Anda di halaman 1dari 3

A.

Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi

1. Gaya hidup

Gaya hidup seseorang sangat tergantung dari tingkat pendidikannya. Pengetahuan


kesehatan tentang mobilitas akan menyebabkan seseorang melakukan mobilisasi
dengan cara yang sehat. Contoh: gaya berjalan seorang ABRI akan berbeda dengan
gaya berjalan seorang perawat.

2. Proses penyakit dan injuri

Adanya penyakit tertentu yang diderita seseorang akan mempengaruhi mobilitasnya.


Contoh: seseorang yang patah tulang akan kesulitan untuk mobilisasi dengan bebas.

3. Kebudayaan

Kebudayaan dapat mempengaruhi pola dan sikap dalam melakukan aktivitas.

Contoh: seorang anak desa yang biasa berjalan kaki setiap hari akan berbeda
mobilitasnya dengan anak kota yang biasa memakai motor dalam segala
keperluannya.

4. Tingkat energi

Untuk bermobilisasi diperlukan tenaga atau energi.

Contoh: seseorag yang sedang sakit berbeda mobilitasnya dengan orang yang sehat.

5. Usia dan status perkembangan

Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasnya dibandingkan dengan


seorang remaja. Anak yang selalu sakit dalam masa pertumbuhannya akan berbeda
dengan kelincahannya disbandingkan dengan anak yang jarang sakit.
B. Efek fisiologi dari perubahan mobilitas

Apabila ada perubahan mobilitas, setiap sistem tubuh beresiko terjadi gangguan. Tingkat
keparahan tergantung pada umur klien dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat
imobilisasi yang dialami.

Ada tiga perubahan utama yang terjadi pada klien imobilisasi terkait system
kardiovaskuler, yaitu:

1. Hipotensi ortostatik, adalah penurunan tekanan darah sistolik 25 mmHg dan diastolic 10
mmHg ketika klien bangun dari posisi berbaring atau duduk ke posisi berdiri. Pada klien
imobilisasi, terjadi penurunan sirkulasi volume cairan, pengumpulan darah pada
ekstremitas bawah, dan penurunan respons otonom. Faktor-faktor tersebut
mengakibatkan penurunan aliran balik vena, diikuti oleh penurunan curah jantung yang
terlihat pada penurunan tekanan darah (McCance and Huether, 1994).

2. Peningkatan beban kerja jantung.

3. Pembentukan thrombus.

C. Gangguan kardiovaskuler

1. Hipotensi postural

2. Vasodilatasi vena

3. Peningkatan penggunaan valsava maneuver

D. Pemeriksaan fisik sistem kardiovaskuler

Pengkajian sistem kardiovaskuler yang harus dilakukan pada pasien imobilisasi, meliputi:

1. Memantau tekanan darah, tekanan darah klien harus diukur, terutama jika berubah dari
berbaring (rekumben) ke duduk atau berdiri akibat resiko terjadinya hipotensi ortostatik.

2. Mengevaluasi nadi apeks maupun nadi perifer, berbaring dalam posisi rekumben
meningkatkan beban kerja dan mengakibatkan nadi meningkat. Pada beberapa klien,
terutama lansia, jantung tidak dapat mentoleransi peningkatan beban kerja, dan
berkembang menjadi gagal jantung. Suara jantung ketiga yang terdengar di bagian apeks
merupakan indikasi awal gagal jantung kongesif. Memantau nadi perifer memungkinkan
perawat mengavaluasi kemampuan jantung memompa darah.

3. Observasi tanda-tanda adanya stasis vena ( misalnya edema dan penyembuhan luka yang
buruk), edema mengindikasi ketidakmampuan jantung menangani peningkatan beban
kerja. Karena edema bergerak diarea tubuh yang menggantung, pengkajian klien
imobilisasi harus meliputi sacrum, tungkai dan kaki. Jika jantung tidak mampu
mentoleransi peningkatan beban kerja, maka area tubuh perifer seperti tangan, kaki,
hidung dan daun telinga akan lebih dingin dari area pusat tubuh. Terakhir, perawat
mengkaji sistem vena karena thrombosis vena profunda merupakan bahaya dan
keterbatasa mobilisasi. Embolus adalah thrombus yang terlepas, berjalan mengikuti
ssistem sirkulasi ke paru-paru atau otak dan mengganggu sirkulasi. Emboli yang ke paru-
paru ataupun otak mengancam otak.eare dan Myers, 1994). Ketika melakukan hal ini
perawat menandai sebuah titik disetiap betis 10 cm dari tengah patella. Lingkat betis
diukur setiap hari

Untuk mengkaji thrombosis vena profunda, perawat melepas stocking elastis klien
dan/atau sequential compression devices (SCDs) setiap 8 jam dan mengobservasi betis
terhadap kemerahan, hangat, kelembapan,. Tanda Homan (Homan’s sign) atau nyeri betis
pada kaki dorsifleksi, mengidentifikasi kemungkinan adanya thrombus, tetapi tanda ini
tidak selalu ada (Bare dan Myers, 1994). Ketika melakukan hal ini perawat menandai
sebuah titik disetiap betis 10 cm dari tengah patella. Lingkat betis diukur setiap hari
menggunakan tanda tersebut untuk penempatan alat pengukur. Peningkatan satu bagian
diameter merupakan indikasi awal thrombosis. Thrombosis vena profunda juga dapat
terjadi di paha untuk itu pengukuran paha harus dilakukan setiap hari apabila klien
cenderung terjadi trombosisi. Pada beberapa klien, thrombosis vena profunda dapat
dicegah dengan latihan aktif dan stocking elastis.

Anda mungkin juga menyukai