Anda di halaman 1dari 36

A.

JUDUL : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN


REKAMAN CCTV SEBAGAI BUKTI PELANGGARAN
LALU LINTAS

B LATAR BELAKANG

Dengan perkembangan yang terjadi khususnya di Indonesia salah

satunya adalah perkembangan lalu lintas. Kita tahu bahwa dengan terjadinya

perkembangan lalu lintas maka pasti ada yang namanya masalah yang perlu

diatasi oleh pihak siapapun yang ingin bersimpatik termasuk masyarakat dan

secara khususnya atau secara luasnya adalah pemerintah yang terkait. Masalah

yang benar-benar diperhatikan adalah salah satunya masalah lalu lintas

termasuk pada pelanggaran lalu lintas yang dilakukan manusia sendiri.

Pelanggaran lalu lintas adalah masalah penyebab sebagian besar kecelakaan

lalu lintas. Terutama karena faktor manusia pengguna jalan yang tidak patuh

terhadap peraturan lalu lintas. Namun dapat juga ditemukan penyebab di luar

faktor manusia seperti ban pecah, rem blong, jalan berlubang dan lain-lain.

Demikian juga masalah kemacetan lalu lintas, data menunjukkan bahwa

kemacetan itu diakibatkan oleh pelanggaran yang dilakukan oleh pemakai atau

pengguna jalan. Adapun faktor lain yang menjadi penyebab kemacetan selain

pelanggaran lalu lintas seperti volume kendaraan yang tinggi melalui ruas jalan

tertentu, kondisi jalan dan infrastruktur jalan yang kurang memadai.

Perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman terhadap aturan yang

berlaku mengakibatkan suatu kesenjangan yang berpotensi memunculkan

permasalahan dalam berlalu lintas, baik antar pengguna jalan itu sendiri

maupun antar pengguna jalan dengan aparat yang bertugas untuk


melaksanakan penegakan hukum di jalan raya. Hal tersebut bisa dilihat dari

angka kecelakaan lalu lintas yang terus meningkat setiap tahunnya dan tidak

sedikit masyarakat yang melanggar peraturan-peraturan lalu lintas sehingga

pemerintah maupun kepolisian harus semakin ketat dan tegas untuk masalah

lalu lintas, Dalam hal ini seseorang juga tunduk kepada hukum bukan lantaran

keinginannya sendiri, melainkan karena negara atau masyarakat memberi

kekuatan mengikat kepada hukum itu sehingga setiap orang harus tunduk

kepada hukum itu.1 Seharusnya tunduk kepada hukum itu karena keinginan

sendiri karena dengan keinginan sendiri maka tidak akan melanggar peraturan

yang dibuat guna demi keselamatan diri sendiri dalam berlalu lintas. hal

tersebut juga untuk mengurangi atau menekan tingkat kecelakan lalu lintas.

Perkembangan sistem tilang menggunakan rekaman CCTV di Korps

Lalu Lintas, tentunya merupakan suatu keniscayaan mengikuti perkembangan

teknologi yang sedemikian pesat. Dapat dipahami bahwa sistem ini sangat

efektif dalam kerangka membuktikan terjadinya tindak pidana pelanggaran lalu

lintas. Pengendara tidak akan pernah lagi bisa ingkar, manakala kepadanya

ditunjukkan bukti rekaman CCTV pelanggaran yang dilakukannya. Cara kerja

CCTV ini cukup praktis dan sederhana, CCTV akan terus memantau semua

kejadian yang perilaku pengendara di jalan raya dan di titik-titik tertentu yang

sering terjadi pelanggaran. CCTV tersebut terhubung dengan

sebuah speaker untuk mengingatkan dan menindak pengandara secara

1
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group, hlm.
80.
langsung jika pelanggaran dianggap ringan. Selanjutnya, jika ada pelanggaran

lalu lintas, CCTV akan menangkap gambar atau merekam pelanggaran

tersebut, kemudian gambar dan video itu nantinya akan diolah untuk

mendapatkan identitas pengendara seperti nomor plat kendaraan, identitas

pengendara, hingga alamat di mana pengendara tersebut tinggal.

Perkembangan lalu lintas bisa menyebabkan pengaruh positif maupun

negatif bagi kehidupan dilingkungan masyarakat apalagi didaerah yang sudah

maju dan berkembang. Dampak positif lainnya adalah, sistem baru ini dapat

menutup peluang yang terkadang masih dilakukan oleh segelintir oknum

anggota Polisi Lalu Lintas yang masih mau menerima suap uang damai jika

menindak langsung pengendara di jalanan.

Pada dasarnya pelanggaran lalu lintas merupakan pelanggaran yang

kasat mata. Sebagai buktinya dapat dikuatkan dengan alat perangkat elektronik

seperti kamera CCTV. Nantinya kamera itu akan dijadikan alat bukti

sebagaimana diatur dalam Pasal 272 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ.

Prosedur sistem tilang berdasarkan rekaman CCTV ini adalah dengan

mengirimkan surat tilang ke alamat pemilik kendaraan yang kendaraannya di

jalanan terekam kamera CCTV melakukan tindak pidana pelanggaran lalu

lintas. Data kepemilikan tersebut dapat dilacak berdasarkan Tanda Nomor

Kendaraan Bermotor yang terpasang pada kendaraan bermotor.

Konstruksi denda tilang itu adalah denda dalam domain hukum pidana.

Denda pidana merupakan salah satu bentuk pidana pokok sebagaimana diatur

dalam Pasal 10 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Denda tilang


sama sekali bukanlah merupakan bentuk sanksi administratif. Masalah hukum

terkait tilang berdasarkan rekaman CCTV bisa jadi tidak muncul apabila

kebetulan saja, pemilik kendaraan sekaligus sedang bertindak sebagai

pengendara kendaraan bermotor yang terekam CCTV pada saat melakukan

pelanggaran. Menurut J. Bauman mengatakan, tindak pidana adalah perbuatan

yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman bagi

siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana adalah perbuatan yang

oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam hal itu

di ingat bahwa larangan ditujukan kepada (yaitu suatu keadaan atau suatu

kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang).2

Tetapi, harus disadari bahwa kenyataan di lapangan, tidak selamanya

pengendara kendaraan bermotor adalah pemilik atas kendaraan yang sedang

dikendarainya. Hal di atas senada dengan pendapat M. Yahya Harahap bahwa

tegakkanlah hukum dengan cara pendekatan yang manusiawi yang menjunjung

tinggi human dignity. Yang mewajibkan pejabat penegak hukum melakukan

pemeriksaan dengan cara pendeteksian yang ilmiah atau dengan metode

scientific crime detection, yakni cara pemeriksaan tindak pidana yang

berlandaskan kematangan ilmiah, dan menjauhkan diri dari cara pemeriksaan

konvensional.3

2
Masruchin Ruba’i. 2014. Hukum Pidana. Malang: Bayumedia Publishing Anggota
IKAPI, hlm. 80.
3
M. Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 5.
Secara objektif diakui bahwa, meminjamkan kendaraan ataupun

menyewakan kendaraan bermotor milik kita untuk dipakai oleh orang lain

sama sekali bukanlah suatu perbuatan yang melanggar hukum. Apabila

kemudian si pemakai kendaraan pada saat mengendarai kendaraan yang bukan

miliknya itu melakukan pelanggaran lalu lintas, pertanyaan besarnya adalah

haruskah pemilik kendaraan yang memikul beban pemidanaan atas suatu

tindak pidana yang sama sekali tidak dilakukannya. Hal yang kontradiktif juga

terlihat dalam ketentuan ICCPR (International Convenant on Civil and

Political Rights): setiap orang mempunyai hak kebebasan dan keamanan. Tiada

seorang pun boleh ditangkap atau ditahan dengan sewenang-wenang. Tiada

seorang pun boleh dirampas kemerdekaannya kecuali berdasarkan alasan yang

sah menurut tata cara berdasar ketentuan undang-undang.4

Dalam ketentuan Pasal 211 KUHAP, pembicaraan mengenai konsep

Tilang tidaklah mungkin dilepaskan dari pembahasan mengenai proses

penjatuhan pidana. Hal ini disebabkan, Proses Tilang atas Pelanggaran Lalu

Lintas merupakan manifestasi konkret dari konsep Acara Pemeriksaan Cepat

dalam konstruksi Hukum Acara Pidana karena hukum pidana disebut juga

hukum pidana formal untuk membedakannya dengan hukum pidana material.

Hukum pidana material atau hukum pidana itu berisi petunjuk dan uraian

tentang delik peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidana sesuatu perbuatan,

petunjuk tentang orag yang dapat dipidana dan aturan tentang pemidanaan

4
Djoko Prakoso. 1986. Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahap
Penyidikan. Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 38-39.
(mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan).5 Secara

objektif menekankan pemikirannya bahwa sama sekali tidak dibenarkan orang

diproses untuk dijatuhi pidana atas suatu perbuatan pidana yang tidak

dilakukannya. Tanpa disadari, apabila sistem ini dipaksakan tentu saja rentan

terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia atas adanya seseorang tak bersalah,

namun harus menerima nestapa pemidanaan. Selain itu penerapan Undang-

Undang Lalu Lintas tersebut tunduk pada KUHAP. Penjatuhan sanksi terhadap

pengendara yang diberi bukti pelanggaran, lanjut dia, tetap harus melalui

mekanisme persidangan. Sanksi berupa denda yang nantinya harus dibayar

bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan bermotor, kata dia, tidak bisa

diterapkan begitu saja.

Dari uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam

bentuk tesis dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

PENGGUNAAN REKAMAN CCTV SEBAGAI BUKTI

PELANGGARAN LALU LINTAS”.

C. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dalam penulisan tesis ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian rekaman CCTV pelanggaran lalu

lintas ?

5
Andi Hamzah. 1983. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia,
hlm. 15.
2. Bagaimanakah upaya hukum pelaku pelanggaran lalu lintas yang ditilang

berdasarkan bukti rekaman CCTV ?

D. TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Teori

a. Teori Kepastian Hukum

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua

pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum

membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak

boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu

dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang

bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh

dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis

Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia

hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom,

yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain

hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak

lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian

hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya

membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari

aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan


untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-

mata untuk kepastian.6

Menurut Lon Fuller hukum itu dapat memenuhi nilai-nilai

kepastian apabila di dalamnya terdapat 8 (delapan) asas, yang dapat

diuraikan sebagai berikut:

1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak

berdasarkan putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu.

2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik.

3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas.

4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.

5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.

6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang

bisa dilakukan.

7. Tidak boleh sering diubah-ubah.

8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-

hari.

Asas-asas tersebut mengandung makna bahwa hukum dapat

dikatakan akan memiliki nilai kepastian jika hukum itu ada atau dibuat

sebelum perbuatan yang diatur dalam hukum tersebut ada (asas

legalitas). Kepastian ini juga menjadi tujuan dari hukum disamping

tujuan yang lain yaitu keadilan dan kemanfaatan.

6
Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis. Jakarta:
Penerbit Toko Agung, hlm. 82-83.
Menurut aliran normatif-dogmatik yang dianut oleh John

Austin dan van Kan, menganggap bahwa pada asasnya hukum adalah

semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum. Bahwa hukum

sebagai sesuatu yang otonom atau hukum dalam bentuk peraturan

tertulis. Artinya, karena hukum itu otonom sehingga tujuan hukum

semata-mata untuk kepastian hukum dalam melegalkan kepastian hak

dan kewajiban seseorang.7 Sifat umum dari aturan-aturan hukum

membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan

keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.8

Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan

ketertiban dalam masyarakat karena kepastian hukum

(peraturan/ketentuan umum) mempunyai sifat sebagai berikut :

1) Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas

mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan

peran alat-alatnya;

2) Sifat Undang-Undang yang berlaku bagi siapa saja.9

Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, ia tidak

mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk,

yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian

hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai

7
Marwan Mas. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 74.
8
Ahmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis). Jakarta:
Gunung Agung, hlm. 82-83.
9
Fernando M. Manullang. 2007. Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat
dan Antitomi Nilai. Jakarta: Kompas Media Nusantara, hlm. 94-95.
sikap batin yang buruk, akan tetapi yang diberi sanksi adalah

perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut atau menjadikannya

perbuatan yang nyata atau konkrit. Namun demikian dalam

prakteknya apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan, maka

akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini

dikarenakan satu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan

prinsip-prinsip keadilan dan sebaliknya tidak jarang pula keadilan

mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum.

Kepastian hukum sebagaimana keadilan dan kemanfaatan

hukum, dimana seperti bentuk doktrin yang mengajarkan kepada

setiap pelaksana dan penegak hukum untuk mendaya gunakan hukum

yang sama pada kasus yang sama, demi terkendalikannya kepatuhan

warga agar ikut menjadi ketertiban dalam setiap aspek kehidupan.

Kepastian hukum menurut Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata

mengharapkan terwujudnya kepastian hukum dalam hubungan

kontraktual dengan melarang kontrak ditarik kembali selain sepakat

kedua belah pihak atau harus ada alasan yang cukup menurut Undang-

Undang,10 begitu pula halnya dengan suatu kesepakatan atas

pemisahan harta perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan,

diharapkan dengan teori Kepastian Hukum tidak adanya hukum yang

10
Fakriansa. Perlindungan Hukum Terhadap Event Organizer dalam Kontrak
Penyelenggaraan Konser Musik. (Jurnal Penelitian Hukum, volume 1 nomor 2 Januari, 2012), hlm.
218.
kontradiktif, agar tidak multitafsir serta dapat dilaksanakan sesuai

dengan hak dan kewajibannya.

Kepastian hukum dalam the concept of law karya H.L.A. Hart

mengomentari kepastian hukum dalam undang-undang. Beliau

berpendapat bahwa kadang-kadang kata dalam sebuah undang-

undang dan apa yang diperintahkan undang-undang tersebut dalam

suatu kasus tertentu bisa jadi jelas sekali, namun terkadang mungkin

ada keraguan terkait dengan penerapannya. Keraguan itu terkadang

dapat diselesaikan melalui interpretasi atas peraturan hukum lainnya.

Hal inilah menurut H.L.A Hart salah satu contoh ketidakpastian (legal

uncertainty) hukum.11

Dalam suatu undang-undang, kepastian hukum (certainty)

meliputi dua hal pertama, kepastian hukum dalam perumusan norma

dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang

lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan

maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar

undang-undang tersebut. Kedua, kepastian hukum juga berlaku dalam

melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum undang-

undang tersebut.

Jika perumusan norma dan prinsip hukum sudah memiliki

kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti

11
H.L.A. Hart. 2013. The Concept of Law. (New York: Clarendon Press-Oxford)
diterjemahkan oleh M. Khozim. Konsep Hukum. Bandung: Penerbit Nusamedia, hlm. 230.
hanya demi undang-undang semata-mata (law in the books),

Kepastian hukum seperti ini tidak akan dan tidak pernah menyentuh

kepada masyarakatnya. Pendapat ini mungkin peraturan hukum yang

demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodregel)atau

hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.

Argumentasi yang didasarkan pada asas-asas, dan norma-

norma, serta ketentuan-ketentuan hukum sesungguhnya memiliki

argumentatif yang didasarkan pada kepastian hukum. Mahfud MD

mengatakan sebenarnya kedua belah pihak yang berhadapan dalam

kontroversi hukum hanya mendasarkan pada pandangan dan

argumentasi menurut logika pilihannya sendiri, bukan menurut

undang-undang. Pendapat ini merupakan sebuah protes terhadap

kepastian hukum dalam undang-undang sehingga orang yang

bersengketa beralih untuk mendasarkan pada pandangan dan

argumentasi menurut logika pilihannya sendiri.12

Faisal dalam pandangan lain melihat dari segi putusan-putusan

para hakim pengadilan, dalam sarannya mengatakan hakim harus

dijiwai oleh tiga nilai dasar yaitu, keadilan, kemanfaatan, dan

kepastian hukum. Pendapat ini muncul sesuai dengan realitas yang

menunjukkan kecenderungan terjadi pertentangan antara nilai yang

satu dan nilai yang lainnya. Bila telah terjadi pertentangan antara

12
Mahfud MD. 2014. Politik Hukum di Indonesia Cet ke-6. Jakarta: RajaGrafika Persada,
hlm. 59.
keadilan dan kepastian hukum muncul pula pertanyaan, nilai manakah

yang harus didahulukan.13 Masalah kepastian hukum masih menjadi

perdebatan ketika memperhatikan perkara-perkara tertentu, terutama

di kalangan para hakim yang mempertimbangkan dalam putusannya

secara berbeda-beda.

Kepastian hukum pada negara hukum (rechtstaat) dalam

sistem eropa kontinental (civil law) positivistik hukum merupakan

prioritas utama meskipun dirasakan sangat tidak adil, namun

setidaknya menimbulkan kepastian hukum dalam arti law in the

books. Apakah kepastian hukum dalam arti law in the books tersebut

akan pasti dilaksanakan secara substantif, maka dalam hal ini

bergantung pada aparatur penegak hukum itu sendiri. Walaupun law

in the books mencerminkan suatu kepastian hukum, namun jika

aparatur penegak hukum itu sendiri tidak menjalankan tugas dan

fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tetap saja

dikatakan tidak ada kepastian hukum.

Menurut Mahmul Siregar mengatakan kepastian hukum itu

harus meliputi seluruh bidang hukum.14 Kepastian hukum tidak saja

meliputi kepastian hukum secara substansi tetapi juga kepastian

hukum dalam penerapannya (hukum acara) dalam putusan-putusan

13
Faisal. 2012. Menerobos Positivisme Hukum. Bekasi: Gramata Publishing, hlm. 162.
14
Mahmul Siregar. Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan
Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia. (Medan: Fakultas Hukum USU, tanpa
tahun), hlm. 4.
badan peradilan.15 Antara kepastian substansi hukum dan kepastian

penegakan hukum seharusnya harus sejalan, tidak boleh hanya

kepastian hukum bergantung pada law in the books tetapi kepastian

hukum yang sesungguhnya adalah bila kepastian dalam law in the

books tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan

prinsip-prinsip dan norma-norma hukum dalam menegakkan keadilan

hukum.

Cicut Sutiarso menyarankan kepastian hukum yang

berdasarkan keadilan menurutnya harus selalu ditanamkan untuk

menciptakan budaya hukum yang tepat waktu.16 Mungkin dari

pendapat ini kepastian hukum akan lebih ampuh bila para penegak

hukum membiasakan diri untuk membudidayakan penegakan hukum

(rule of law) secara pasti, tidak pandang bulu, sesuai dengan prinsip

equality before the law terhadap semua orang. Inilah gambaran suatu

kepastian hukum.

Bila kepastian hukum menjadi primadona dalam penegakan

hukum, di lain sisi tidak pula mampu menimbulkan keadilan, karena

kepastian hukum dapat menimbulkan seolah-olah hukum tidak

berpihak kepada orang yang butuh perlindungan hukum. Munculnya

hukum moral (morality law) sebagai bukti bahwa kepastian hukum

harus diubah dengan paradigma baru bilamana harus dipertimbangkan

15
Ibid.
16
Cicut Sutiarso. 2011. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hlm. 160.
secara naluri dan hati nurani hakim-hakim pengadilan. Para hakim

akan dikatakan tidak adil bila hanya bersandar pada apa yang

dituliskan di dalam undang-undang belaka, tanpa mampu menggali

nilai-nilai keadilan di dalam undang-undang. Hakim dalam melihat

undang-undang bukan lah seperti kuda pakai kaca mata yang hanya

boleh melihat ke depan tanpa boleh melihat ke lain sisi untuk

mempertimbangkan hukum berdasarkan hati nurani.

2. Teori Pembuktian

Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam

alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan

cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan cara

bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya.17 Pembuktian

tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang

didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam

hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya

jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan

perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai

keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum

acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda

dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran

formal.

17
Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana.
Bandung: Mandar Maju, hlm. 11.
Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat

dalam proses pemeriksaan persidangan adalah:18

1) Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk

meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar

menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau

catatan dakwaan.

2) Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan

usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan

alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau

dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya.

Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin harus

mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau

meringankan pihaknya.

3) Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya

alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari

penuntut umum atau penasihat hukum/ terdakwa dibuat dasar

untuk membuat keputusan.

Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang

secara Negatif (Negatief Wettelijk). Menurut sistem ini, dalam hal

membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-

alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-

18
Ibid. hlm. 13.
undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa

terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang

dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari

alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan

pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu alat-alat bukti dan

keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak

berdiri sendiri-sendiri.19

Pemeriksaan perkara pidana di pengadilan tugas hakim adalah

untuk mencari dan menemukan kebenaran yaitu bahwa tindak pidana

yang didakwakan terhadap terdakwa benar-benar telah terjadi dan ia

dapat dipersalahkan melakukan perbuatan itu. Oleh karena itu di

depan persidangan hakim berupaya merekonstruksi kebenaran

peristiwa yang ada. Merekonstruksi peristiwa adalah membuktikan

kebenaran peristiwa tersebut. Masalah pembuktian ini merupakan

masalah yang pelik (ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian

menempati titik sentral dalam hukum acara pidana.

Pembuktian menurut Yahya Harahap adalah ketentuan-

ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara

yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa.20 Menurut Bambang Poernomo

pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau aturan undang-

19
Adami Chazawi. buku 1, op.cit., hlm. 28.
20
Yahya Harahap. Op, Cit., hlm. 36.
undang mengenai kegunaan untuk merekonstruksi suatu kenyataan

yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan

persangkaan terhadap orang lain yang diduga melakukan perbuatan

pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum

yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.21

Dilihat dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik

kesimpulan inti dari hukum pembuktian adalah :

a. Hukum pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang

memberikan pedoman mengenai cara-cara untuk membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa yang dibenarkan

oleh undang-undang.

b. Hukum pembuktian mengatur mengenai jenis-jenis alat bukti

yang boleh digunakan hakim dan diakui undang-undang yang

digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

c. Hukum pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur cara

menggunakan maupun menilai kekuatan pembuktian dari

masing-masing alat bukti.

Secara teoritis teori tentang pembuktian ada 4 (empat) macam, yaitu :

a. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara

positif (positief wettelijke bewijs theorie)

21
Bambang Poernomo. Op. Cit., hlm. 38.
Menurut sistem ini, dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat

bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian

berdasar undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif,

karena hanya didasarkan kepada undang-undang. Artinya jika

telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang

disebut undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan

sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal

(formele bewijstheorie). Menurut D. Simons sebagaimana dikutip

Andi Hamzah, bahwa sistem atau teori pembuktian berdasar

undang-undang secara positif (positief wettelijke) ini berusaha

untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan

mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang

keras.22

b. Sistem atau teori Pembuktian Negatif

Menurut sistem ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah

yang berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan

secara limitatif oleh undang-undang sehingga hakim memperoleh

keyakinan akan hal itu.23 Perkataan negatif dipakai untuk

menunjukkan bahwa adanya bukti-bukti yang disebutkan dalam

undang-undang yang dengan cara mempergunakannya yang

disebut juga dalam undang-undang itu, belum berarti hakim harus

22
Andi Hamzah. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 269.
23
Ibid.
menjatuhkan hukuman. Hal tersebut masih tergantung dengan

keyakinan hakim atas kebenarannya.

c. Sistem atau teori Pembuktian Bebas

Menurut sistem ini, hakim tidak terikat pada alat-alat bukti yang

sah dimana bila ada keyakinan pada hakim tentang kesalahan

terdakwa yang didasarkan pada alasan yang dapat dimengerti dan

dibenarkan oleh pengalaman. Teori yang disebut juga Confiction

intime ini merupakan suatu pembuktian yang walaupun tidak

cukup bukti, asalkan hakim yakin maka hakim dapat menjalankan

dan memidana terdakwa.

d. Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas

alasan yang logis (La Confiction Raisonnee)

Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah

atas dasar keyakinannya, yang mana keyakinan itu harus berpijak

pada dasar-dasar pembuktian disertai suatu kesimpulan

(conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan

pembuktian tertulis tertentu. Sistem atau teori pembuktian jalan

tengah atau yang berdasar pada keyakinan hakim sampai batas

tertentu ini terpecah ke dua jurusan, yang pertama tersebut diatas

yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang

logis (Confiction Raisonnee) dan yang kedua ialah teori

pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief

wettelijke bewijs theorie).


Persamaan diantara keduanya ialah keduanya berdasar atas

keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa

adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya ialah

bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim,

tetapi keyakinan itu harus didasarkan pada suatu kesimpulan

(conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang

tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri,

menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang

mana yang ia pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak

pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh

undang-undang tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.24

Sistem pembuktian terbalik, tersangka atau terdakwa harus

membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan

atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik ini

merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap

"presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun

bertentangan dengan asas yang berlaku. Dalam delik korupsi di

Indonesia diterapkan dua sistem sekaligus, yakni Sistem Undang-

Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 dan sekaligus dengan sistem KUHAP. Kedua teori itu ialah

penerapan hukum pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau

berimbang, dan yang mengunakan sistem pembuktian negatif menurut

24
Ibid.
undang-undang. Jadi tidak menerapkan teori pembuktian terbalik

murni, (zuivere omskering bewijstlast), tetapi teori pembuktian

terbalik terbatas dan berimbang.

Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

dikatakan pengertian “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan

berimbang”, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan

bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib

memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta

benda istrinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau

korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang

bersangkutan dan Penuntut umum tetap berkewajiban untuk

membuktikan dakwaaannya. Kata-kata “bersifat terbatas” di dalam

memori atas Pasal 37 dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat

membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak

pidana korupsi”, Hal itu tidak berarti terdakwa tidak terbukti

melakukan korupsi sebab Penuntut Umum masih tetap berkewajiban

untuk membuktikan dakwaaanya.25

Polemik penerapan pembuktian terbalik yang sudah lama

terjadi dan argumentasi hukum yang diungkapkan para pakar hukum

di negeri ini tidak dapat dijadikan alasan penghambat penerapan

pembuktian terbalik diatur dalam sebuah peraturan perundang-

undangan. Pemikiran-pemikiran yang hanya disandarkan pada

25
Martiman Prodjomidjojo. Op, Cit., hlm. 107.
pandangan positivisme hukum tidak bisa dijadikan sebagai tameng

penghambat pengaturan asas pembuktian terbalik dituangkan dalam

undang-undang yang baru.

Apalagi menjustifikasi (membenarkan) pembuktian terbalik

dianggap bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah

(presumption of innocence), dan asas non self incrimination (sesuatu

hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan

pidana). Asas pembuktian terbalik terbatas, meski tidak secara utuh,

namun ruang permberlakuan asas tersebut cukup jelas disebutkan

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Tidak secara utuh disini, dimaksudkan bahwa, meski

seseorang telah gagal membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang

patut dicurigai dari hasil tindak pidana, jaksa sebagai penuntut umum

tetap memiliki kewajiban untuk membuktikan dakwaannya diproses

pengadilan.

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-

Undang Nomor 20 tahun 2001, Pasal 37 ayat (1), dikatakan bahwa:

“terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak

melakukan tindak pidana korupsi”. Terdakwa dapat membuktikan

bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian

tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk

menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.


Pada Pasal 37A ayat (1) dan (2), lebih menguatkan posisi beban

pembuktian terbalik tersebut, dengan menegaskan bahwa:

“Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta

bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda

setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan

dengan perkara yang didakwakan”.

Terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang

tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan

kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa

terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Meski memiliki ruang dalam memberlakukan beban

pembuktian terbalik, namun ketentuan yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, tetap

dibatasi ketentuan lain di dalamnya. Beban pembuktian terbalik tetap

membebankan pembuktian kepada jaksa penuntut umum, meski si

terdakwa gagal membuktikan asal-usul kekayaannya. Hal tersebut

tertuang dalam Pasal 37A ayat (3), yang menyebutkan bahwa:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)

merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal

16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana


Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini,

sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikann

dakwaannya”.

Selain ketentuan tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun

1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari

korupsi, kolusi, dan nepotisme, secara jelas juga telah memberikan

amanat agar penyelenggara negara menjelaskan asal-usul

kekayaannya apabila dimintai keterangan oleh Komisi Pemeriksa

Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Disamping itu, dalam

Pasal 17 ayat (2) huruf e, disebutkan bahwa:

“Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau

Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh

dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai

Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang

membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku”.

3. Teori Hukum Progressif

Hukum progresif lahir karena keadaan Indonesia pada masa

lalu. Ada berbagai pergulatan pemikiran, berkaitan dengan usaha dari

pemikir hukum untuk menawarkan gagasannya agar persoalan hukum

di negeri ini tidak menemui “jalan buntu”. Salah satu gagasan

pemikiran yang penting dalam lingkup ini adalah hukum progresif

tersebut. Pemikir penting yang berada di belakang gagasan tersebut,


adalah Profesor Satjipto Rahardjo, guru besar Emiritus Sosiologi

Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang. Di kalangan kolega

dan mahasiswanya, ia dikenal dan dipanggil dengan Prof. Tjip.

Keadaan hukum Indonesia yang carut-marut, seperti menjadi cambuk

bagi lahirnya gagasan hukum progresif tersebut. Proses ini tidak

berlangsung dalam waktu singkat. Pergulatan gagasan dan pemikiran

ini sudah berlangsung lama, makanya energi yang dilahirkan

demikian menggumpal hingga mencapai puncak gagasan hukum

progresif ini pada tahun 2002.

Hukum progresif tidak muncul sekonyong-konyong, namun

mempunyai anteseden. Adalah kepribadian Satjipto Rahardjo

terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat hukum dengan

jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia

sangat memperhatikan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia

peradilan” dalam kosa kata hukum Indonesia pada Orde Baru hukum

sudah bergeser dari social engineering ke dark engineeringkarena

digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada Era Reformasi

dunia hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto

Rahardjo, inti dari kemunduran di atas adalah makin langkanya

kejujuran, empati, dan dedikasi dalam menjalankan hukum.

Pikiran progresif sarat dengan keinginan dan harapan. Ada satu

hal yang penting, bahwa lahirnya hukum progresif dalam khazanah


pemikiran hukum, berkaitan dengan upaya mengkritisi realitas

pemahaman hukum yang sangat positivistik.

Memahami istilah progresivisme dalam konteks hukum progresif

dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Progresivisme bertolak dari pandangan bahwa pada dasarnya

manusia adalah baik, dengan demikian hukum progresif

mempunyai kandungan moral yang kuat. Progresivisme ingin

menjadikan hukum sebagai institusi yang bermoral.

2. Hukum progresif mempunyai tujuan berupa kesejahteraan dan

kebahagiaan manusia, maka sebagai konsekuensinya hukum

selalu dalam proses menjadi. Oleh karena itu hukum progresif

selalu peka terhadap perubahan masyarakat disegala lapisan.

3. Hukum progresif mempunyai watak menolak status quo ketika

situasi ini menimbulkan kondisi sosial yang dekanden dan korup.

Hukum progresif memberontak terhadap status quo, yang

berujung pada penafsiran hukum yang progresif.

4. Hukum progresif mempunyai watak yang kuat sebagai kekuatan

pembebasan dengan menolak status quo. Paradigma “hukum

untuk manusia’ membuatnya merasa bebas untuk mencari dan


menemukan format, pikiran, asa, serta aksi yang tepat untuk

mewujudkannya.26

Bila merujuk ke belakang, maka dapat diketahui bahwa

gagasan hukum progresif (2002) muncul disebabkan oleh kegalauan

menghadapi kinerja hukum yang banyak gagal untuk menyelesaikan

persoalan-persoalan bangsa ini. Ada harapan besar untuk hukum

sebagai juru penolong ketika kekuasaan Presiden Soeharto runtuh,

sampai-sampai dianggap supremasi hukum sebagai panacea, obat

mujarab bagi semua persoalan.

Hukum progresif lahir untuk menegaskan bahwa hukum adalah untuk

manusia, dan bukan sebaliknya. “Hukum itu bukan hanya bangunan

peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam

satu dekade terakhir.

Hukum progresif berangkat dari sebuah maksim bahwa:

“hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia

kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia

bahagia”.27

26
Mahmud Kusuma. 2009. Menyelami Semangat Hukum Progresif, Terapi Paradigma
Bagi Lemahnya Hukum Indonesia. Yogyakarta: AntonyLib, hlm. 60.
27
Satjipto Rahardjo. “Saatnya Mengubah Siasat dari Supremasi Hukum ke Mobilisasi
Hukum”, Kompas, Senin 26 Juli 2004, dalam Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum
Progresif, Terapi Paradigma Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, AntonyLib, Yogyakarta, 2009, hlm
52.
Pernyataan ini tegas bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam

artian hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan yang

adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena itu menurut

hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan

hukum hanyalah alat.

Hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum

sebagai institusi yang telah final dan mutlak, sebaliknya hukum

progresif percaya bahwa institusi hukum adalah dalam keadaan

menjadi.

Oleh karena itu hukum bukanlah untuk hukum, maka hukum proresif

meninggalkan paradigma hukum rechtsdogmatiek. Maka hukum

progresif merangkul beberapa aliran maupun para filsuf hukum yang

sepaham. Diantaranya adalah Nonet dan Selsznick yang berbicara

tentang tipe hukum yang responsive, Legal

realism dan Freirectslehre, Sociological Jurisprudence dari Roscoe

Pound juga berbagai paham dengan aliran Interessenjurisprudencz,

Teori-teori Hukum Alam dan Critical Legal Studies (CLS).

2. Tinjauan Konseptual

a. Pengertian CCTV

Pengertian kamera CCTV atau kepanjangannya Closed Circuit

Television adalah sebuah kamera video digital yang difungsikan untuk

memantau dan mengirimkan sinyal video pada suatu ruang yang


kemudian sinyal itu akan diteruskan ke sebuah layar monitor. Fungsi

kamera CCTV adalah untuk memantau keadaan dalam suatu tempat,

yang biasanya berkaitan dengan keamanan atau tindak kejahatan, jadi

apabila terjadi hal-hal kriminal akan dapat terekam kamera yang

nantinya akan dijadikan sebagai bahan bukti.Biasanya kamera CCTV

dipasang pada tempat-tempat umum seperti bank, bandara, hotel,

tempat atm, dll. Pada saat-saat tertentu kamera CCTV akan sangat

berguna sebagai barang bukti, seperti ketika terjadi bencana besar atau

peristiwa-peristiwa penting yang tidak sempat dipantau oleh manusia.

Berdasarkan pengertian CCTV di atas, CCTV banyak digunakan

untuk memantau area publik seperti stasiun kereta api, jalan, alun-alun

pusat kota, toko-toko dan bus. Namun, tidak berhenti di tempat umum

karena banyak orang yang sekarang berinvestasi dalam CCTV untuk

melindungi rumah mereka. Dengan 9,5 juta kejahatan di Inggris dan

Wales tahun lalu jelas untuk melihat mengapa CCTV sangat

penting.CCTV adalah pencegah kejahatan besar sebagai pelaku tahu

ini lebih besar kemungkinan mereka akan diidentifikasi. Daerah yang

kurang atau tidak ada CCTV mungkin akan lebih berisiko kejahatan

karena hal ini. Jika kehadiran CCTV tidak menghalangi pelaku maka

diharapkan akan menangkap informasi yang cukup untuk membantu

dengan penyelidikan polisi. Sesuai dengan arti CCTV, untuk bisnis

CCTV dapat bertindak sebagai pencegah dari pencuri eksternal

namun juga dapat membantu mengidentifikasi penjahat dalam sebuah


organisasi. Untuk manajer dan pemilik usaha CCTV dapat

memberikan informasi bermanfaat tentang cara efektif karyawan

Anda bekerja. Hal ini dapat membantu melindungi staf Anda tidak

salah dituduh misalnya jika nasabah klaim mereka telah kehilangan-

dijual produk, dan juga dapat melindungi perusahaan dari tuduhan

palsu misalnya penukaran cedera.

F. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui bagaimanakah kekuatan pembuktian rekaman

CCTV pelanggaran lalu lintas.

b. Untuk mengetahui bagaimanakah upaya hukum pelaku pelanggaran

lalu lintas yang ditilang berdasarkan bukti rekaman CCTV.

2. Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah diuraikan

diatas, kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan

kegunaan praktis, yaitu:

a. Kegunaan secara teoritis, untuk menambah referensi dibidang ilmu

hukum khususnya mengenai kekuatan pembuktian dalam pelanggaran

lalu lintas, bagaimana upaya hukum dalam berlalu lintas dan

bagaimana pengaturan yang ideal terhadap pembuktian dalam

pelanggaran lalu lintas.

b. Kegunaan secara praktis, adalah sebagai bahan masukan bagi praktisi

hukum.

G. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian yang

bersifat normatif. Penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder, sehingga dinamakan penelitian hukum

normatif.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif analitis yaitu

penelitian yang bertujuan memberikan gambaran tentang situasi atau

keadaan yang terjadi, menginventarisasikan dan menganalisis teori-teori

dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan permasalahan yang

dikemukakan dalam penelitian ini.28

3. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang dipergunakan terhadap permasalahan yang

diangkat yaitu tentang kekaburan norma yang terdapat dalam Pasal 272

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan.

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Sumber yang diperlukan dalam penelitian ini, yakni Bahan Hukum

Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan Bahan Hukum Tersier.29

Sedangkan Bahan Hukum dalam penelitian ini, yaitu:

28
Bambang Sunggono. 1996. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, hlm.
35.
29
Ibid, hlm. 185.
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang berupa perundang-

undangan. Adapun bahan hukum primer yang digunakan adalah sebagai

berikut :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981.

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik.

b. Bahan hukum sekunder berupa bahan yang memberi penjelasan

mengenai bahan hukum primer, dalam penelitian ini diperoleh dari buku

penunjang dan informasi dari internet yang berkenaan dengan

permasalahan di atas yang berisi pendapat dan pandangan dari berbagai

pihak yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

c. Bahan hukum tersier yakni bahan-bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

5. Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam melakukan pengumpulan bahan hukum, peneliti melakukan

studi kepustakaan atau studi dokumen dengan mengambil bahan hukum

berupa bahan hukum primer dan sekunder, peneliti mempelajari buku, situs

internet maupun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

pokok permasalahan.
6. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Pengolahan dan analisis bahan hukum dalam penelitian ini dengan

cara kualitatif, yaitu dengan cara mengumpulkan data, mengkualifikasikan,

kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan permasalahan

dan pada akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil yang

selanjutnya untuk pengolahan hasil penelitian.

I. PERTANGGUNGJAWABAN SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan TESIS ini akan terdiri dari 4 (empat) bab yang masing-

masing bab terdiri atas beberapa sub bab yang berhubungan satu sama yang

lainnya sehingga membentuk suatu uraian yang sistematis dalam satu kesatuan

sebagai berikut :

Di dalam Bab I, tentang pendahuluan, di dalam bab ini akan diuraikan

tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan

penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan serta berisikan

landasan teoritis pengertian dan dasar hukum mengenai tinjauan yuridis

terhadap penggunaan rekaman cctv sebagai bukti pelanggaran lalu lintas.

Di dalam Bab II, merupakan bab yang berisikan hasil penelitian dan

pembahasan mengenai masalah kekuatan pembuktian rekaman CCTV

pelanggaran lalu lintas.

Di dalam Bab III, merupakan bab yang berisikan upaya hukum pelaku

pelanggaran lalu lintas yang ditilang berdasarkan bukti rekaman CCTV.

Di dalam Bab IV, merupakan bab terakhir dari pembahasan yang

berisikan kesimpulan dan saran terhadap pokok permasalahan.


Jadwal Penelitian

No. Jenis Kegiatan Jadwal Kegiatan per Bulan


1 2 3 4 5 6 7
1 Penelitian Pendahuluan
a. Konsultasi Pembimbing
b. Penyusunan Usulan
c. Penilaian Usulan
Pengumpulan Bahan
2
Hukum

a. Pengumpulan Bahan Hukum


b. Analisis Bahan Hukum
Pengolahan Bahan
3 Hukum
dan Penyusunan Tesis
a. Penyusunan tesis
c. Penilaian dan perbaikan
d. Ujian Tesis
e. Perbaikan Tesis
f. Penggandaan dan Penjilidan
DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 1990. Pengantar Hukum Acara Indonesia. Jakarta: Ghalia


Indonesia.

Marzuki, Peter Mahmud. 2015. Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi. Jakarta:
Prenadamedia Group.

Rahardjo, Satjipto. 1983. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni.

Rahardjo, Satjipto. 1986. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.

Ruba’i, Masruchin. Buku Ajar Hukum Pidana. Malang: Bayumedia Publishing.

Sudarsono. 2002. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Soehadi, R. 1995. Hukum Acara Pidana Dalam Praktek. Surabaya: Apollo.

Soekanto, Soerjono. 1991. Hukum Pidana Indonesia dan Gelagat Kriminal


Masyarakat Pasca Industri. Bandung: Alumni.

Soesilo, R. 1982. Hukum Acara Pidana (prosedur penyelesaian perkara pidana


menurut KUHAP bagi penegak hukum). Bandung: PT. Karya Nusantara.

-------------. 1984. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik


Khusus. Bandung: PT. Karya Nusantara.

Sugandhi, R. 1981. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981)

Anda mungkin juga menyukai