatkan hak-hak dan pemenuhan atas kebutuhan
dasar masyarakat merupakan mandat organisasi. SPEK-HAM
merumuskan tiga strategi utama, yaitu: pengorganisasian kelompok
masyarakat miskin, pendidikan kritis untuk perubahan pola pikir, dan
advokasi untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan perlindungan hak dasar
masyarakat sipil. Dari semua tahapan tersebut di atas, proses
pembangunan gerakan sosial menuju masyarakat yang berkeadilan sosial
dengan menggunakan perspektif gender, hak asasi manusia, pluralisme,
dan lingkungan, menjadi dimensi terpenting, yang salah satunya adalah
proses peran SPEK-HAM dalam pengelolaan bank sampah masyarakat.
3. Pemberdayaan Perempuan
Menurut Prijono dan Pranaka (1996) Pemberdayaan berasal dari
kata empowerment merupakan konsep yang lahir dari perkembangan
alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat, terutama Eropa. Secara
etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti
kekuatan atau kemampuan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka
pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau
proses untuk memperoleh daya/ kekuatan/ kemampuan, dan atau proses
pemberian daya/ kekuatan/ kemampuan dari pihak yang memiliki daya
kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Pemberdayaan berarti
pemberian kemampuan dari suatu individu atau kelompok yang sudah
berdaya kepada individu atau masyarakat agar menjadi berdaya.
Pemberdayaan merupakan transformasi hubungan kekuasaan antara
laki-laki dan perempuan pada empat level yang berbeda, yakni keluarga,
masyarakat, pasar dan negara. Konsep pemberdayaan dapat dipahami

11
dalam dua konteks.Pertama, kekuasaan dalam proses pembuatan
keputusan dengan titik tekan pada pentingnya peran perempuan. Kedua,
pemberdayaan dalam term yang berkaitan dengan fokus pada hubungan
antara pemberdayaan perempuan dan akibatnya pada laki-laki di
masyarakat yang beragam.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga
sisi, yaitu: Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik
tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat,
memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada
masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan
sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu,
dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih
positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini
meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai
masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang
(opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya.
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam
proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah
lemah, oleh karena kekurang berdayaan dalam menghadapi yang kuat.
Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat
mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi
tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu
justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah.
Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya
persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang
lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi
makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena,

12
pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha
sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain).
Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan
masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk
memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara
berkesinambungan. Dari berbagai definisi tersebut, dapat ditarik suatu
benang merah bahwa pemberdayaan masyarakatmerupakan upaya untuk
memampukan danmemandirikan masyarakat. Atau dengan kata lain
adalah bagaimana menolongmasyarakat untuk mampumenolong dirinya
sendiri.
Menurut Karl M. (dalam Prijono dan Pranaka, 1996: 63)
pemberdayaan perempuan dipandang sebagai suatu proses kesadaran dan
pembentukan kapasitas (capacity building) terhadap partisipasi yang
lebih besar, kekuasaan, dan pengawasan. Terdapat dua ciri dari
pemberdayaan perempuan. Pertama, sebagai refleksi kepentingan
emansipatoris yang mendorong masyarakat berpartisipasi secara kolektif
dalam pembangunan. Kedua, sebagai proses pelibatan diri individu atau
masyarakat dalam proses pencerahan, penyadaran dan pengorganisasian
kolektif sehingga mereka dapat berpartisi.
Adapun pemberdayaan terhadap perempuan adalah salah satu cara
strategis untuk meningkatkan potensi perempuan dan meningkatkan
peran perempuan baik di domain publik maupun domestik. Hal tersebut
dapat dilakukan diantaranya dengan cara:
a) Membongkar mitos kaum perempuan sebagai pelengkap dalam
rumah tangga. Pada zaman dahulu, muncul anggapan yang kuat
dalam masyarakat bahwa kaum perempuan adalah konco wingking
(teman di belakang) bagi suami serta anggapan “swarga nunut
neraka katut” (ke surga ikut, ke neraka terbawa). Kata nunut dan
katut dalam bahasa Jawa berkonotasi pasif dan tidak memiliki
inisiatif, sehingga nasibnya sangat tergantung kepada suami.

13
b) Memberi beragam ketrampilan bagi kaum perempuan. Sehigga kaum
perempuan juga dapat produktif dan tidak menggantungkan nasibnya
terhadap kaum laki-laki. Berbagai ketrampilan bisa diajarkan,
diantaranya: ketrampilan menjahit, menyulam serta berwirausaha
dengan membuat kain batik dan berbagai jenis makanan.
c) Memberikan kesempatan seluas-luasnya terhadap kaum perempuan
untuk bisa mengikuti atau menempuh pendidikan seluas mungkin.
Hal ini diperlukan mengingat masih menguatnya paradigma
masyarakat bahwa setinggi-tinggi pendidikan perempuan toh
nantinya akan kembali ke dapur. Inilah yang mengakibatkan masih
rendahnya (sebagian besar) pendidikan bagi perempuan, pembuatan
keputusan yang lebih besar, dan tindakan transformasi agar
menghasilkan persamaan derajat yang lebih besar antara perempuan
dan laki-laki. Upaya pemberdayaan perempuan dapat dilakukan
dengan usaha menyadarkan dan membantu mengembangkan potensi
yang ada, sehingga menjadi manusia yang mandiri.
Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan menurut Ambar T.
Sulistyani (2004) adalah untuk membentuk individu dan masyarakat
menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir,
bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian
masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang
ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan, serta
melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan
masalahmasalah yang dihadapi menggunakan daya kemampuan yang
meliputi kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif, dengan
pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal
masyarakat tersebut.
4. Bank Sampah
Secara istilah, Bank Sampah terdiri dari atas 2 (dua ) kata, yaitu
Secara istilah Bank Sampah terdiri atas 2 (dua) kata, yaitu kata Bank dan
Sampah. Kata bank berasal dari bahasa Italia yaitu banque yang berarti

14
tempat penukaran uang. Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke
masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan pengertian sampah adalah semua benda atau produk
sisa dalam bentuk padat akibat aktivitas manusia yang dianggap tidak
bermanfaat dan tidak dikehendaki oleh pemiliknya dan dibuang sebagai
barang yang tidak berguna. Sampah pengertian diatas adalah benda yang
sudah tidak memiliki manfaat apa pun bagi kehidupan manusia sehingga
benda tersebut dibuang, dan keberadaan benda tersebut tidak bisa
dihindari selama masih ada aktivitas manusia.
Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce,
Reuse, Dan Recycle Melalui Bank Sampah, pada pasal 1 disebutkan
bahwa Bank sampah adalah tempat pemilahan dan pengumpulan sampah
yang dapat didaur ulang dan/atau diguna ulang yang memiliki nilai
ekonomi.
Sedangkan Bank sampah menurut Unilever adalah suatu sistem
pengelolaan sampah kering secara kolektif yang mendorong masyarakat
untuk berperan serta aktif didalamnya. Sistem ini akan menampung,
memilah dan menyalurkan sampah bernilai ekonomi pada pasar sehingga
masyarakat mendapat keuntungan ekonomi dari menabung sampah.
Pada umumnya Bank merupakan sebuah instansi yang bergerak
dibidang penyimpanan, terutama yang berhubungan dengan uang.
namun, belakangan ini bank yang berhubungan dengan uang sudah lain
lagi yaitu berhubungan dengan sampah. Bank sampah merupakan sebuah
yayasan yang awalnya dibina di daerah Yogyakarta, dan kini sudah
diadopsi di kota-kota seluruh Indonesia. Tujuannya tentu saja menerima
penyimpanan sampah masayarakat sekitar, dan menjadikan sampah
tersebut menjadi uang. Jumlah sampah yang masuk dengan uang yang

15
diterima tentu akan berbeda jauh. Kalau sampah yang masuk banyak,
jangan harap uang yang masuk sebanyak sampah yang disetoran. Akan
tetapi dari sampah-sampah tersebut kita dapat mengumpulkan pundi-
pundi rupiah.
Dari hasil timbangan sampah, pihak bank baru menetukan berapa
uang yang bisa diberikan. Kinerjanya mirip dengan bank umumnya.
Masyarakat dibuatkan buku tabungan, uang tidak langsung diberikan
pada si penabung, tetapi lebih dulu dimasukkan ke dalam uku tabungan.
Jumlahnya pun tidak langsung besar, dari mulai rupiah yang kecil dulu.
Bank sampah ini fungsinya bukan melulu menumpuk sampah, namun
bank ini menyalurkan sampah yang didapat sesuai kebutuhan. Misalnya
sampah basah hasil rumah tangga yang terdiri dari sayuran, dikumpulkan
untuk dijadikan pupuk kompos. Sampah kring berupa botol, kaleng dan
kertas dipisah lagi. Biasanya sampah kering ini dijadikan barang kembali
dari hasil daur ulang dan semua berupa kerajinan tangan. Misal, vas
bungan dari kaleng bekas, tas dari rajutan sedotan, bentuk rokok yang
dibentuk asbak, dan masih banyak lagi.
Semua pengelolaan tersebut diserahkan kepada masyarakat
setempat. Dari masyarakat dan kembali ke masyarakat. Ide tentang bank
sampah sungguh unik. Ternyata bank bukan hanya bergerak di bidang
uang, tapi juga terhadap benda yang dibuang. Ide untuk menamakan bank
sampah membuat image tentang pengumpulan barang bekas menjadi
menjadi berbeda. Dengan begitu prospektif dan terkesan keren. Harus
diigat juga perbedaan tersebut juga ternyata berpengaruh besar terhadap
ekonomi. Bahkan sampah justru bisa mendatangkan uang dari barang
bekas bernama sampah, ditambah lagi memberikan tambahan ekonomi
bagi masyarakat sekitar.
5. Pengelolaan Bank Sampah
Konsep pengelolaan sampah yang dilakukan di bank sampah adalah
penerapan dari konsep (zero waste). Yakni pendekatan serta penerapan
sistem teknologi pengolahan sampah perkotaan skala kawasan secara

16
terpadu dengan melakukan penanganan sampah dengan tujuan dapat
mengurangi sampah sesedikit mungkin. Dan juga, konsep ini merupakan
konsep pengelolaan sampah yang sesuai dengan apa yang diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, yaitu pengelolaan
sampah melalui pendekatan reduse, reuse, dan recycle atau sering
dikenal dengan 3R.
a) Pendekatan reduse, adalah pendekatan dengan cara meminimalisir
penggunaan barang yang kita gunakan. Karena apabila penggunaan
barang atau material terlalu berlebih, itu akan mengakibatakan
sampah yang banyak juga hasil dari apa yang telah kita gunakan.
b) Pendekatan reuse, adalah pendekatan dengan cara sebisa mungkin
untuk memilih barang-barang yang bisa dipakai kembali dan
menghindari pemakaian barang sekali pakai untuk memperpanjang
jangka waktu barang tersebut sebelum menjadi sampah.
c) Pendekatan recycle, adalah pendekatan dengan cara melakukan daur
ulang dari barang-barang yang sudah tidak terpakai lagi. Dengan
cara ini, barang yang sudah tidak terpakai bisa digunakan kembali
menjadi barang lain.
Sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat (PSBM) dicirikan
oleh adanya keterlibatan masyarakat penggunanya dalam kegiatan
perencanaan dan pengoperasian sistem tersebut. Ada 8 prinsip
pengelolaan sampah berbasis masyarakat menurut (Yuwono, 2008: 3)
yaitu;
a) Keterlibatan masyarakat
b) Kejelasan batasan wilayah
c) Strategi pengelolaan sampah yang terpadu
d) Pemanfaatan sampah yang optimal
e) Fasilitas persampahan yang memadai
f) Kelompok penggerak yang mumpuni
g) Optimasi pendanaan sendiri
h) Pola kemitraan yang menguntungkan

17
1. Kajian Teori
1. Pemberdayaan

Secara konseptual pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata


power (kekuatan atau keberdayaan). Pemberdayaan yang diadaptasikan
dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai abad pertengahan,
terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan 90-an. Konsep
pemberdayaan ini kemudian mempengaruhi teori- teori yang berkembang
belakangan.
Dalam buku Suharto (2010: 58) Pemberdayaan menunjuk pada
kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga
mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam.
a) Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki
kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan
pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan,
bebas dari kesakitan.
b) Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka
dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang- barang
dan jasa- jasa yang merekaperlukan.
c) Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan
yang mempengaruhi mereka.

Menurut Parsons dalam Suharto (2010: 58- 59) “Pemberdayaan


adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk
berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi
terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi
kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh
keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk
mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi
perhatiannya”.
Sumodiningrat (1999), mengemukakan bahwa pemberdayaan

18
masyarakat merupakan upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan
upaya memperkuat kelembagaan masyarakat agar rakyat mampu
mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana
keadilan sosial yang berkelanjutan. Untuk itu upaya pemberdayaan
masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat martabat lapisan
masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan
diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain,
pemberdayaan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan
masyarakat.
Menurut Rappaport dalam Suharto (2010:59) “Pemberdayaan
adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas
diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya”.
Dan Chambers dalam Suharto (2009: 99) “Pemberdayaan masyarakat
adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-
nilai sosial. Konsep ini membangun paradigma baru dalam
pembangunan, yakni yang bersifat “people- centered, participatory,
empowering, and subtainable”.
Menurut Manuwoto dalam bukunya Ibrahim Indrawijaya dan
Pranoto (2011: 72), memberikan definisi “Pemberdayaan masyarakat
adalah suatu upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan
masyarakat yang kondisinya pada suatu waktu tidak, atau belum mampu
dan mandiri suatu komplek masyarakat”.
Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata mempengaruhi
kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk
mencegah proses kemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya
belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya untuk mencari
alternative terhadap pertumbuhan- pertumbuhan dimasa lalu.
Dalam upaya meningkatkan pemberdayaan masyarakat dapat
dilihat dari tiga sisi, yaitu:

a) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi


masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah

19
pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki
potensi yang dapat dikembangkan, artinya tidak ada masyarakat
yang sama sekali tanpa daya. Pemberdayaan adalah upaya untuk
membangun daya itu sendiri, dengan mendorong memotivasikan dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkannya.

b) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat


(empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah positif,
selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini
mengikuti langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan
berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kedalam berbagai
peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat makin
berdaya. Dalam upaya pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok
adalah meningkatkan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta
akses kedalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal,
teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan
pemberdayaan ini menyangkut pembangunan sarana dan prasarana
dasar baik fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, jembatan, maupun
sekolah, dan juga fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat
dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta
kesediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di
pedesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya
amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat
yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku
untuk semua, tidak selalu menyentuh pada lapisan masyarakat ini.
c) Memberdayakan mengandung pula arti melindungi, dalam proses
pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah,
oleh karena itu kekurangberdayaan dalam mengahadapi yang kuat.
Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan yang lemah amat
mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat.
Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya

20
persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas
yang lemah.
Mahmudi (2002) menjelaskan istilah pemberdayaan
(empowerment) berkaitan erat dengan proses transformasi sosial,
ekonomi, politik, dan budaya. Pemberdayaan adalah proses penumbuhan
kekuasaan dan kemampuan diri dari kelompok masyarakat yang miskin/
lemah, terpinggirkan, dan tertindas. Melalui proses pemberdayaan
diasumsikan bahwa kelompok masyarakat dari strata sosial terendah
sekalipun bisa terangkat dan muncul menjadi bagian dari lapisan
masyarakat menengah dan atas. Ini akan terjadi bila mereka bukan saja
diberi kesempatan akan tetapi mendapatkan bantuan atau terfasilitasi
pihak lain yang memiliki komitmen untuk itu. Kelompok miskin di
perdesaan misalnya niscaya tidak akan mampu melakukan proses
pemberdayaan sendiri tanpa bantuan atau fasilitasi pihak lain. Harus ada
sekelompok orang atau suatu institusi yang bertindak sebagai pemicu
keberdayaan (enabler) bagi mereka.
Terdapat tiga esensi utama dalam pemberdayaan masyarakat yaitu
pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat untuk berkembang. Kondisi ini berdasarkan asumsi bahwa
setiap individu dan masyarakat mempunyai potensi yang dapat
dikembangkan. Hakikat dari kemandirian dan keber-dayaan msyarakat
memiliki potensi untuk mengorganisasi dirinya sendiri dan potensi
kemandirian tiap individu perlu diberdayakan. Proses pemberdayaan
masyarakat berakar kuat pada proses kemandirian tiap individu yang
kemudian meluas ke keluarga, serta kelompok masyarakat.
Kedua, memperkuat potensi dan daya yang dimiliki oleh
masyarakat melalui langkah yang nyata, menampung berbagai masukan,
menyediakan sarana dan prasarana yang baik fisik maupun sosial yang
dapat diakses oleh masyarakat lapisan paling bawah. Terbukanya akses
pada berbagi peluang akan membuat rakyat makin berdaya, seperti

21
tersedianya lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan dan pengembangan
usaha ekonomi serta pemasaran bagi masyarakat desa.
Ketiga, memberdayakan rakyat dalam arti melindungi dan
membela kepentingan masyarakat lemah. Dalam proses pemberdayaan
harus dicegah jangan sampai yang lemah bertambah lemah atau makin
terpinggirkan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu,
perlindungan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya
dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi dan membela
harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang
tidak imbang dan eksploitasi terhadap yang lemah.
Pemberdayaan masyarakat melaui penguatan lembaga mediasi
yang mengantarai antara pubik dengan privat (Berger: 1977). Lembaga-
lembaga sosial ketetanggaan, kekerabatan, keagamaan merupakan
lembaga mediasi yang menjadi penglindung antara pemerintah, swasta
dengan keluarga dan individu. Fasilitator memanfaatkan lembaga
mediasi untuk langsung berhubungan dengan masyarakat di lapisan
bawah. Ia memberikan peluang yang luas untuk menggerakkan dan
melancarkan proses belajar masyarakat dalam membangun kehidupannya
melalui kerja-kerja konkrit dan melalui uji coba-uji coba skala mikro,
kecil, dan menengah. Dalam kaitan ini fasilitator pem-berdayaan
masyarakat memiliki peran penting dan strategis. Fasilitator bukanlah
pekerja yang semata-mata bekerja dengan model “tukang” tetapi mereka
adalah aktivis yang bekerja penuh komitmen dan kreativitas serta
memiliki semangat tinggi membantu masyarakat belajar membebaskan
dirinya dari segala bentuk dominasi yang memiskinkan dan
membodohkan.
Dari berbagai uraian di atas maka, pemberdayaan masyarakat
adalah sebuah proses atau upaya untuk meningkatkan kualitas hidupnya
dalam berbagai aspek untuk memperbaiki kehidupannya. Yang mana
dalam melakukan pemberdayaan masyarakat tentunya tidak dapat
dilakukan secara sembarangan karena pada saat ini banyak sekali

22
program-program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh
pemeritah namun belum menuai hasil yang maksimal. Sehingga dalam
pemberdayaan masyarakat harus sangat diperhatikan dari sisi yang telah
dijelaskan di atas agar output dari pemberdayaan itu sendiri dapat
tercapai. Sebelumnya dapat dilakukan pendekatan-pendekatan dalam
pemberdayaan masyarakat agar pemberdayaan menjadi tepatsasaran.
2. Modal Sosial
Modal sosial merupakan salah satu konsep baru yang digunakan
untuk mengukur kualitas hubungan dalam komunitas, organisasi, dan
masyarakat. Modal sosial atau Social Capital adalah sumber daya yang
dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru.
Bahwa yang disebut dengan sumber daya adalah sesuatu hal yang dapat
dikonsumsi dan disimpan. Modal sosial disini tidak diartikan dengan
materi, tetapi merupakan modal sosial yang terdapat pada seseorang.
Modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola
hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok.
Modal sosial sebuah kelompok menentukan bertahannya dan
berfungsinya sebuah kelompok masyarakat.

Menurut Piere Bourdieu, definisi modal sosial adalah jumlah


sumber daya, aktual atau maya, yang berkumpul pada seorang individu
atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan
timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak
terinstitusionalisasikan (Field, 2011:23). James Coleman mendefinisikan
social capital yaitu kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama
demi mencapai tujuan-tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan
organisasi (dalam Fukuyama, 2007:12). Robert D. Putnam,
mendefinisikan modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial seperti
jaringan, norma, dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak
bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama
(dalam Field, 2011: 51).

23
Francis Fukuyama (2002:22) mendefinisikan modal sosial secara
sederhana sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal
yang dimiliki bersama di antara para anggota-anggota suatu kelompok
memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Jika para
anggota kelompok itu mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain
akan berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling
mempercayai. Jika orang-orang yang bekerja sama dalam sebuah
perusahaan saling mempercayai dan bekerja menurut serangkaian norma
etis bersama, maka berbisnis hanya memerlukan sedikit biaya
(Fukuyama, 2007: 38).

Modal sosial mengenal 3 aspek penting yang mengindikasikan


adanya nilai-nilai modal sosial yang menurut Robert Putnam (dalam
Lawang, 2004) bahwa kapital sosial ini dilihat sebagai institusi sosial
yang melibatakan jaringan (Networks), norma-norma (Norms),
kepercayaan sosial (Social Trust) yang mendorong pada sebuah
kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan bersama.

Dalam teori modal sosial dikenal memiliki 3 arus utama (main


streams). Pertama, teori Putnam dan Fukuyama; kedua teori Coleman;
dan ketiga teori Bourdieu. Baik Putnam, Coleman, maupun Bourdieu
sepakat bahwa modal sosial merupakan sebuah sumber daya (resource).
Namun demikian, Coleman cenderung memandang modal sosial sebagai
sumberdaya-sumberdaya sosial yang tersedia bagi individu-individu dan
keluarga untuk mecapai mobilitas sosial. Secara spesifik, Coleman
berpendapat bahwa modal sosial merupakan sumber daya yang bisa
memfasilitasi individu dan keluarga memiliki sumber daya manusia
(human capital) yang memadai. Dasar teori putnam menekankan bahwa
kapital sosial sebagai suatu nilai tentang kepercayaan timbal balik
(mutual trust) antara anggota masyarakat maupun masyarakat secara
keseluruhan terhadap pemimpinya. Kapital sosial ini dilihat sebagai
instistusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma

24
(norms) dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada
sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan
bersama. Hal ini juga mengandung pengertian bahwa diperlukan adanya
suatu social networks (networks of civic engagement) ikatan atau jaringan
sosial yang ada dalam masyarakat dan norma yang mendorong
produktivitas komunitas.

Bank Dunia (1999) meyakini modal sosial adalah sebagai sesuatu


yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang
tercipta, dan norma-norma yang membentuk kualitas serta kuantitas
hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial bukanlah sekedar
deretan jumlah institusi atau kelompok yang menopang (underpinning)
kehidupan sosial, melainkan dengan spektrum yang lebih luas. Yaitu
sebagai perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok
secara bersama-sama. Selain itu modal sosial diyakini sebagai komponen
dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, saling mempercayai
dan saling menguntungkan. Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu
masyarakat yang didalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola
interaksi sosial dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya.

Kemampuan masyarakat untuk dapat saling bekerjasama tidak


dapat terlepas dari adanya peran modal sosial yang mereka miliki.
Hakikat modal sosial adalah hubungan sosial yang terjalin dalam
kehidupan sehari-hari warga masyarakat. Inti modal sosial terletak pada
bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok
untuk bekerja sama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan
bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi yang
timbal balik dan saling menguntungkan (resiprocity), dan dibangun atas
kepercayaan (trust) yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai
sosial yang positif dan kuat (Hasbullah, 2006). Menurut Robert MZ
Lawang yang menjadi konsep inti dari modal sosial ada 3 yaitu:

25
a) Kepercayaan atau Trust (kejujuran, kewajaran, sikap egaliter,
toleransi, dan kemurahan hati)
Kepercayaan adalah salah satu unsur penting dalam modal sosial
yang merupakan tali pengikat antara satu sama lain sehingga tercipta
suatu dukungan yang solid dan tahan lama. Inti kepercayaan antar
manusia menurut Lawang (dalam Damsar, 2009) ada tiga hal yang
saling terkait, yaitu:
1) Hubungan sosial antara dua orang atau lebih. Termasuk dalam
hubungan ini adalah institusi, yang dalam pengertian ini diwakili
oleh seseorang. Seseorang percaya kepada insitusi tertentu untuk
kepentingannya, karena orang didalam institusi itu bertindak.
2) Harapan yang terkandung dalam hubungan itu, yang jika
direalisasikan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah
pihak.
3) Interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan harapan itu
bisa terwujud.
Dengan ketiga dasar ini, kepercayaan yang dimaksudkan disini
akan menunjuk pada hubungan antar dua pihak atau lebih yang
mengandung harapan yang menguntungkan salah satu atau kedua
belah pihak. Dengan adanya kepercayaan yang terjalin akan
memudahkan hubungan saling kerjasama dan saling menguntungkan
(mutual benefit), sehingga mendorong timbulnya hubungan
resiprosikal atau timbal balik dari pihak yang terkait. Fungsi
kepercayaan menurut simmel dapat disimak dari pernyataan bahwa
“tanpa adanya rasa saling percaya yang merata antara satu orang
dengan orang lainnya, masyarakat itu sendiri akan disintegratif dan
kepercayaan itu merupakan “salah satu kekuatan sintetik yang paling
penting dalam masyarakat”. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa
kepercayaan itu menjadi basis bagi tindakan individu (Simmel dalam
Mollering, ibid, dalam Lawang, 2004).

26
b) Jaringan Sosial atau Social Networks (parisipasi, resiprositas,
solidaritas, kerjasama)
Jaringan adalah sumber pengetahuan yang menjadi dasar utama
dalam pembentukan kepercayaan strategik. Media yang paling
ampuh untuk membuka jaringan adalah pergaulan dalam pengertian
umum dengan membuka diri lewat media cetak atau elektronik
dalam pengertian terbatas seperti pergaulan. Jejaring sosial adalah
suatu struktursosial yang dibentuk dari simpul-simpul (atau yang
umumnya adalah individu atau organisasi) yang dijalin dengan satu
atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan,
dll. Dalam bentuk yang paling sederhana, suatu jaringan jejaring
sosial adalah peta semua ikatan yang relevan antar simpul yang
dikaji. Jaringan tersebut juga dapat digunakan untuk menentukan
modal sosial aktor individu. Konsep ini sering digambarkan dalam
diagram jaringan sosial yang mewujudkan simpul sebagai titik dan
ikatan sebagai garis penghubungnya.
Pada dasarnya jaringan sosial terbentuk karena adanya rasa
saling percaya, saling tahu, saling menginformasikan, saling
mengingatkan ataupun mengatasi sesuatu. Pada intinya jaringan dan
hubungan sosial ini sangat berarti bagi setiap individu ataupun
kelompok organisasi. Karena dari sudut pandang sosiologi, dapat
dikatakan bahwa kita, Paling tidak sebagian, didefinisikan oleh siapa
yang kita kenal. Secara lebih luas, ikatan-ikatan di antara manusia
juga menjadi blok bangunan utama dari bangunan sosial yang lebih
besar.
c) Norma (nilai-nilai bersama, norma dan sanksi, aturan-aturan).
Pada suatu entitas sosial tertentu norma tidak dapat dipisahkan
dari jaringan dan kepercayaan. Jika struktur jaringan itu terbentuk
karena pertukaran sosial yang terjadi antara dua orang, sifat norma
kurang lebih sebagai berikut: Norma itu muncul dari pertukaran yang
saling menguntungkan, (Blau 1963, Fukuyama 1999 dalam Lawang,

27
2004). Artinya, jika didalam pertukaran itu keuntungan hanya
dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran sosial selanjutnya
pasti tidak akan terjadi. Jika dalam pertukaran pertama keduanya
saling menguntungkan, akan muncul pertukaran yang kedua, dengan
harapan akan memperoleh keuntungan pula.
Norma yang tercipta diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh individu
pada suatu entitas sosial tertentu. Norma-norma sosial akan sangat
berperan dalam mengontrol bentuk-bentukperilaku yang tumbuh
dalam masyarakat Norma ini biasanya terinstusionalisasi dan
mengandung sanksi sosial yang dapat mencegah individu berbuat
sesuatu yang meyimpang dari kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
Norma dalam hal ini memang tidak tertulis namun dipahami oleh
setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku
yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial.
Michael Wollcock (dalam Dwi Rajibianto, 2010) membedakan tiga
tipe modal sosial yaitu sebagai berikut:
a) Sosial Bounding yaitu berupa kultur nilai, kultur persepsi dan tradisi
atau adat istiadat. Modal sosial dengan karateristik ikatan yang kuat
dalam suatu siistem kemasyarakatan di mana masih berlakunya
system kekerabatan dengan system klen yang mewujudkan rasa
simpati, berkewajiban, percaya resiprositas dan pengakuan timbal
balik nilai kebudayaan yang dipercaya. Tradisi merupakan tata
kelakuan yang kekal serta memiliki integrasi kuat dalam pola
perilaku masyarakat mempunyai kekuatan mengikat dengan beban
sangsi bagi pelanggrnya.
b) Social Bridging yaitu berupa institusi maupun mekanisme yang
merupakan ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai
macam karateristik kelompoknya. Dapat dilihat pula adanya
keterlibatan umum sebagai warga Negara, asosiasi, dan jaringan.

28
c) Social Linking yaitu berupa hubungan atau jaringan sosial dengan
adanya hubungan diantara beberapa level dari kekuatan sosial
maupun status sosial yang ada dalam masyarakat.

Abdullah (dalam Suwartiningsih, Sri & Prananingrum, Dyah


Hapsari, 2009: 43) mengidentifikasi tiga bentuk modal sosial yamg ada
dalam masyarakat yaitu:

a) Ideologi dan tradisi lokal yang mengacu pada paham tertentu dalam
menyikapi hidup dan menentukan tatanan sosial. Hal ini dapat
berupa kepercayaan setempat yang merupakan basis bagi legitimasi
tindakan sosial, ajaran yang menjadi sistem acuan dalam tingkah
laku yang terwujud, etika sosial yang mengatur hubungan antar
manusia dengan manusia atau lingkungan, etos kerja, nilai tradisi,
dan norma yang merupakan perangkat aturan tinglah laku.
b) Hubungan dan jaringan sosial yang merupakan pola-pola hubungan
antara orang dan ikatan sosial dalam suatu masyarakat seperti
kerabat atau ikatan ketetanggaan.
c) Jaringan terdapat dalam masyarakat, menjangkau institusi lokal yang
berfungsi bagi kepentingan kelompok dan masyarakat. Ini dapat
berupa kelembagaan adat atau pranata sosial yang berperan secara
langsung ataupun tidak langsung.
Dari ketiga bentuk modal sosial yang ada, dapat disimpulkan
bahwa semua bentuk modal sosial berjalan bersama dan saling
melengkapi. Konsep modal sosial merujuk pada hubungan sosial,
institusi, norma sosial dan saling percaya antara orang atau kelompok
lain serta mempunyai dampak positif terhadap peningkatan kehidupan
dalam komunitas.

2. Studi Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang serupa mengenai pengembangan
bank sampah yaitu penelitian yang dilakukan oleh Radella Rizki Pratiwi,

29
Universitas Maritim Raja Ali Haji (2016) yang berjudul “Pemberdayaan
Perempuan dalam Menjaga Lingkungan Melalui Program Bank Sampah di
Perumnas Tokojo Kijang Kota RT 05 RW 013”. Penelitian tersebut memiliki
tujuan yaitu untuk mengetahui untuk mengetahui Pemberdayaan Perempuan
Dalam Menjaga Lingkungan Di Perumnas Tokojo Kijang Kota RT 05 RW
013. Pembahasan dalam penelitian tersebut menggunakan teknik deskriptif
kualitatif dengan mengacu kepada konsep Kabeer (dalam Agus : 2009 : 35-
37). Informan yang dipilih dengan perempuan yang aktif dalam pengurus
Bank Sampah yaitu berjumlah 8 di Bank Sampah di Perumnas Tokojo.
Setelah data terkumpul maka data dalam penelitian ini dianalisis dengan
teknik analisis data deskriptif kualitatif.
Menurut penelitian ini, peran perempuan dalam melestarikan
lingkungan memang belum banyak, ruang untuk keterlibatan secara lebih
mendalam juga dirasa belum memadai. Perempuan sering tidak dilibatkan
dalam sebagian besar kebijakan dan kontrol terhadap sumber daya alam yang
menopang kehidupan mereka. Secara historis, kondisi geografis Nusantara
yang didominasi oleh pegunungan dan berbentuk kepulauan, membatasi
perempuan Indonesia untuk mengambil peran di luar rumah. Hal ini
kemudian menjadi kebiasaan-kebiasaan yang terus menerus diturunkan
kepada generasi berikutnya, hingga menjadikannya sebagai pakem dan
budaya. Mengikutsertakan perempuan dalam pengelolaan lingkungan salah
satu tujuannya adalah agar perempuan memahami betapa pentingnya
lingkungan, dengan demikian mereka akan mempunyai andil besar untuk
memelihara dan menjaga kebersihan lingkungan dari lingkup yang paling
kecil. Namun bukan berarti perempuan yang belum terlibat dalam pelestarian
lingkungan tersebut tidak tergerak atau acuh terhadap permasalahan
lingkungan, bisa jadi karena keterbatasan pengetahuan dan akses yang
mereka miliki.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah keterkaitan perempuan dalam
lingkungan hidup merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.
Perempuan dalam kesehariannya cenderung lebih dekat dengan lingkungan.

30
Sehingga saat ini banyak perempuan yang turun langsung dan aktif dalam
kegiatan pengelolaan lingkungan. Dalam perannya sebagai pengelola rumah
tangga, mereka lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan dan sumber
daya alam. Dampak kerusakan lingkungan pun lebih sering dirasakan oleh
perempuan. Contoh sederhana adalah ketersediaan air. Berkurangnya
ketersediaan air lebih dirasakan kaum perempuan karena mereka merupakan
pemakai air terbesar dalam rumah tangga. Perempuan diharapkan dapat
proaktif jika telah terjadi ketidakadilan dalam bentuk pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup. Melalui kelompok di luar pemerintah seperti
lembaga swadaya masyarakat, perempuan dapat aktif mengawasi terjadinya
kerusakan lingkungan hidup. Perempuan adalah bagian dalam keluarga yang
mempunyai peran untuk menjadi pendidik sekaligus pelaku pertama yang
memahami bagaimana menjaga kualitas hidup melalui terciptanya lingkungan
hidup yang sehat di lingkungan keluarga. Oleh sebab itu pemberdayaan
perempuan tentang lingkungan hidup perlu diberikan kepada perempuan
salah satunya adalah dengan pengembangan bank sampah.
Dari hasil wawancara dari masing-masing informan dalam penelitian
tersebut, diketahui bahwa manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh
nasabah bank sampah yaitu mereka mendapatkan uang dari hasil setoran
sampah yang mereka kumpulkan dan lingkungan mereka menjadi bersih dan
sehat. Tentunya banyak sekali manfaat yang didapat dari program bank
sampah tersebut selain menambah penghasilan mereka. Mereka bisa terhindar
dari berbagai macam penyakit yang mengancam apabila lingkungan mereka
bersih. Mereka juga mengaku bisa menabung sedikit demi sedikit untuk
membayar uang sekolah anak-anak mereka. Ada juga suami dan istri
mengikuti program ini agar mereka mendapatkan penghasilan lebih.
Diketahui juga bahwa jarak bank sampah yang ada di Tokojo masih
mudah untuk di akses masyarakat dengan jarak tempuh yang mudah seperti
jalan yang tidak terlalu jauh, kemudian disiapkan alat pengankut sampah
seperti gerobak maupun kaisar. Sehingga para ibu bisa menjangkau bank
sampah tersebut. Sama seperti di bank-bank penyimpanan uang, para nasabah

31
dalam hal ini masyarakat bisa langsung datang ke bank untuk menyetor.
Bukan uang yang di setor, namun sampah yang mereka setorkan. Sampah
tersebut di timbang dan di catat di buku rekening oleh petugas bank sampah.
Dalam bank sampah, ada yang di sebut dengan tabungan sampah, isi
tabungan tersebut bisa ditarik sewaktu-waktu. Para perempuan di Bank
Sampah Tokojo ini tidak hanya mendapatkan manfaat uang tetapi juga
mereka bisa mendapatkan ilmu seperti mendapatkan pelatihan membuat
sampah daur ulang kemudian cara pemasaran. Hal ini di dukung oleh
pemerintah sepenuhnya. Secara garis besar, daur ulang adalah proses
pengumpulan sampah, penyortiran, pembersihan, dan pemrosesan material
baru untuk proses produksi. Pada pemahaman yang terbatas, proses daur
ulang harus menghasilkan barang yang mirip dengan barang aslinya dengan
material yang sama, contohnya kertas bekas harus menjadi kertas dengan
kualitas yang sama, atau busa polistirena bekas harus menjadi polistirena
dengan kualitas yang sama.
Para perempuan ini juga merasakan adanya kesadaran untuk peduli
terhadap sampah, dan mendukungnya lewat program Bank sampah. Sistem
kerja bank sampah pengelolaan sampahnya berbasis rumah tangga, dengan
memberikan reward kepada yang berhasil memilah dan menyetorkan
sejumlah sampah. Konsep bank sampah mengadopsi menajemen bank pada
umumnya. Selain bisa sebagai sarana untuk melakukan gerakan penghijauan,
pengelolaan sampah juga bisa menjadi sarana pendidikan gemar menabung
untuk masyarakat. Metode bank sampah juga berfungsi untuk
memberdayakan masyarakat khususnya perempuan agar peduli terhadap
kebersihan.
Dari wawancara dalam penelitian tersebut, dapat dianalisa bahwa
perempuan memang lebih banyak ikut serta dalam kegiatan yang dibuat oleh
program bank sampah ini. Mereka sudah mengikuti program bank sampah ini
sejak pertama kali bank sampah terbentuk di lingkungan mereka. Para
perempuan ini umumnya adalah ibu rumah tangga yang ingin berpartisipasi
langsung dalam menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat. Adanya

32
dorongan dari dalam diri mereka membuat para perempuan ini lebih banyak
berpartisipasi atau ikut serta dalam kegiatan yang dibuat oleh pemerintah.
Para nasabah bank sampah juga diperlakukan sama saja oleh pengurus
mengenai pelayanan dan kemudahan-kemudahan yang diberikan bank
sampah walaupun mereka itu laki-laki ataupun perempuan. Terwujudnya
kesetaraan dan keadilan ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara
perempuan dan laki-laki dan dengan demikian mereka memiliki akses,
kesempatan berpartisipasi atas pembangunan serta memperoleh manfaat dan
kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan mengambil keputusan
sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.

3. Kerangka Berpikir
Berikut adalah kerangka berpikir dari penelitian yang akan dilakukan.

33
Peran SPEK-HAM dalam Pemberdayaan Perempuan untuk Pengelolaan
Bank Sampah “Gajah Putih” Kelurahan Karangasem Kecamatan Laweyan

SPEK HAM

Pemberdayaan

Perempuan

Kepercayaan Social Bonding


Nilai dan Norma Modal Sosial Social Bridging
Jaringan Social lingking

Pengelolaan sampah

Bank sampah

34
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah objek penelitian di mana kegiatan
penelitian dilakukan. Penentuan lokasi penelitian dimaksudkan untuk
mempermudah dan memperjelas obyek yang menjadi sasaran penelitian,
sehingga permasalahan tidak terlalu luas. Yang dijadikan lokasi dalam
penelitian ini adalah Bank Sampah Gajah Putih yang berada di Kelurahan
Karangasem, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta.

B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif dan metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian
deskriptif kualitatif. Melalui pendekatan ini diharapkan peneliti dapat
menghasilkan data yang bersiat deskriptif guna mengungkap sebab dan
proses terjadinya di lapangan. Moleong (2005: 6) mendefinisikan penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah
dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif karena permasalahan yang akan dibahas
tidak berkenaan dengan angka-angka, tetapi mendeskripsikan, menguraikan
dan menggambarkan bagaimana pemberdayaan Kelompok perempuan
melalui program bank sampah. Selain itu penulis juga menguraikan gambaran
umum dari Bank Sampah Kelompok Perempuan Karangasem.

35
C. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan karakteristik yang diperlukan untuk penelitian ini, maka
metode pengumpulan data yang digunakan antara lain:
1. Observasi
Observasi adalah metode atau cara-cara yang menganalisis dan
mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan
melihat ataumengamati individu atau kelompok secara langsung.
Sutrisno Hadi mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu proses
yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis
dan psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah proses-proses
pengamatan dan ingatan (Sugiyono, 2011: 145).
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang dilakukan
oleh peneliti adalah metode pengamatan langsung. Metode ini digunakan
untuk mengungkap data mengenai kondisi fisik dan sarana prasarana
serta tahap-tahap pemberdayaan masyarakat di Bank Sampah Kampung
Sewu yang berada di Kelurahan Kampung Sewu, Kecamatan Jebres,
Kota Surakarta.
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interviewee) yang memberikan jawab atas pertanyaan itu (Moleong,
2012: 186). Metode ini digunakan untuk mendapatkan data tertentu.
Wawancara dilakukan dengan pihak terkait, yaitu pengurus dan
nasabah Bank Sampah Kampung Sewu. Wawancara dalam penelitian ini
dilakukan untuk mengungkap data mengenai kegiatan pemberdayaan
masyarakat oleh SPEK-HAM Solo yang dilakukan pada Bank Sampah
Kampung Sewu yang berada di Kelurahan Kampung Sewu, Kecamatan
Jebres, Kota Surakarta Adapun aspek yang ditanyakan dalam wawancara
dalam penelitian ini meliputi identitas responden dan hal lain yang
berkaitan dengan fokus penelitian (tentang deskripsi lembaga, tahap

36
pemberdayaan masyarakat melalui bank sampah, manfaat dari program
bank sampah faktor pendukung dan faktor penghambat dalam
pelaksanaan program bank sampah).
3. Dokumentasi
Guba dan Lincoln menjelaskan istilah dokumen yang dibedakan
dengan istilah record. Definisi record adalah setiap pernyataan tertulis
yang disusun oleh seseorang atau lembaga untuk keperluan pengujian
suatu peristiwa atau menyajikan akunting. Sedangkan dokumen ialah
setiap bahan tertulis ataupun film, lain dari record, yang tidak
dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik (Moleong,
2012: 216-217).
Menurut Sugiyono (2014: 82) dokumen merupakan catatan
peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen ini bisa berbentuk tulisan,
gambar atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen ini
dimaksudkan untuk melengkapi data dari wawancara dan observasi.
Dokumentasi dapat berupa surat-surat, gambar atau foto dan catatan lain
yang berhubungan dengan penelitian.
Dalam penelitian ini teknik dokumentasi digunakan untuk mencatat
dokumen yang ada dan tersimpan di lokasi tempat pelaksanaan kegiatan
Bank Sampah Kampung Sewu. Fungsi dari penggunaan metode ini
adalah untuk memperoleh data tertulis yang meliputi sejarah berdirinya
Bank Sampah Kampung Sewu, visi dan misi Bank Sampah Kampung
Sewu, data pengelola dan nasabah, data sarana dan prasarana, program
dan tujuan setiap program, serta foto kegiatan.

D. Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling,
yaitu tehnik pengambilan sampel yang sumber datanya dengan pertimbangan
tertentu, pertimbangan tertentu ini dianggap orang yang paling tahu tentang
apa yang kita harapkan atau dia sebagai penguasa sehingga akan
memudahkan peneliti menjelajah objek atau situasi sosial yang diteliti.

37
Penelitian ini menentukan informan secara purposive dan juga tidak
dipersoalkan tentang ukuran dan jumlahnya. Dalam penelitian ini yang
menjadi informan adalah pengurus, pengelola dan nasabah Bank Sampah
Kampung Sewu.

E. Validitas Data
Agar hasil penelitian benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dari
segala segi, maka diperlukan adanya keabsahan dari data yang diperoleh.
Menurut Moleong (2012: 324), untuk menetapkan keabsahan data
diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan
atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang digunakan, yaitu
derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability),
kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability).
Menurut Moleong (2012, 325-332) teknik pengecekan keabsahan yang
digunakan dalam penelitian kualitatif antara lain:
1. Perpanjangan keikutsertaan, berarti peneliti tinggal di lapangan sampai
kejenuhan pengumpulan data terpenuhi;
2. Ketekunan/keajegan pengamatan, berarti mencari secara konsisten
interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis
yang konstan atau tentatif;
3. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. Untuk membuktikan keabsahan data
dalam penelitian ini, teknik yang digunakan hanya terbatas pada teknik
pengamatan lapangan dan triangulasi. Moleong (2012: 330-331)
membedakan 4 macam triangulasi, yaitu :
a) Triangulasi sumber, maksudnya membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.
b) Triangulasi metode, maksudnya menurut Patton terdapat dua strategi
yaitu:Pertama, pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil
penelitian beberapa teknik pengumpulan data.Kedua, pengecekan

38
derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang
sama.
c) Triangulasi peneliti, maksudnya memanfaatkan peneliti untuk
keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data.
d) Triangulasi teori, maksudnya membandingkan teori yang ditemukan
berdasarkan kajian lapangan dengan teori yang telah ditemukan para
pakar.
Teknik triangulasi dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber,
dengan pertimbangan bahwa untuk memperoleh informasi dari para informan
perlu diadakan cross check antara satu informan dengan informan yang lain
sehingga dapat memperoleh informasi yang benar-benar valid. Informasi
yang diperoleh diusahakan dari narasumber yang mengetahui akan
permasalahan dalam penelitian ini. Informasi yang diberikan salah satu
informan dalam menjawab pertanyaan penulis, penulis mengecek ulang
dengan menanyakan ulang pertanyaan yang disampaikan oleh informan
pertama ke informan lain. Apabila kedua jawaban yang diberikan itu sama
maka jawaban itu dianggap sah, apabila jawaban itu saling berlawanan atau
berbeda, maka langkah alternatif sebagai solusi yang tepat adalah dengan
mencari jawaban atas pertanyaan itu kepada informan ketiga yang berfungsi
sebagai pembanding di antara keduanya. Hal ini dilakukan untuk membahas
setiap fokus penelitian yang ada sehingga keabsahan data tetap terjaga dan
bisa dipertanggugjawabkan.

F. Analisis Data
Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif yang bersifat
kualitatif. Tujuan analisis data adalah untuk menyederhanakan data ke bentuk
yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Setelah data terkumpul,
selanjutnya adalah analisis data. Penelitian ini menggunakan analisis yang
bersifat kualitatif, meliputi catatan lapangan, catatan observasi yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti, data resmi berupa dokumen atau arsip

39
memorandum dalam proses pengumpulan data dan juga semua pandangan
yang diperoleh dari manapun serta dicatat.
Dalam proses analisis kualitatif, menurut Milles dan Huberman (dalam
Sugiyono, 2014: 91) terdapat 3 komponen yang benar-benar harus dipahami.
Ketiga komponen tersebut adalah:
1. Display Data
Data yang diperoleh di lapangan berupa uraian deskriptif yang
panjang dan sukar dipahami disajikan secara sederhana, lengkap, jelas,
dan singkat tapi kebutuhannya terjamin untuk memudahkan peneliti
dalam memahami gambaran dan hubungannya terhadap aspek-aspek
yang diteliti.
2. Reduksi Data
Reduksi data merupakan komponen pertama dalam analisis yang
merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi
dari semua jenis informasi yang tertulis lengkap dalam catatan lapangan
(fieldnote). Proses ini terus berlangsung sepanjang proyek yang
berorientasi kualitati berlangsung. Reduksi data adalah bagian dari proses
analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang
hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga
narasi sajian data dan simpulan-simpulan dari unit-unit permasalahan
yang telah dikaji dalam penelitian dapat dilakukan.
3. Pengambilan dan Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan merupakan hasil akhir dari suatu penelitian kualitatif.
Penulis berusaha memberikan makna yang penuh dari data yang
terkumpul. Simpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan benar-
benar bisa dipertanggungjawabkan.

40
BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Peran SPEK-HAM dalam Pemberdayaan Perempuan untuk Pengelolaan


Bank Sampah di Bank Sampah Gajah Putih Kelurahan Karangasem.
SPEK-HAM melakukan pemberdayaan perempuan dalam kegiatan Bank
Sampah Gajah Putih di Karangasem sebagai bagian dari program Sustainable
Livelihood (SL). SL adalah program pemberdayaan dari SPEK-HAM yang
bertujuan peningkatan kualitas hidup masyarakat yang berwawasan
lingkungan dan berkelanjutan. Program SL dari SPEK-HAM berprioritas
kepada perempuan sebagai subjek pembangunan dan perubahan karena
perempuan dikonstruksikan lemah, sehingga SPEK-HAM berusaha merubah
perspektif tersebut bahwa perempuan juga mempunyai kekuatan yang sama
dengan laki-laki.
Dalam Bank Sampah Gajah Putih, SPEK-HAM memposisikan diri
sebagai fasilitator masyarakat. Berikut upaya yang dilakukan oleh SPEK-
HAM dalam pemberdayaan perempuan untuk pengelolaan Bank Sampah
“Gajah Putih” di kelurahan Karangasem:
1. Mengembangakan Kesadaran Masyarakat Menuju Kondisi Hidup yang
Lebih Baik.
Kegiatan ini diawali SPEK-HAM dengan komunikasi dialogis
dengan masyarakat setempat khususnya dengan tokoh-tokoh yang
dianggap berpengaruh di kelurahan Karangasem dengan menyampaikan
maksud dan tujuannya. Dengan berdialog kepada tokoh-tokoh yang
berpengaruh di kelurahan tersebut diharapkan mampu menarik minat
masyarakat khususnya perempuan di kelurahan Karangasem. Di dalam
dialognya, SPEK-HAM mencoba menyadarkan para perempuan bahwa
mereka mampu menjadi gerakan perubahan di dalam masyarakat karena
selama ini seperti yang kita ketahui, perempuan masih dipandang sebelah
mata dalam melakukan perubahan, padahal perempuan dianggap

41
memiliki kesempatan yang sama dalam melakukan perubahan, apalagi
kebanyakan sampah dihasilkan dari kegiatan rumah tangga yang
kebanyakan dihasilkan oleh para ibu rumah tangga. Mereka diberika
motivasi betapa pentingnya menjaga lingkungan dengan mengurangi
sampah yang dihasilkan. Selain itu, sampah dikelurahan Karangasem
tidak hanya berkurang namun mampu memiliki nilai ekonomis jika
dimanfaatkan untuk Bank Sampah.
“Ya kalo Pakde sering datang kesini hadir dalam pertemuan warga
mencoba memotivasi para ibu-ibu agar mereka lebih memiliki kesadaran
betapa pentingnya mengelola lingkungan. Kan ibu-ibu banyak tuh
menghasilkan sampah rumah tangga, dari sayuran, botol, sampah
plastik dll. Sampah tersebut kan bisa dikelola lagi biar memiliki nilai
ekonomis dengan dimasukan bank sampah. Dengan uang tersebut juga
bisa untuk tambahan uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
mereka kan.” (Widodo, Manager Bank Sampah Gajah Putih).
Setelah membangun komunikasi dengan masyarakat, kemudian
SPEK-HAM mencoba mengembangkan kesadaran masyarakat untuk
menuju kondisi hidup yang lebih baik, bahwa sebenarnya ada potensi
lebih yang bias dimanfaatkan oleh masyarakat, kemudian merancang
perubahan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini SPEK-HAM berperan
sebagai penyadar masyarakat. Dengan adanya pendampingan dari SPEK-
HAM di kelurahan Karangasem sendiri membuat masyarakat menjadi
berperilaku positif dan mengubah kebiasaan buruk mereka karena SPEK-
HAM selalu memantau bagaimana perkembangan kelurahan yang
didampinginya. Menurut penuturan Bapak Soepadmin, dulu masih
ditemukan warga yang masih suka minum-minuman keras di kelurahan
tersebut dan juga masih ditemukan orang yang “kumpul kebo”. Namun
dengan adanya pendampingan dari SPEK-HAM, hal tersebut sudah tidak
ditemukan lagi karena SPEK-HAM melakukan pemantauan secara rutin
di Kelurahan Karangasem.

42
“Wah dulu sebelum kita hadir, banyak banget ditemukan orang
mabuk dan botol-botol miras di pos ronda. Ada juga orang-orang yang
kumpul kebo, tau kan apa itu kumpul kebo? Nah tapi setelah kita hadir
dateng sosialisasi secara rutin, melakukan pertemuan rutin, udah ngga
ada namanya orang minum-minum sama kumpul kebo. Mungkin mereka
merasa diawasi hehe” (Soepadmin, CEO Divisi SL SPEK-HAM)
2. Memberikan Pembelajaran Kepada Masyarakat
Sebagai Fasilitator, SPEK-HAM juga memberikan pembelajaran
kepada masyarakat. Pembelajaran yang dimaksud adalah pemahaman
upaya-upaya yang harus dilakukan oleh masyarakat yang dalam hal ini
ialah bank sampah. SPEK-HAM membantu apa saja yang masih kurang
dan perlu diperbaiki dalam Bank Sampah Gajah Putih melalui diskusi-
diskusi serta penyelesaian masalah dan hambatan yang dihadapi oleh
masyarakat. Setiap proses yang telah dilakukan dievaluasi bersama
sehingga masyarakat paham apa yang harus dilakukan.
“Kami kan punya relasi yang cukup banyak, jadi kami juga
pengetahuan terkait bank sampah maupun pengelolaan bank sampah
gitu dari masing-masing kelurahan sehingga mereka bisa saling belajar
satu sama lain terkait apa yang kurang dari kegiatan bank sampah di
kelurahan. Kalo ada hal yang barunyang kami temukan, kami ngasih tau
kalo dikelurahan sana sudah belajar ini. Begitu sih.” (Soepadmin, CEO
Divisi SL SPEK-HAM).
Dengan adanya pembelajaran yang diberikan SPEK-HAM
diharapkan mampu membuat perempuan-perempuan di Kelurahan
Karangasem khususnya anggota Bank Sampah Gajah Putih menjadi lebih
kreatif dalam mengembangkan bank Sampah yang ada di Kelurahan
Karangasem entah dalam hal pengelolaan hasil sampah, maupun dalam
melakukan pengorganisasian Bank Sampah Gajah Putih.
“Dengan adanya Pakde, kami perempuan-perempuan jadi memiliki
pengetahuan yang banyak mbak. Kan namanya ibu rumah tangga yang
seringnya di rumah tentunya pengetahuan kita terbatas. Nah pakde disini

43
memberikan pengetahuan bahwa sampah dapat dimanfaatkan berbagai
hal. Dulu kan kita buang sampah Cuma dipisah organik sama anorganik,
tetapi setelah dikasih tau ternyata sampah anorganik juga bisa dibagi
lagi dalam penjualnya misal botol minum sendiri, duplek sendiri, kertas
sendiri, kardus sendiri ya karena masing-masing memiliki harga yang
berbeda” (Setyowati, Bendahara Pra Koperasui Gajah Putih)
3. Advokasi
Meskipun bank sampah ini sudah ada ketika SPEK-HAM hadir,
SPEK-HAM hadir dengan membangun relasi-relasi social dalam
masyarakat. Sehingga ketika relasi sudah terbentuk, kemudian
terbentuklah jejaring kemitraan dalam masyarakat serta solidaritas social
dalam masyarakat.
Peran SPEK-HAM dalam Bank Sampah Gajah Putih juga melalui
pelembagaan atau pengorganisasian masyarakat RT 03 RW 09
Karangasem. Hal ini diawali dengan mengembangkan kapasitas
kelembagaan masyarakat melalui prakoperasi, kemudian
menghubungkan kelompok tersebut dengan pihak pemerintahan, dalam
hal ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surakarta. Upaya
pengorganisasian masyarakat juga dengan cara menciptakan system
sosial yang dinamis dimana SPEK-HAM membangun visi dan
kepemimpinan masyarakat RT 03 RW 09, kemudian mengembangkan
control sosial, dalam hal ini control untuk menjaga kebersihan
lingkungan. Setelah semua dilakukan kemudian SPEK-HAM bersama
masyarakat berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya
manusia RT 03 RW 09 Karangasem dalam kegiatan bank sampah.
“Dulu kita kita kalo beli barang-barang buat pengelolaan sampah
sepeti tong sampah, timbangan itu pake uang iuran. Tapi setelah dikasih
tau sama Pakde katanya bisa mengajukan kebutuhan kita kepada
pemerintah dnegan membuat proposal. Kita didampingi pakde
membentuk pengurus dan pengajuan proposal akhirnya kita dapet
bantuan tong sampah yang buat pengelolaan sampah organik kan itu

44
harganya mahal dan kita butuh banyak.Kita juga jadi bekerjasama
dengan DLH, kalo kami punya penemuan baru, kami undang pihak DLH
kemari seperti ini pupuk cair ini kami juga bekerjasama dengan DLH
untuk mempromosikan produk kami” (Rini, Sekertaris Bank Sampah
Gajah Putih)
Fasilitasi dikatakan berhasil apabila masyarakat dapat mandiri dan
berdaya. Oleh karena itu SPEK-HAM melalui bank Sampah Gajah Putih
menyalurkan ide dan inovasinya. Salah satunya adalah prakoperasi yang
telah disebutkan sebelumnya. Prakoperasi yang dilakukan diharapkan
dapat membantu masyarakat RT 03 RW 09 guna mengatasi masalah
terutama masalah keuangan atau ekonomi. Diharapkan pula upaya yang
dilakukan SPEK-HAM dalam setiap kegiatan masyarakat dapat berhasil
dan membuat masyarakat menjadi mandiri. Setiap peran dan usaha yang
dilakukan oleh SPEK-HAM disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik
masyarakat. Fasilitasi dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan potensi
masyarakat serta semua bersifat dari masyarakat, oleh masyarakat, dan
untuk masyarakat. Karena setiap peran dan usaha yang dilakukan oleh
SPEK-HAM dalam Bank Sampah Gajah Putih menempatkan masyarakat
sebagai subjek perubahan.
“Ya kita tanyakan dulu mereka butuhnya apa, kayak misal mereka
butuh timbangan, butuh tong sampah ya nanti kita bantu mereka buat
mencairkan dana ke pemerintah. Kan kebetulan saya punya kenalan
yang bisa dimintai informasi di PEMKOT. Setelah saya tau, saya kasih
tau ke pengurus syarat-syaratnya dan hal-hal yang dibutuhkan untuk
pencairan dana. Ini kemarin baru dikasih bantuan tong sampah lagi.”
(Soepadmin, CEO Divisi SL SPEK-HAM)

B. Modal Sosial yang dimiliki Kelompok Perempuan di Bank Sampah


“Gajah Putih” di Karangasem untuk Program Pengelolaan Bank
Sampah

45
Dimensi modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang membuat
masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar
kebersamaan, serta didalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang
tumbuh dan dipatuhi, serta sosial inherendalam struktur relasi sosial dan
jaringan sosial di dalam suatu masyarakat yang menciptakan berbagai ragam
kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran
informasi, dan menetapkan norma-norma, serta sangsi-sangsi sosial bagi para
anggota masyarakat tersebut (Coleman, 1999). Namun demikian Fukuyama
(2000) dengan tegas menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai
bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-
laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma
dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan (trust). Dimana
trust ini adalah merupakan harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran,
dan perilaku kooperatif yang muncul daridalam sebuah komunitas masyarakat
yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh para
anggotanya.
Melalui pendapat dari Robert Putnam (2004) mengenai modal sosial,
kami membagi tiga aspek penting atas terbentuknya modal sosial yang kuat di
Bank Sampah Gajah Putih, sebagai berikut:
1. Kepercayaan
Dalam pengelolaan Bank Sampah Gajah Putih kepercayaan
menjadi landasan utama untuk bisa terciptanya pengelolaan Bank
Sampah yang mandiri. Melalui kepercayaan akhirnya bisa terbentuk
wadah untuk kelompok perempuan di Karangasem yang diberi nama Pra
Koperasi. Pra Koperasi sendiri berisikan ibu-ibu warga Karangasem yang
secara sukarela ikut serta dalam pengelolaan di Bank Sampah. Kualitas
hubungan antar ibu-ibu Karangasem semakin baik karena interaksi dan
komunikasi yang intensif di dalam kelompok Pra Koperasi ini. Rapat
yang diadakan dalam kurun waktu dua minggu sekali menjadi wadah
bagi ibu-ibu untuk berinteraksi, bertukar pikiran atau bahkan sekedar
merasakan keresahan sesama ibu atau curhat-curhat. Hubungan para

46
perempuan Karangasem juga semakin membaik dengan diadakannya
Bank Sampah Gajah Putih, meskipun pada awal terbentuknya
keikutsertaan warga masih terbatas, namun seiring berjalan nya
pengelolaan Bank Sampah masyarakat khususnya pada ibu rumah tangga
merasa terbantu dengan adanya Pra Koperasi yang berintegrasi dengan
Bank Sampah Gajah Putih.
“Kalo disini kita transparan aja sih terkait dana, kepengurusan
kalo bisa gantian. Kan kita pengurus tidak cuma pra koperasi ada juga
pengurus yang lain. Jadi kalo yang sudah jadi pengurus ini, gaboleh ikut
kepengurusan yang lain jadi biar semuanya merasakan jadi pengurus
karena kita percaya semuanya punya kemampuan” (Rini, Sekertaris
Bank Sampah Gajah Putih)
Melalui observasi dan wawancana kami menemukan bahwa telah
ada modal sosial yang kuat di kelompok perempuan Bank Sampah Gajah
Putih untuk pengelolaan Bank Sampah. Kepercayaan seperti yang telah
dijelaskan di atas merupakan satu dari beberapa aspek penting
terbentuknya modal sosial.
Pra Koperasi memang menyediakan modal untuk simpan pinjam
bagi anggotanya, namun atas observasi dan wawancara yang kami
lakukan dapat dikatakan yang menjadi faktor penarik berkumpulnya para
ibu di Pra Koperasi bukanlah uang modal yang disediakan, lebih dari
pada itu meraka berkumpul atas dasar kepercayaan yang sama untuk
mengatasi permasalahan lingkungan yang ada di sekitar yaitu sampah.
Kepercayaan akan keharusan untuk sadar dan menjaga akan lingkungan
sekitar juga menjadi faktor lain berkembangnya Pra Koperasi. Berawal
dari keresahan para ibu untuk lingkungan yang lebih bersih, masyarakat
Karangasem berbenah dan perlahan demi perlahan menata kampung
dengan berbagai macam cara seperti sosialisasi dan pelaksanaan buang
sampah di tempatnya, pemilahan sampah organik dan anorganik,
pembuatan pot-pot hidroponik dan lain sebagainya. Kemudian melalui
integrasi dengan SPEK-HAM masyarakat di beri pengarahan dan edukasi

47
terkait kesehatan lingkungan yang pada akhir nya terbentuk Bank
Sampah Gajah Putih. Menurut penelitian yang kami lakukan seluruh
proses dan kemajuan yang ada adalah hasil dari kepercayaan masyarakat
Karangasem itu sendiri terkhusus para ibu rumah tangga serta melalui
bantuan dari SPEK-HAM dan integrasi dari Bank Sampah.
“Ya kalo awal terbentuknya itu karna ibu-ibu disini merasa resah
dengan banyaknya sampah yang menumpuk. Apalagi disungai itu yang
samping jalan kesini, banyak baget itu tumpukan sampahnya. Kita
prihatin bagaimana ya cara untuk mengurangi sampah tersebut. Ngeliat
bapak yang ambil sampah itu sampe segrobak penuh itu aja sampahmya
campur jadi satu, ada sayuran, makanan basi, kertas, plastik, campur
jadi satu baunya tidak karuan. Akhirnya kita ibu-ibu rumah tangga
berpikir bagaimana caranya memanfaatkan sampah-sampah yang kita
hasilkan agar tempat akhir pembuangan sampah tidak
menumpuk.Akhirnya kita membentuk Pra Koperasi ini” (Lisna, anggota
Pra Koperasi Gajah Putih)
2. Jaringan (network)
Kelompok perempuan di Bank Sampah Gajah Putih adalah institusi
sosial yang sudah melibatkan Jaringan (Network). Jaringan yang
terbentuk antara Bank Sampah dan Pra Koperasi berasal dari
kepercayaan yang timbul akibat interaksi yang intensif antara ibu-ibu
warga Karangasem. Kepercayaan yang kemudian menghasilkan
keuntungan bagi kedua belah pihak menjadi faktor pendorong terciptanya
jaringan yang kuat. Jaringan tadi kemudian di wujudkan dengan berbagai
macam kegiatan yang di selengarakan oleh kedua belah pihak dan sejauh
ini semua nya mendapat porsi masing-masing dan saling merasakan
keuntungan. Khusus nya kepada para ibu rumah tangga di Karangasem
yang mendapat tambahan pendapatan karena keikutsertaannya di
pengelolaan Bank Sampah. Akibat yang terjadi adalah meningkatnya
perekonomian warga meskipun tidak terlalu signifikan.

48
Bank sampah Gajah Putih dengan bantuan SPEK-HAM juga
bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup untuk melakukan
kegiatannya dengan mengundang DLH secara rutin dalam setiap kegiatan
penting yang dilakukan oleh Bank sampah seperti saat ada kegiatan
pembuatan kerajinan maupun pembuatan pupuk cair. Selain itu, Bank
Sampah Gajah Putih juga bekerjasama dengan Pemerintah Kota
Surakarta dengan ikut serta dalam acara-acara yang diadakan oleh
PEMKOT seperti pameran kerajinan dari sampah. Tidak hanya itu, Bank
Sampah Gajah putih juga sering dikunjungi oleh warga kelurahan atau
warga desa baik itu dari kota Surakarta maupun dari luar kota Surakarta.
Banyak masyarakat yang tertarik dan belajar dengan Bank Sampah Gajah
Putih di Karangasem karena partisipasi warga di kelurahan Karangasem
sangat luar biasa. Bank Sampah Gajah Putih juga pernah menjadi
perwakilan dalam pertemuan Bank Sampah tingkat nasional di Jakarta
dengan mewakili kota Surakarta.
“Kerjasamanya kita sama DLH, kita juga sering ikut pameran
untuk memperkenalkan hasil olahan sampah kita. Kemarin ini ada yang
datang dari desa di Jogja satu bus buat kunjungan sama belajar terkait
Bank Sampah. Katanya mereka pingin beoajar mengembangkan Bank
Samoah dari kami, mereka keliling kelurahan ini sambil melihat-lihat
lingkungan sekitar. Jalannya saja sampe saya tutup loh hehe. Tahun
kemarin saja saya diundang ke Jakarta naik pesawat ngga bayar makan
penginapan dan lain-lainnya. Pokoknya cuma berangkat aja. Ya seneng
saya haha” (Widodo, Manager Bank Sampah Gajah Putih)
3. Norma-norma (norms)
Norma-Norma (Norms) warga yang menekankan kebersihan dan
tujuan untuk mewujudkan lingkungan hidup yang layak menjadi dasar
terjadinya interaksi. Lewat kepercayaan antara warga saru dengan yang
lain kemudian tercipta pola perilaku baru yang tidak menghiraukan
lingkungan, kemudian menjadi kebiasaan dan kebiasaan tadi
terinternalisasi ke berbagai kegiatan warga baik itu melalui pengelolaan

49
Bank Sampah maupun melalui kegiatan Pra Koperasi. Norma yang ada
ditaati dan perilaku yang ditampakkan warga sejalan dengan tujuan yang
ingin dicapai yaitu kehidupan yang lebih layak. Kepercayaan sosial
(Social Trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi
dan kooperasi) untuk kepentingan bersama. Kepercayaan yang menjadi
landasan utama tak pernah luput dari rintangan namun melalui
penyediaan alternatif pilihan dan terciptanya konsensus kepercayaan
menjadi semakin baik, semakin baik kepercayaan antar kelompok maka
akan semakin baik jaringan dan akan semakin kuat pula modal sosial
yang ada.
Kelompok perempuan yang tergabung dalam Pra Koperasi di Bank
Sampah Gajah Putih bukan hanya sekedar perkumpulan saja, lebih dari
itu mereka merupakan sumber daya desa untuk mencapain tujuan
bersama yang telah di sepakati. Modal sosial yang ada juga bukan hanya
sekedar pola pola interaksi namun merupakan sumber daya (resource).
Modal sosial di kelompok perempuan Karangasem semakin kuat karena
kapital sosial atau timbal balik (mutual trust) antara anggota masyarakat
maupun masyarakat secara keseluruhan terhadap pemimpinya yang
semakin membaik, hubungan timbal balik yang terjadi di Bank Sampah
Gajah Putih adalah yang saling menguntungkan. Kapital sosial ini dilihat
sebagai instistusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-
norma (norms) dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong
pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk
kepentingan bersama yaitu terciptanya lingkungan hidup yang layak.
Setelah beberapa bulan pasca terbentuknya Bank Sampah
masyarakat Karangasem akhinya sadar jika sampah bukan hanya sekedar
masalah lagi namun sampah adalah potensi yang bisa mereka
kembangkan. Setelah perubahan perilaku warga Karangasem yang sudah
tertib membuang sampah pada tempatnya, dan berhasil memilah sampah
anorganik dan organik serta melalui Bank Sampah beberapa sampah
yang terkumpul tadi dipilah kembali atas beberapa kategori yaitu duplex,

50
karton, besi, botol, serta plastik. Sampah yang telah berhasil di pilah atas
beberapa kategori tadi kemudian di timbang dan dijual menurut harga
masing-masing kategori. Hasil pendapatan dari penjualan sampah tadi
kemudian di tabung ke Pra Koperasi untuk dijadikan modal simpan
pinjam. Sampah yang awalnya menjadi ancaman warga atau bahkan
masalah kemudian bisa menjadi potensi tersendiri bagai warga
Karangasem. Lewat kepercayaan yang sudah ada masyarakat
mendapatkan keuntungan dari adanya interaksi antar warga lewat
sampah, Pra Koperasi dan Pengelolaan Bank Sampah. Kepercayaan
kemudian berkembang menjadi jaringan yang saling menguntungkan
antara satu dengan yang lain.
“Wah seneng sekarang saya melihat warga sini, mereka sudah
membuang sampah pada tempatnya. Banyak sampah yang sudah dipilih-
pilih. Sekarang petugas kebersihan aja sampahnya cuma sedikit yang
dibawa ke tempat pembuangan akhir. Ibu-ibu sekarang juga semangat
mengumpulkan sampah-samoah bukan hanya di dalam kampung tapi
pada saat diluar juga. Saya aja kalo iat botol minum dijalan kalo pas
CFDan ngga malu buat ngumpulin terus saya jual di Bank Sampah”
(Lisna, anggota Bank Sampah Gajah Putih”
Memang dalam keberjalanan pengelolaan Bank Sampah tak luput
dari kesalahan, bahkan mengutip dari pendapat salah satu pihak SPEK-
HAM mengatakan bahwa “Beberapa memang terjadi kecurangan, lebih
banyak pada proses penimbangan sampah dan pengkategorian sampah
tadi, tapi yaa gimana lagi kita tidak bisa menuntut hal itu tak terjadi”.
Dalam salah satu tulisan Francis Fukuyama (2002:22) dikatakan bahwa
jika para anggota kelompok itu mengharapkan bahwa anggota-anggota
yang lain akan berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling
mempercayai. Jika orang-orang yang bekerja sama dalam sebuah
perusahaan saling mempercayai dan bekerja menurut serangkaian norma
etis bersama, maka berbisnis hanya memerlukan sedikit biaya. Memang
beberapa kecurangan terjadi namun hal ini tak mengubah kepercayaan

51
warga Karangasem kepada Bank Sampah dan Pra Koperasi, beberapa
kecurangan kemudian di beri pemberitahuan dan warga berangsur jujur
dan percaya satu dengan yang lain. Antara pengelola Bank Sampah,
Pengurus dan Anggota Pra Koperasi serta nasabah Bank Sampah dan
warga kemudian mencapai konsensus dan kepercayaan yang ada menjadi
lebih baik.
Kemudian, ditemukan bahwa modal sosial yang ada di kelompok
perempuan Bank Sampah Gajah Putih dapat dikelompokan menjadi tiga tipe
yaitu: social bounding, social bridging, dan social linking.
1. Social bounding merupakan ikatan perasaan diantara orang-orang yang
ada dalam situasi yang sama, warga Karangasem mempunyai ikatan yang
sama akan masalah sampah yang menganggu serta mempunyai kesamaan
tujuan untuk menciptakan lingkungan hidup yang layak. Selain itu
kelompok perempuan di Bank Sampah Gajah Putih yang tergabung di
Pra Koperasi memiliki kesamaan tujuan serta kesamaan nasib.
Kesemuanya merupakan ibu rumah tangga yang terganggu akan
percemaran sampah yang ada. Dan akhirnya mempunyai kesamaan
untung akibat berjalannya pengelolaan Bank Sampah Gajah Putih.
2. Social bridging
Dalam hal ini melibatkan perkenalan, pertemanan atau bahkan rekan
kerja yang merupakan ikatan modal sosial yang lebih luas dan lebih
longgar. Social bridging disini berisikan institusi maupun mekanisme
yang merupakan ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai
macam karakteristik kelompok. Integrasi yang terjadi antara Pra Koperasi
dan Bank Sampah merupakan mekanisme yang memperlancar terjadinya
kepercayaan, jaringan dan memperkuat modal sosial yang sudah ada.
Keterlibatan warga dalam Pra Koperasi dan pengelolaan Bank Sampah
bisa jadi sebagai sarana kontrol mekanisme yang ada serta penjamin
keberhasilan tujuan yang ingin dicapat lewat institusi yang di buat yaitu
Bank Sampah.

52
3. Social Linking adalah ikatan modal sosial yang angggotanya dari
beragam latar belakang, semisal satu komunitas dengan pihak luar, dan
ikatan yang demikian akan memungkinkan kita bisa mengakses beragam
sumber untuk kepentingan komunitas. Meskipun anggota Pra Koperasi
dan pengurus Bank Sampah mempunyai beberapa kesamaan nasib dan
tujuan namun keduanya pada dasarnya berasal dari berbagai bidang dan
pekerjaan yang berbeda, mungkin salah satu akan menguntungkan
mekanisme yang telah dibangun dan mungkin juga ada yang mengancam
mekanisme yang ada. Meski demikian untuk mencapai tujuan yang
diharapkan berbagai perbedaan latar belakang tadi di satukan melalui
kegiatan Pra Koperasi dan Bank Sampah.
Modal sosial yang dimiliki oleh kelompok perempuan di Bank Sampah
Gajah Putih adalah kuat, didasari atas kepercayaan dan keinginan untuk
mengatasi masalah bersama, serta jaringan yang dibangun atas dasar
kepercayaan tadi menjadi aturan, dan nilai yang dijalankan dan ditaati
bersama. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa modal sosial mendorong
terjadinya peningkatan kualitas kehidupan warga Karangasem. Modal sosial
juga dilangengkan melalui kegiatan-kegiatan yang dihasilkan oleh integrasi
Pra Koperasi dan Bank Sampah. Disini modal sosial merupakan sumber daya
warga Karangasem untuk menghadapi tantangan yang ada serta untuk
mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.

C. Pengelolaan Bank Sampah Gajah Putih


“Program Pengelolaan Sampah Terpadu” adalah salah satu Program
yang dicanangkan Pemerintah daerah Surakarta. SPEK-HAM merupakan
salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang menunjang kebijakan
Pemerintah tersebut bersama masyarakat dampingan. Program ini
direfleksikan sebagai program yang efektif dan perlu dikuatkan dengan
dukungan berbagai pihak, baik Pemerintah setempat maupun swasta, agar
menjadi sebuah gerakan yang signifikan dan memiliki rantai nilai ekonomi,
sosial, lingkungan, dan kesehatan. Pengelolaan sampah memang sudah

53
semakin banyak dilakukan oleh banyak pihak, tidak terkecuali bagi
Kelompok Bank Sampah Gajah Putih, khususnya di RT 03 / IX Karangasem.
Program ini sesuai dengan gagasan SPEK HAM untuk membuat
komunitas “Bank Sampah Gajah Putih”.
Bank Sampah berdiri karena adanya keprihatinan masyarakat akan
lingkungan hidup yang semakin dipenuhi dengan sampah baik organik
maupun anorganik. Sampah yang semakin banyak tentu akan menimbulkan
banyak masalah, sehingga memerlukan pengolahan seperti membuat sampah
menjadi bahan yang berguna. Pengelolaan sampah dengan sistem bank
sampah ini diharapkan mampu membantu pemerintah dalam menangani
sampah dan meningkatkan ekonomi masyarakat.
Bank sampah adalah suatu sistem pengelolaan sampah kering secara
kolektif yang mendorong masyarakat untuk berperan serta aktif didalamnya.
Sistem ini akan menampung, memilah dan menyalurkan sampah bernilai
ekonomi pada pasar sehingga masyarakat mendapat keuntungan ekonomi dari
menabung sampah. Tujuan pendirian bank sampah yaitu sebagai berikut:
1. Mengurangi timbunan sampah rumah tangga
2. Membantu menangani pengolahan sampah di Kota Surakarta
3. Menyadarkan masyarakat akan lingkungan yang bersih, hijau, sehat dan
rapi.
4. Mengubah sampah menjadi sesuatu yang lebih berguna dalam
masyarakat misalnya untukkerajinan dan pupuk yang memiliki nilai
ekonomis.
Di dalam SPEK-HAM ada 3 yaitu Program Penanganan Kasus, Program
Kesehatan Masyarakat dan satunya adalah Sustainable Livelihoods. Pada
Awal SPEK-HAM masuk di RT 03 / IX Karangasem pada 27 Agustus 2017
melakukan diskusi tematik sekaligus tercetus komunitas pengelolaan sampah
rumah tangga yang bernama “Bank Sampah Gajah Putih” tentang
penanganan sampah perkotaan khususnya di RT 03 / IX Karangasem yang
merupakan wilayah dampingan kerja SPEK HAM. Dalam diskusi tersebut
kami melakukan pemetaan permasalahan sampah di RT 03 / IX Karangasem

54
dan keinginan warga untuk rencana tindak lanjutnya. Dalam diskusi tersebut
ditemukan menemukan beberapa hal:
1. Kurang terkondisikannya sampah non organik yang hanya dibuang,
dicampur dengan sampah organik.
2. Tidak ada inovasi yang dilakukan dari sampah non organik.
3. Sampah hanya dibuang dan dikumpulkan, serta diberikan cuma-cuma
kepada pemulung.
4. Adanya ketertarikan dan minat dari beberapa warga untuk memanfaatkan
sampah sebagai hal yang bermanfaat.

Sesuai peta masalah yang dirumuskan, maka perlu adanya solusi nyata
yang akan menunjang masyarakat dalam melakukan aksi perlindungan
lingkungan. Kelompok Perempuan Kelurahan Karangasem RT 03 / IX
Karangasem memiliki beberapa aksi yang perlu untuk direalisasikan, antara
lain:

1. Sosialisasi tentang pemilahan sampah.


2. Melakukan pemilahan sampah organik dan an organik tingkat rumah
tangga.
3. Memanfaatkan pemilahan sampah an organik untuk menunjang
perekonomian perempuan dengan membuat tabungan sampah.
4. Membuat ketrampilan dari sampah yang masih bisa dimanfaatkan dan
digunakan.

Kemudian baru tanggal 7 Oktober 2017 baru bisa menjual sampah


dengan kriteria sampah yang diterima diantaranya:
1. Kardus
2. Kertas/Koran
3. Duplex (kardus kemasan)
4. Botol, gelas plastik
Jadwal pengumpulan dan penimbangan sampah pada Bank Sampah
Gajah Putih dilakukan pada minggu ke-2 dan minggu ke-4 setiap bulannya

55
yang dibantu oleh pengurus Bank sampah Gajah Putih yang mayoritas
beranggotakan perempuan. Adapun mekanisme kegiatan penimbangannya:
1. Warga membawa sampah yang sudah dipilah dari rumah.
2. Warga mengisi buku register dan menuliskan jenis sampah yang dibawa.
3. Sampah ditimbang sesuai karakteristik sampah oleh pengurus.
4. Pengurus menulis berat sampah dan nominal di buku nasabah dan buku
pencatatan pengurus.
5. Kemudian sampah dijual ke pengepul
“Kalo pengumpulannya sebulan itu 2x, di Minggu ke-2 dan Minggu ke-4.
Nanti warga mengumpulkan sampah yang sudah dipilah berdasarkan kriteria
dan dibawa ke bank sampah. Nanti dicatat oleh Pengurus di buku berapa
penghasilannya setiap minggu yang dijual di pengepul. Uangnya nanti
dikumpulkan. Kalo mereka butuh bisa diambil. Tapi kebanyakan pendapatan
mereka sih untuk iuran pas Agustusan. Jadi nanti pas Agustusan mereka
ngga perlu iuran” (Rini, Sekertaris Bank Sampah Gajah Putih)
Keuntungan dari adanya Bank Sampah Gajah Putih ini adalah
mengurangi volume sampah organik yang dibuang ke TPA serta juga
bernilai ekonomis. Sedangkan kerugian dari kegiatan Bank Sampah Gajah
Putih ini adalah pengurangan volume sampah belum tentu turun secara
signnifikan.
Sampah-sampah yang dikelola oleh perempuan-perempuan Kelurahan
Karangasem dikelola melalui Bank Sampah dan Pra Koperasi untuk
dimanfaatkan berbagai hal. Pendapatan yang diterima oleh Pra Koperasi di
Kelurahan Karamgasem berasal dari:
1. Infaq Sampah
Infaq sampah merupakan hasil dari sumbangan masyarakat yang tidak
ikut dalam Bank Sampah Gajah Putih. Sampah-sampah tersebut
merupakan sampah yang tidak dijual tetapi langsung diberikan untuk Pra
Koperasi. Sampah yang diberikan juga masih dalam kondisi tercampur
satu sama lain dan belum dipisahkan. Sampah tersebut dikumpulkan oleh
para pengurus Pra Koperasi untuk dipilah dan dijual di pengepul. Hasil

56
dari penjualan infaq sampah kemudian dimanfaatkan sebagai modal Pra
Koperasi Gajah Putih untuk dipinjamkan kepada masyarakat Kelurahan
Karangasem yang membutuhkan bantuan modal atau uang.
“Kalo infaq sampah itu dari warga sini yang tidak mau milih
sampahnya. Jadi sampah-sampah yang dibuang langsung di tong
sampah nanti diambil oleh Bapak Sampah dikumpulkan di Bank Sampah.
Nanti pengurus Pra Koperasi yang memilih sampahnya untuk
dikumpulkan dan dijual.” (Setyowati, Bendahara Pra Koperasi Gajah
Putih)
2. Bank Sampah
Bank Sampah merupakan suatu tempat yang digunakan untuk
mengumpulkan uhook sampah yang sudah dipilah-pilah. Sampah yang
sudah dipilah berdasarkan jenisnya ini nantinya akan dijual ke pengepul
ataupun dijadikan bahan kerajinan, maupun produk lainnya. Warga
masyarakat kelurahan Karangasem memiliki Bank Sampah yang
bernama Bank Sampah “Gajah Putih”. Berikut pengelolaan sampah yang
dilalukan Bank Sampah Gajah Putih:
a) Dijual ke Pengepul
Penjualan sampah ke pengepul ini dilakukan untuk menambah
pemasukan bagi ibu-ibu di Kelurahan Karangasem. Selain bisa
mengurangi tumpukan sampah dan menjaga lingkungan, sampah
tersebut ternyata bernilai ekonomis juga bagi para ibu-ibu. Jika
biasanya sampah adalah sesuatu hal yang tidak berguna apalagi
berharga, namun melalui bank sampah ini, membuang sampah
ternyata juga menghasilkan pundi-pundi uang
b) Dibuat Kerajinan
Sampah-sampah yang biasanya sudah tidak berguna dan bentuknya
tidak menarik, di Bank Sampah Gajah Putih sampah-sampah
anorganik disulap menjadi kerajinan yang mampu menyejukan mata.
Dengan kreativitas yang dimiliki para ibu-ibu di Kelurahan
Karamgasem, mereka mampu menciptakan barang-barang yang unik

57
seperti tas yang dirajut dari potongan plastik bekas, topeng yang
dibuat dari kertas sisa yang dibuat bubur lalu dirangkai, piala yang
terbentuk dari botol minum, dan masih banyak lagi. Selain
bentuknya yang unik, kerajianan hasil pengelolaan sampah tersebut
dapat dijual. Biasanya kerajinan tersebut dijual melalui pameran
kerajinan sampah.
c) Dibuat pupuk
Sampah-sampah organik hasil limbah rumah tangga seperti sisa-sisa
sayuran yang sudah terbuang disini dimanfaatkan untuk diolah
menjadi pupuk cair. Bersama daun-daunan yang sudah kering serta
buah-buahan yang sudah busuk, sisa sayuran yang ada ditimbun
menjadi satu didalam tong sampah khusus yang bawahnya memiliki
keran. Dengan ramuan M4 yang dibuat dari tumbukan buah bekas,
sampah tersebut didiamkan beberapa hari hingga menjadi air,
kemudian air tersebut diambil melalui keran yang ada disampah
tersebut dan dimasukkan ke dalam botol. Setelah dimasukan ke
dalam botol, sampah tersebut dapat digunakkan untuk memupuk
tanaman agar meniadi subur. Selain itu, Bank Sampah Gajah Putih
juga bekerjasama dengan DLH kota Surakarta untuk memasarkan
pupuk cair tersebut kepada masyarakat.
“sampah disini dimanfaatkan buat banyak hal biar ada kreasinya, selain
dijual sampah-sampah juga dimanfaatkan buat kerajinan, buat pupuk,
dan ini lagi dikembangakan memanfaatkan plastik bekas sebagai
pengganti tanah untuk menanam. Ini baru percobaan sih, kemarin baru
dikasih tau. Kami kalo ada penemuan baru terkait sampah mencoba
untuk mencobanya entah itu berhasil atau tidak. Tujuan kita yang
penting sampah bisa berguna dan bermanfaat ya kan?” (Rini, Sekertaris
Bank Sampah Gajah Putih).

58
KESIMPULAN
Peran Spek Ham dalam pemberdayaan perempuan memposisikan diri
sebagai fasilitator masyarakat dalam hal penyadaran akan pentingnya
mengelola sampah sekaligus memberdayakan masyarakat dengan hadirnya
bank sampah. Spek Ham membangun kepercayaan masyarakat
dengammenguatkan interaksi kaum perempuan dalam lingkup komunitas
kecil di masyarakat seperti di tingkat RT dan Tw dalam kegiatan arisan dan
Pra Koperasi. Dengan modal sosial yang ada Spek Ham berusaha menarik
garis masalah yang ada pada masyarakat di Karangasem yaitu mengenai
pengelolaan sampah yang kurang dan memburuknya lingkungan Karangasem
untuk membuat masyarakat Karangasem sadar akan pentingnya pengelolaan
sampah dalam kehidupan sehari-hari. Spek Ham juga memfasilitatori dalam
bidang jaringan dengan pihak luar, pendampingan masyarakat berupa
advokasi ke beberapa sektor-sektor pemerintahan untuk mempermudah dalam
hal birokrasi. Spek Ham juga berusaha membentuk nilai-nilai dalam
masyarakat melalui pembentukan norma-norma baru dimana melalui bank
sampah untuk menanamkan nilai-nilai kebersihan dan merawat lingkungan
dengan baik melalui Bank Sampah di Karangasem.
Keluaran hasil dari pemberdayaan Bank Sampah Gajah Putih sendiri
mempunyai beberapa produk seperti barang kerajinan dan pupuk cair yang
siap untuk dipasarkan untuk menambah hasil pendapatan sekaligus
mengurangi limbah sampah yang terbengkalai.

59
LAMPIRAN

PEDOMAN WAWANCARA
1. Apa tujuan SPEK-HAM melakukan pemberdayaan perempuan dalam
pengelolaan bank sampah?
2. Sejak tahun berapa pemberdayaan perempuan dalam pengelolaan sampah di
Bank Sampah Gajah Putih Kelurahan Karangasem dilaksanakan oleh SPEK-
HAM?
3. Mengapa SPEK-HAM memilih Bank Sampah Gajah Putih sebagai lokasi
pemberdayaan perempuan dalam pengelolaan bank sampah?
4. Bagaimana respon masyarakat ketika SPEK-HAM akan melaksanakan
pemberdayaan perempuan dalam pengelolaan bank sampah?
5. Modal sosial apa yang dimiliki perempuan desa Bank Sampah Gajah Putih
untuk pengelolaan bank sampah?
6. Kegiatan apa saja yang sudah dilakukan SPEK HAM dalam pemberdayaan
perempuan dalam pengelolaan Bank Sampah Gajah Putih?
7. Berapa kali kegiatan penimbangan sampah yang dilaksanakan di Bank
Sampah Gajah Putih dalam sebulan?
8. Bagaimana peran SPEK HAM dalam pemberdayaan perempuan terkait
pengelolaan bank sampah di Bank Sampah Gajah Putih?
9. Apa manfaat yang diperoleh dari pemberdayaan perempuan dalam
pengelolaan bank sampah di Bank Sampah Gajah Putih?
10. Bagaimana kondisi lingkungan (sampah) setelah adanya pembedayaan
perempuan dalam pengelolaan bank sampah?
11. Bagaimana pengelolaan bank sampah di Bank Sampah Gajah Putih?
12. Bagaimana organisasi/pengurus bank sampah di Bank Sampah Gajah Putih?
13. Kendala apa yang dihadapi oleh SPEK HAM maupun perempuan di Bank
Sampah Gajah Putih dalam pengelolaan bank sampah?
14. Apa hasil dari pengelolaan bank sampah yang dilakukan oleh perempuan di
Bank Sampah Gajah Putih?

60
DOKUMENTASI

Ketua Bank Sampah “Gajah Putih”, Bapak Hasil Kegiatan Bank Sampah dalam Recycling
Widodo dan Istrinya sedang menjelaskan kegiatan sampah anorganik Bank Sampah “Gajah Putih”
Bank Sampah “Gajah Putih” kepada Mahasiswa Kelurahan Karangasem (07/05/2019).
(07/05/2019).

Pupuk cair hasil pengolahan limbah organik rumah Daftar harga dari masing-masing jenis sampah di
tangga di Kelurahan Karangasem (07/05/2019). Bank Sampah “Gajah Putih” Kelurahan
Karangasem (07/05/2019).

61
Kegiatan Pengumpulan Bank Sampah di depan Foto Bersama dengan salah satu ibu rumah tangga
rumah Bapak Widodo selaku ketua Bank Sampah yang ikut serta dalam anggota Bank Sampah
“Gajah Putih” untuk di angkut ke tempat “Gajah Putih” (12/05/2019).
penimbangan sampah (12/05/2019).

Mahasiswa membantu proses penimbangan Diskusi mahasiswa dengan SPEK HAM terkait
sampah di Bank Sampah “Gajah Putih” peran SPEK HAM dalam pemberdayaan
(12/05/2019). perempuan untuk pengelolaan bank sampah
(07/05/2019).

62
Mahasiswa membantu proses penimbangan Sampah organik yang berupa sisa-sisa sayuran dari
sampah di Bank Sampah “Gajah Putih” rumah tangga yang dimasukan ke dalam tong
(12/05/2019). untuk dibuat menjadi pupuk cair (Lindi)
(07/05/2019).

Hasil Penimbangan sampah pada minggu ke-dua di


Bank Sampah “Gajah Putih” Kelurahan
Karangasem (12/05/2019).

63
DAFTAR PUSTAKA

A.M.W. Panarka dan Vidyandika Moeljarto. 1996. Pemberdayaan


(Empowerment), Penyunting : Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka,
Pemberdayaan Konsep, Kebijakan dan Implementasi,CSIS, Jakarta.

Ambar Teguh Sulistyani. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan.


Yogyakarta : Graha Ilmu.

Asteria, D., 2013. Model Komunikasi Lingkungan Berperspektif Gender dalam


Menyelesaikan Konflik Lingkungan di Perkotaan: Peran Aktivis Perempuan
dalam Pengelolaan Konflik Lingkungan Secara Berkelanjutan. PUPT BOPTN
2013. Universitas Indonesia, Depok.

Blocker, T.J., dan Eckberg, D.L., 1997. Gender and Environmentalism: Result
from the 1993 General Social Survey. Social Science Quarterly, 78(4):841-
858.

Bryant, dan. White dalam Amira. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
Rajawali Pers.

Coleman, J. 1999. Sosial Capital in theCreation of Human Capital. Cambridge


Mass.

E. St Harahap, dkk. 2007. Kamus besar bahasa Indonesia. Bandung: Balai


Pustaka.

Elta Mamang Sengaji, Sopiah. 2010. Metode Penelitian Pendekatan Praktis


Dalam Penelitian, ed 1. Yogyakarta: Andi.

Fukuyama, Francis. 1995. Trust: Thesosial virtues and the creation of


prosperity.New York: the Free Press.

64
Jumar, Fitriyah, N., dan Kalalinggie, R., 2014. Strategi Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga di Kelurahan Lok Bahu Kecamatan Sungai Kunjang Kota
Samarinda. Journal Administrative Reform, 2(1):771-782

Lexy J. Moleong. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosdakarya

Poerwadarminta, W.J.S. 1995. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:


PT.Balai Pustaka.

Riswan, Sunoko, H.R., dan Hadiyarto, A., 2011. Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga di Kecamatan Daha Selatan. Jurnal Ilmu Lingkungan, 9(1):31-38.

Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Rajawali.


Jakarta.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:


Alfabeta

http://repository.fisip-
untirta.ac.id/889/1/PEMBERDAYAAN%20EKONOMI%20MASYA
RAKAT%20MELALUI%20PROGRAM%20SATU%20KECAMAT
AN%20SATU%20MILYAR%20DI%20KECAMATAN%20CIWAN
DAN%20%20-%20Copy.pdf

https://jurnal.uns.ac.id/rural-and-development/article/download/1834/1742
https://www.spekham.org/tentang-kami/about/

Diakses pada tanggal 28 April 2019.

65

Anda mungkin juga menyukai