NPM: 180110170021
Indra
Dua tahun berlalu, Day percaya Moon setia. Moon percaya Day setia. Di
beranda, Moon membawa peta dunia dan berkata, “Aku ingin ke sini,
Melakukan apa saja.” Telunjuknya mengarah ke jajaran pulau ramping memanjang
di Asia Timur. Day ternyata punya peta sendiri. Telunjuknya hinggap ke tempat- tempat
tropis. Titik-titik hijau yang dikepung samudra. “Aku ingin ke sini”
Moon bertanya, “Mau ikut denganku?” tepat saat Day melontarkan kalimat tanya yang
sama. Di udara ada kalimat kembar meluncur dari mulut yang berbeda.
Nyamuk melintas, nguing-nguing di telinga..
Bukan lelucon. Ini pertanyaan serius. Sangat serius. Tapi mereka justru tertawa. Siapa
yang ikut, diikuti, mengikuti, terikuti? Istri ikut suami. Suami ikut istri? Ada saat tertentu
Moon senang bermain imbuhan. Awalan, sisipan, akhiran yang dipelajari di sekolah dasar
itu sama seksinya dengan baju renang, baju pesta, baju musim panas yang dipasang comot
di tubuh Barbie, mainan masa kecilnya. Setiap kali Moon bermain imbuhan, Day pasti
ikut terkikik-kikik.
Barangkali, setelah dua tahun makan dan tidur bersama, semakin miriplah Moon dengan
Day, semakin miriplah Day dengan Moon. Barangkali, karena sering mandi bersama, dan
saat tidur Moon membenamkan kepala di dada Day, lalu gantian Day membenamkan
kepalanya di dada Moon, maka naik turun nafas dan cara kerja otak Moon terkadang
mengikuti irama naik turun nafas dan cara kerja otak Day.
Terulang lagi keajaiban itu, Kalimat dari bibir Moon dan Day meloncat pada detik yang
sama
Beranda diguncang tawa dan ditingkahi lagi dengan suara nguing nguing. (apakah
ini nyamuk yang tadi?).
Kursi mereka dipisahkan oleh meja kayu kecil bertaplak batik peta Indonesia yang lusuh.
Dibeli Moon saat pengantin baru. Di atas Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Papua,
ada jejak puntung rokok, noda tumpahan minuman dan debu.
“Ke Kyoto yuk! Bagaimana kalau tinggal di sana setahun? Melukis, belajar
kaligrafi, bikin film pendek.. yuk, yuk!”
Dari televisi di ruang dalam, ada sepotong suara menerobos, “Pemirsa, inilah
investigasi kami atas perceraian pedangdut Rinrin dan anggota DPR Jumail.”
Day menggeleng. Ia menunjuk peta di pangkuannya. Oh, hampir lupa. Ia punya rencana
sendiri. Mau ke mana dia? Titik-titik hijau yang dikeliling samudra itu ditunjuknya,
“Hah?”
Hahaha.
Mereka bertatapan lagi. Moon tiba-tiba ingin bercinta. Day juga begitu. Gelombang nafas
dan nyala mata Moon, sama dengan gelombang nafas dan nyala mata Day. Mereka
bergandeng tangan, meninggalkan dua peta perjalanan di beranda, melupakan Kyoto dan
Salomon Islands. Dari celah pintu merayap suara televisi: pedangdut Rinrin tersedu-sedu.
Keduanya tertawa lagi sebelum terjun ke ranjang.
***
Moon dan Day sama-sama memandang langit dengan kembara pikiran berbeda. Day
membayangkan samudra, Moon membayangkan sakura di halaman kuil tua. Angkasa luas
sekali. Sebuah pesawat melintas, cahayanya berkedip. Gelap menyembunyikan gerimis.
Arsiran air itu jatuh di teras menciptakan percik di lantai. Daun-daun suplir menciumi jeruji
pagar. Malam demikian segar. Pucuk- pucuk gedung tinggi remang-remang di kejauhan,
seperti tiang-tiang jangkung yang dirubung kunang-kunang. Seekor burung berupa bayang
pekat, melintas.
Hanya meninggalkan jejak lewat lengkingan suaranya. Di plafon, laron mati di
sekeliling neon. Kelopak sayap serangga kecil itu adalah prajurit gugur, berserakan di
lantai. Kalah berperang melawan cahaya.
“Aku ingin menciptakan haiku sebanyak mungkin untukmu setelah bisa menulis kanji!”
Begitulah, Moon terbang ke utara, Day menceburkan diri ke Samudra Pasifik di selatan.
Perkawinan mereka aman di dalam laci. Tergembok rapih, dijaga dua pembantu yang
senang leyeh-leyeh menonton televisi.
Orang-orang membahas kehidupan mereka penuh gairah. Renggang? Mulai tak cocok?
Ingin berkontemplasi? Pertanda apa ini? Tapi Moon mematikan kelima panca indranya.
Day yang menyarankan.
Moon adalah istri bertubuh mungil yang melintas di jalan dan bertemu orang- orang dengan
membutakan mata, hidung mampet, mulut terkunci, telinga tuli dan lidah kelu. Day adalah
suami dengan dada bidang yang mengintip dari kemeja katun bermotif pohon kelapa yang
tak terkancing, bercelana selutut, bertopi, berkacamata hitam, menenteng kamera, siap
mandi matahari dengan mata tertutup, hidung buntu, mulut terplester, telinga disumpal,
lidah terbius.
Indra mereka tak mau peduli pada gelombang seribu asumsi di luar sana.
Day senantiasa membayangkan dirinya ikan di samudra luas. Ia suka sekali pada pantai,
pada terumbu, pada tebaran kerang, pada potongan perahu penjelajah yang karam
terhantam karang. Adapun Moon percaya bahwa dirinya
adalah keturunan Shogun (atau sesekali ia membayangkan dirinya cucu orang Ainu),
yang mudah terharu memandangi kelopak-kelopak sakura yang diterbangkan angin,
atau merinding melihat daun momiji memerah yang jatuh menutupi ujung sepatu
pejalan. Day berenang, berjemur, menyelam, dan merenung-renung. Moon belajar
menulis huruf kanji, membaca haiku di tepi kolam ikan bermahkota teratai, dan juga
merenung-renung. Oh iya juga gemar memetik bunga ajisai yang dihantam hujan bulan
juni.
***
Moon adalah musim semi, membawa panas, dingin, angin, cahaya, hujan secara tiba-tiba,
acak dan tanpa rencana. Sulit ditebak apa maunya, ke mana arahnya. Day adalah pohon
yang bergetar dalam panas dan dingin, gemetar diterpa angin, cahaya dan hujan. Ia seperti
ikan paus kesepian, yang terdampar dan dihadang tombak nelayan.
ya? Jadi..?”
“Ya…jadi…gimana ya?”
“Aku sudah hapal 200 huruf kanjj, Day.. Aku juga belajar membuat sketsa. Kubuat
sketsa kuil Kinkaku-ji untukmu..”
“Aku memotret dan membuat film dokumenter bawah laut. Juga untukmu,
Moon… ”
“Wah….”
“Pulang yuk!”
“Hmmmm….”
***
Kursi di beranda disiram embun dan dibalur debu silih berganti. Sesekali dua pembantu
penjaga rumah duduk di situ. Tapi tak pernah lama. Televisi di ruang tengah terlalu sayang
untuk ditinggalkan. Ada kuis SMS yang selalu menerbitkan harapan: uang tunai lima ratus
rupiah, lalu naik lagi tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, terus bertambah hingga satu juta
rupiah. Di suatu malam, kedua
pembantu itu ternganga, hampir terjatuh dari duduk. Seorang perempuan berambut
panjang dengan rok pendek di layar kaca menawarkan hadiah motor dan mobil. Keduanya
berlomba mengirim SMS. Mereka digulung ombak khayalan sambil terus menekan
tombol-tombol di ponsel. Di luar, beranda sepi. Hanya ada pemandangan langit malam
(dan sinar silau terang di siang hari), pucuk-pucuk pencakar langit di kejauhan, dengung
nyamuk dan selembar taplak lusuh bergambar peta Indonesia.
Pembantu yang lebih tua sempat bertanya suatu waktu, “Yang ke Jepang itu Nyonya,
kan? Kalau Tuan ke mana?”
Pembantu yang lebih muda, menjawab mantap, “Pokoknya ke luar negeri. Jauh.
Jauuuuhhh sekali!”
Tak ada tuan dan nyonya. Beranda sepi, disiram embun dan debu silih berganti. Hanya
kadang terdengar jeritan burung malam (atau jangan-jangan kelelawar?, tebak si
pembantu muda.)
***
“Kapan kau pulang, Moon?” “Wah
“Hmmmm…”
“Tak perlu…”
“Kenapa?”
***
Day duduk di beranda. Kulitnya legam dan kasar. Rambutnya merah terbakar. Jejak
pantai-pantai Pasifik yang panas dibawanya pulang. Beranda dan lanskapnya yang
akrab, semua lengkap. Hanya Moon yang tidak ada di sini. Kursi yang biasa diduduki
Moon begitu sepi. Kosong.
Debu telah terkebas di kursi yang biasa diduduki Day. Tapi debu tetap menyelubungi
kursi yang biasa diduduki Moon. Embun bersiap terbit di batang- batang suplir. Pucuk-
pucuk gedung berpendar di kejauhan.
Ke mana, sedang apa, dan dengan siapa Moon? Mengapa ia tak pulang?
Sudah setahun Day tak berani mencari jawabannya. Indranya dibiarkan lumpuh. Mata,
hidung, telinga, mulut, lidahnya tak hirau pada orang-orang yang membahas penuh gairah
kisah mereka berdua.
Indranya terus beku. Hingga akhirnya ia mulai terbiasa tanpa Moon, meski ia juga memulai
kebiasaan memainkan imbuhan: terbiasa, membiasakan atau dibiasakan?. Day terkadang
pulang beberapa hari. Sebentar saja. Duduk di beranda mengingat Moon. Lalu pergi lagi di
titik-titik hijau di peta, yang dikepung samudra.
“Wah, kemarin Nyonya juga datang. Hanya sebentar…” Pembantu setengah baya itu
memberi laporan, ketika suatu saat kursi beranda yang biasa diduduki Moon tercium bau
tubuh wanita itu. Debu terkebas. Sepertinya telah tersapu gaun panjang. Jejak Moon ada
di sana!
Ia meremas kepalanya, lalu menggumam kepada kursi milik Moon yang kosong, “Kau juga
memilih terus melumpuhkan indramu, Moon?”
Di beranda, malam sempurna. Embun siap terbit di helai-helai daun dan batang suplir.
Dua orang pembantu menjaga rumah besar itu, merawat kisah Day dan Moon yang
tersimpan aman di dalam laci.(*)
DATA DIRI:
Nama lengkap: Muhammad Hanif Fuadi Ahna
Alamat Lengkap: Pondok Borneo Dsn. Warung Kalde RT 03/05 ds. Cikeruh, kec.
Jatinangor, kab Sumedang.
Akun Medsos: Line: hanifo99, ig: ahnahanif