Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Pengertian Air Baku dan Air Minum
2.1.1 Air Baku
Berdasarkan SNI 6773-2008 tentang Spesifikasi Unit Paket Instalasi Pengolahan
Air yang dimaksud air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan,
cekungan air tanah, dan atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air
baku untuk air minum.
1.1.2 Air Minum
Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses
pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Air minum
aman bagi kesehatan apabila memenuhi persyaratan fisika, mikrobiologi, kimiawi dan
radioaktif yang dimuat dalam parameter wajib dan parameter tambahan. (Permenkes RI
No 492/MENKES/PER/IV/2010).
1.2 Kebutuhan Air
Kebutuhan manusia akan air bersih mencakup kebutuhan domestik (memasak,
mencuci, mandi, dan lainnya) dan kebutuhan non domestik. Secara umum air yang
dapat dikonsumsi oleh manusia berasal dari 3 sumber yaitu :
1. Air permukaan
2. Air tanah
3. Air hujan
Untuk air permukaan tidak bisa begitu saja dapat dikonsumsi, diperlukan
pengolahan untuk dapat dikonsumsi oleh manusia. Air permukaan yaitu air hujan yang
telah lama mengendap dipermukaan bumi selama beberapa lama tidak dapat dikonsumsi
langsung karena air permukaan rentan terhadap penyakit yang disebarkan melalui air
(water borne disease) dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan (Darmasetiawan,
2001).

II-1
1.3 Air Permukaan dan Karakteristiknya
Dalam siklus hidrologi air permukaan merupakan tempat yang letak geografisnya
paling rendah sehingga mampu menampung air bersih, baik yang berasal dari air hujan,
air limpasan dan air tanah yang meresap. Air permukaan yang dapat digunakan sebagai
sumber air baku adalah sungai, danau, dan waduk atau tanggul.
Menurut Darmasetiawan (2001), karakteristik air baku permukaan di Indonesia
secara umum dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Air permukaan dengan tingkat kekeruhan yang tinggi
2. Air permukaan dengan tingkat kekeruhan yang rendah sampai sedang
3. Air permukaan dengan tingkat kekeruhan yang bersifat temporer
4. Air permukaan dengan kandungan warna yang sedang sampai tinggi
5. Air permukaan dengan kesadahan yang tinggi
6. Air permukaan dengan kekeruhan sangat rendah.
1.4 Kualitas Air Baku
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 Tentang Klasifikasi dan
Kriteria Mutu Air menerangkan bahwa mutu air diklasifikasikan dalam empat kelas,
yaitu:
1 Kelas I yaitu air yang dapat digunakan untuk air baku, air minum, dan atau
peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.
2 Kelas II yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut.
3 Kelas III yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan
ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan
lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut.
4 Kelas IV yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi,
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut.
Kriteria mutu air yang dimaksud untuk setiap kelas air di atas dapat dilihat pada
tabel 2.1 berikut ini.

II-2
Tabel 2. 1 Kriteria Mutu Air Baku
Kelas
Parameter Satuan Keterangan
I II III IV
FISIKA
Deviasi temperatur
o deviasi deviasi deviasi deviasi
Temperature C dari keadaan
3 3 3 5
alamiahnya
Residu terlarut mg/L 1.000 1.000 1.000 2.000
Bagi pengolahan air
minum secara
Residu tersuspensi mg/L 50 50 400 400 konvensional, residu
tersuspensi < 5.000
mg/L
KIMIA ANORGANIK
Apabila secara
alamiah berada di luar
rentang tersebut,
pH 6-9 6-9 6-9 5-9
maka ditentukan
berdasarkan kondisi
alamiah
BOD mg/L 2 3 6 12
COD mg/L 10 25 50 100
DO mg/L 6 4 3 0
Total fosfat
mg/L 0,2 0,2 1 5
sebagai P
NO3 sebagai N mg/L 10 10 20 20
Bagi perikanan,
kandungan ammonia
NH3-N mg/L 0,5 - - - bebas untuk ikan yang
peka < 0,02 mg/L
sebagai NH3
Arsen mg/L 0,05 1 1 1
Kobalt mg/L 0,2 0,2 0,2 0,2
Barium mg/L 1 - - -
Boron mg/L 1 1 1 1
Selenium mg/L 0,01 0,05 0,05 0,05
Kadmium mg/L 0,01 0,01 0,01 0,01
Khrom (VI) mg/L 0,05 0,05 0,05 0,01
Tembaga mg/L 0,02 0,02 0,02 0,2
KIMIA ANORGANIK
Besi mg/L 0,3 - - -
Bagi pengolahan air
minum secara
Timbal mg/L 0,03 0,03 0,03 1
konvensional, Pb <
0,1 mg/L
Mangan mg/L 0,1 - - -
Air Raksa mg/L 0,001 0,002 0,002 0,005

II-3
Tabel 2. 1 Kriteria Mutu Air Baku (Lanjutan)
Kelas
Parameter Satuan Keterangan
I II III IV
Bagi pengolahan air
minum secara
Seng mg/L 0,05 0,05 0,05 2
konvensional, Zn < 5
mg/L
Khlorida mg/L 600 - - -
Sianida mg/L 0,02 0,02 0,02 -
Fluorida mg/L 0,5 1,5 1,5 -
Sumber: Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001

1.5 Kualitas Air Minum


Berdasarkan Permenkes RI No 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Syarat-
Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum dapat diketahui standar kualitas air yang
dapat digunakan sebagai air minum yaitu dalam tabel 2.2.
Tabel 2. 2 Standar Kualitas Air Minum
Permenkes RI No.
No Parameter Satuan Keterangan
492/Menkes/PER/IV/2010
FISIKA
1 Bau - Tidak berbau
Jumlah Zat Padat Terlarut
2 mg/L 1
(TDS)
3 Kekeruhan NTU 5
4 Rasa - Tidak berasa
5 Temperatur C 30
6 Warna TCU 15
KIMIA
a. Kimia Anorganik
1 Air Raksa mg/L 0,001
2 Aluminium mg/L 0,2
3 Arsen mg/L 0,01
4 Barium mg/L 0,7
5 Besi mg/L 0,3
6 Fluorida mg/L 1,5
7 Kadmium mg/L 0,003
8 Kesadahan mg/L 500
9 Khlorida mg/L 250
10 Kromium, Val.6 mg/L 0,05
11 Mangan mg/L 0,1
12 Natrium mg/L 200
13 Nitrat,sebagai N mg/L 50
14 Nitrit,sebagai N mg/L 3
15 Perak mg/L 0,05
Batas min dan
16 pH - 6,5 – 8,5
maks

II-4
17 Selenium mg/L 0,01

Tabel 2.2 Standar Kualitas Air Minum (Lanjutan)


Permenkes RI No.
No Parameter Satuan Keterangan
492/Menkes/PER/IV/2010
18 Seng mg/L 3
19 Sianida mg/L 0,07
20 Sulfat mg/L 250
21 Sulfida mg/L 0,05
22 Tembaga mg/L 1
23 Timbal mg/L 0,01
KIMIA
b. Kimia Organik
1 Aldrina ug/L 0,03
2 Benzene ug/L 10
3 Benzo(a)pyrene ug/L 0,7
4 Chlordane (Total Isomer) ug/L 0,2
5 Chloroform ug/L 200
6 2.4-D ug/L 30
7 DDT ug/L 2
Heptachlor dan
8 ug/L 0,03
Heptachlor Epoxide
9 Hexachlorobenzene ug/L 0,3
10 Pentachlorophenol ug/L 0,009
11 2.4.6-Trichlorophenol ug/L 0,2
KIMIA
c. Bahan Organik
12 Zat Organik mg/L 10
13 Gamma-HCH ug/L 0,002
MIKROBIOLOGI
Jml/100
1 Coliform Tinja ml 0
sampel
Jml/100
2 Total Coliform ml 0
sampel
RADIOAKTIVITAS
1 Aktivitas Alpha Bq/L 0,1
2 Aktivitas Beta Bq/L 1
Sumber: Permenkes RI No. 492/Menkes/PER/IV/2010

1.6 Kinerja Bangunan Pengolahan Air Minum


Kinerja bangunan pengolahan air minum adalah kemampuan unit-unit pada
bangunan pengolahan air minum untuk dapat mengolah atau menurunkan konsentrasi
parameter kualitas air yang memiliki kualitas, kuantitas, dan kontinuitas dengan baku

II-5
mutu yang dipersyaratkan serta dapat mengoptimalkan proses pengolahannya
berdasarkan kriteria desain unit yang digunakan.
Dalam produksi air minum, evaluasi kinerja terhadap instalasi pengolahan air
minum perlu dilakukan secara berkala. Hal tersebut dilakukan bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas dari instalasi yang sudah dibangun, meningkatkan kualitas air
olahan, dan mereduksi biaya operasional.
1.7 Unit Pengolahan Air Minum
Pengolahan (treatment) terhadap air baku merupakan langkah-langkah yang
diambil agar air tersebut memenuhi baku mutu yang ditentukan sehingga aman untuk
dikonsumsi. Menurut Peavy (1985) proses pengolahan air pada hakekatnya
dilaksanakan berdasarkan sifat-sifat perubahan kualitas yang berlangsung secara
alamiah. Oleh karena itu, mekanisme proses tersebut dapat berlangsung secara fisik,
kimia, dan biologi.
Proses yang dipakai dalam pengolahan air minum adalah sebagai berikut:
1. Proses secara fisik
Proses secara fisik dalam pengolahan air minum meliputi dilusi, sedimentasi
dan resuspensi, filtrasi.
2. Proses secara kimia
Sumber air dari alam banyak yang mengandung mineral dan gas yang terlarut,
sehingga dalam pengolahan air minum perlu dilakukan proses secara kimia
yaitu oksidasi-reduksi, dissolusi-presipitasi dan konversi kimia lainnya.
3. Proses secara biologi
Proses pengolahan ini dengan memanfaatkan proses metabolisme organisme
yang mengkonversi suatu zat menjadi zat lain.
2.7.1 Bak Pengumpul
Bak pengumpul berfungsi untuk menampung air baku dari intake untuk diolah
oleh unit pengolahan berikutnya. Bak opengumpul dilengkapi dengan pompa intake dan
pengukur debit. (Bahan Ajar PB PAM, 2005)
Kriteria desain dalam Japan Water Works Association, (1978)
a. Kedalaman (H) : 3 – 5 meter
b. Waktu detensi : > 1,5 menit
Beberapa persamaan yang digunakan untuk perhitungan desain bak pengumpul

II-6
1. Volume air di bak penampung (meter)
V  P x L x h Air ................................................................... (2.6)

2. Waktu tinggal air di bak penampung (meter)


V
Td Air  ................................................................................. (2.7)
Q
2.7.2 Sistem Transmisi
Sistem transmisi menghubungkan antara intake dengan instalasi pengolahan air
minum. Trnasmisi tergantung pada topografi sehingga mungkin diperlukan pompa.
Sistem transmisi terbagi menjadi dua bagian yaitu pompa transmisi dan pipa transmisi.
2.7.2.1 Pompa Transmisi
Pompa transmisi di intake merupakan pompa yang digunakan untuk
mendistribusikan air dari intake menuju ke unit pengolahan selanjutnya. Sehingga
pompa intake harus memiliki spesifikasi yang sesuai untuk menghantarkan air menuju
unit pengolahan. Head pompa intake harus sesuai dengan jarak maupun perbedaan
ketinggian intake dengan unit pengolahan (Metcalf and Eddy, 1991).
Pompa tidak termasuk dalam unit proses pengolahan air tetapi pompa merupakan
peralatan pendukung utama. Menurut Peavy (1985), performa pompa diukur
berdasarkan kapasitas pompa terhadap head dan efisiensinya. Efisiensi pompa biasanya
pada range 60- 85%. Daya hidraulik pompa merupakan daya yang dibutuhkan untuk
mengalirkan sejumlah zat cair.
a. Daya hidraulik pompa untuk memindahkan air (Kilowatt atau KN.m./det)
 . Q. H pump
Ppump  .......................................................................... (2.8)
pump

Keterangan:

Q = debit pemompaan, (m3/detik)


 = berat spesifik cairan, kN (9,774 KN pada temperatur 27°C)
H = headloss total
 = efisiensi pompa

II-7
2.7.2.2 Pipa Transmisi
Pipa transmisi digunakan untuk menyalurkan air dari lokasi intake ke instalasi
pengolahan air. Desain perpipaan ini lebih fokus terhadap debit pada pipa, hubungan
struktur perpipaan, kekuatan fisik dari pipa, korosi pada pipa, dan headloss yang
diijinkan pada perpipaan (Kawamura,1991).
a. Kehilangan tinggi tekanan akibat bergesekan dengan dinding pipa transmisi dengan
menggunakan persamaan Hazen – Williams (meter)
1,85
 Q 
HL Mayor   2, 63
 x L .............................................. (2.9)
 0,278 x C x D 
b. Kehilangan tinggi tekanan akibat kontraksi (minor losses) berupa aksesoris di
sepanjang pipa transmisi (meter)

v2
h  k ......................................................................................... (2.10)
2.g
Keterangan:
Q = debit pemompaan, (m3/detik)
C = konstanta friksi bahan pipa
D = diameter pipa bagian dalam (m)
L = panjang pip transmisi (m)
v = kecepatan aliran air dalam pipa (m/detik)
k = konstanta gesekan akibat aksesoris pipa
g = konstanta percepatan gravitasi (9,81 m/detik2)
2.7.3 Koagulasi
Koagulasi adalah penambahan dan pengadukan cepat (flash mixing) dengan
koagulan yang bertujuan untuk mendestabilisasi partikel-partikel koloid dan suspended
solid (Reynolds, 1982). Koagulasi didefinisikan sebagai proses destabilisasi muatan
koloid dan padatan tersuspensi termasuk bakteri dan virus dengan suatu koagulan
(Kawamura,1991).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi adalah kualitas air, kuantitas
dan karakteristik materi koloid, pH, kecepatan putaran, waktu flokulasi, dan kecepatan
paddle, suhu, alkalinitas, serta karakteristik ion-ion dalam air (Al-Layla, 1977).
Pengadukan dengan terjunan adalah pengadukan yang umum dipakai pada
instalasi dengan kapasitas > 50 Liter/detik. Pembubuhan dilakukan sesaat sebelum air

II-8
diterjunkan sehingga air yang terjun sudah mengandung koagulan yang siap diaduk.
Pengadukan dilakukan setelah air terjun dengan energi (daya) pengadukan sama dengan
tinggi terjunan. Tinggi terjunan untuk suatu pengadukan adalah tipikal untuk semua
debit, sehingga debit tidak perlu dimasukkan dalam perhitungan. Persamaan gradient
kecepatan koagulasi dengan terjunan dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝑔𝑥𝐻𝑓
𝐺=√ ................................................................................. (2.11)
𝜐𝑡𝑑

Keterangan:
G = gradient kecepatan (per detik)
g = percepatan gravitasi (9,81 m/det2)
Hf = kehilangan tinggi tekanan sepanjang aliran (m)
td = waktu pencampuran (det)
 = viskositas kinematis (0,864 x 10-6m2/detik pada temperatur 27 °C)
Hubungan antara ketinggian terjun untuk masing-masing tingkat gradien
pengadukan dapat dilihat pada grafik di gambar 2.1 berikut:

Gambar 2. 1 Grafik Hubungan antara Ketinggian dan Gradien


Pengadukan pada td tertentu
Sumber : Darmasetiawan, 2001
Pada temperatur air 25°C:
 = 997,07 kg/m3
μ = 0,8949x10-3
g = 9,81 m/dt2
Pengadukan pada unit koagulasi dan flokulasi akan menimbulkan adanya aliran
yang turbulen untuk mendukung terbentuknya flok. Oleh karena itu untuk membuktikan
adanya aliran turbulen digunakan perhitungan bilangan Reynolds.

II-9
𝑣ℎ𝑥𝑅
NRe = ................................................................................... (2.12)

Keterangan:
Nre = Bilangan Reynolds ( turbulen> 500 )
Vh = kecepatan horisontal (m/detik)
R = Jari-jari hidrolis (meter)
𝜐 = koefisien kinematis air (m2/detik)
Pada pengadukan hidrolis, tenaga (N.m/det) dapat dituliskan dengan:
P = Q x ρ x g x h .......................................................................... (2.13)
Keterangan:
Q = debit aliran (m3/det)
ρ = berat jenis (kg/m3)
g = percepatan gravitasi (9,81 m/det2)
h = tinggi jatuhan/kehilangan energi (m)
Berikut adalah kriteria desain unit koagulasi dalam tabel 2.3
Tabel 2. 3 Kriteria Desain Unit Koagulasi
Metcalf &
No Keterangan Unit Kawamura
Darmasetiawan
Eddy
1 G dtk-1 300 500-1500 700-1000
2 Td dtk 10-30 5-30 20-40
3 G x Td 300-1600 - 20.000-30.000
Sumber:.Kawamura,1991; Metcalf & Eddy, 2003; Darmasetiawan, 2001
Faktor yang menentukan keberhasilan suatu proses koagulasi yaitu jenis bahan
kimia koagulan yang dipakai, dosis pembubuhan bahan kimia dan pengadukan dari
bahan kimia. Salah satu jenis koagulan yang sering dipakai adalah PAC (Poly
Aluminum Chloride) yang merupakan polimerisasi dari Aluminum Chloride. Polimer
ini dipakai karena sifat kelarutannya di dalam air dan tingkat pembentukan floknya yang
lebih baik. Maka polimer sering juga dipakai sebagai Coagulan Aid atau zat kimia
tambahan untuk memperbaiki kondisi koagulasi. (Darmasetiawan,2001).
Dosis pembubuhan koagulan secara praktis ditentukan di laboratorium
menggunakan jar test. Setelah melakukan prosedur jar test, hal lain yang perlu
dilakukan adalah melakukan pengesetan stroke (bukaan keran) pada instalasi pompa
pembubuh koagulan yang tepat sesuai hasil jar test ke instalasi pengolahan air. Adapun
rumus yang dipakai untuk pengesetan stroke pompa dosing pembubuh koagulan yaitu:

II-10
𝑄𝑜𝑙𝑎ℎ 𝑥 𝐷 𝑥 3.600 𝑑𝑡𝑘/𝑗𝑎𝑚
Stroke = 𝑥 100 % .................................... (2.14)
𝑄𝑝𝑜𝑚𝑝𝑎 𝑥 𝐶

Qolah = Debit IPA (m3/detik)


D = Dosis rata-rata hasil jartest (mg/ltr)
C = Konsentrasi larutan (mg/lt)
Qpompa = Debit pompa pembubuh koagulan (ltr/jam)
2.7.4 Flokulasi
Flokulasi dilakukan setelah proses koagulasi. Flokulasi bertujuan untuk
mendukung proses tumbukan partikel-partikel kecil sehingga akan diperoleh partikel
yang lebih besar yang memiliki kemampuan untuk mengendap. Flokulasi dapat
dilakukan dengan berbagai cara, dengan pengaduk mekanis atau dengan pengaliran
melalui kolam-kolam pengaduk. Kecepatan aliran diatur pada 15 - 30 cm/dt, hal ini
untuk menjaga agar supaya tidak terjadi pengendapan ataupun tidak terjadi kerusakan
pada flok-flok yang telah terbentuk.
Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan ketika akan merancang proses
flokulasi yang tepat, yaitu:

1. Kualitas air baku dan karakteristik flokulasi


2. Proses pengolahan dan kualitas air produksi yang diinginkan
3. Hidrolik headloss yang tersedia dan variasi debit
4. Kondisi lokal
5. Biaya
6. Keterkaitan dengan fasilitas pengolahan yang ada. (Kawamura, 1991).
Pengadukan lambat dapat dilakukan dengan cara dialirkan melalui penghalang-
penghalang secara vertikal maupun horizontal, salah satunya yaitu Buffle Channel
vertikal yang melingkar (cyclone). Jenis pengadukan ini dikembangkan dari jenis aliran
vertikal, dimana pengadukan dilakukan dalam kompartemen berbentuk bundar atau
bersegi banyak (enam = heksagonal). Pengadukan dengan cara ini memnafaatkan energi
dari beda tinggi antar ruang dan perputaran air dalam kompartemen yang membantu
proses pembentukan flok. (Darmasetiawan, 2001).

Parameter desain untuk flokulasi adalah G x td (tanpa satuan). Nilai G yang besar
dengan waktu yang singkat cenderung menghasilkan flok padat yang kecil, sedangkan

II-11
nilai G yang rendah dan waktu yang lama menghasilkan flok yang ringan dan lebih
besar (Peavy,1985).
Menurut Kawamura (1991), rumus untuk menentukan gradient pada flokulator
tipe pengadukan mekanis dengan paddle adalah sebagai berikut :
𝐶𝑑 𝑥 𝐴 𝑥 𝑣3 1/2
G=( ) ......................................................................... (2.15)
2𝑥𝑣𝑥𝑉
Keterangan:
G = gradien kecepatan (detik-1)
Cd = Koefisien drag yang terbentuk pada bentuk paddle dan kondisi aliran
A = Luas daerah paddle (m2)
v = viskositas kinematis (1,306 x 10-6 m2/det)
V = volume tangka flokulasi (m3)
v = kecepatan aliran air (m/detik)
Kriteria desain unit flokulasi dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 2. 4 Kriteria Desain Unit Flokulasi
Keterangan Satuan Kawamura Darmasetiawan
G Detik -1 10-60 20-70
Td Menit 30-40 10-20
G x Td 104 – 105
Sumber: Kawamura, 1991; Darmasetiawan, 2001
2.7.5 Sedimentasi
Partikel yang mempunyai berat jenis yang lebih besar daripada berat jenis air akan
dapat mengendap secara gravitasi. Partikel yang tidak berubah ukuran, bentuk, dan
beratnya selama proses pengendapan dalam zat cair, yang disebut partikel diskrit
(discrete particle), akan mengendap yang diakibatkan karena mendapat gaya percepatan
sampai gaya gesek yang dialaminya sama dengan gaya gravitasi. Selanjutnya partikel
iniakan mengendap dengan kecepatan yang konstan (tetap), kecepatan ini dikenal
dengan kecepatan pengendapan (settling velocity).
Proses sedimentasi didasarkan pada pengendapan partikel secara gravitasi
sehingga harus diketahui kecepatan pengendapan masing-masing partikel yang
disisihkan. Kecepatan pengendapan flok bervariasi tergantung pada beberapa parameter
yaitu : tipe koagulan yang digunakan, kondisi pengadukan selama proses flokulasi dan
materi koloid yang terkandung di dalam air baku. Gambar 2.2 adalah bentuk bak
sedimentasi yang sering digunakan yaitu segiempat dan lingkaran.

II-12
Gambar 2. 2 Bak Sedimentasi dan Prasedimentasi
Sumber: Fair & Geyer, 1986
Partikel yang mempunyai berat jenis yang lebih besar daripada berat jenis air akan
dapat mengendap secara gravitasi. Partikel yang tidak berubah ukuran, bentuk, dan
beratnya selama proses pengendapan dalam zat cair, yang disebut partikel diskrit
(discrete particle), akan mengendap yang diakibatkan karena mendapat gaya percepatan
sampai gaya gesek yang dialaminya sama dengan gaya gravitasi. Selanjutnya kecepatan
air melalui lubang orifice dihitung dengan:
𝑄
Vo = 𝐴 ............................................................................................ (2.16)

Sedangkan waktu detensinya (td) adalah


𝑉
td = 𝑄 ............................................................................................. (2.17)

dan waktu pengendapan (Vs) dihitung dengan persamaan :


𝑄
Vs = 𝐴 =S ...................................................................................... (2.18)
𝑠

Keterangan:
Q = debit aliran air (m3/jam)
V = volume bak sedimentasi (m3)
Vo = kecepatan horizontal (m/jam)
Td = waktu detensi (jam)
A = luas rata-rata permukaan bak (m2)
Menurut Darmasetiawan (2001), karakteristik aliran bak sedimentasi dapat
diperkirakan dengan bilangan Reynolds (Re) dan bilangan Froude (Fr) :
vR
Re   500 .............................................................................. (2.19)

v2
Fr   105 ............................................................................. (2.20)
g.R

Keterangan:

II-13
V = kecepatan aliran (m/det)
R = radius hidrolis (m)
A
R ..................................................................................... (2.21)
P
A = luas area yang dilewati (m2)
P = keliling basah (m)
Kriteria desain unit sedimentasi dapat dilihat pada tabel 2.5 di bawah ini.

Tabel 2. 5 Kriteria Desain Unit Sedimentasi


No Keterangan Unit Kawamura Reynolds Darmasetiawan Montgomery
1 Kec.Aliran m/det - - < 0,3 -
2 Diameter m - 4,5-9 - -
3 Tinggi Bak m 3-5 1,8-5 - -
4 Nre < 2000 - <500 < 2000
5 NFr >105 - >105 >105
6 Td Jam 1-3 2-8 1-2 2-4
7 Kec.Pengenda- m/jam 1,2-1,4 1-2 -
pan
8 Tinggi air m - - - 3-5
9 Kec.Horizontal m/det - - - 2,5.10 -1,5.10-3
-3

10 Weir loading m2/jam 7 20,4-37,35 - 5,8-11,25


Sumber: Kawamura, 1991; Reynolds, 1982; Darmasetiawan, 2001; Montgomery, 1985
Faktor lain yang juga penting dalam merancang dan pengoperasian bak
sedimentasi adalah overflow rate atau yang biasa disebut surface loading. Rumus yang
digunakan adalah :
𝑄
𝑉𝑜 = 𝐴 ........................................................................................... (2.22)
𝑠

Keterangan :
Vo = Overflow rate (m3/m2.hari)
Q = Debit rata-rata (m3/hari)
As = Luas permukaan bak sedimentasi (m2)
Overflow rate dapat diibaratkan sebagai kecepatan rata-rata air dalam bak
pengendapan. Faktanya, ini lebih mudah dilihat bahwa overflow rate sebenarnya sama
dengan kecepatan, dengan menghilangkan satuan pada SI : m3/m2.hari = m/hari
(Nathanson, 2000).

II-14
2.7.5.1 Zona Inlet
Pada zone inlet air yang masuk diasumsikan langsung merata pada potongan
melintang di dalam bak pengendap, dengan tingkat kandungan SS (suspended solid)
yang homogen ketidatmerataan pada zone inlet ini akan dapat menghasilkan turbulensi
sehingga dapat meruntuhkan bentukan flok yang telah terbentuk di flokulator.
Untuk menghindari ini secara umum aliran air harus mempunyai kecepatan aliran
tidak boleh melebihi 0.3 meter/detik secara stream line masuk ke dalam bidang
pengendapan.
Zone inlet juga dapat berupa pipa lateral yang berlubang yang mengarah ke
bawah, sehingga air yang keluar dapat dibagi merata sepanjang bidang pengendapan,
hal ini banyak dilakukan pada pengendapan dengan plat miring.
Kehilangan tekanan pada pipa inlet dihitung berdasarkan persamaan :
𝑉𝑜 2
𝐻𝑓 = ........................................................................................ (2.23)
2𝑔

Keterangan:
Vo = kecepatan air pada saat melalui lubang (m/det)

2.7.5.2 Zona Pengendapan


Unformitas dan turbulensi aliran pada bidang pengendap sangat berpengaruh.Oleh
sebab itu bilangan fraude yang menggambarkan tingkat unformitas aliran dan turbulensi
aliran yang digambarkan oleh bilangan Reynold harus memenuhi kriteria yang telah
dientukan. Menurut Darmasetiawan (2001),pada bak pengendap yang menggunakan
tube setler berlaku rumus :
Beban permukaan
𝑄
So = 𝐴 ............................................................................................. (2.24)
𝑤
So’= So(𝐻𝑐𝑜𝑠𝛼+𝑤𝑐𝑜𝑠2 𝛼) .................................................................. (2.25)
𝑄
Kecepatan pengendapan, Vo= 𝐴 sin 𝛼 ...................................................... (2.26)
𝐵𝑤
Radius hidrolis , R= 2(𝐵+𝑤) ................................................................ (2.27)

𝑉𝑜 2
Bilangan Froud, Fr =𝑉 2 𝑔 .................................................................... (2.28)
𝑉𝑜𝑥𝑅
Bilangan Reynold, Re= .................................................................. (2.29)
𝑣

Keterangan:

II-15
Fr = bilangan Fraude Fr > 10-5
Re = bilangan Reynold Re < 500
Vo = kecepatan miring (m/det)
Vs = kecepatan pengendapan (m/det)
R = radius hidrolik (m)
𝑣 = viskositas kinematik (1,306x10-6 m/det pada suhu 10oC)
w = jarak antar plat (m)
α = kemiringan plat (o)
2.7.5.3 Zona Outlet
Weir berbentuk bergerigi dengan bentuk V dengan sudut alfa yang sering disebut
juga v-notch dibuat berdasarkan fakta tentang adanya kesulitan dalam upaya meratakan
aliran pada weir yang berbentuk datar. Menurut Darmasetiawan (2001), perhitungan
weir bentuk v-notch menggunakan persamaan-persamaan berikut :
Ketinggian air pada v-notch,
𝑄𝑡𝑖𝑎𝑝𝑔𝑢𝑡𝑒𝑟 2/5
𝑁𝑡𝑖𝑎𝑝𝑔𝑢𝑡𝑡𝑒𝑟
h = (2 𝛼 ) ........................................................... (2.30)
𝑥𝐶𝑑(2𝑔)1/2 2 tan( )
3 2

Kecepatan air yang jatuh melalui 1 buah v-notch,


v = (2 g h) ½ .................................................................................. (2.31)
Debit tiap v-notch,
2 𝛼
Q = 3 𝑥𝐶𝑑(2𝑔)1/2 2 tan ( 2 ) h 5/2 ................................................... (2.32)

Keterangan:
h = ketinggian air pada v-notch (m)
Cd = koefisien gesek (untuk v-notch=0,6)
Qtiap gutter = debit tiap gutter (m3/det)
Ntiap gutter = jumlah v-notch tiap gutter
2.7.5.4 Zona Lumpur
Bagian penting lainnya dalam sistem pengendapan adalah penampung
lumpur.Lumpur yang dihasilkan oleh bak pengendap berasal dari hasil endapan flok
pada dasar bak pengendap. Banyaknya lumpur sangat ditentukan oleh tingkat kekeruhan
air baku atau secara teknis tergantung dari kandungan zat padat terlarut yang berhasil
diendapkan Darmasetiawan (2001). Menurut lin & lee,(2001)penyisihan partikel yang
terlarut didalam unit merupakan faktor penyisihan padatan yang menjadi pemasok

II-16
lumpur pada zona sedimentasi Perhitungan penyisihan padatan yang terbentuk dihitung
dengan :
S1 = Total penyisihan partikel (mg/liter) x debit (m3/detik) ......... (2.33)
Keterangan:
S1 = lumpur yang terbentuk dari penyisihan partikel per hari (kg/hari)
Selain partikel tersisih, residu koagulan juga merupakan pemasok padatan
lumpur,sebagai contoh koagulan PAC (Poly aluminium Chloride), sehingga reaksinya
di dalam air yaitu :
Al2O3 + 3 HCO3- 2 Al(OH)3 ↓ + CO2
 2 Mr Al(OH) 3 
S 2  Dosis Al 2 O 3 x Q x  6
 x (1 kg/10 mg) x 1 hari
 Mr Al 2 O 3 
Keterangan:
S2 = lumpur yang terbentuk dari residu PAC (kg/hari)
Q = debit harian rata-rata IPA (m3/detik)
Sehingga untuk mendapatkan debit total lumpur pada unit sedimentasi digunakan
perhitungan :
 Stotal kg/hari  1 hari  1.000 L 
Q lumpur      
1.000 kg/ m x  lumpur x %lumpur   (Tbuang ).(...kali /hari).(h ari )   1 m 
3 3

Keterangan:
Stotal = S1 + S2 (kg/hari)
Massa jenis lumpur 1,01 – 1,2 dari massa jenis air (diambil 1,05)
Persentase lumpur = 0,04
2.7.6 Accelator
Accelator clarifier merupakan salah satu unit sludge recirculation. Pada unit ini
lumpur yang terbentuk dipisahkan dari air bersih di settling zone. Air bak yang sudah
ditambahkan oleh koagulan pada proses koagulasi di masukan kedalam zona flokulator
dengan proses mixing. Accelator clarifier mempunyai zona flokulator di tengah yang
dikelilingi oleh zona pengendapan. 2 zona tersebut berhubungan dari atas sampai ke
bawah. Turbin atau impellernya terletak pada bagian atas pada zona flokulator. Impeller
ini berfungsi untuk mengadukan pengadukan cepat. Lumpur yang sudah terendapkan
pada zona pengendapan akan kembali pada zona flokulator secara kontinyu
(Degremont, 1991).

II-17
Gambar 2. 3 Accelator Clarifier
Sumber : Degremont, 1991
2.7.7 Filtrasi
Menurut Reynolds (1982) filtrasi adalah pemisahan zat padat-cair yang mana zat
cair dilewatkan melalui media berpori atau material berpori lainnya untuk menyisihkan
padatan tersuspensi yang halus. Proses ini digunakan untuk menyaring secara kimia air
yang sudah terkoagulasi dan terenjdapkan agar menghasilkan air minum dengan kualitas
yang tinggi.
Menurut Peavy (1985), dalam penjernihan air bersih dikenal dua macam saringan
yaitu saringan pasir lambat dan saringan pasir cepat. Yang dimaksud dengan saringan
pasir cepat atau Rapid Sand Filter (RSF) adalah filter yang menggunakan dasar pasir
silika dengan kedalaman 0,6– 0,75 m. Ukuran pasirnya 0,35–1,0 mm.
Pencucian filter pasir cepat dilakukan dengan cara backwash. Pertama-tama aliran
inlet ditutup dan air dalam filter dibuang sampai beberapa sentimeter dibawah lapisan
pasir teratas. Kemudian selama kurang lebih 2-3 menit, filter ditiup dengan udara untuk
melepaskan kotoran yang menempel pada pasir, kemudian dilakukan pembersihan
dengan back wash, kotoran ataupun endapan tersuspensi yang tertinggal pada filter akan
ikut terekspansi dan bersama air pencuci dikeluarkan melalui gutter. Kriteria desain unit
filtrasi dengan saringan pasir cepat dapat dilihat di tabel 2.6.
Tabel 2. 6 Kriteria Desain Unit Filtrasi dengan RSF
No Keterangan Unit Kawamura Al-Layla Reynolds Darmasetiawan Peavy
1 Kec.
m/jam 5-7,5 4,8-15 4,9-12,2 7–10 2,5-5
Penyaringan
2 Ukuran pasir mm - - 0,3 – 0,7 - 0,35-1,0
3 Tinggi filter m 3,2-6 0,6 - 0,8 0,3-0,6 -
4 Tinggi bak -
m - - < 18 2,4-5
filtrasi
5 Ø bak filtrasi m - - 3-4 1-6 -

II-18
No Keterangan Unit Kawamura Al-Layla Reynolds Darmasetiawan Peavy
6 Luas filter m2 - - - 25–80 -
7 Air Pencuci 1-5 % Q 1-6 % Q 1-5 % Q - -
8 Waktu - -
menit - 10 3-10
pencucian
9 Kec. -
m/jam - 56 - 18-25
backwash
10 Ekspansi pasir - 90-160 20–0 h -
11 Tinggi air di cm - 90-160 90-120 300-400 -
atas media
12 Headloss m - 0,2-3 - - -
filter bersih
Sumber: Kawamura, 1991; Al-Layla, 1977; Reynolds, 1982; Darmasetiawan, 2001;
Peavy, 1985
Kehilangan tekan melalui media berpori dengan bed bersih yang mempunyai
diameter yang relatif seragam dapat dihitung dengan persamaan Rose dengan rumus
(reynolds, 1982).
1,067 CD vf 2 1
hL   D  4  ................................................... (2.34)
 g  Dp

Keterangan:
hL = kehilangan tekanan (m)
Ψ = faktor bentuk (sphericity) media filter
CD = koefisien drag
g = percepatan gravitasi (m/s2)
D = kedalaman bed (m)
Vf = kecepatan aliran (m/s)
ε = porositas
Dp = diameter butiran (m)
NRe = bilangan Reynolds
Koefisien drag untuk NRe< 1 adalah
24
CD  ..................................................................................... (2.35)
N Re
dan untuk NRe> 1 tetapi < 104 adalah
24 3
CD    0,34 ........................................................... (2.36)
N Re N Re

II-19
sedangkan untuk bilangan Reynolds dapat dihitung dengan
.Dp .v f
N Re  ........................................................................... (2.37)

Menurut Darmasetiawan (2001), headloss atau kehilangan tekanan pada
underdrain sangat tergantung pada jenis underdrain yang dipakai. Underdrain dapat
berupa :
1) Plat dengan nozzle
2) Teepee dengan lubang di samping
3) Pipa lateral pada manifold
Pada semua jenis underdrain tersebut, diasumsikan headloss yang berlaku pada
lubang mengikuti persamaan :
v2
hv  k ..................................................................................... (2.38)
2g
Dimana K adalah koefisien headloss yang tergantung pada jenis underdrain.
Untuk nozzle, K = 1–3 sedangkan untuk lubang teepee atau pipa lateral K = 1-2.
Kecepatan filtrasi melewati lubang adalah 0,2 m/dtk.
Kecepatan backwash (Vbw)
Vbw = 6 Vf ................................................................................... (2.39)

Porositas sebelum terekspansi (Po):


1 1 1
 4,5
 w  3, 6
v 3
Po  2,95      .................................. (2.40)
 s  w
1 1

g 3, 6  Dp 2

Porositas saat ekspansi (Pe):


1 1 1
 4,5
 w  3, 6
v bw 3
Pe  2,95      .................................. (2.41)
 s  w
1 1

g 3, 6  Dp 2

Persentase ekspansi:
𝑃𝑒−𝑃𝑜
% 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑎𝑛𝑠𝑖 = × 100% .................................................... (2.42)
1−𝑃𝑒

Tinggi ekspansi:
𝐿𝑒−𝐿𝑝
% 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑎𝑛𝑠𝑖 = × 100 ........................................................ (2.43)
𝐿𝑝

II-20
Keterangan:
ν = viskositas kinematik (m2/det)
ρw = densitas air (kg/m3)
ρs = densitas partikel media (kg/m3), misalnya pasir
Dp = ukuran butiran (m)
Lp = kedalaman media (m)
Le = tinggi media terekspansi (m)
2.7.8 Reservoir
Pada umumnya reservoir diletakkan di dekat jaringan distribusi dengan ketinggian
yang cukup untuk mengalirkan (mendistribusikan) air bersih/minum secara baik dan
merata ke seluruh daerah pelayanan. Tinggi efektif air di dalam reservoir sekitar 3–6 m
dengan jarak freeboard ±30 cm. Menurut Darmasetiawan (2001), waktu detensi di
dalam reservoir adalah 4 jam. Reservoir dapat dibedakan berdasarkan posisi
penempatannya yaitu ground reservoir dan elevated reservoir. Dari kedua jenis reservoir
tersebut, jenis yang paling sering digunakan di Indonesia adalah ground reservoir yaitu
reservoir yang penempatannya pada pemukaan tanah. Waktu tinggal di reservoir dapat
dihitung dengan menggunakan rumus:
Td = 𝑉/𝑄 ....................................................................................... (2.44)
Keterangan:
Td = waktu tinggal air (detik)
Q = debit air di reservoir (m3/detik)
V = volume reservoir (m3).
2.7.9 Desinfeksi
Desinfeksi yang umum digunakan adalah dengan cara klorinasi, walaupun ada
beberapa cara lain seperti dengan ozon dan ultra violet (UV) yang jarang digunakan.
Sebagai desinfektan, pembubuhan klorin dilakukan di lokasi reservoir disebut sebagai
postklorinasi. (Darmasetiawan, 2001).
Faktor yang mempengaruhi efisensi desinfeksi adalah :
 waktu kontak
 konsentrasi desinfektan
 Jumlah mikroorganisma
 pH

II-21
 adanya senyawa lain dalam air.
Senyawa klor dalam air akan bereaksi dengan senyawa organik dan senyawa
anorganik tertentu membentuk senyawa baru. Beberapa bagian klor akan tersisa yang
disebut sisa klor. Pada awalnya sisa klor ini merupakan klor terikat, selanjutnya jika
dosis klor ditambahkan maka sisa klor terikat akan semakin besar, dan pada suatu ketika
tercapai kondisi “break point chlorination“. Penambahan dosis klor setelah titik ini akan
memberikan sisa klor yang sebanding dengan penambahan klor. Perhitungan kebutuhan
klor yaitu :
F(mg/L). D(m3/det). 3600(det/jam)
Cl (kg/jam)  ..................................................... (2.45)
106
Keterangan:
F = dosis pembubuhan (mg/L)
D = debit (m3/detik).

II-22
II-23

Anda mungkin juga menyukai