: 105-110
ISSN 1978-1873
Karunia Alie
ABSTRACT
Research on the growth of Thalassia hemprichii in Bone Batang Island, Spermonde archipelago has
been done to find out the growth rate, the biomass and the production of T. hemprichii. The method of
Plastochrone Interval has been applied for its leaf which is by making hole on by puncture its leaf midrib. The
result showed that the average growth rate of T. hemprichii leaves in sand substrate area of Bone Batang
island was 2.9 mm/day. The amount of biomass was 1527 g/m2. The production of T. hemprichii was 9.99
g/m2. The analysis showed that the sand substrate of this island contains organic material of 6.76%.
ABSTRAK
1. PENDAHULUAN
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang memiliki peranan penting dalam
ekosistem perairan secara keseluruhan. Ekosistem padang lamun menjadi salah satu sumber daya laut yang
sangat potensial karena secara ekologis ekosistem lamun memiliki beberapa fungsi penting di perairan
dangkal, diantaranya sebagai produsen primer, stabilisator dasar perairan, penangkap sedimen, pendaur
hara, tempat sumber makanan, dan sebagai tempat asuhan1,2).
Terjadinya degradasi luasan padang lamun di hampir seluruh garis pantai di Indonesia pada
umumnya dan di Sulawesi Selatan pada khususnya yang diakibatkan oleh penanganan lingkungan yang
kurang baik2). Kurang perhatiannya berbagai pihak terhadap ekosistem ini menyebabkan kecepatan
pertumbuhan (daya pulih) lamun menjadi faktor penting untuk dikaji. Degradasi luasan padang lamun secara
langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem di laut secara
keseluruhan dan pada akhirnya menimbulkan kerugian besar bagi manusia.
Pertumbuhan lamun dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suhu, salinitas, kedalaman,
kecepatan arus, kekeruhan, dan substrat. Substrat yang menjadi salah satu faktor penting dalam
mempengaruhi pertumbuhan lamun memiliki beberapa tipe yaitu substrat pasir, pasir berlumpur lunak, dan
karang. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya diketahui adanya perbedaan pertumbuhan lamun yang
berada di substrat pasir dan yang berada di substrat lunak (pasir berlumpur atau lumpur berpasir). Hal ini
disebabkan adanya perbedaan kondisi nutrien pada masing-masing substrat3-5).
Lebih lanjut Erftemeijer5) menemukan lamun pada empat habitat: (i) rataan terumbu dengan
kedalaman sekitar 2 meter, (ii) paparan terumbu dengan kedalaman sekitar 10-18 meter, pada pulau karang,
kedua-duanya didominasi oleh sedimen karbonat (dari pecahan karang sampai pasir karang halus), (3) teluk
dangkal yang didominasi oleh pasir hitam terigenous, dan (4) pantai intertidal yang datar dan didominasi oleh
lumpur halus terigenous. Meskipun padang lamun merupakan ekosistem yang penting namun pemanfaatan
langsung tumbuhan lamun untuk kebutuhan manusia tidak banyak dilakukan. Beberapa jenis lamun seperti
Enhalus acoroides, bijinya digunakan sebagai bahan makanan6,7).
T. hemprichii merupakan salah satu jenis lamun yang tumbuh di daerah tropik dan mempunyai
penyebaran yang cukup luas. Di Indonesia, T. hemprichii merupakan lamun yang paling melimpah dan sering
mendominasi dalam komunitas campuran, dan sering dominan pada substrat pasir hingga pecahan-pecahan
kasar6).
Menurut Den Hartog8) T. hemprichii mempunyai rhizoma dengan ketebalan 3-5 mm, panjang
internodus 4-7 mm. Daunnya mempunyai panjang 10-40 cm, lebar 4-11 mm, tulang daunnya 10-17, dan
panjang pelepahnya 3-7 cm. Mempunyai akar pada setiap 6-12 nodus dan setiap batang tegak mempunyai 2-
6 daun9).
2. METODE PENELITIAN
2.1. Alat, Bahan dan Pengambilan Sampel di Lapangan
Alat dan bahan yang digunakan: SCUBA, patok, pipa paralon (diameter 15,8 cm), jarum, silet,
plastik sampel, kertas kopi, wadah plastik, penggaris, meteran, ayakan bertingkat, piring secchi,
refraktosalinometer, layang-layang arus, stopwatch, termometer, oven (Memmert), timbangan digital
(Sartorius), sampel lamun T. hemprichii, sampel substrat, tissue, akuadest. Metode yang digunakan adalah
metode Plastochrone Interval3,4) (Gambar 1).
Pengambilan sampel lamun dilakukan pada lokasi yang sebelumnya telah ditentukan secara acak.
Kemudian masing-masing tempat ditandai dengan menggunakan patok sebanyak 4 buah ditancapkan
dengan membentuk segi empat. Dipilih sebanyak 50 individu yang sehat lalu ditusuk dengan jarum pada
pelepah daun dari masing-masing individu tersebut sampai terbentuk lubang kecil, jarak lubang sekitar 1 cm
dari rhizoma.
Gambar 2. Penusukan daun T. hemprichii dilakukan 1 cm dari rhizoma. Kemudian 50 sampel lamun tadi
dibiarkan selama 20 hari dan setelah 20 hari sampel lamun tadi diangkat dan dibawa ke
laboratorium untuk dilakukan proses selanjutnya.
(T1-T0)
Untuk pengolahan data masa hidup satu individu lamun digunakan rumus :
Waktu pengukuran dilakukan sebanyak 6 kali dengan interval waktu setiap 4 hari selama 20 hari.
Pengukuran I dilakukan pada saat penandaan daun dan pengukuran VI dilakukan pada saat pengambilan
sampel lamun.
Tabel 2. Kecepatan pertumbuhan daun T. hemprichii pada perairan Pulau Bone Batang.
6.0
5.0
Rata-rata Pertumbuhan (mm/hari)
4.0 4.1
3.6
3.3
3.0 2.9
2.6
2.0
1.0 1.1
0.0
0 1 2 3 4 5 6 7
Daun ke -
Gambar 3. Grafik rata-rata dan standar deviasi dari pertumbuhan daun T. hemprichii di perairan Pulau
Bone Batang.
Dari data pada Tabel 3 di atas diketahui juga bahwa biomassa di bawah substrat lebih banyak daripada
biomassa di atas substrat. Peneliti lain menemukan bahwa biomassa akar yang tinggi pada sedimen karbonat
yang mengandung nutrien yang rendah merupakan suatu adaptasi dari tumbuhan lamun tersebut untuk
meningkatkan nutrien melalui penyerapan oleh akar. Biomassa akar dan rhizoma yang tinggi berhubungan
juga dengan kemampuannya untuk bertahan terhadap ombak5).
Produksi tegakan
Lokasi (g/tegakan/hari) Produksi padang lamun (g/m2/hari)
Pulau Bone Batang 0.004 9.99
DAFTAR PUSTAKA
2. Azkab, M.H. 2000. Struktur dan fungsi pada komunitas lamun. Oseana, XXV (3), 9-17.
3. Duarte, C.M., Marba, N., Agawin, N., Cebrian, J., Enriquez, S., Fortes, M.D., Gallegos, M.E., Merino,
M., Olesen, B., Sand-Jensen, K., Uri, J. and Vermat, J. 1994. Reconstruction of seagrass dynamics:
age and determinations and associated tools for the seagrass ecologist. Mar. Ecol. Prog. Ser., 107,
195-209.
4. Short, F. T. and Duarte, C.M. 2003. Methods for the Measurement of Seagrass Growth and Production.
In F.T. Short and R.G. Coles (eds), Global Seagrass Research Methods. Elsevier. Amsteradam.
5. Erftemeijer, P. 1993. Factor Limiting Growth And Production Of Tropical Seagrasses: Nutrient Dynamics
In Indonesian Seagrass Beds. Krips Repro Meppel. Netherlands.
6. Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A. And Moosa, M.K. 1997. The ecology of the indonesian seas. Part
Two. Periplus Editions. Singapore.
7. Rollon, R.N., Vermaat, J.E.and Nacorda, H. M.E. 2003. Sexual reproduction in SE Asian seagrasses:
the absence of a seed bank inThalassia hemprichii. Aqua. Bot., 75 (2), 181-185.
8. Den Hartog, C., 1970. The seagrasses of the world. Verhandelingen, Afdeling Natuurkunde. Koninklijke
Nederlandse Akademie Van Wetenschappen. North Holland Publishing Company, Amsterdam-London.
9. Kuo, J. and den Hartog, C. 2003. Seagrass Taxonomy and Identification Key. In F.T. Short and R.G.
Coles (eds), Global Seagrass Research Methods. Elsevier. Amsterdam.
10. Martins, A.R.O. and Bandeira, S.O. 2001. Biomass distribution and leaf nutrient concentrations and
resorption of Thalassia hemprichii at Inhaca Island, Mozambique. South Afr. J. Bot., 67 (3), 439-442.
11. Enríquez, S., Merino, M.and Iglesias-Prieto, R. 2002. Variations in the photosynthetic performance
along the leaves of the tropical seagrass Thalassia testudinum. Mar. Biol., 140 (5), 891-900.
12. Stapel, J., Hemminga, M.A., Bogert,C.G. and Maas, Y.E.M. 2001. Nitrogen (15N) Retention in Small
Thalassia hemprichii Seagrass Plots in an Offshore Meadow in South Sulawesi, Indonesia. Limnol.
Oceanograp., 46 (1),. 24-37.
13. Fortes, M.D. 1989. Sea grasses: A resource unknown in the ASEAN Region. ICLARM Education
Series 5, International Center for Living Aquatic Resources Management. Manila.