Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

KEJANG DEMAM

A. Konsep Dasar
1. Definisi
Menurut Nurarif dan Kusuma (2015 : 163), kejang demam (kejang tonik-klonik
demam) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
mencapai > 38oC). Kejang demam dapat terjadi karena proses intrakranial maupun
ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada 2-4% populasi anak berumur 6 bulan s/d. 5
tahun. Paling sering pada anak usia 17-23 bulan.
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38oC) (Riyadi & Sukarmin, 2013 : 53)
Menurut Ridha (2014 : 315), kejang demam adalah bangkitan kejang yang
terjadi pada kenaikan suhu 38oC yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium,
biasanya terjadi pada usia 3 bulan-5 tahun.
Bangkitkan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas
o
38 C) yang disebabkan oleh proses ekstra cranial (Nugroho, 2011 : 57)
Menurut Lestari (2016 : 48). Kejang demam atau febrile convulsion ialah
bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 oC)
yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.

2. Klasifikasi
Menurut Nurarif dan Kusuma (2015 : 163), klasifikasi internasional terhadap kejang :
a. Kejang parsial (kejang yang dimulai setempat)
1) Kejang parsial sederhana (gejala-gejala dasar, umumnya tanpa gangguan
kesadaran).
2) Kejang parsial kompleks (dengan gejala kompleks, umumnya dengan
gangguan kesadaran).
3) Kejang parsial sekunder menyeluruh.
b. Kejang umum/generalisata (simetrik bilateral, tanpa awitan lokal)
1) Kejang tonik-klonik
2) Absence
3) Kejang mioklonik (epilepsi bilateral yang luas)
4) Kejang atonik
5) Kejang klonik
6) Kejang tonik
Kejang demam diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
1) Kejang berlangsung singkat
2) Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 10 menit
3) Tidak berulang dalam waktu 24 jam.
b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
1) Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit
2) Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3) Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam.
Kejang demam menurut proses terjadinya :
a. Intrakranial :
1) Trauma (perdarahan) : perdarahan subarachnoid, subdural atau ventrikuler.
2) Infeksi : bakteri, virus, parasit misalnya meningitis.
3) Kongenital : disgenesis, kelainan serebri.
b. Ekstrakranial :
1) Gangguan metabolik : hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, gangguan
elektrolit (Na dan K) misalnya pada klien dengan riwayat diare sebelumnya.
2) Toksik : intoksikasi, anestesi lokal, sindroma putus obat.
3) Kongenital : gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan
kekurangan piridoksin.

3. Anatomi fisiologi
Menurut Tarwoto, Aryani dan Wartonah (2009 : 105), sistem saraf manusia
mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai fungsi yang berbeda saling
mempengaruhi. Satu fungsi saraf terganggu secara fisiologi akan berpengaruh
terhadap fungsi tubuh yang lain. Sistem saraf dikelompokan menjadi dua bagian
besar, yaitu :
a. Susunan saraf pusat/Central Nervous System (CNS) dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Medula spinalis
Menurut Syaifudin (2013 : 208-211) :
Medula spinalis merupakan bagian saraf pusat yang terletak di dalam kanalis
vertebralis. Organ ini mengurus persarafan tubuh, anggota badan serta bagian
kepala. Dimulai dari bagian bawah medula oblongata setinggi korpus vertebra
servikalis I, memanjang sampai ke korpus vertebra lumbalis I dan II, fungsi
medula spinalis adalah :
a) Pusat saraf mengintegrasikan sinyal sensoris yang datang mengaktifkan
keluaran motorik secara langsung tanpa campur tangan otak. Fungsi ini
terlihat pada kerja refleks spinal untuk melindungi tubuh dari bahaya dan
menajga pemeliharaan tubuh.
b) Sebagai pusat perantara antara susunan saraf tepi dan otak (susunan saraf
pusat), semua komando motorik volunter dari otak ke otot-otot tubuh yang
dikomunikasikan terlebih dahulu pada pusat motorik spinal. Pusat motorik
spinal akan memproses sinyal sebagaimana mestinya sebelum
mengirimkannya ke otot. Sinyal sensoris dari reseptor perifer ke pusat otak
harus terlebih dahulu dikomunikasikan ke pusat sensorik di medula
spinalis. Pada medula spinalis, sinyal sensoris sebagian besar diproses dan
diintegrasikan sehingga medula spinalis merupakan tempat komunikasi dua
arah antara otak dan medula spinalis.

2) Otak
Otak adalah suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat
komputer dari semua alat tubuh. Otak tertutup oleh kranium, tulang-tulang
penyusun kranium disebut tengkorak yang berfungsi melindungi organ-organ
vitul otak. Ada 9 tulang yang membentuk kranium yaitu tulang frontal,
oksipital, sfenoid, etmoid, temporal 2 buah, parietal 2 buah. Tulang-tulang
tengkorak dihubungkan oleh sutura. Otak dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a) Serebrum (otak besar)
Serebrum adalah bagian otak yang besar, kira-kira 80% dari berat otak,
serebrum mempunyai dua hemisfer yang terbagi menjadi empat lobus yaitu
frontal, parietal, temporal dan oksipital.
(1) Lobus frontal berfungsi sebagai aktivitas motorik, fungsi intelektual,
emosi, dan fungsi fisik. Pada bagian kiri terdapat area broca yang
berfungsi sebagai pusat motorik dan bahasa.
(2) Lobus parietal terdapat sensori primer dari konteks, berfungsi sebagai
proses input sensori, sensasi posisi, raba, tekan dan perubahan suhu
ringan.
(3) Lobus temporal mengandung area auditorius, tempat tujuan sensasi
yang datang dari telinga. Berfungsi sebagai input perasa, pendengaran,
pengecap, penciuman dan proses memori.
(4) Lobus oksipital mengandung area visual otak, berfungsi sebagai
penerima informasi dan menafsirkan warna, reflek visual.
Fungsi otak besar adalah pusat pengingat pengalaman yang lalu, pusat
persarafan yang menangani aktivitas (mental, akal, intelegensi, keinginan
dan memori serta pusat menangis, buang air besar, dan buang air kecil).
b) Serebelum (otak kecil)
Serebelum besarnya kira-kira seperempat Serebrum. Antara Serebelum dan
serebrum, dibatasi oleh tentorium serebri. Fungsi utama serebelum adalah
koordinasi aktivitas muskular, kontrol tonus otot, mempertahankan postur
dan keseimbangan tubuh.
c) Batang Otak
Menurut Syaifuddin (2011 : 196) :
(1) Diensefalon, terletak di atas batang otak dan terdiri dari thalamus,
hypothalamus, epithalamus dan subthalamus.
(a) Thalamus berfungsi sebagai stasiun relay dan integrasi dari medula
spinalis ke korteks serebri dan bagian lain dari otak.
(b) Hypothalamus berfungsi dalam mempertahankan homeostasis
seperti pengaturan suhu tubuh, rasa haus, lapar, respon sistem saraf
otonom dan kontrol terhadap sekresi hormon kelenjar pituitari.
(c) Epithalamus berperan dalam pertumbuhan fisik dan perkembangan
seksual.
(2) Mesensefalon, bagian otak yang terletak diantara pons varoli dan
hemisfer serebri. Fungsi Mesensefalon adalah :
(a) Membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata
(b) Memutar mata dan pusat pergerakan mata
(3) Pons Varoli, fungsinya adalah :
(a) Penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula
oblongata dengan serebelum (otak kecil).
(b) Pusat saraf nervus trigeminus.
(4) Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling
bawah, yang menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis.
Fungsi medula oblongata adalah :
(a) Mengontrol kerja jantung
(b) Mengecilkan pembuluh darah (vasokonstriktor)
(c) Pusat pernafasan
(d) Mengontrol kegiatan refleks, bersin, batuk, menelan, pengeluaran
air liur dan muntah.

4. Etiologi
Menurut Wulandari dan Erawati (2016 : 244-245), penyebab dari kejang demam
adalah :
a. Faktor-faktor perinatal, marformasi otak kongenital
b. Faktor genetika
Faktor keturunan memegang penting untuk terjadinya kejang demam. 25-50%
anak yang mengalami kejang memiliki anggota keluarga yang pernah mengalami
kejang demam sekurang-kurangnya sekali.

c. Penyakit infeksi
1) Bakteri : penyakit pada traktus respiratorius (pernapasan), pharingitis (radang
tenggorokan), tonsillitis (amandel), otitis media (infeksi telinga).
2) Virus : varicella (cacar), morbili (campak), dengue (virus penyebab demam
berdarah).
d. Demam
Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada waktu sakit dengan
demam atau pada waktu demam tinggi.
e. Gangguan metabolisme
Gangguan metabolisme seperti uremia, hipoglikemia, kadar gula darah kurang
dari 30 mg% pada neonatus cukup bulan dan kurang dari 20 mg% pada bayi
dengan berat badan lahir rendah atau hiperglikemia.
f. Trauma
Kejang berkembang minggu pertama setelah cedera kepala.
g. Gangguan sirkulasi
h. Penyakit degeneratif susunan saraf
i. Neoplasma
Neoplasma dapat menyebabkan kejang pada usia berapa pun, tetapi mereka
merupakan penyebab sangat penting dari kejang pada usia pertengahan dan
kemudian ketika insiden penyakit neoplasma meningkat (Nugroho, 2011).
5. Pathway
Infeksi bakteri, virus dan
Rangsangan mekanik &
parasit biokimia.
Gangguan keseimbangan
Reaksi inflamasi cairan & elektrolit

Proses demam Perubahan Kelainan neurologis


konsentrasi ion di Perinatal/prenatal
ruang
Hipertermia ekstraseluler

Risiko kejang berulang Ketidakseimbanganpo Perubahan difusi


tensial membran Na+& K+
ATPase
Perubahan beda
Risiko keterlambatan Pelepasan muatan potensial
perkembangan listrik semakin membran sel
meluas ke seluruh neuron
sel maupun
membran sel Risiko cidera
sekitarnya dengan
bantuan
Risiko cidera neurotransmiter Kejang
Kesadaran menurun < 15 menit (KDS) > 15 menit (KDK)

Kontraksi Perubahan suplay


Reflek menelan menurun
otot darah ke otak
meningkat
Risiko aspirasi
Metabolisme Risiko kerusakan sel
meningkat neuron otak

Kebutuhan O2 Suhu tubuh makin Risiko


meningkat meningkat ketidakefektifan
perfusi jaringan otak

Risiko aspiksia Ketidakefektifan


termoregulasi

Bagan 2.1 Pathway Kejang Demam

Sumber : Nurarif dan Kusuma (2015 : 168)

6. Patofisiologi
Menurut Ngastiyah (2005 : 165-167), mempertahankan kelangsungan hidup sel
atau organ diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi
dengan perantara fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem
kardiovaskuler. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sumber energi otak adalah
glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi
oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar
yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah
oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya,
kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi kalium dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi natrium rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalan dan di luar sel, maka terdapat
perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran neuron.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh : perubahan konsentrasi ion
di ruang ekstraselular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis,
kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan patofisiologi dari membran
sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan suhu
tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu
yang singkat terjadi disfusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran
tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel
sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya
ambang kejang seorang anak akan menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 oC
sedang anak dengan ambang kejang yang tinggi kenjang baru terjadi bila suhu
mencapai 40oC atau lebih. Maka disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam
lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu memperhatikan pada tingkat suhu berapa klien menderita
kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan
tidak meninggalkan gejala sisa. Akan tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15
menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat
disebabkan oleh metabolisme enaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung
yang tidak teratur dan suhu tubuh semakin meningkat yang disebabkan makin
meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya
kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama, faktor terpenting adalah
gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel
neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat
serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari
sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Karena itu kejang demam yang
berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi
epilepsi.

7. Manifestasi Klinis
Menurut Riyadi dan Sukarmin (2013 : 53-54), manifestasi klinik yang muncul pada
penderita kejang demam adalah :
a. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38oC.
b. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik.
Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun tetapi
beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan persarafan.
c. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan, cahaya
(penurunan kesadaran).
Selain itu, pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone juga dapat kita
jadikan pedoman untuk menentukan manifestasi klinis kejang demam. Ada 7 kriteria
yaitu :
a. Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
b. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
c. Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang
saja).
d. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
e. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan sesudah kejang tidak ada kelainan.
f. Pemeriksaan elektro enchephaloghrapy dalam kurun waktu 1 minggu atau lebih
setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan.
g. Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.

8. Penatalaksanaan
Menurut Riyadi dan Sukarmin (2013 : 56-59) :
a. Penatalaksanaan di Rumah Sakit
Penatalaksaan yang dilakukan saat klien di rumah sakit antara lain :
1) Saat timbul kejang maka penderita diberikan di anak diazepam intravena
secara perlahan dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10
kg dosisnya 0,5-0,75 mg/kg BB, di atas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata
yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/ kali pemberian dengan maksimal dosis
pemberian 5 mg pada anak kurang dari 5 tahun dan maksimal 10 mg pada
anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50 mg
persuntikan. Setelah perberian pertama diberikan masih timbul kejang 15
menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara intravena dengan
dosis yang sama. Apabila masih kejang maka ditunggu 15 menit lagi
kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga dengan dosis yang sama secara
intramuskuler.
2) Pembebasan jalan nafas dengan cara kepala dalam posisi hiperektensi miring,
pakaian dilonggarkan dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik dapat
dilakukan intubasi endotrakel atau trakeostomi.
3) Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
4) Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan memudahkan
dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena
pemantauan intake dan output cairan selama 24 jam perlu dilakukan, karena
pada penderita yang berisiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
kelebihan cairan dapat memperberat penurunan kesadaran klien. Selain itu
pada klien dengan peningkatan tekanan intrakranial juga pemberian cairan
yang mengandung natrium (Na CI) perlu dihindari.
5) Pemberian kompres air es untuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan
metode konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat yang tinggi (suhu
tubuh) ke benda yang mempunyai derajat lebih rendah (kain kompres).
Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas yang banyak seperti
anyaman kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area pembuluh
darah yang besar seperti leher. Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan
pemberian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/KgBB/hari (terbagi dalam 3x
pemberian).
6) Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan obat-
obatan untuk mengurangi edema otak seperti deksametason 0,5-1 ampul setiap
6 jam sampai keadaan membaik. Posisi kepala hiperektensi tetapi lebih tinggi
dari anggota tubuh yang lain dengan cara menaikkan tempat tidur bagian
kepala lebih tinggi kurang lebih 15o (posisi tubuh pada garis lurus).
7) Untuk pengobatan rumahan setelah klien terbebas dari kejang pasca
pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan dosis
awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-1 tahun, 75 mg pada
anak usia 1 tahun keatas dengan teknik pemberian intramuskuler. Setelah itu
diberikan obat rumahan fenobarbital dengan dosis pertama 8-10 mg/kgBB/hari
(terbagi dalam 2 kali pemberian), hari berikutnya 4-5 mg/KgBB/hari yang
terbagi dalam 2x pemberian.
8) Pengobatan penyebab. Karena yang terjadi penyebab timbulnya kejang adalah
kenaikan suhu tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran pernafasan, tonsil
maka pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent, pemeriksaan kultur
jaringan, pemeriksaan gram bakteri serta pemeriksaan penunjang lain untuk
mengetahui jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab infeksi sangat perlu
dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memilh jenis antibiotik yang
cocok diberikan pada klien anak dengan kejang demam.
b. Peatalaksanaan di rumah
Karena penyakit kejang demam sulit diketahui kapan munculnya, maka orang tua
atau pengasuh anak perlu diberi bekal untuk memberikan tindakan awal pada
anak yang mengalami kejang demam. Tindakan awal itu antara lain :
1) Saat timbul serangan kejang segera pindahkan anak ke tempat yang aman
seperti di lantai yang diberi alas lunak tapi tipis, jauh dari benda-benda
berbahaya seperti gelas, pisau.
2) Posisi kepala anak hiperektensi, pakaian dilonggarkan. Kalau takut lidah anak
menekuk atau tergigit maka diberikan tong spatel yang dibungkus dengan
kassa atau kain, kalau tidak ada dapat diberikan sendok makan yang dibalut
dengan kassa atau kain bersih.
3) Ventilasi ruangan harus cukup, jendela dan pintu dibuka supaya terjadi
pertukaran oksigen lingkungan.
4) Kalau anak mulutnya masih dapat dibuka, sebagai pertolongan awal dapat
diberikan antipiretik seperti aspirin dengan dosis 60 mg/tahun/kali (maksimal
sehari 3x).
5) Kalau memungkinkan sebaiknya orang tua atau pengasuh di rumah
menyediakan diazepam per anus sehingga saat serangan kejang anak dapat
segera diberikan. Dosis per anus 5 mg untuk BB < 10 kg, kalau BB > 10 kg,
maka dapat diberikan dosis 10 mg. Untuk dosis rata-rata pemberian per anus
adalah 0,4 – 0,6 mg/kgBB.
6) Kalau beberapa menit kemudian tidak membaik atau tidak tersedianya
diazepam, maka segera bawa anak ke rumah sakit.

9. Komplikasi
Menurut Wulandari dan Erawati (2016 : 249) :
1) Kerusakan neurotransmiter
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh
sel ataupun membran sel yang menyebabkan kerusakan pada neuron.
2) Epilepsi
Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan
kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari sehingga
terjadi serangan epilepsi yang spontan.
3) Kelainan anatomis di otak
Serangan kejang yang berlangsung lama yang dapat menyebabkan kelainan di
otak yang lebih banyak terjadi pada anak baru berumur 4 bulan - 5 tahun.
4) Mengalami kecacatan atau kelainan neurologis karena disertai demam.
5) Kemungkinan mengalami kematian.

10. Pemeriksaan Penunjang


Menurut Wulandari dan Erawati (2016 : 248-249) :
1) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam atau
keadaan lain, misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboraturium yang dapat dikerjakan, misalnya darah perifer, elektrolit dan gula
darah.
2) Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis
adalah 1,6%-6,7%. Pada bayi kecil sering kali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh
karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada bayi (< 12 bulan) sangat dianjurkan
dilakukan, bayi 12-18 bulan dianjurkan, anak umur kurang 18 bulan tidak rutin,
apabila telah yakin anak tidak meningitis maka secara klinis tidak perlu dilakukan
pungsi lumbal.
3) Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada klien kejang
demam. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam
yang tidak khas.

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Anamnesa
a) Aktivitas atau Istirahat
Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktivitas, bekerja, dan lain-lain
b) Sirkulasi
Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sinosis
Posiktal : Tanda-tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan
c) Intergritas Ego
Stressor eksternal atau internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau
penanganan
Peka rangsangan : pernafasan tidak ada harapan atau tidak berdaya Perubahan
dalam berhubungan
d) Eliminasi
1) Inkontinensia epirodik
2) Makanan atau cairan
3) Sensitivitas terhadap makanan, mual atau muntah yang berhubungan dengan
aktivitas kejang
e) Neurosensori
1) Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pinsan, pusing riwayat trauma
kepala, anoreksia, dan infeksi serebal
2) Adanya area (rasangan visual, auditoris, area halusinasi)
3) Posiktal : Kelamaan, nyeri otot, area paratise atau paralisis
f) Kenyamanan
1) Sakit kepala, nyeri otot, (punggung pada periode posiktal)
2) Nyeri abnormal proksimal selama fase iktal
g) Pernafasan
1) Fase iktal : Gigi menyetup, sinosis, pernafasan menurun cepat peningkatan
sekresi mulus
2) Fase posektal : Apnea
h) Keamanan
1) Riwayat terjatuh
2) Adanya alergi
i) Interaksi Sosial
Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga lingkungan sosialnya

2. Pemeriksaan Fisik
a. Aktivitas
1) Perubahan tonus otot atau kekuatan otot
2) Gerakan involanter atau kontraksi otot atau sekelompok otot
b. Integritas Ego
1) Pelebaran rentang respon emosional
c. Eleminasi
Iktal : penurunan tekanan kandung kemih dan tonus spinter
Posiktal : otot relaksasi yang mengakibatkan inkonmesia
d. Makanan atau cairan
1) Kerusakan jaringan lunak (cedera selama kejang)
2) Hyperplasia ginginal
e. Neurosensori (karakteristik kejang)
1) Fase prodomal : Adanya perubahan pada reaksi emosi atau respon
efektifitas yang tidak menentu yang mengarah pada fase area.
2) Kejang umum
Tonik – klonik : kekakuan dan postur menjejak, mengenag peningkatan
keadaan, pupil dilatasi, inkontineusia urine
3) Fosiktal : pasien tertidur selama 30 menit sampai beberapa jam, lemah
kalau mental dan anesia
4) Absen (patitmal) : periode gangguan kesadaran dan atau makanan
5) Kejang parsial
Jaksomia atau motorik fokal : sering didahului dengan aura, berakhir 15
menit tdak ada penurunan kesadaran gerakan ersifat konvulsif
f. Kenyamanan
Sikap atau tingkah laku yang berhati-hati
Perubahan pada tonus otot
Tingkah laku distraksi atau gelisah
g. Keamanan
Trauma pada jaringan lunak
Penurunan kekuatan atau tonus otot secara menyeluruh
3. Analisis Data
Menurut Ali (2010 : 115), analisis data keperawatan adalah kemampuan
pengembangan daya pikir dan penalaran data keperawatan sesuai dengan kaidah-
kaidah dalam ilmu keperawatan untuk mendapatkan kesimpulan permasalahan
keperawatan (diagnosis keperawatan).

4. Diagnosis Keperawatan
Menurut Asmadi (2008 : 172), diagnosis keperawatan adalah pernyataan yang dibuat
oleh perawat profesional yang memberi gambaran tentang masalah atau status
kesehatan klien, baik aktual maupun potensial, yang ditetapkan berdasarkan analisis
dan interpretasi data hasil pengkajian. Pernyataan diagnosis keperawatan harus jelas,
singkat dan logis terkait masalah kesehatan klien. Menurut Riyadi dan Sukarmin
(2013:60) : diagnosa keperawatan yang muncul pada kejang demam adalah :
Risiko tinggi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan penutupan faring oleh lidah,
spasme otot bronkhus.
1) Risiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan oksigen darah.
2) Risiko tinggi kejang berulang berhubungan dengan riwayat kejang
(http://www.eprints.ums.ac.id).
3) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi kelenjar tonsil, telinga, bronkhus
atau pada tempat lain.
4) Risiko gangguan pertumbuhan (berat badan rendah) berhubungan dengan
penurunan asupan nutrisi.
5) Kecemasan berhubungan dengan masalah kesehatan anak
(http://www.eprints.ums.ac.id).
6) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang cara
perawatan di rumah (http://www.eprints.ums.ac.id).

5. Perencanaan
Menurut Riyadi dan Sukarmin (2013 : 172-174) :
a. Risiko tinggi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan penutupan faring oleh
lidah, spasme otot bronkhus.
Hasil yang diharapkan :
1) Frekuensi pernafasan : 28-35 x/menit.
2) Irama pernafasan reguler dan tidak cepat.
3) Anak tidak terlihat terengah-engah.
Rencana tindakan :
1) Monitoring jalan nafas, frekuensi pernafasan, irama pernafasan tiap 15 menit
pada saat penurunan kesadaran.
Rasional : frekuensi pernafasan yang meningkat tinggi dengan irama yang
cepat sebagai salah satu indikasi sumbatan jalan nafas oleh benda asing,
contohnya lidah.
2) Tempatkan anak pada posisi semi fowler dengan kepala hiperekstensi.
Rasional : posisi semi fowler akan menurunkan tahanan tekanan
intraabdominal terhadap paru-paru. Hiperekstensi membuat jalan nafas dalam
posisi lurus dan bebas dari hambatan.
3) Pasang tongue spatel saat timbul serangan kejang.
Rasional : mencegah lidah tertekuk yang dapat menutup jalan nafas.
4) Bebaskan anak dari pakaian ketat.
Rasional : mengurangi tekanan terhadap rongga thoraks sehingga terjadi
keterbatasan pengembangan paru.
b. Risiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan oksigen darah.
Hasil yang diharapkan :
Jaringan perifer kulit terlihat merah dan segar, akral teraba hangat.
Rencana tindakan :
1) Kaji tingkat pengisian kapiler perifer
Rasional : kapiler kecil mempunyai volume darah yang relatif kecil dan cukup
sensitif sebagai tanda terhadap penurunan oksigen darah.
2) Pemberian oksigen dengan memakai masker atau binasal kanul dengan dosis
rata-rata 3 liter/menit.
Rasional : oksigen tabung mempunyai tekanan yang lebih tinggi dari oksigen
lingkungan sehingga mudah masuk ke paru-paru. Pemberian dengan masker
mempunyai presentase sekitar 35% yang dapat masuk ke saluran pernafasan.
3) Hindarkan anak dari rangsangan yang berlebihan baik suara mekanik maupun
cahaya.
Rasional : rangsangan akan meningkatkan fase eksitasi persarafan yang dapat
menaikkan kebutuhan oksigen jaringan.
4) Tempatkan klien pada ruangan dengan sirkulasi udara yang baik (ventilasi
memenuhi ¼ dari luar ruangan).
Rasional : meningkatkan jumlah udara yang masuk dengan mencegah
hipoksemia.
c. Risiko tinggi kejang berulang berhubungan dengan riwayat kejang.
Hasil yang diharapkan :
1) Suhu tubuh dalam keadaan normal 36 oC -37oC.
2) Tidak terjadi kejang.
Rencana tindakan :
1) Observasi tanda-tanda kejang setiap 4 jam.
Rasional : peningkatan suhu tubuh dapat mengakibatkan kejang berulang dan
untuk menentukan intervensi dengan segera.
2) Kolaborasi tindakan pemberian obat anti kejang/ anti konvulsi.
Rasional : untuk menanggulangi kejang demam.
d. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi, kelenjar tonsil, telinga, bronkhus
atau pada tempat lain.
Hasil yang diharapkan :
1) Suhu tubuh perektal 36 oC -37oC.
2) Kening anak tidak teraba panas.
3) Tidak terdapat pembengkakan.
Rencana tindakan :
1) Pantau suhu tubuh anak setiap ½ jam.
Rasional : peningkatan suhu tubuh yang melebihi 39oC dapat berisiko
terjadinya kerusakan saraf pusat karena akan meningkatkan neurotransmiter
yang dapat meningkatkan eksitasi neuron.
2) Kompres anak dengan alkohol atau air hangat.
Rasional : pada saat dikompres panas tubuh akan berpindah ke media yang
digunakan untuk mengompres karena suhu tubuh relatif lebih tinggi.
3) Beri pakaian anak yang tipis dari bahan yang halus seperti katun.
Rasional : pakaian yang tipis akan memudahkan perpindahan panas dari tubuh
ke lingkungan dan menghindari iritasi kulit pada anak karena panas yang
tinggi akan membuat kulit sensitif terhadap cidera.
4) Kolaborasi pemberian antipiretik (aspirin dengan dosis 60 mg/ kali pemberian)
dan antibiotik (sesuai dengan jenis golongan mikroorganisme penyebab yang
umum dapat digunakan golongan penisilin).
Rasional : antipiretik akan mempengaruhi ambang panas pada hipotalamus.
Antipiretik akan mempengaruhi penurunan neurotransmiter seperti
prostaglandin yang berkontribusi timbulnya nyeri saat demam.
e. Risiko gangguan pertumbuhan (berat badan rendah) berhubungan dengan
penurunan asupan nutrisi.
Hasil yang diharapkan :
1) Orang tua anak menyampaikan anaknya sudah gampang makan.
2) Porsi makan yang dihabiskan setiap kali makan misalnya 1 porsi habis (rata-
rata 700 kkal per hari).
3) Berat badan anak di daerah hijau (di KMS).
Rencana tindakan :
1) Kaji berat badan dan asupan kalori anak.
Rasional : berat badan sebagai salah satu indikator jumlah masa sel dalam
tubuh. Kalau berat badan rendah menunjukkan terjadi penurunan jumlah dan
masa sel tubuh yang tidak sesuai dengan umur. Asupan kalori sebagai bahan
dasar pembentukan masa sel tubuh.
2) Ciptakan suasana yang menarik dan nyaman saat makan seperti dibawa ke
ruangan yang banyak gambar untuk anak sambil diajak bermain.
Rasional : dapat membantu peningkatan respon korteks serebri terhadap selera
makan sebagai dampak rasa senang pada anak.
3) Anjurkan kepada orang tua untuk memberikan anak makan pada kondisi
makanan hangat.
Rasional : makanan hangat akan mengurangi kekentalan sekresi mukus pada
faring dan mengurangi respon mual gaster.
4) Anjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan pada anak dengan
porsi sering dan sedikit (setiap jam anak diprogramkan makan).
Rasional : mengurangi masa makanan yang banyak pada lambung yang dapat
menurunkan rangsangan nafsu makan pada otak bagian bawah.
f. Kecemasan berhubungan dengan masalah kesehatan anak.
Hasil yang diharapkan :
Menampilkan pola koping positif : tenang, komunikasi kooperatif.
Rencana tindakan :
1) Kaji tingkat dan penyebab kecemasan keluarga.
Rasional : untuk mengetahui dan menentukan intervensi selanjutnya.
2) Gunakan teknik komunikasi therapeutik dan BHSP
Rasional : meningkatkan kerjasama antara klien dengan perawat agar tindakan
keperawatan berjalan lancar.
3) Anjurkan orang tua menemani anak.
Rasional : membolehkan orang tua menemani anak untuk memberikan
dukungan yang adekuat pada anak.
4) Berikan therapi bermain pada anak.
Rasional : untuk mengurangi kecemasan dan mengalihkan perhatian akan sakit
yang dialami klien.
g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang cara
perawatan di rumah.Suhu tubuh meningkat diatas normal berhubungan dengan
adanya proses infeksi.
Hasil yang diharapkan :
Orang tua dapat memahami dan melakukan cara perawatan di rumah.
Rencana tindakan :
1) Berikan pendidikan kesehatan mengenai kejang demam.
Rasional : mengetahui tanda dan gejala untuk menstimulasi orang tua agar
segera mencari bantuan kesehatan ketika diperlukan.
2) Jelaskan pentingnya istirahat yang adekuat untuk anak.
Rasional : periode istirahat pasca infeksi diperlukan untuk mencegah kejang
berulang.
3) Ajarkan kepada orang tua tentang bagaimana dan kapan memberikan medikasi
pada anak.
Rasional : pemahaman tentang pentingnya pemberian medikasi pada anak
membantu orang tua untuk mematuhi program regimen medikasi.
6. Implementasi
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan
keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien mencapai
tujuan yang telah ditetapkan (Asmadi, 2008:177).

7. Evaluasi
Menurut Budiono dan Pertami (2016 : 201), evaluasi adalah penilaian dengan cara
membandingkan perubahan keadaan klien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan
kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
Evaluasi terdiri dua macam yaitu :
a. Evaluasi hasil (sumatif)
Evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan, berorientasi secara paripurna,
berorientasi pada masalah keperawatan, menjelaskan keberhasilan,
ketidakberhasilan, rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai
dengan kerangka waktu yang ditetapkan.
b. Evaluasi proses (formatif)
Evaluasi yang dilakukan setelah selesai tindakan yang berorientasi pada etiologi.
Evaluasi formatif dilakukan secara terus menerus sampai tujuan yang telah
ditentukan tercapai.

8. Catatan perkembangan
Menurut Budiono dan Pertami (2016 : 206) :
S : artinya data subyektif, dapat dituliskan keluhan klien yang masih dirasakan
setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O : data obyektif, yang berdasarkan hasil pengukuran atau hasil observasi secara
langsung kepada klien.
A : artinya analisis interpretasi dari data subyektif dan obyektif.
P : artinya planning, perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan atau dihentikan
terhadap masalah klien.
I : artinya implementasi, adalah tindakan keperawatan yang dilakukan sesuatu
dengan instruksi yang telah teridentifikasi.
E : artinya evaluasi, adalah respon klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
R : artinya revised, adalah apakah rencana keperawatan akan diuabah untuk sesuai
dengan rencana yang sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai