Anda di halaman 1dari 12

PEMBUATAN TAUCO SEBAGAI PANGAN

FUNGSIONAL

PROPOSAL
Riset Mini

Oleh

SITI ENDANG MUNAWATI


431 417 025

PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara multi pulau dan multi etnis. Keberagaman
kondisi lingkungan dan budaya secara tidak langsung mempengaruhi karakteristik
produk pangan masyarakatnya dan kondisi tersebut melahirkan banyak produk
pangan tradisional khas daerah. Ada banyak jenis pangan tradisional dan salah
satunya adalah dari jenis pangan fermentasi (Hosono, 1989).

Pada awalnya tujuan fermentasi pangan adalah untuk mengawetkan


pangan yang bersifat musiman dan mudah rusak. Sejalan dengan perkembangan
alternative pengawetan pangan maka pengembangan produk pangan fermentasi
saat ini lebih karena tekstur, aroma dan rasanya yang unik. Dampak positif dari
produk fermentasi terhadap kesehatan konsumen juga menjadi alasan
pengembangan produk fermentasi sekarang ini. Pemecahan komponen yang
kompleks menjadi komponen komponen yang lebih sederhana menyebabkan
produk fermentasi lebih mudah dicerna daripada produk pangan asalnya. Pada
beberapa produk fermentasi, dilaporkan pula adanya peningkatan kandungan
beberapa vitamin, antioksidan, dan senyawa lain yang bermanfaat bagi kesehatan.

Salah satu bahan baku yang paling banyak digunakan dalam pembuatan
makanan fermentasi adalah kedelai. Kedelai merupakan salah satu anggota
tanaman kacang-kacangan yang telah banyak dimanfaatkan sebagai pangan
maupun pakan. Jenis tanaman kacang-kacangan pada umumnya terkenal sebagai
sumber protein nabati yang sangat penting bagi manusia (Budianto, 2009).

Makanan hasil fermentasi yang bahan baku utamanya kedelai cukup


banyak di Indonesia dan salah satu pengolahan kedelai melalui proses fermentasi
adalah produk yang dikenal sebagai tauco. Pembuatan tauco dilakukan melalui
dua tahap fermentasi, yaitu fermentasi kedelai yang dilakukan oleh kapang (mold
fermentation) serta fermentasi yang dilakukan oleh khamir dan bakteri dalam
larutan garam (brine fermentation) (Rahayu, 2014).
Tauco bagi kalangan tertentu merupakan produk yang tidak dapat
dipisahkan dari menu makanan sehari-hari (Suwaryono & Ismeini, 1988).
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka saya tertarik untuk
melakukan riset mini mengenai pembuatan tauco sebagai pangan fungsional.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana proses pembuatan tauco sebagai pangan fungsional?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Untuk mengetahui proses pembuatan tauco sebagai pangan fungsional

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini dapat bermanfaat untuk :
1. Menambah pengetahuan mengenai pembuatan produk bioteknologi
konvensional, yakni tauco
2. Memberikan informasi mengenai salah satu manfaat kedelai yang bisa
dijadikan sebagai bahan dasar tauco
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kedelai
Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu
tanaman palawija yang digolongkan ke dalam famili Leguminoceae, sub famili
Papilionoideae (Suprapto, 1997). Tanaman kedelai berbentuk semak pendek
setinggi 30-100 cm, kedelai yang telah dibudidayakan tersebut merupakan
tanaman liar yang tumbuh merambat yang buahnya berbentuk polong dan bijinya
bulat lonjong. Tanaman kedelai ini dibudidayakan di lahan sawah maupun lahan
kering (ladang) (Suprapti, 2003).

Kedelai merupakan salah-satu jenis kacang-kacangan yang dapat


digunakan sebagai sumber protein, lemak, vitamin, mineral dan serat. Kacang
kedelai mengandung sumber protein nabati yang kadar proteinnya tinggi yaitu
sebesar 35% bahkan pada varietas unggul dapat mencapai 40-44%. Selain itu juga
mengandung asam lemak essensial, vitamin dan mineral yang cukup. Di samping
protein, kacang kedelai mempunyai nilai hayati yang tinggi setelah diolah, karena
kandungan susunan asam aminonya mendekati susunan asam amino pada protein
hewani (Koswara, 1992).

Kedelai dapat diandalkan untuk mengatasi kekurangan protein dalam


menu makanan rakyat Indonesia. Kedelai diproses menjadi bahan makanan yang
dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan penghancuran,
perebusan, peragian, fermentasi dan pengasaman, sehingga menghasilkan produk
tahu, kembang tahu, susu, kecap dan produk lainnya (Nugroho, 2007).

Kedelai mendapat perhatian besar di seluruh dunia karena berbagai


keunggulan lain yang dimilikinya diantaranya memilki adaptibilitas agronomis
yang tinggi, dapat hidup di daerah tropis dan subtropis, juga di daerah dengan
tanah dan iklim yang memungkinkan tanaman pangan lainnya untuk tumbuhnya,
serta memiliki kandungan gizi yang relatif tinggi dan lengkap sebagaimana
terangkum dalam Tabel 1 (Suprapti, 2003).
Tabel 1. Kandungan Gizi Kacang Kedelai

Kedelai merupakan sumber gizi yang sangat penting. Komposisi gizi


kedelai bervariasi tergantung varietas yang dikembangkan dan juga warna kulit
maupun kotiledonnya. Kandungan protein dalam kedelai kuning bervariasi antara
31-48% sedangkan kandungan lemaknya bervariasi antara 11-21%. Antosianin
kulit kedelai mampu menghambat oksidasi LDL kolesterol yang merupakan awal
terbentuknya plak dalam pembuluh darah yang akan memicu berkembangnya
penyakit tekanan darah tinggi dan berkembangnya penyakit jantung koroner
(Astuti, 2000).

2.2 Fermentasi
Fermentasi berasal dari kata fervere (Latin), yang berarti mendidih,
menggambarkan aksi ragi pada ekstrak buah selama pembuatan minuman
beralkohol. Pengertian fermentasi agak berbeda antara ahli mikrobiologi dan ahli
biokimia. Pengertian fermentasi menurut ahli biokimia yaitu proses yang
menghasilkan energi dengan perombakan senyawa organik. Ahli mikrobiologi
industri memperluas pengertian fermentasi menjadi segala proses untuk
menghasilkan suatu produk dari kultur mikroorganisme (Yuniati, 2015).

Fermentasi juga dapat diartikan sebagai suatu desimilasi senyawa-senyawa


organik yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Desimilasi merupakan
reaksi kimia yang membebaskan energi melalui perombakan nutrient. Pada proses
disimilasi, senyawa substrat yang merupakan sumber energi diubah menjadi
senyawa yang lebih sederhana atau tingkat energinya lebih rendah. Reaksi
disimilasi merupakan aktivitas katabolik sel (Kuswanto, 2004).

Proses fermentasi memanfaatkan aktivitas suatu mikroba tertentu atau


campuran beberapa spesies mikroba. Mikroba yang banyak digunakan dalam
proses fermentasi antara lain khamir, kapang dan bakteri. Kemajuan dalam bidang
teknologi fermentasi telah memungkinkan manusia untuk memproduksi berbagai
produk yang tidak dapat atau sulit diproduksi melalui proses kimia. Teknologi
fermentasi merupakan salah satu upaya manusia dalam memanfaatka bahan-bahan
yang harganya relative murah menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi dan
berguna bagi kesejahteraan hidup manusia (Yuniati, 2015). Secara umum ada
empat kelompok fermentasi yang penting secara ekonomi:
1. Fermentasi yang memproduksi sel mikroba (biomass)
Produk komersial dari biomass dapat dibedakan menjadi produksi yeast
untuk industri roti, dan produksi sel mikroba untuk digunakan sebagai makanan
manusia dan hewan.
2. Fermentasi yang menghasilkan enzim dan mikroba
Secara komersial, enzim dapat diproduksi oleh tanaman, hewan, dan
mikroba, namun enzim yang diproduksi oleh mikroba memiliki beberapa
keunggulan yaitu, mampu dihasilkan dalam jumlah besar dan mudah untuk
meningkatkan produktivitas bila dibandingkan dengan tanaman atau hewan.
3. Fermentasi yang menghasilkan metabolit
Metabolit dapat dibedakan menjadi metabolit primer dan metabolit
sekunder. Produk metabolisme primer yang dianggap penting contohnya etanol,
asam sitrat, polisakarida, aseton, butanol,dan vitamin. Sedangkan metabolit
sekunder yang dihasilkan mikroba contohnya antibiotik, pemacu pertumbuhan,
inhibitor enzim, dan lain-lain.
4. Proses Transformasi
Sel mikroba dapat digunakan untuk mengubah suatu senyawa menjadi
senyawa lain yang masih memiliki kemiripan struktur namun memiliki nilai
komersial yang lebih tinggi. Proses tranformasi dengan menggunakan mikroba ini
lebih baik bila dibandingkan dengan proses kimia, berkaitan dengan penggunaan
reagen kimia yang lebih sedikit. Selain itu proses dapat berlangsung pada suhu
rendah tanpa membutuhkan katalis logam berat yang berpotensi menimbulkan
potensi (Ganjar , 2006).

2.3 Tauco
Tauco merupakan suatu produk berbentuk semi-cair dari hasil fermentasi
kedelai sebagai bahan baku utama. Pada pembuatan tauco, kedelai dicerna oleh
kombinasi aktivitas mikroba. Di Jepang, makanan yang sejenis dengan tauco
disebut miso, di China disebut chiang, di Korea disebut doenjang, dan di Thailand
disebut tauchieo.

Tauco tidak digunakan secara langsung, tetapi sebagai bumbu ataupun sebagai
penyedap rasa (Djayasupena, dkk. 2014). Produk pangan asal kedelai ini diolah
secara tradisional dan dikenal serta disukai terutama karena cita rasanya.
Pembuatan tauco melalui 2 tahap fermentasi, yaitu fermentasi oleh kapang dan
fermentasi dalam larutan garam. Bentuk produk tauco adalah pasta (tauco basah)
atau kering (tauco kering), mempunyai cita rasa yang spesifik yaitu adanya aroma
daging (meat flavoring agent) dan rasa yang asin. Karakteristik tauco yang ada di
Indonesia mirip dengan karakteristik miso di Jepang yang sudah dikenal dan
disukai di dunia (Faridah, 2018).

Komposisi tauco secara umum adalah sebagai berikut : protein 10,4 %,


lemak 4,9 %, karbohidrat 24,1 %, kadar air 56-65 %, kadar garam 17,8 %, kadar
abu 7,4 %, total gula 9,2 %, pH 4,9 dan keasaman sebagai asam laktat 0,9 %. Pada
tauco terdapat 17 jenis asam amino bebas, dengan asam glutamat sebagai asam
amino terbanyak. Asam-asam amino tersebut adalah arginin, prolin, leusin, asam
glutamat, asam aspartat, lisin, sistein, histidin, metionin, glisin, isoleusin,
fenilalanin, serin, treonin, triptofan, tirosin dan valin, sedangkan jenis asam
organik yang terdapat dalam tauco adalah asam laktat (terbanyak), asam suksinat,
asam asetat dan asam fosfat (Hidayat , 2006).
Tauco mempunyai kadar garam yang cukup tinggi (di atas 15%) dapat
disimpan lama sampai bertahun-tahun, dan tidak akan rusak atau basi selama
penyimpanan tidak terkena air mentah ataupun terkontaminasi dengan bahan
organik lainnya (Pelczar,M.1988)

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan perubahan manfaat tauco


menjadi sumber penyakit bagi tubuh, meliputi proses pembuatan hingga
pengemasan yang kurang diperhatikan kebersihannya hingga menjadi bahan
kontaminasi penyebab penyakit seperti S. aureus.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1.Wadah Perendam
2. Wadah Perebus
3. Wajan
4. Tampah
5. Kompor
6. Saringan

3.1.2 Bahan
1. Kedelai
2. Tepung Beras
3. Ragi Tempe
4. Garam
5. Gula Aren

3.2 Prosedur Penelitian


Tauco dibuat dengan cara fermentasi yang menggunakan kedelai sebagai
subrat ditambah garam, gula aren, dan rempah-rempah sebagai aroma dan
penyedapnya.

Ada dua tahap fermentasi kedelai pada pembuatan tauco, yaitu fermentasi
kapang dan fermentasi di dalam larutan garam, setelah fermentasi dilakukan
pemasakan tauco pada suhu 90⁰C, untuk menghentikan proses fermentasi yang
terjadi pada bahan dan meng nonaktipkanenzim tanpa mengubah warna dan flvor
dari bahan.

Proses pembuatan tauco selengkapnya sebagai berikut:

1. Penyortiran, yaitu proses pembersihan kedelai dari kotoran dengan cara ditampi
menggunakan nyiru.
2. Pencucian, tujuannya untuk menghilangkan kotoran yang melekat maupun
tercampur dengan biji kedelai dapat hilang.
3. Perendaman, tujuannya agar kedelai menjadi lunak dan kulitnya mudah
dikelupas. Perendaman dengan air panasselama 5 menit kemudian diganti
dengan air dingin dan dibiarkan selama 12 jam.
4. Pengupasan , dengan meremas-remas kedelai dalam rendaman air sehingga
diperoleh keping-keping kedelai.
5. Perebusan, dilakukan selama 2 jam atau sampai diperoleh bij kedelai yang
masak.
6. Penirisan, dilakukan dalam tapisan sekitar 1 jam sambil menunggu kedelai
dingin.
7. peragian, campuran beras dan tepung ketan dengan perbandingan 1: 1 yang
disangrai sampai kuning, dan dicampur dengan laru tauco kemudian ditaburkan
pada kedelai.
8. Pemeraman I, dilakukan selama 3 hari dengan ditutup nyiru kosong.
9. Penjemuran, penghancuran gumpala-gumpalan.
10. Penggaraman, dengan larutan garam ( 4 ons garam yang dilarutkan dalam 2
Liter air) untuk 1 Kg kedelai yang dilakukan dalam guci ( tempayan/ tempat
yang bisa ditutup).
11. Pemeraman II, selama 4 Minggu pada siang hari dibiarkan terbuka dan pada
malam hari/ hujan ditutup lagi.
12. Pemasakan, dimasak dengan gula aren dan diaduk-aduk sampai tidak
terbentuk buih lagi.
13. Pengemasan, bisa dalam kemasan botol, plastik, atau tempat yang mudah
ditutup.
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, M., Meliala, A., and Dalais, F. S. 2000. Tempe, A Nutritious And Healty
Food From Indonesia. Asia Pacific J Clin Nutr. 9(4)

Budianto, A. K. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Malang: UMM Press

Djayasupena Sadia, Korinna Giana Suci, Ranchman Saadah Diana dan Pratomo
Uji. 2014. Potensi Tauco Sebagai Pangan Fungsional. Chimica At Natura
Acta. 2 (2)

Faridah, Anni. 2018. Teknologi Pangan. Sumatera Barat: Berkah Prima

Ganjar, Indrawati. 2006. Mikologi Dasar Dan Terapan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia

Hidayat, 2006. Mikrobiologi Industry. Yogyakarta: Andi Offset

Hosono, T.K. 1989. Makanan Tradisional Nusantara. Jakarta: Gramedia

Koswara, S. 1992. Susu Kedelai Tak Kalah Dengan Susu Sapi. Bogor: IPB

Kuswanto, K. R Dan S. Sumardji. 2004. Proses-Proses Mikrobiologi Sebagai


Pangan. Yogyakarta: UGM

Nugroho, A. D. 2007. Perubahan Sifat Fisika, Kimia, Dan Mikrobiologi Biji


Kedelai Selama Pembuatan Tempe Cara Limbah Minimal. Yogyakarta:
UGM

Pelczar, M. J., Chan, E, C. S., 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI Press

Suprapti, 2003. Pembuatan Tempe. Yogyakarta: Kasinius

Suprapto, 1997. Bertanam Kedelai. Jakarta: Penebar Swadaya

Suwaryono, O & Ismeini, Y. (1988). Fermentasi Bahan Makanan Tradisional.


Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM
Yulianti, H Dan Effendi, E. 2015. Pemanfaatan Limbah Ampas Kelapa Sawit
Sebagai Substrat Untuk Sintesis Zat Gizi Melalui Fermentasi Kapang
Rhizopus oligosporus. Panel Gizi Makanan. 34(2)

Anda mungkin juga menyukai