Anda di halaman 1dari 14

BERIMAN KEPADA ALLAH

Iman kepada Allah mengandung empat unsur :

1. Beriman kepada wujudnya Allah

Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara', dan indra.

1. Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah
setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan
fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang memalingkannya.

Rasulullah SAW bersabda :

"Semua bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, ibu bapaknyalah yang menjadikan ia yahudi,
nasrani, atau majusi." (HR. Al-Bukhari).

2. Bukti akal tentang wujud Allah adalah proses terjadinya semua makhluk, bahwa semua
makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin
makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula terjadi secara kebetulan. Tidak
mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat mencipakan
dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada.

Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan karena setiap yang diciptakan pasti
membutuhkan pencipta. Adanya makhluk dengan aturan aturan yang indah, tersusun rapi, dan
saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama lainnya.

Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu
yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur.

Kalau makhluk tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan,
maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam.
Allah SWT menyebutkan dalail aqli (akal) dan dalil qath'i dalam surat Ath thur :

"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka
sendiri)?" ( QS. Ath-thur : 35).

Dari ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak
menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah SWT.

Ketika Jubair bin Muth'im mendengar dari Rasulullah SAW yang tengah membaca surat Ath-
thur dan sampai kepada ayat-ayat ini :

"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun, ataukah mereka menciptakan (diri mereka
sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak
meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Robbmu atau
merekalah yang berkuasa?" ( QS. At-Thur : 35-37).

Ia, yang tatkala itu masih musyrik berkata : "hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan
menetapnya keimanan dalam hatiku." (HR. Al-Bukhari).

Dalam hal ini Kami ingin memberikan satu contoh. Kalau ada sesorang berkata kepada anda
tentang istana yang dibangun, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri sungai-sungai, dialasi oleh
hamparan karpet, dan dihiasi dengan berbagai perhiasan pokok dan penyempurna, lalu orang itu
mengatakan kepada anda bahwa istana dengan segala kesempurnaanya ini tercipta dengan
sendirinya, atau tercipta secara kebetulan tanpa pencipta, pasti anda tidak akan mempercayainya,
dan menganggap perkataan itu adalah perkataan dusta dan dungu. Kini Kami bertanya kepada
anda, masih mungkinkah alam semesta yang luas ini beserta apa-apa yang ada di dalamnya
tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara kebetulan?.

3. Bukti syara' tentang wujud Allah SWT bahwa seluruh kitab samawi ( yang diturunkan dari
langit ) berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang
dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Robb yang maha
Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluk-Nya. Berita-berita alam semesta yang
dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga
merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dati Robb Yang Maha Kuasa untuk
mewujudkan apa yang diberitakan itu.

4. Bukti inderawi tentang wujud Allah SWT dapat dibagi menjadi dua:

a. kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya do'a orang-orang yang berdo'a serta
penolong-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini
menunjukkan secara pasti tentang wujud Alah SWT.

Allah berfirman :
"Dan (ingatlah kisah) Nuh sebelum itu ketika dia berdo'a, dan Kami memperkenankan do'anya,
lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar." ( QS. Al-Anbiya : 76).

"Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Robbmu, lalu diperkenankannya bagimu
…" ( QS. Al-Anfal : 9)

Anas bin Malik t berkata : " Pernah ada seorang badui datang pada hari jum'at. Pada waktu itu
Nabi SAW tengah berkhotbah. Lelaki itu berkata : "Hai Rasul Allah, harta benda Kami telah
habis, seluruh warga sudah kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah SWT untuk
mengatasi kesulitan Kami. "Rasululah lalu mengangkat kedua tangannya dan berdo'a. tiba-tiba
awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung. Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan
turun membasahi jenggotnya. Pada hari jum'at yang kedua, orang badui atau orang lain berdiri
dan berkata : 'Hai Rasulullah, bangunan Kami hancur dan harta bendapun tenggelam, doakanlah
Kami ini kepada Allah (agar selamat).' Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya, seraya
berdo'a : "Ya Robbku, turunkanlah hujan di sekeliling Kami, dan jangan Engkau turunkan
sebagai bencana bagi Kami." Akhirnya beliau tidak mengisyaratkan pada suatu tempat kecuali
menjadi terang (tanpa hujan)." (HR. Al-Bukhari).

b. Tanda-tanda para Nabi yang disebut mukjizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak
orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud yang mengutus para Nabi tesebut, yaitu Allah
SWT, karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai
penguat dan penolong bagi para Rasul.

Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukul laut dengan tongkatnya, Musa
memukulnya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di
antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman, yang
artinya :

"Lalu Kami mewahyukan kepada Musa : "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu." Maka
terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar." ( QS. Asy-Syuara'
: 63).

Contoh kedua adalah mukjizat Nabi Isa AS ketika menghidupkan orang-orang yang sudah mati;
lalu mengeluarkannya dari kubur dengan izin Allah.

Allah SWT berfirman yang artinya :

"… dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah…" (QS. Al-Imran : 49).

" … dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan
izinKu .." ( QS. Al-Maidah : 110).

Contoh ketiga adalah mukjizat Nabi Muhammad SAW ketika kaum Quraisy meminta tanda atau
mukjizat. Beliau mengisyaratkan pada bulan, lalu terbelahlah bulan itu menjadi dua, dan orang-
orang dapat menyaksikannya.
Allah SWT berfirman tentang hal ini yang artinya :

"Telah dekat (datangnya) saat (kiamat) dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang
musyrik) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata : "(ini adalah) sihir yang
terus-menerus." (QS. Al-Qomar 1-2).

Tanda-tanda yang diberikan Allah, yang dapat dirasakan oleh indera kita itu adalah bukti pasti
wujudNya.

1. Dalil-Dalil Tentang Iman Kepada Allah

Firman Allah SWT:


Wahai orang yang beriman; berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW),
kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang telah diturunkan sebelumnya.
Barangsiapa kafir (tidak beriman) kepada Allah, malaikat-Nya. kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya
dan Hari Akhirat, maka sesungguhnya orang itu sangat jauh tersesat. QS. an-Nisaa’ (4): 136.
Dan Tuhan itu, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Pemurah dan
Maha Penyayang. QS. al-Baqarah (2): 163.
Allah itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Dia, yang hidup tidak berkehendak kepada selain-Nya,
tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya lah segala sesuatu yang ada di langit dan di
bumi. Bukankah tidak ada orang yang memberikan syafaat di hadapan-Nya jika tidak dengan
seizin-Nya? Ia mengetahui apa yang di hadapan manusia dan apa yang di belakang mereka,
sedang mereka tidak mengetahui sedikit jua pun tentang ilmu-Nya, kecuali apa yang
dikehendaki-Nya. Pengetahuannya meliputi langit dan bumi. Memelihara kedua makhluk itu
tidak berat bagi-Nya. Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. QS. al-Baqarah (2): 255.
Dialah Allah, Tuhan Yang Tunggal, yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui perkara
yang tersembunyi (gaib) dan yang terang Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dialah
Allah, tidak tidak ada Tuhan selain Dia, Raja Yang Maha Suci, yang sejahtera yang memelihara,
yang Maha Kuasa. Yang Maha Mulia, Yang Jabbar,lagi yang Maha besar, maha Suci Allah dari
segala sesuatu yang mereka perserikatkan dengannya. Dialah Allah yang menjadikan, yang
menciptakan, yang memberi rupa, yang mempunyai nama-nama yang indah dan baik. Semua isi
langit mengaku kesucian-Nya. Dialah Allah Yang Maha keras tuntutan-Nya, lagi Maha
Bijaksana. QS. al-Hasyr (59): 22-24

Dalam Surat Al-Ikhlash, yang mempunyai arti:

“Katakanlah olehmu (hai Muhammad): Allah itu Maha Esa. Dialah tempat bergantung segala
makhluk dan tempat memohon segala hajat. Dialah Allah, yang tiada beranak dan tidak
diperanakkan dan tidak seorang pun atau sesuatu yang sebanding dengan Dia.” QS. al-Ikhlash
(112): 1-4.

Sabda RasululIah SAW:


Katakanlah olehmu (wahai Sufyan, jika kamu benar-benar hendak memeluk Islam): Saya telah
beriman akan Allah; kemudian berlaku luruslah kamu. (HR. Taisirul Wushul, 1: 18).
Manusia yang paling bahagia memperoleh syafaat-Ku di hari kiamat, ialah: orang yang
mengucapkan kalimat La ilaha illallah. (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12).
Barangsiapa mati tidak memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk surga. Dan
barangsiapa mati tengah memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk neraka. (HR.
Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12.

2. Pengertian Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah ialah:

1. Membenarkan dengan yakin akan adanya Allah;


2. Membenarkan dengan yakin akan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya menciptakan alam
makhluk seluruhnya, maupun dalam menerima ibadat segenap makhluk-Nya;
3. Membenarkan dengan yakin, bahwa Allah bersifat dengan segala sifat sempurna, suci dari
segala sifat kekurangan dan suci pula dari menyerupai segala yang baharu (makhluk).

Demikianlah pengertian iman akan Allah, yang masing-masing diuraikan dalam pasal-pasal yang
akan datang.

Makrifat

Perlu dijelaskan lebih dahulu, bahwa membenarkan dalam pengertian iman seperti yang tersebut
di atas, ialah suatu pengakuan yang didasarkan kepada makrifat. Karena itu perlulah kiranya
diketahui dahulu akan arti dan kedudukan makrifat itu.

Makrifat ialah: “Mengenal Allah Tuhan seru sekalian alam” untuk mengenal Allah, ialah dengan
memperhatikan segala makhluk-Nya dan memperhatikan segala jenis kejadian dalam alam ini.
Sesungguhnya segala yang diciptakan Allah, semuanya menunjukkan akan “adanya Allah”.
memakrifati Allah, maka Dia telah menganugerahkan akal dan pikiran. Akal dan pikiran itu
adalah alat yang penting untuk memakrifati Allah, Zat yang Maha Suci, Zat yang tiada bersekutu
dan tiada yang serupa. Dengan memakrifati-Nya tumbuhlah keimanan dan keislaman. Makrifat
itulah menumbuhkan cinta, takut dan harap. Menumbuhkan khudu’ dan khusyuk didalam jiwa
manusia. Karena itulah makrifat dijadikan sebagai pangkal kewajiban seperti yang ditetapkan
oleh para ahli ilmu Agama. Semuanya menetapkan: “Awwaluddini, ma’rifatullah permulaan
agama, ialah mengenal Allah”. Dari kesimpulan inilah pengarang az-Zubad merangkumkan
syairnya yang berbunyi:
Permulaan kewajiban manusia, ialah mengenal akan Allah dengan keyakinan yang teguh.

Dalam pada itu, harus pula diketahui, bahwa makrifat yang diwajibkan itu, ialah mengenali sifat-
sifat-Nya dan nama-nama-Nya yang dikenal dengan al-Asmaul Husna (nama-nama yang indah
lagi baik). Adapun mengetahui hakikat Zat-Nya, tidak dibenarkan, sebab akal pikiran tidak
mampu mengetahui Zat Tuhan. Abul Baqa al-’Ukbary dalam Kulliyiat-nya menulis: “ada dua
martabat Islam: (l) di bawah iman, yaitu mengaku (mengikrarkan) dengan lisan, walaupun hati
tidak mengakuinya; dan (2) di atas iman, yaitu mengaku dengan lidah mempercayai dengan hati,
dan mengerjakan dengan anggota”.
Sebagian besar ulama Hanafiyah dan ahli hadits menetapkan bahwa iman dan Islam hanya satu.
Akan tetapi Abul Hasan al-Asy’ari mengatakan: Iman dan Islam itu berlainan”.

Abu Manshur al-Maturidi berpendapat, bahwa: “Islam itu mengetahui dengan yakin akan adanya
Allah, dengan tidak meng-kaifiyat-kan-Nya dengan sesuatu kaifiyat, dengan tidak
menyerupakan-Nya dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya. Tempatnya yang tersebut ini, ialah
dalam hati. Iman ialah mempercayai (mengetahui) akan ketuhanan-Nya dan tempatnya ialah di
dalam dada (hati). Makrifat ialah mengetahui Allah dan akan segala sifat-Nya. Tempatnya ialah
di dalam lubuk hati (fuad). Tauhid ialah mengetahui (meyakini) Allah dengan keesaan-Nya.
Tempatnya ialah di dalam lubuk hati dan itulah yang dinamakan rahasia (sir).

Inilah empat ikatan, yakni: lslam, iman, makrifat, dan tauhid yang bukan satu dan bukan pula
berlainan. Apabila keempat-empatnya bersatu, maka tegaklah Agama.

3. Cara Mengakui Ada-Nya Allah

Mengakui ada-Nya Allah, ialah: “Mengakui bahwa alam ini mempunyai Tuhan yang wajib
wujud (ada-Nya), yang qadim azali, yang baqi (kekal), yang tidak serupa dengan segala yang
baharu. Dialah yang menjadikan alam semesta dan tidaklah sekali-kali alam ini terjadi dengan
sendirinya tanpa diciptakan oleh yang wajib wujud-Nya itu”.

Demikianlah ringkasan cara mengetahui akan ada-Nya Allah, Sang Maha Pencipta dan Maha
Pengendali alam yang sangat luas dan beraneka ragam ini.

4. Cara Menetapkan Ada-Nya Allah

Agama Islam menetapkan ada-Nya Tuhan (Wujudullah) dengan alasan yang jitu dan tepat, yang
tidak dapat dibantah dan disanggah; karena alasan yang dikemukakan oleh Agama Islam (al-
Qur’an) adalah nyata, logis (manthiqy) dan ilmiah.

Dalailul Wujud atau Dalailut Tauhid ini dibahas dalam kitab-kitab ilmu kalam, karenanya
baiklah kita tinjau lebih dahulu keadaan perkembangan ilmu kalam itu.

4.1. Aliran Kitab Tauhid

Untuk menjelaskan dalil-dalil yang diperlukan dalam menetapkan dasar-dasar aqidah, para
ulama tauhid (ulama kalam), dari abad ke abad terus-menerus menyusun berbagai rupa kitab
tauhid dan kitab kalam.

Dalam garis besarnya kitab-kitab tersebut terbagi atas tiga aliran:

(1) Aliran Salafi atau Ahlun Nash. Di antara pemukanya ialah Imam Ahmad Ibn Hanbal.
(2) Aliran Ahlul I’tizal (Mu’tazilah) yang dipelopori oleh Washil ibn ‘Atha’.
(3) Aliran Asy’ari, yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy’ari. jejaknya berturut-turut diikuti
oleh Abu Bakar al-Baqillani, al-Juani, al-Ghazali, Ibnul Kathib, al-Baidawi dan ulama-ulama
lain seperti ath- Thusi, at-Taftazani dan al-Ijzi.
Di samping itu ada pula aliran Maturidi, yang dipelopori oleh Abu Manshur al-Maturidi.
Cuma yang disayangkan ialah kebanyakan kitab-kitab yang disusun belakangan, tidak
berdasarkan Salafi dan tidak pula berdasarkan nadhar yang benar. Setengahnya ada yang
mendasarkan kepercayaan kepada dalil-dalil yang dapat dibantah oleh para filosof dan tidak
dapat dipertahankan.2

1. Dari 1 sampai 10, baik dilewati, jika ingin langsung mempelajari dalil-dalil ada-Nya Allah
atau dalailul wujud atau dalailut tauhid.
2. Lihat. ‘Abdurrahman al-Jazairi Taudihul ‘Aqa’id.

4.2. Pengertian Ilmu Tauhid

Ada beberapa ta’rif ilmu tauhid yang diberikan oleh para ulama. Di bawah ini disebutkan
beberapa diantaranya yang dipandang tepat dengan yang dimaksud.

Pertama: Ilmu tauhid, ialah “ilmu yang membahas dan melengkapkan segala hujjah, terhadap
keimanan, berdasarkan dalil-dalil akal serta menolak dan menangkis segala paham ahli bid’ah
yang keliru, yang menyimpang dari jalan yang lurus”.

Kedua: Ilmu tauhid, ialah ilmu yang di dalamnya dibahas:

[1] Tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya yang wajib di-itsbat-kan bagi-Nya, sifat-sifat yang
harus (mumkin) bagi-Nya dan sifat-sifat yang wajib ditolak daripada-Nya.
[2] Tentang kerasulan rasul-rasul untuk membuktikan dan menetapkan kerasulannya; tentang
sifat-sifat yang wajib baginya; sifat-sifat yang mumkin dan tentang sifat-sifat yang mustahil
baginya.

Ta’rif pertama, memasukkan segala soal keimanan, baik mengenai ketuhanan, kerasulan,
maupun mengenai soal-soal gaib yang lain, seperti soal malaikat dan akhirat. Tegasnya,
melengkapi Ilahiyat, (soal-soal ketuhanan), nubuwwat (kenabian, kitab, malaikat) dan Sam’iyat
(soal-soal keakhiratan, alam gaib). Ta’rif yang kedua mengkhususkan ilmu tauhid dengan soal
yang mengenai ketuhanan dan kerasulan saja.

Dengan berpegang pada ta’rif yang pertama, maka sebahagian ulama tauhid membahas soal-soal
malaikat, soal-soal kitab, soal-soal kadar, soal-soal akhirat, dan lain-lain yang berhubungan
dengan soal beriman di bagian akhir dari kitab-kitab mereka.

Ulama yang berpegang pada ta’rif yang kedua, hanya membahas soal-soal yang mengenai
ketuhanan dan kerasulan saja. Risalah Tauhid Muhammad Abduh yang sangat terkenal dalam
dunia ilmu pengetahuan adalah salah satu dari kitab yang berpegang pada takrif kedua.3

3. Risalah Tauhid.

4.3. Perkembangan Ilmu Tauhid Dalam Sejarah Dan Cara Al-Qur’an Membicarakannya
Ilmu yang membahas dasar-dasar iman kepada Allah dan Rasul, telah sangat tua umumnya. Di
setiap umat sejak zaman purba, ada ulamanya yang membahas ilmu ini. Cuma, mereka dahulu
tidak mendasarkan penerangan-penerangan yang mereka ajarkan, kepada alasan-alasan akal;
bahkan mereka kurang sekali mendasarkan kepercayaan kepada hukum dan karakter alam.

Al-Qur’an yang didatangkan untuk menyempurnakan segala yang masih kurang, segala yang
belum sempurna, memakai cara dan sistem berpadanan dengan perkembangan akal dan
kemajuan ilmu. Al-Qur’an menerangkan iman dengan mengemukakan dalil serta membantah
kepercayaan yang salah dengan memberikan alasan-alasan yang membuktikan kesalahannya. Al-
Qur’an menghadapkan pembicaraannya kepada akal serta membangkitkan dari tidurnya dan
membangunkan pikiran dengan meminta pula supaya ahli-ahli akal itu memperhatikan keadaan
alam. Maka al-Qur’an-lah akal bersaudara kembar dengan iman.

Memang diakui oleh ulama-ulama Islam, bahwa diantara “ketetapan agama”, ada yang tidak
dapat diitikadkan (diterima kebenarannya) kalau bukan karena akal menetapkannya, seperti:
mengetahui (meyakini) ada-Nya Allah, qudrat-Nya, ilmu-Nya dan seperti membenarkan
kerasulan seseorang rasul. Demikian juga mereka bermufakat menetapkan, bahwa mungkin
agama mendatangkan sesuatu yang belum dapat dipahami akal. Akan tetapi, mungkin agama
mendatangkan yang mustahil pada akal.

Al-Qur’an mensifatkan Tuhan dengan berbagai sifat yang terdapat namanya pada manusia,
seperti: qudrat, ikhtiyar, sama’, dan bashar. karena al-Qur’an menghargai akal dan
membenarkan hukum akal, maka terbukalah pintu nadhar (penyelidikan) yang lebar bagi ahli-
ahli akal (ahli-ahli nadhar) itu dalam menetapkan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an dengan
sifat-sifat itu. Pintu nadhar ini membawa kepada berwujud berbagai rupa paham diantara para
ahli akal atau nadhar. Perselisihan yang terjadi karena berlainan nadhar ini, dibenarkan al-Qur’an
asal saja tidak sampai kepada meniadakan sifat-sifat Tuhan, seperti yang diperbuat oleh
golongan Mu’aththilah dan tidak sampai kepada menserupakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-
sifat makhluk, sebagai yang dilakukan oleh golongan Musyabbihah.

Para ulama salah mensifatkan tuhan dengan sifat-sifat yang tuhan sifatkan diri-Nya dengan tidak
meniadakan-Nya, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk dan tidak menakwilkannya. Para
mutakalimin khalaf mensifatkan Tuhan dengan cara menakwilkan beberapa sifat yang menurut
pendapat mereka perlu ditakwilkan. Golongan mutakalimin khalaf membantah ta’thil
(meniadakan sifat Tuhan) dan membantah tamsil (menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat
rnakhluk).

Ringkasnya, para salaf beritikad sepanjang yang dikehendaki oleh lafadh. tetapi dengan
mensucikan Allah dari serupa dengan makhluk. 4

4. Perhatikan uraian Dr. Muhammad al-Bahy dalam al-Janibul llahi.

4.4. Kedudukan Nadhar Dalam Islam

Dalam kitab Hawasyil Isyarat disebutkan, bahwa nadhar itu ialah menggunakan akal di sekitar
masalah yang dapat dijangkau oleh akal (ma’qulat).
Para filosof bermufakat, bahwa nadhar itu hukum yang digunakan dalam mengetahui dalil.
Alasan yang menegaskan bahwa nadhar ini sah dan menghasilkan keyakinan, ialah bahwa dalam
alam ini terdapat kebenaran dan kebatalan. Manusia juga terbagi atas dua macam: Ahli hak dan
ahli batal. Tidak dapat diketahui mana yang hak dan mana yang batal. kalau bukan dengan
nadhar. Dengan demikian maka fungsi nadhar (penelitian) ialah untuk menjelaskan hal-hal yang
gaib agar dapat dicerna oleh akal disamping menentukan mana yang benar diantara dua pendapat
yang berbeda. Melalui nadhar, manusia bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan. Untuk
mengetahui mana yang hak dan mana yang batal. mana yang kufur dan mana yang iman,
demikian pula untuk mengenal Allah dan Rasul-Nya lebih jelas haruslah melalui nadhar. Karena
itu, bertaklid buta. Tidak mau lagi melakukan nadhar adalah keliru sesat dan menyesatkan.
Dalam al-Qur’an cukup banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan untuk melakukan
nadhar. Diantara-nya ialah:

Katakanlah ya Muhammad: “Lihatlah apa yang di langit dan di bumi; dan tidak berguna tanda-
tanda dan peringatan-peringatan kepada kaum yang tidak beriman”. (QS. Yunus (l0): 10l).

Mengapakah mereka tidak melihat kepada alam (malakut) langit dan bumi dan kepada apa yang
Allah jadikan?. (QS. al-A’raf (7): 185).

Maka ambil ibaratlah wahai ahli akal. (QS. al-Hasyr (59): 2).

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim bumi malakut (langit) dan bumi. (QS. al-
An’am (6): 75).

Ayat-ayat tersebut diatas adalah nash yang tegas yang mendorong untuk melakukan nadhar
terhadap segala maujud, dan menjadi nash yang tegas pula yang mewajibkan kita memakai qiyas
‘aqli atau qiyas manthiqi dan sya’i. Ayat yang terakhir menerangkan, bahwa Allah telah nadhar
kepada Ibrahim as.

4.5. Kedudukan Akal Dalam Pandangan Islam

Dalam kitab Hawasyil-Isyarat diterangkan bahwa akal itu, ialah tenaga jiwa untuk memahami
mujarradat (sesuatu yang tidak dapat diraba atau dirasa dengan pancaindera). Kekuatan jiwa
yang mempersiapkan untuk memikir (berusaha), dinamai dzihin. Gerakan jiwa untuk memikir
sesuatu agar diperoleh apa yang dimaksudkan, dinamai fikir.

Tersebut dalam suatu kitab falsafah: “Akal itu suatu kekuatan untuk mengetahui makna
mujarradat, makna yang diperoleh dari menyelidiki dan rupa-rupa benda”. memperhatikan rupa-
rupa benda”. Al-Mawardi dalam A’lamun-Nubuwwah menulis: “Akal itu suatu tenaga yang
memberi faedah bagi kita mengetahui segala yang menjadi kepastiannya”. Ada pula yang
mengatakan: “Akal itu kekuatan yang membedakan yang hak dengan yang batal”.

Al-Mawardi membagi akal kepada: gharizi dan kasbi. Gharizi adalah pokok akal, sedang kasbi
adalah cabang yang tumbuh daripadanya: itulah akal yang dengannya berpaut dan bergantung
taklif dan beribadat. Adapun akal kasbi (akal muktasab), ialah akal yang digunakan untuk
berijtihad dan menjalankan nadhar. Akal ini tidak dapat terlepas dari akal gharizi, sedang akal
gharizi mungkin terlepas dari akal ini.

4.6. Martabat Akal Dalam Memahami Hakikat

Para hukama berpendapat bahwa manusia memahami hakikat dengan jalan: [1] dengan
pancaindera, dalam hal ini manusia sama dengan hewan; dan [2] dengan akal (rasio).

Mengetahui sesuatu dengan akal hanya tertentu bagi manusia. Dengan akallah manusia berbeda
dari binatang.

Orang yang telah biasa memperhatikan soal-soal yang ma’qulat (yang diperoleh melalui akal)
nyata kepadanya kemuliaan dan keutamaan yang diketahuinya itu. Baginya terang pula bahwa
yang diketahui melalui indera pemandangan akal sama dengan sesuatu yang masib kabur,
dibanding sesuatu yang telah dapat dipastikan baiknya melalui akal. Inilah sebabnya Al-Qur’an
dalam seruannya kepada mengakui ada-Nya Allah dari keesaan-Nya, membangkitkan akal dari
tidurnya. Seruan yang begini, tidak dilakukan oleh umat-umat yang dahulu. sebagai yang sudah
dibayangkan sebelum ini.

4.7. Bukti Kelebihan Dan Keutamaan Akal Atas Pancaindera

Para hukama telah membuktikan, bahwa akal lebih mulia dari pancaindera. Apa yang diperoleh
akal lebih kuat dari yang didapati pancaindera.

Alasannya:

[1] Pancaindera hanya dapat merasa, melihat dan membaui.


[2] Akal dapat menjelaskan tentang adanya Zat Tuhan. sifat-sifat-Nya dan berbagai soal yang
hanya bisa diperoleh melalui akal, dan berbagai macam pengetahuan hasil nadhar.
[3] Akal dapat sampai pada hakikat, sedang pancaindera hanya memperoleh yang lahir saja,
yaitu yang terasa saja.
[4] Akal tidak berkesudahan, sedang pancaindera adalah berkesudaban (hiss).

4.8. Akal Pokok Pengetahuan

Al-Mawardi berpendapat, bahwa dalil itu, ialah sesuatu yang menyampaikan kepada meyakini
mad-lul-nya. Dalil-dalil diyakini dengan jalan akal dan mad-lul-nya diyakini dengan jalan dalil.
Tegasnya, akal itu menyampaikan kepada dalil; dia sendiri bukan dalil. Karena akal itu pokok
segala yang diyakini, baik dalil maupun madlul. Mengingat hal ini dapatlah dikatakan, akal
adalah pokok pengetahuan (al-’aqlu ummul ‘ulum). Ilmu yang diperoleh daripadanya ialah
pembeda kebenaran dari kebatalan; yang shahih yang fasid; yang mumkin dari yang mustahil.

Ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal, ada dua macam: Idthirari dan Iktisabi.

1. Ilmu Idthirari, ialah ilmu yang diperoleh dengan mudah, tidak perlu melakukan nadhar yang
mendalam. Ilmu ini terbagi dua: [1] yang terang dirasakan; dan [2] berita-berita mutawatir.
Ilmu yang dirasakan atau yang diperoleh dengan hiss, datang sesudah akal, dan ilmu khabar
mendahului akal.

Ilmu Idthirari ini, tidak memerlukan nadhar dan istidal; karena mudah diketahui. Khawwash dan
‘awwam dapat mengetahuinya, ilmu yang diperoleh dengan jalan ini, tidak ada yang
mengingkarinya.

2. Ilmu Iktisabi, ialah ilmu yang diperoleh dengan jalan nadhar dan istidal. Dia tidak mudah
diperoleh. Ilmu inilah yang memerlukan dalil atau dimintakan dalilnya.

Ilmu Iktisabi ini terbagi dua juga:

- yang ditetapkan oleh akal (berdasarkan ketetapan-ketetapan akal).


- yang ditetapkan oleh hukum-hukum pendengaran (yang diterima dari syara’).

Hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan akal terbagi dua pertama, yang diketahui karena
mengambil dalil dengan tidak berhajat kepada dalil akal (nadhar); kedua, yang diketahui karena
mengambil dalil dengan dalil-dalil akal.

Yang diketahui dengan tidak perlu kepada dalil akal (nadhar) ialah yang tidak boleh ada
lawannya, seperti keesaan Allah. Dengan sendirinya akal dengan mudah mengetahui keesaan
Tuhan itu. Yang diketahui dengan memerlukan dalil akal, ialah: yang boleh ada lawannya,
seperti seseorang nabi mendakwakan kenabiannya. Ringkasnya mengetahui atau meyakini
keesaan Allah tidak memerlukan akan akal; sebab dengan mudah akal dapat mengetahuinya.
Adapun meyakini kerasulan seseorang rasul, memerlukan dalil akal.

Ketetapan-ketetapan yang berdasarkan hukum pendengaran, diterima dari Shahibisy Syari’ah,


sedang akal disyaratkan dalam melazimi ketetapan-ketetapan itu, walaupun pendengaran tidak
disyaratkan dalam soal-soal yang ditetapkan akal semata-mata.

Hukum-hukum yang ditetapkan oleh pendengaran ada dua macam: yakni: Ta’abbud dan Indzar.
Ta’abbud mencakup larangan dan suruhan. Indzar, mencakup wa’ad dan wa’id.

4.9. Jalan Mengetahui ada-Nya Allah

Abu Haiyan mengatakan: Mengetahui ada-Nya Allah adalah daruri, jika ditinjau dari sudut akal,
dan nadari dari sudut hiss pancaindera.

Ilmu adakala dituntut melalui akal, dalam soal-soal yang dapat dipikirkan (ma’qulat), adakala
dituntut dengan hiss (pancaindera) dalam soal-soal yang dirasakan. Seseorang manusia bisa
memikir, bahwa mengetahui ada-Nya Allah adalah suatu iktisab (hal yang diperoleh dengan
jalan istidlal): karena hiss itu mencari-cari dan membolak-balikkan masalah dengan pertolongan
akal. Dia dapat pula memikiri, bahwa mengetahui ada-Nya Allah, daruri; karena akal yang
sejahtera menggerakkan manusia kepada mengakui ada-Nya Allah dan menyalahkan akal
mengingkari-Nya.
Al-Farabi dalam al-Fushush (fash yang empat belas, menulis: “Anda dapat memperhatikan alam
makhluk, kalau anda lihat tanda-tanda pembuatan. Tetapi juga anda dapat meninjau alam mahad
(alam yang terlepas dari kebendaan), lalu anda yakini, bahwa tidak boleh tidak ada-Nya Zat. Dan
dapat pula anda mengetahui betapa seharusnya sifat-sifat yang ada pada Zat itu. Kalau anda
memandang alam maddah, berarti anda naik dan kalau anda memperhatikan alam mahad, berarti
anda turun”.

arti Iman Kepada Allah

Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan memperbuat
dengan anggota badan (beramal). Dengan demikian iman kepada Allah berarti
meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT itu ada, Allah Maha Esa. Keyakinan
itu diucapkan dalam kalimat :
‫أشهد أن الإله إال هللا‬
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah”
Sebagai perwujudan dari keyakinan dan ucapan itu, harus diikuti dengan perbuatan,
yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
Rukun Iman yang pertama adalah iman kepada Allah SWT yang merupakan dasar dari
seluruh ajaran Islam. Orang yang akan memeluk agama Islam terlebih dahulu harus
mengucapkan kalimat syahadat. Pada hakekatnya kepercayaan kepada Allah SWT
sudah dimiliki manusia sejak ia lahir. Bahkan manusia telah menyatakan keimanannya
kepada Allah SWT sejak ia berada di alam arwah. Firman Allah SWT :
‫وإذ اخذ ربك من بني أدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على انفسهم الست‬
‫بربكم قالوا بلى شهدنا‬
“Dan ingatlah, ketika TuhanMu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) :
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul Engkau Tuhan kami, kami
bersaksi.” (QS. Al-A’raf : 172)
Jauh sebelum datangnya agama Islam, orang-orang jahiliyah juga sudah mengenal
Allah SWT. Mereka mengerti bahwa yang menciptakan alam semesta dan yang harus
disembah adalah dzat yang Maha Pencipta, yakni Allah SWT. Sebagaimana
diungkapkan di dalam Al-Qur’an :
‫ولئن سألتهم من خلق السموت واألرض ليقولن خلقهن العزيز العليم‬
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit
dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab : “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha
Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf : 9)
Manusia memiliki kecenderungan untuk berlindung kepada sesuatu Yang Maha Kuasa.
Yang Maha Kuasa itu adalah dzat yang mengatur alam semesta ini. Dzat yang
mengatur alam semesta ini sudah pasti berada di atas segalanya. Akal sehat tidak akan
menerima jika alam semesta yang sangat luas dan teramat rumit ini diatur oleh dzat
yang kemampuannya terbatas. Sekalipun manusia sekarang ini sudah dapat
menciptakan teknologi yang sangat canggih, namun manusia tidak dapat mengatur
alam raya ini. Dengan kecanggihan teknologinya, manusia tidak akan dapat
menghentikan barang sedetik pun bumi untuk berputar.
Dzat Allah adalah sesuatu yang ghaib. Akal manusia tidak mungkin dapat memikirkan
dzat Allah. Oleh sebab itu mengenai adanya Allah SWT, kita harus yakin dan puas
dengan apa yang telah dijelaskan Allah SWT melalui firman-firman-Nya dan bukti-bukti
berupa adanya alam semesta ini.
Ketika Rasulullah SAW endapat kabar tentang adanya sekelompok orang yang
berusaha memikirkan dan mencari hakekat dari dzat Allah, maka beliau melarang
mereka untuk melakukan hal itu. Rasulullah SAW bersabda :
‫عن ابن عباس أن قوما تفكروا فى هللا عزوجل وقال النبي صلى هللا عليه‬
)‫وسلم تفكروا فى خلق هللا وال تفكروا فى ذات هللا (رواه ابو الشيخ‬
“Dari Ibnu Abbas RA, diceritakan bahwa ada suatu kaum yang memikirkan tentang
(hakekat) dzat Allah Azza Wajalla, maka Nabi SAW bersabda : “Pikirkanlah tentang
ciptaan Allah dan janganlah kamu memikirkan (hakekat) dzat Allah.” (HR. Abu Asy-
Syaikh)
Sebagai perwujudan dari keyakinan akan adanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa adalah
pengabdian kita kepada Nya. Pengabdian kita kepada Allah adalah pengabdian dalam
bentuk peribadatan, kepatuhan, dan ketaatan secara mutlak. Tidak menghambakan diri
kepada selain Allah, dan tidak pula mempersekutukan Nya dengan sesuatu yang lain.
Itulah keimanan yang sesungguhnya. Jika sudah demikian Insya Allah hidup kita akan
tentram. Apabila hati dan jiwa sudah tentram, maka seseorang akan berani dan tabah
dalam menghadapi liku-liku kehidupan ini. Segala nikmat dan kesenangan selalu
disyukurinya. Sebaliknya setiap musibah dan kesusahan selalu diterimanya dengan
sabar.

Dasar Beriman Kepada Allah


a. Kecenderungan dan pengakuan hati
b. Wahyu Allah atau Al-Qur’an
c. Petunjuk Rasulullah atau Hadits
Setiap manusia secara fitrah, ada kecenderungan hatinya untuk percaya kepada
kekuatan ghaib yang bersifat Maha Kuasa. Tetapi dengan rasa kecenderungan hati
secara fitrah itu tidak cukup. Pengakuan hati merupakan dasar iman. Namun dengan
pengakuan hati tidak akan ada artinya, tanpa ucapan lisan dan pengalaman anggota
tubuh. Sebab antara pengakuan hati, pengucapan lisan, dan pengalaman anggota
tubuh merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Untuk mencapai keimanan
yang benar tidak hanya berdasarkan fitrah pengakuan hati nurani saja, tetapi harus
dipadukan dengan Al-Qur’an dan Hadits.

Cara Beriman Kepada Allah SWT


Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari seluruh iman yang tergabung dalam
rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari keimanan yang
lain, maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam dengan benar kepada diri
seseorang. Sebab jika iman kepada Allah SWT tidak tertanam dengan benar, maka
ketidak-benaran ini akan berlanjut kepada keimanan yang lain, seperti iman kepada
malaikat-malaikat Nya, kitab-kitab Nya, rasul-rasul Nya, hari kiamat, serta qadha dan
qadar Nya. Dan pada akhirnya akan merusak ibadah seseorang secara keseluruhan. Di
masyarakat tidak jarang kita jumpai cara-cara beribadah seorang yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam, padahal orang tersebut mengaku beragama Islam.
Ditinjau dari segi yang umum dan yang khusus ada dua cara beriman kepada Allah
SWT :
a. Bersifat Ijmali
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat ijmali maksudnya adalah, bahwa kita
mepercayai Allah SWT secara umum atau secara garis besar. Al-Qur’an sebagai suber
ajaran pokok Islam telah memberikan pedoman kepada kita dalam mengenal Allah
SWT. Diterangkan, bahwa Allah adalah dzat yang Maha Esa, Maha Suci. Dia Maha
Pencipta, Maha Mendengar, Maha Kuasa, dan Maha Sempurna.
b. Bersifat Tafshili
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat tafsili, maksudnya adalah mempercayai
Allah secara rinci. Kita wajib percaya dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT memiliki
sifat-sifat yang berbeda dengan sifat-sifat makhluk Nya. Sebagai bukti adalah adanya
“Asmaul Husna” yang kita dianjurkan untuk berdoa dengan Asmaul Husna serta
menghafal dan juga meresapi dalam hati dengan menghayati makna yang terkandung
di dalamnya.

http://cahyaislam.wordpress.com/2009/05/12/dalil-iman-kepada-allah-swt/

http://insanmadanijambi.blogspot.com/2011/09/prinsip-prinsip-dasar-keimanan-iman.html

http://almadinah.or.id/497-beriman-kepada-para-malaikat.html

http://www.dakwatuna.com/2008/08/882/iman-kepada-malaik

http://www.untukku.com/artikel-untukku/dalil-iman-kepada-malaikat-malaikat-allah-untukku.ht

Anda mungkin juga menyukai