Anda di halaman 1dari 6

J. Sains MIPA, Agustus 2010, Vol. 16, No. 2, Hal.

: 105-110
ISSN 1978-1873

PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii DI PERAIRAN


PULAU BONE BATANG, KEPULAUAN SPERMONDE, SULAWESI SELATAN

Karunia Alie

Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin, Makassar 90245


E-mail: karunia_alie@yahoo.com

Diterima 17 November 2009, disetujui untuk diterbitkan 28 Maret 2010

ABSTRACT
Research on the growth of Thalassia hemprichii in Bone Batang Island, Spermonde archipelago has
been done to find out the growth rate, the biomass and the production of T. hemprichii. The method of
Plastochrone Interval has been applied for its leaf which is by making hole on by puncture its leaf midrib. The
result showed that the average growth rate of T. hemprichii leaves in sand substrate area of Bone Batang
island was 2.9 mm/day. The amount of biomass was 1527 g/m2. The production of T. hemprichii was 9.99
g/m2. The analysis showed that the sand substrate of this island contains organic material of 6.76%.

Keywords: growth rate, biomass, plastochrone interval, T. hemprichii

ABSTRAK

Penelitian mengenai pertumbuhan T. hemprichii di Pulau Bone Batang Kepulauan Spermonde


dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan, biomassa, dan produksi Thalassia
hemprichii di perairan Pulau Bone Batang. Dengan menggunakan metode Plastochrone Interval untuk daun
(PL) yakni dengan membuat lubang dengan cara menusuk pelepah daun T. hemprichii. Hasil penelitian yang
diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata kecepatan pertumbuhan daun T. hemprichii pada substrat pasir di
Pulau Bone Batang yaitu sebesar 2,9 mm/hari. Jumlah biomassa (berat kering) yang dihasilkan 1527
gram/m2. Produksi lamun T. hemprichii 9,99 g/m2/hari. Hasil analisis menunjukkan bahwa substrat di Pulau
Bone Batang mengandung bahan organik sebesar 6,76%.

Kata Kunci : kecepatan pertumbuhan, biomassa, plastochrone interval, T. hemprichii

1. PENDAHULUAN
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang memiliki peranan penting dalam
ekosistem perairan secara keseluruhan. Ekosistem padang lamun menjadi salah satu sumber daya laut yang
sangat potensial karena secara ekologis ekosistem lamun memiliki beberapa fungsi penting di perairan
dangkal, diantaranya sebagai produsen primer, stabilisator dasar perairan, penangkap sedimen, pendaur
hara, tempat sumber makanan, dan sebagai tempat asuhan1,2).
Terjadinya degradasi luasan padang lamun di hampir seluruh garis pantai di Indonesia pada
umumnya dan di Sulawesi Selatan pada khususnya yang diakibatkan oleh penanganan lingkungan yang
kurang baik2). Kurang perhatiannya berbagai pihak terhadap ekosistem ini menyebabkan kecepatan
pertumbuhan (daya pulih) lamun menjadi faktor penting untuk dikaji. Degradasi luasan padang lamun secara
langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem di laut secara
keseluruhan dan pada akhirnya menimbulkan kerugian besar bagi manusia.
Pertumbuhan lamun dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suhu, salinitas, kedalaman,
kecepatan arus, kekeruhan, dan substrat. Substrat yang menjadi salah satu faktor penting dalam
mempengaruhi pertumbuhan lamun memiliki beberapa tipe yaitu substrat pasir, pasir berlumpur lunak, dan
karang. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya diketahui adanya perbedaan pertumbuhan lamun yang
berada di substrat pasir dan yang berada di substrat lunak (pasir berlumpur atau lumpur berpasir). Hal ini
disebabkan adanya perbedaan kondisi nutrien pada masing-masing substrat3-5).

 2010 FMIPA Universitas Lampung 105


K. Alie… Pertumbuhan dan Biomassa Lamun Thalassia hemprichii

Lebih lanjut Erftemeijer5) menemukan lamun pada empat habitat: (i) rataan terumbu dengan
kedalaman sekitar 2 meter, (ii) paparan terumbu dengan kedalaman sekitar 10-18 meter, pada pulau karang,
kedua-duanya didominasi oleh sedimen karbonat (dari pecahan karang sampai pasir karang halus), (3) teluk
dangkal yang didominasi oleh pasir hitam terigenous, dan (4) pantai intertidal yang datar dan didominasi oleh
lumpur halus terigenous. Meskipun padang lamun merupakan ekosistem yang penting namun pemanfaatan
langsung tumbuhan lamun untuk kebutuhan manusia tidak banyak dilakukan. Beberapa jenis lamun seperti
Enhalus acoroides, bijinya digunakan sebagai bahan makanan6,7).
T. hemprichii merupakan salah satu jenis lamun yang tumbuh di daerah tropik dan mempunyai
penyebaran yang cukup luas. Di Indonesia, T. hemprichii merupakan lamun yang paling melimpah dan sering
mendominasi dalam komunitas campuran, dan sering dominan pada substrat pasir hingga pecahan-pecahan
kasar6).
Menurut Den Hartog8) T. hemprichii mempunyai rhizoma dengan ketebalan 3-5 mm, panjang
internodus 4-7 mm. Daunnya mempunyai panjang 10-40 cm, lebar 4-11 mm, tulang daunnya 10-17, dan
panjang pelepahnya 3-7 cm. Mempunyai akar pada setiap 6-12 nodus dan setiap batang tegak mempunyai 2-
6 daun9).

2. METODE PENELITIAN
2.1. Alat, Bahan dan Pengambilan Sampel di Lapangan
Alat dan bahan yang digunakan: SCUBA, patok, pipa paralon (diameter 15,8 cm), jarum, silet,
plastik sampel, kertas kopi, wadah plastik, penggaris, meteran, ayakan bertingkat, piring secchi,
refraktosalinometer, layang-layang arus, stopwatch, termometer, oven (Memmert), timbangan digital
(Sartorius), sampel lamun T. hemprichii, sampel substrat, tissue, akuadest. Metode yang digunakan adalah
metode Plastochrone Interval3,4) (Gambar 1).

Gambar 1. Metode Plastochrone Interval3,4)

Pengambilan sampel lamun dilakukan pada lokasi yang sebelumnya telah ditentukan secara acak.
Kemudian masing-masing tempat ditandai dengan menggunakan patok sebanyak 4 buah ditancapkan

106  2010 FMIPA Universitas Lampung


J. Sains MIPA, Agustus 2010, Vol. 16, No. 2

dengan membentuk segi empat. Dipilih sebanyak 50 individu yang sehat lalu ditusuk dengan jarum pada
pelepah daun dari masing-masing individu tersebut sampai terbentuk lubang kecil, jarak lubang sekitar 1 cm
dari rhizoma.

Gambar 2. Penusukan daun T. hemprichii dilakukan 1 cm dari rhizoma. Kemudian 50 sampel lamun tadi
dibiarkan selama 20 hari dan setelah 20 hari sampel lamun tadi diangkat dan dibawa ke
laboratorium untuk dilakukan proses selanjutnya.

2.2. Pengukuran Biomassa T. hemprichii


Sampel lamun T. hemprichii diambil dengan menggunakan pipa paralon berdiameter 15,8 cm dan
ditancapkan sekitar 30 cm ke dalam substrat, setelah diangkat, kemudian sampel dimasukkan ke dalam
kantong plastik dan di bawa ke laboratorium untuk dilakukan proses selanjutnya.

2.3. Analisis Sampel


Sampel yang telah diambil kemudian dipisahkan sebanyak 40 individu lalu dicuci. Bagian daunnya
dipisahkan dari pelepah, rhizoma, dan akarnya. Kemudian daunnya juga dibersihkan dari epifit yang
menempel. Setelah itu sampel lamun tersebut dipotong pada tempat tusukan jarum pertama di bagian
pelepah dan pada bekas tusukan jarum yang terdapat pada daun. Daun yang telah dipotong diukur
panjangnya dan daun muda yang tumbuh juga dihitung. Kemudian daun yang muda dipisahkan dengan daun
yang tua untuk dihitung biomassanya.
Sampel yang telah diambil kemudian dicuci lalu dipisahkan antara daun, pelepah, rhizoma dan
akarnya. Setelah itu sampel lamun yang telah dipisahkan dicuci dengan menggunakan aquades. Lalu
dikeringkan dan ditimbang beratnya. Sampel lamun yang telah diukur beratnya (berat basah) dimasukkan ke
dalam oven (70oC) selama 5 x 24 jam atau pada saat sampel telah dinyatakan kering. Sampel yang telah
kering dikeluarkan dari oven dan ditimbang kembali beratnya (berat kering).

2.4. Analisis Data Penelitian


Data yang telah diperoleh dianalisis untuk menghitung Plastochrone Interval pada daun (PL) dengan
rumus :
PL = T1 – T0
N
dimana T1 - T0 = Waktu antara penandaan dan pengambilan
N = Jumlah daun baru

Pengolahan data kecepatan tumbuh daun digunakan rumus :


Rata-rata pertumbuhan panjang daun baru

(T1-T0)
Untuk pengolahan data masa hidup satu individu lamun digunakan rumus :

 2010 FMIPA Universitas Lampung 107


K. Alie… Pertumbuhan dan Biomassa Lamun Thalassia hemprichii

Dimana PL x Rata-rata jumlah daun tiap tegakan.


Penentuan biomassa daun baru dilakukan pengukuran berat kering sampel. Untuk biomassa dan
kepadatan tegakan dihitung dengan menggunakan data lamun yang diambil dengan menggunakan pipa.
Produksi lamun per hari dapat diketahui dengan melakukan pengukuran berat produksi daun baru.
Untuk perhitungan produksi padang lamun digunakan rumus Produksi daun per tegakan per hari x kerapatan
tegakan per m2.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan
Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi keberadaan setiap organisme perairan pada suatu
tempat. Karakteristik lingkungan yang ada akan membentuk suatu struktur komunitas organisme dengan ciri
yang khas pula. Demikian halnya pada suatu komunitas lamun. Hasil pengukuran parameter kimia-fisika di
setiap lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Data pengukuran Parameter Kimia-Fisika

Lokasi Parameter Pengukuran


I II III IV V VI
Salinitas (ppt) 33 35 35 36 35 35
P. Bone Batang Suhu (oC) 30 30 30 30 29 30
Kec.arus (m/det) 0.027 0.028 0.031 0.033 0.028 0.029
Kecerahan (%) 100 100 100 100 100 100

Waktu pengukuran dilakukan sebanyak 6 kali dengan interval waktu setiap 4 hari selama 20 hari.
Pengukuran I dilakukan pada saat penandaan daun dan pengukuran VI dilakukan pada saat pengambilan
sampel lamun.

3.2. Substrat, Fosfat dan Bahan Organik


Dari hasil pengukuran besar butir sedimen didapatkan jenis substrat di Pulau Bone Batang adalah
pasir kasar, dengan diameter 0,5 – 2 mm adalah 52,3 %. Jenis substrat di lokasi penelitian dapat
mempengaruhi kecepatan pertumbuhan lamun pada jenis yang sama. Hal ini disebabkan karena tingkat
ketersediaan nutrisi bagi pertumbuhan lamun dan proses dekomposisi yang terjadi di dalam substrat.
Konsentrasi fosfat yang didapatkan dalam sedimen pada perairan Pulau Bone Batang berkisar antara
3,36 µM – 4,77 µM. Konsentrasi ammonium yaitu 0,95 µM – 4,10 µM. Dari hasil analisis kandungan bahan
organik diketahui bahwa pada substrat di Pulau Bone Batang terdapat bahan organik sebanyak 6,76 %.

3.3. Pertumbuhan Daun


Kecepatan pertumbuhan daun T. hemprichii pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Dari
hasil penelitian yang telah dilakukan selama 20 hari diketahui bahwa kecepatan pertumbuhan daun T.
hemprichii di perairan Pulau Bone Batang sebesar 2,9 mm/hari. Pertumbuhan daun ke 1 (1,1 mm/hari). Hasil
ini didapatkan dari rata-rata pengukuran panjang daun baru dari 40 individu T. hemprichii yang telah ditandai
sebelumnya dan dibagi dengan jumlah hari antara penandaan dan pengambilan daun. Pertumbuhan daun T.
hemprichii di perairan Pulau Bone Batang mencapai 6 daun dalam satu tegakan. Dari hasil pengolahan data
dapat diketahui bahwa Plastochrone Interval Daun (PL) pada perairan P. Bone Batang adalah 11 hari.
Kemudian dari data PL tersebut diketahui juga untuk masa hidup satu individu lamun di perairan Bone Batang
adalah 51 hari. Dari data pertumbuhan daun didapatkan rata-rata dan standar deviasi dari masing-masing
daun.

Tabel 2. Kecepatan pertumbuhan daun T. hemprichii pada perairan Pulau Bone Batang.

Lokasi Pertumbuhan (mm/hari) daun ke- Rata-rata


1 2 3 4 5 6 7 8
Pulau Bone Batang 1.1 3.3 4.1 3.6 2.9 2.6 - - 2.9

108  2010 FMIPA Universitas Lampung


J. Sains MIPA, Agustus 2010, Vol. 16, No. 2

Rata-rata Pertumbuhan Daun

6.0

5.0
Rata-rata Pertumbuhan (mm/hari)

4.0 4.1

3.6
3.3
3.0 2.9
2.6

2.0

1.0 1.1

0.0
0 1 2 3 4 5 6 7
Daun ke -

Gambar 3. Grafik rata-rata dan standar deviasi dari pertumbuhan daun T. hemprichii di perairan Pulau
Bone Batang.

3.4. Biomassa T. hemprichii


Biomassa T. hemprichii pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil penimbangan
biomassa T. hemprichii pada perairan Pulau Bone Batang didapatkan hasil yaitu pada bagian atas substrat
(daun dan pelepah) berat keringnya (BK) 344 g/m2 sedangkan pada bagian bawah substrat (akar dan
rhizoma) BKnya 1183 g/m2. Kondisi ini berhubungan dengan tinggi rendahnya kerapatan lamun pada lokasi.
Kerapatan T. hemprichii di perairan Pulau Bone Batang sebesar 2499 dan 306 tegakan/m2. Dari hasil ini
dapat diketahui bahwa biomassa yang tinggi di Pulau Bone Batang disebabkan karena kerapatan lamunnya
yang tinggi. Peneliti lain juga menemukan bahwa rata-rata total biomassa dari lamun lebih tinggi pada
sedimen karbonat daripada sedimen terigenous5,10-12). Menurut Fortes13) bahwa besarnya biomassa lamun
bukan hanya merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan, tetapi juga merupakan fungsi dari kerapatan.

Tabel 3. Biomassa T. hemprichii di Pulau Bone Batang

Lokasi Biomassa (g/m2) Kerapatan (tegakan/m2)


Di atas substrat (BK) Di bawah substrat (BK)
P. Bone Batang 344 1183 2499

Dari data pada Tabel 3 di atas diketahui juga bahwa biomassa di bawah substrat lebih banyak daripada
biomassa di atas substrat. Peneliti lain menemukan bahwa biomassa akar yang tinggi pada sedimen karbonat
yang mengandung nutrien yang rendah merupakan suatu adaptasi dari tumbuhan lamun tersebut untuk
meningkatkan nutrien melalui penyerapan oleh akar. Biomassa akar dan rhizoma yang tinggi berhubungan
juga dengan kemampuannya untuk bertahan terhadap ombak5).

3.5. Produksi Lamun


Produksi tegakan dan padang lamun T. hemprichii pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.
Produksi padang lamun di Pulau Bone Batang mencapai angka 9,99 g/m2/hari. Hal ini disebabkan oleh
kerapatan lamun di Pulau Bone Batang yang cukup tinggi.

 2010 FMIPA Universitas Lampung 109


K. Alie… Pertumbuhan dan Biomassa Lamun Thalassia hemprichii

Tabel 4. Produksi Lamun T. hemprichii

Produksi tegakan
Lokasi (g/tegakan/hari) Produksi padang lamun (g/m2/hari)
Pulau Bone Batang 0.004 9.99

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil penelitian yang telah diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa: (i) Biomassa dan produksi
T. hemprichii pada substrat pasir di perairan Pulau Bone Batang adalah 1527 g/m2 dan 9,99 gram/m2/hari.; (ii)
Rata-rata kecepatan pertumbuhan daun T. hemprichii pada perairan Pulau Bone Batang yaitu 2,9 mm/hari.
Untuk mendapatkan data yang lebih komprehensif, sebaiknya dilakukan penelitian pembanding
untuk mengetahui pertumbuhan pada jenis lamun yang berbeda. Sehingga akan dihasilkan pertumbuhan dan
jumlah biomassa yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Azkab, M.H., 2000. Produktivitas Di Lamun. Oseana, XXV (1), 1-11.

2. Azkab, M.H. 2000. Struktur dan fungsi pada komunitas lamun. Oseana, XXV (3), 9-17.

3. Duarte, C.M., Marba, N., Agawin, N., Cebrian, J., Enriquez, S., Fortes, M.D., Gallegos, M.E., Merino,
M., Olesen, B., Sand-Jensen, K., Uri, J. and Vermat, J. 1994. Reconstruction of seagrass dynamics:
age and determinations and associated tools for the seagrass ecologist. Mar. Ecol. Prog. Ser., 107,
195-209.

4. Short, F. T. and Duarte, C.M. 2003. Methods for the Measurement of Seagrass Growth and Production.
In F.T. Short and R.G. Coles (eds), Global Seagrass Research Methods. Elsevier. Amsteradam.

5. Erftemeijer, P. 1993. Factor Limiting Growth And Production Of Tropical Seagrasses: Nutrient Dynamics
In Indonesian Seagrass Beds. Krips Repro Meppel. Netherlands.

6. Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A. And Moosa, M.K. 1997. The ecology of the indonesian seas. Part
Two. Periplus Editions. Singapore.

7. Rollon, R.N., Vermaat, J.E.and Nacorda, H. M.E. 2003. Sexual reproduction in SE Asian seagrasses:
the absence of a seed bank inThalassia hemprichii. Aqua. Bot., 75 (2), 181-185.

8. Den Hartog, C., 1970. The seagrasses of the world. Verhandelingen, Afdeling Natuurkunde. Koninklijke
Nederlandse Akademie Van Wetenschappen. North Holland Publishing Company, Amsterdam-London.

9. Kuo, J. and den Hartog, C. 2003. Seagrass Taxonomy and Identification Key. In F.T. Short and R.G.
Coles (eds), Global Seagrass Research Methods. Elsevier. Amsterdam.

10. Martins, A.R.O. and Bandeira, S.O. 2001. Biomass distribution and leaf nutrient concentrations and
resorption of Thalassia hemprichii at Inhaca Island, Mozambique. South Afr. J. Bot., 67 (3), 439-442.

11. Enríquez, S., Merino, M.and Iglesias-Prieto, R. 2002. Variations in the photosynthetic performance
along the leaves of the tropical seagrass Thalassia testudinum. Mar. Biol., 140 (5), 891-900.

12. Stapel, J., Hemminga, M.A., Bogert,C.G. and Maas, Y.E.M. 2001. Nitrogen (15N) Retention in Small
Thalassia hemprichii Seagrass Plots in an Offshore Meadow in South Sulawesi, Indonesia. Limnol.
Oceanograp., 46 (1),. 24-37.

13. Fortes, M.D. 1989. Sea grasses: A resource unknown in the ASEAN Region. ICLARM Education
Series 5, International Center for Living Aquatic Resources Management. Manila.

110  2010 FMIPA Universitas Lampung

Anda mungkin juga menyukai