Anda di halaman 1dari 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertanyaan besar yang masih belum terjawab

sampai saat ini adalah di Indonesia belum ditemukan kasus positif virus
corona Wuhan China. Padahal semenjak dua bulan lalu, virus ini
sudah menjangkiti 27 negara dengan kasus positif 72 ribu kasus lebih dan
korban 1.872 jiwa.

Kenapa tidak ada Virus Corona di Indonesia, padahal negara Asia atau
tetangga lainnya sudah kena?

Hal ini menjadi perhatian mantan menteri BUMN Dahlan Iskan, yang juga
pensaran. Ia beberapa kali mengulas soal virus corona dan penyebarannya.
Pada tulisannya yang berjudul "Semua Negatif" yang diunggah di
laman disway.id, Dahlan bercerita pengalamannya berkunjung ke laboratorium
penyakit tropis di International Institute of Tropical Disease (ITD) Universitas
Airlangga Surabaya.

PILIHAN REDAKSI
 Dahlan Iskan: Banyak yang Tak
Percaya RI 'Kebal' Virus Corona Bagaimana ceritanya, simak ulasan
 Belum Ada Kasus Corona, Menko lengkapnya di bawah ini!
PMK: RI Masih Dilindungi Tuhan
 Temui WHO, Wiranto Sebut RI
Bebas Corona Bukan Asal Bicara
Semua Negatif

Sebenarnya sudah banyak juga yang menjalani tes virus Corona di Indonesia.

Yang di Surabaya saja sudah 10 orang. "Semuanya negatif," ujar Prof. Dr.
Inge Lucida, direktur International Institute of Tropical Disease (ITD)
Universitas Airlangga Surabaya.

Saya pun benar-benar ikut penasaran. Mengapa tidak ada virus Corona di
Indonesia. Padahal, semua negara Asia sudah terkena. Sampai orang di luar
negeri mengejek kita sebagai negara yang tidak mampu mendeteksinya.

Kemarin pagi, saya ke ITD Unair itu. Saya tahu Unair memiliki laboratorium
penyakit tropis terbaik. Saya ditemui dua profesor yang ahli virus. Yakni Prof.
Dr. Ni Nyoman Tri Puspaningsih dan Prof. Dr. Inge Lucida.

Prof. Nyoman adalah Wakil Rektor I Unair. Sedang Prof. Inge adalah direktur
laboratorium penyakit tropis tersebut.
Begitu virus Corona mewabah, Unair mengadakan kontak intensif dengan
Jepang. ITD memang didirikan berrsama dengan Jepang.

Setelah serangkaian pembicaraan Unair lantas berinisiatif membeli tiga set


Primer yang bisa dipakai memeriksa virus Corona. Belinya ya di Jepang.
"Jadi, teknik, dan sarana pemeriksaan Corona di Unair sama dengan di
Jepang," ujar Prof. Inge.

Hasil pengetesan itu juga dites ulang di peralatan milik Kementerian


Kesehatan. Hasilnya sama: negatif.

Yang dibeli itu bukan mesin, tapi Primer. Sejenis cairan tapi sudah dalam
keadaan kering --agar bisa dibawa ke negara lain.
Mesin pemeriksanya sendiri Unair sudah lebih dulu memilikinya. Juga
bantuan dari Jepang. Primer itulah yang dimasukkan ke mesin itu. Lantas
materi yang akan diperiksa dimasukkan ke dalamnya.

Dan memang lab Unair ini bekerjasama dengan Kobe University. Sekarang
pun ada tiga ahli dari Jepang yang ada di lab itu.

Waktu membeli senyawa itu Unair sampai tidak sabar. Terlalu lama kalau
harus dikirim lewat Fedex atau EMS. Prof. Inge memutuskan untuk mengirim
seorang staf di ITD berangkat ke Kobe.

Begitu tiba di Osaka, staf tersebut langsung ke Kobe University. Setelah


mengambil senyawa tersebut ia langsung kembali ke Surabaya.
"Nah itu orangnya yang ke Jepang," ujar Prof. Inge sambil menunjuk sang
utusan yang lagi bertugas di ITD.

Prof. Inge sendiri mendapat gelar doktor di Kobe University. Dia adalah
"penduduk asli" Unair. Ayahnyi seorang dokter terkenal lulusan Unair. Ibunyi
seorang apoteker dari kampus yang sama. Tiga saudaranyi juga dokter dari
Unair. Hanya dua yang bukan dokter --tapi juga apoteker dan sarjana
ekonomi Unair. Yang sarjana ekonomi itu kini memiliki bisnis lab kesehatan
yang juga sangat terkenal di Surabaya.

Sekeluarga Unair semua.

Sedang Prof. Nyoman juga dikenal sebagai peneliti hebat bidang biokimia.
Prof. Nyomanlah yang menemukan enzim untuk makanan ternak. Yang dulu
pernah saya undang ke Kementerian BUMN untuk mempresentasikannya.
Gelar S2-nyi dari ITB dan S3-nyi dari IPB. Prof. Nyoman juga pernah terpilih
sebagai dosen teladan nasional selama tiga tahun.

Saat mampir ke ruang kerjanya saya pun melihat hasil-hasil penelitian


berbagai macam virus di laptopnya. Prinsipnya virus itu punya kaki-kaki untuk
memijakkan diri. Pijakannya adalah sel di alat penafasan manusia.

Setelah kaki-kaki virus memperoleh pijakan yang pas, barulah sang virus
mengeluarkan penyakitnya.

Kalau saja tempat berpijak kaki-kaki itu tidak tepat sang virus tidak bisa
berproduksi. Ibarat orang mau berak. Kalau kakinya tidak tepat di pijakan
pupnya tidak bisa keluar.

Karena itu struktur virus tersebut harus benar-benar diketahui. Kini struktur itu
sudah diketahui. Tanpa pijakan yang tepat virus tidak bisa berkembang. Maka
obat yang akan ditemukan adalah obat yang akan bisa menipu virus. Yakni
obat yang bisa membuat pijakan yang persis diperlukan virus. Tapi
sebenarnya itu pijakan palsu. Dengan demikian virus tidak bisa mengeluarkan
"pup" nya.

Dari 10 orang yang pernah diperiksa di lab Unair itu sebagian adalah pasien
rumah sakit. Sebagian lagi orang yang datang untuk memeriksakan diri.
Semuanya dicurigai menderita virus Corona. Hasilnya: bersih.

Salah satu dari mereka adalah seorang dokter. Sang dokter seperti terkena
flu. Putrinya baru pulang dari luar negeri. Maka muncul kekhawatiran tertular
virus Corona.
Sang dokter pun memeriksakan diri ke lab Unair. Ternyata negatif.

Sampai sekarang pun semua yang pernah diperiksa itu baik-baik saja.

Senyawa yang dibeli dari Jepang itu sendiri cukup untuk memeriksa 100
orang. Hasil pemeriksaannya pun bisa diketahui dengan cepat: 5 jam
kemudian. Itu karena tidak perlu antre.

"Siapa pun bisa memeriksakan diri ke sini," ujar Prof. Inge, yang sehari-
harinya di Pusat Penelitian Penyakit Tropik di kampus C Unair itu. "Tentu
harus membayar. Rp 1 juta," ujarnya.
Dua guru besar ini juga ikut penasaran: mengapa orang Indonesia tidak
terkena virus Corona. Keduanya masih terus mencari jawabnya.

Tapi beliau juga tidak terlalu heran. Waktu Arab Saudi dilanda wabah virus
MERS, Indonesia juga aman. Padahal, begitu banyak jemaah haji yang ke
Saudi.
"Ribuan jemaah haji yang diperiksa saat itu. Tidak satu pun yang terkena virus
MERS," ujar Prof. Inge.

Demikian juga saat Tiongkok dilanda virus SARS. Indonesia nihil.

Hanya waktu ada wabah flu burung korbannya banyak. Saat itulah Unair
berjaya: menemukan obat untuk mencegah flu burung.

"Sampai sekarang pun virus flu burung itu masih ada. Kita sering melakukan
pemeriksaan atas ayam di pasar-pasar. Virus flu burungnya masih ada di
ayam. Tapi tidak ada lagi orang yang terkena flu burung," ujar Prof. Nyoman.
"Kita sudah kebal. Kekebalan tubuh untuk flu burung sudah muncul," ujarnyi.
Prof. Nyoman ini lahir di Belitung. Ayah-ibunyi asli Bali. Saat itu orang tua
bertugas di BRI Tanjungpandan.

Karier sang ayah melejit di Jakarta. Semua orang BRI tahu beliau: I Wayan
Patra --pencetus ide kredit usaha tani tahun 1970-an. Beliau meninggal muda
karena sakit ginjal. Setelah itu istri dan anak-anak pindah ke Bali.

Prof. Nyoman pun sekolah sampai SMA di Denpasar --dan akhirnya kuliah di
Unair.

Walhasil, belum ada jawaban ilmiah soal penasarannya banyak orang itu.

Hanya humoris yang langsung bisa menjawab: virus itu tidak bisa masuk
Indonesia karena perizinan di sini sulit!

Anda mungkin juga menyukai