Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PEMBELAJARAN FARMASI KLINIK

RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO


PERIODE 02 DESEMBER 2019 – 31 JANUARI 2020
CPA TUMOR

NAMA : AFRIANI

NIM : I4C019012

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER RSUD PROF. Dr.


MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1. CPA TUMOR
A. DEFINISI CPA TUMOR
Sudut serebelopontin/cerebellopontine angle (CPA), yaitu suatu
daerah berbentuk segitiga pada fossa posterior yang dibatasi oleh tulang
temporal, serebelum dan pons (Cros J, 2002). Pada daerah ini sering
terdapat masa abnormal yang kemudian disebut sebagai tumor CPA,
sering terjadi pada orang dewasa dan terdiri dari 5-10% dari seluruh
tumor intracranial (Shohet J, 2015; Yang D et al, 2013). Tumor yang
tumbuh pada daerah ini dapat menyebabkan berbagai gejala neurologis
yang serius bahkan kematian jika tumor terus tumbuh membesar dan
menekan batang otak. Gejala yang sering terjadi berupa kehilangan
pendengaran ipsilateral, hipestesi pada wajah dan gangguan
keseimbangan. Pada gambaran imaging otak sering didapati adanya
hidrosefalus. Jenis tumor yang sering dijumpai pada CPA adalah
vestibular schwannoma (neuroma akustik). Jenis ini merupakan yang
paling banyak ditemukan, mencapai 75% dari keseluruhan tumor pada
CPA (Kim LJ et al, 2004). Jenis-jenis lainnya yang jarang terjadi adalah
meningoma, kista epidermoid, kista arakhnoid, schwannoma fasial,
hemangioma, papiloma pleksus choroidalis, paragangliomas dan tumor
metastase. Diagnosis dan tatalaksana tunor CPA diharapkan akan
semakin baik, seiring dengan berkembangnya teknik imaging, teknik
pembedahan mikro dan radiosurgery.
B. ANATOMI CPA TUMOR
Pada fossa Posterior terdapat daerah segitiga yang disebut sebagai
sudut serebelopontin. Daerah ini dibatasi di bagian anterolateral oleh
tulang temporal, di bagian medial dibatasi oleh pons, sementara pada
bagian atasnya dibatasi oleh tentorium serebeli, bagian bawah oleh
tonsila serebeli dan olive medularis. Sementara dura posterior
membatasi pada bagian anterior, sedangkan pons dan serebelelum
menjadi pembatas bagian posterior. Pada bagian atas dan bawah dari
CPA melintas beberapa nervus kranialis yaitu n.V, n.VII dan n.VIII
yang kemudian menuju Internal Auditory Canal (IAC) (Cros J, 2002).
C. ETIOLOGI
Penyebab dari tumor CPA belum sepenuhnya diketahui. Diduga erat
tumor tersebut mempunyai kaitan dengan Neurofibromatosis tipe 2
(NF2) dan hal ini berkaitan dengan proses molekuler. Dari berbagai
penelitian, adanya NF2 pada penderita tumor CPA menunjukkan
berbagai variasi. Dari suatu penelitian, dari 33 kasus, 61% diantaranya
mempunyai NF2 (Holman MA et al, 2013). Sementara pada literatur
lain, tumor yang sporadik terjadi mencapai 95% dan 5 % sisanya
berkaitan dengan NF2. Neurofibromatosis dapat terjadi dalam dua
bentuk. Bentuk pertama biasanya melalui saraf seluruh tubuh, terutama
pada kulit dan tipe ke-2 menyebabkan tumor akustik pada kedua sisi.
NF-2 juga berkaitan dengan terjadinya Meningoma dan sekitar 20% dari
penderita Meningoma mempunyai bentuk dari Neurofibromatosis
(Springborg JB et al, 2008).
D. JENIS-JENIS TUMOR OTAK
Berdasarkan WHO pada tahun 2000, tumor otak dibagi atas: (P.
Kleihues et al, 2000)
Tumors of the Neuroepithelial tissue;
1.1 Astrocytic tumor terdiri dari;
a. Pilocytic astrocytoma (grade I)
b. Diffuse astrocytoma (grade II)
c. Anaplastic astrocytoma (grade III)
d. Glioblastoma multiforme (grade IV)
1.2 Oligodendrodial tumors:
a. Oligodendroglioma (grade II)
b. Anaplastic oligodendroglioma (grade III)
1.3 Mixed gliomas
a. Oligoastrocytoma (grade II)
b. Anaplastic oligoastrocytoma (grade III)
2. Ependymal tumors
3. Choroid plexus tumors
4. Pineal parenchymal tumors
5. Embryonal tumors:
a) Medulloblastoma dan
b) Primitive neuroectodermal tumors (PNET)
6. Meningeal tumors :
a) Meningioma dan
b) Other Meningeal tumors
7. Primary CNS Lymphoma
8. Germ cell tumors
9. Tumors of the sellar region
10. Brain metastases of the systemic cancers.
E. TANDA DAN GEJALA
a. Gejala Klinis
Pada 1917, Harvey Cushing menggambarkan gejala-gejala yang
terjadi pada Neuroma Akustik sesuai dengan perkembangan tumor
yang terjadi, yaitu gangguan pendengaran dan disfungsi labirin,
nyeri occipitofrontal, ataksia serebelar dan berbagai gangguan
nervus kranialis (Kim LJ et al, 2004; Springborg JB et al, 2008).
Gejala yang terjadi pada tumor CPA sangat bervariasi tergantung
dari ukuran, lokasi dan perkembangan dari tumor.
b. Gejala Auditoris
Kehilangan pendengaran yang asimetris atau unilateral merupakan
gejala yang paling banyak terjadi pada Neuroma Akustik, mencapai
95% dari seluruh penderita tumor jenis ini (Kim LJ et al, 2004).
Penderita akan mengeluh kehilangan pendengaran yang semakin
lama semakin bertambah berat. Gejala lain yang sering didapati
adalah tinnitus. Gejala ini sangat mungkin berkaitan dengan onset
kehilangan pendengarannya, namun sering juga dijumpai timbulnya
gejala tanpa keluhan kehilangan pendengaran. Biasanya penderita
akan datang dengan keluhan adanya perasaan bising dengan nada
tinggi secara terus-menerus. Tinitus biasanya terjadi ipsilateral
dengan lokasi tumor.
c. Gejala Vestibular
Keluhan vertigo atau ilusi gangguan gerak, merupakan gejala lain
yang sering didapati, mencapai 58% dari seluruh penderita.
Disequilibrium, perasaan seperti melayang atau tidak seimbang
merupakan gejala yang banyak dikeluhkan. Terjadinya vertigo
berkaitan dengan terjadinya penekanan pada nervus vestibuler atau
terjadinya gangguan suplai darah pada sistem vestibular. Namun
karena pertumbuhan tumor yang perlahan, vertigo yang terjadi pada
penderita tumor CPA akan timbul secara lambat dan terkadang hal
ini dapat dikompensasi oleh otak terhadap gangguan pada fungsi
verstibular, sehingga penderita sering tidak mengeluhkannya (Kim
LJ et al, 2004).
d. Disfungsi Serebelar
Seiring dengan pertumbuhan tumor, ketika terjadi penekanan atau
gangguan pada serebelum, maka dapat terjadi gejala-gejala
gangguan serebelar, termasuk in-koordinasi, ataksia dan
disequilibrium yang umumnya terjadi belakangan. Jika sudah
mencapai tahap ini, maka gejala-gejala tersebut biasanya akan
berkelanjutan dan terjadi terus-menerus. Inkoordinasi yang terjadi
lebih berat dirasakan pada ektermitas bawah dibandingkan
ekterimtas atas. Keadaan lain yang mungkin terjadi yaitu nistagmus,
tremor dan hipotonia (Kim LJ et al, 2004).
e. Gejala pada Nervus Kranialis
Nervus kranialis yang paling sering terganggu adalah nervus
trigeminus. Facial hypesthesia atau parestesia dapat terjadi,
kemudian kehilangan reflek kornea, dan seiring peningkatan
pertumbuhan tumor, akan didapat gejala-gejala seperti kesemuatan
dan mati rasa pada region wajah penderita. Jika tumor terus tumbuh
membesar, bisa terjadi atropi pada otot-otot pengunyah (Kim LJ et
al, 2004).
f. Gejala Lain
Keadaan klinis lain yang bisa didapati yaitu nyeri kepala,
hidrosefalus, gangguan saraf kranial bawah dan gangguan batang
otak. Umumnya gejala-gejala ini terjadi jika lokasi tumor sudah
keluar dari internal auditory canal. Nyeri kepala yang terjadi
berkaitan dengan penekanan pada iritasi pada neural, vaskuler dan
dura. Kemudian dapat obstruksi ventrikel IV dapat terjadi dan
menghambat aliran cairan otak sehingga terjadi hidrosephalus;
penderita bisa mengalami muntah, diplopia, perubahan status mental
dan pada pemeriksaan funduskopi akan ditemukan papiledema.
Gangguan pada nervus Glossopharyngeus dan vagus dapat
menyebabkan suara serak, disfagia dan aspirasi. Penekanan pada
nervus Hipoglossus kemudian menyebabkan disartria (Kim LJ et al,
2004).
F. DIAGNOSTIK
Tidak mudah untuk menegakkan diagnosis tumor CPA saat awal
perjalanan penyakit. Pada fase awal, tumor CPA akan menunjukkan
gejala klinis yang tidak berbeda jauh dengan gejala tumor intrakranial
yang lain. Adanya keluhan gangguan pendengaran, tinnitus dan
gangguan keseimbangan patut dicurigai sebagai tumor CPA. Kemudian
pemeriksaan nervi cranialis dengan titik berat pada nervus trigeminus,
okulomotorius, n.fasialis, dan dan nervus kranialis yang lebih rendah.
Dilanjutkan dengan pemeriksaan fungsi serebelar perlu dilakukan untuk
mengetahui kemungkinan gangguan keseimbangan dan koordinasi.
Perhatikan kemungkinan tanda-tanda nistagmus
G. PENATALAKSANAAN
Tergantung dari keadaan tumor tersebut, apakah masih bisa dioperasi
(operable) atau tidak mungkin dioperasi lagi (non-operable).
I. Operatif ;
a) untuk kasus emergency (gawat darurat), jika kesadaran pasien
menurun
b) Elektif (operasi yang direncanakan) ; kasus tumor otak stadium
dini.
II. Operatif + Radiotherapy + Chemotherapy Temozolomide dilakukan
pada kasus-kasus Anaplastic Oligodendroglioma (grade III).
a) Sedangkan untuk kasus Malignant glioma dilanjutkan dengan
Interstitial radiotherapy/Brachytherapy dengan radioactive Irridium-
192 atau Iodine-125 langsung ke tumor.
b) Stereotactic radiotherapy dan Radiosurgery (Linac dan Gamma
knife) dilakukan terbatas hanya pada lesi-lesi dengan diameter tidak
lebih dari 3-4 cm dan sangat potensial untuk malignant glioma yang
berada jauh di dalam otak.
c) Pada tumor dengan metastase tunggal di otak, dilakukan tindakan
operatif terhadap tumornya tetapi disertai dengan Whole Brain
Radiotherapy (WBRT) ataupun dengan Stereotactic Radio Surgery
(SRS), selain itu dilanjutkan lagi dengan Chemotherapy, seperti pada
tumor Small cell lung carcinoma, Germ cell tumor ataupun pada
Breast cancer.
III. Palliative; pada kasus-kasus yang tak mungkin lagi dilakukan
operasi.
H. MANAJEMEN TERAPI
Tujuan dari terapi pada tumor adalah untuk mengontrol
perkembangan tumor dan meminimalkan kerusakan yang terjadi
terhadap saraf kranialis, batang otak, pembuluh darah dan koklea.
Beberapa pilihan yang dapat dilakukan yaitu observasi, stereotactic
radiosurgery, bedah mikro atau gabungan antara stereotactic
radiosurgery dan bedah mikro (Moosa S et al, 2015Namun, terkadang
juga pemilihan terapi observasi, radioterapi atau pembedahan
ditentukan oleh umur pasien saat diagnosa ditegakkan, kondisi pasien,
tingkat kerusakan gangguan pendengaran, ukuran tumor dan keinginan
pasien sendiri. Semakin besar ukuran tumor semakin kompleks
manajemen terapi yang harus dilakukan dan membutuhkan kerjasama
dari beberapa disiplin ilmu. Gamma Knife Radiosurgery telah
menunjukkan keberhasilan yang baik pada pilihan terapi terhadap
Vestibuler schwannomas di CPA. Peningkatan usia hidup yang lebih
baik dengan perbaikan fungsi pendengaran telah ditunjukkan oleh terapi
jenis ini. Pemakaian sterotactic radiosurgery setelah pembedahan juga
telah sering dilakukan dan menunjukkan keberhasilan kontrol terhadap
tumor dan outcome yang lebih baik (Anwer H et al, 2013).
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jika dari anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologis mendukung
kecurigaan ke arah tumor CPA, maka perlu dilanjutkan dengan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan
antara lain tes audiologi, tes vestibular, auditory braimstem respon dan
terakhir pemeriksaan radiologis menjadi gold standar untuk
menentukan diagnosis tumor CPA.
BAB II
REKONSILIASI OBAT DAN PTO
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO RM

INSTALASI FARMASI

Nama : Tn. Wajimun Nomor RM : 0 2 1 1 3 3 4 2


Tgl lahir/Umur : 10 Jan 1958/61 th BB : 69 kg TB : 168 cm
Diagnosis : CPA Tumor RPM : Nyeri kepala, pusing RPD:-............
Merokok : -..... batang/hr; Kopi : -.........gelas/hr; Lainnya:
Alergi : -…………………
Parameter
Nilai Normal 28/12 29/12 30/12 31/12 1/1 2/1
Penyakit/Tanggal
Tanda vital

Tekanan Darah (mmHg) 120/80 120/80 - 120/80 140/85 - 130/80


Nadi (kali per menit) 60-100 76 - 80 70 - 80
Suhu Badan (oC) 36-37,50C 36 - 36.50 36.60 - 36
Respirasi (kali per menit) 14-20 20 - 20 16 - 20
Nyeri kepala ++++ +++ ++
Pusing ++ + +
Kesadaran penuh setelah - + +
Keluhan

op
Mual - ++ -
Keadaan lemah - ++ -
Kedua kaki lemas - ++ ++
BAB + + + + - -
Laboratorium Rutin / Nilai Normal
28/12
Tanggal
APTT 26.4-37.5 detik 41.5
Laboratorium Rutin

Eusinofil 2-4% 1.0


Eritrosit 4,40-5,90 106/UL 4..73
Leukosit 3800-10600 U/L 6850
Hematokrit 40-52% 42
Trombosit 150000-440000/UL 301000
Kreatinin darah 0.70-1.30 1.38
Glukosa sewaktu <200 mg/Dl 131
SGOT 15-37 U/L 11
Terapi Nama Obat, Aturan Pakai 28/12 29/12 30/12 31/12 1/1 2/1
RUTE PARETERAL

Kekuatan)
Inj. Dexametason 3x5 mg √ √ √ 4x5 mg 2x5mg 2x5 mg
Inj. Ranitidin 2x50 mg √ √ √ √ √ √
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr √ √ √
Inj. Antrain 3x1 amp √ √
Nebu Combivent 3x1 √ √
N-Acetylsistein 3x1 tab √ √
RUTE ORAL
IVFD

NaCl 0,9% √ √ √
√ √ √

Asering

Kalbamin

RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO RM

INSTALASI FARMASI

Nama : Tn. Wajimun Nomor RM : 0 2 1 1 3 3 4 2


Tgl lahir/Umur : 10 Jan 1958/61 th
BB: 69 kg TB: 168 cm
RIWAYAT PENGGUNAAN OBAT HARIAN (2)

Diisi oleh Apoteker yang merawat :


Nama &
Asuhan Kefarmasian Paraf
Tgl &
Apoteker
Jam
Subyektif Obyektif Assesment (DRP) Planning

30/12 • Nyeri • Diagnosis DPJP: • APTT pasien ➢ Monitoring nilai


kepala CPA Tumor mengalami APTT pasien
• Kadang • Terapi sesuai peningkatan
instruksi DPJP • Kreatinin darah ➢ Monitoring
pusing fungsi ginjal
pasien mengalami
• Data Lab peningkatan
APTT : 41,5
Eusinofil : 1,0
Kreatinin darah
: 1,38
SGOT : 11
31/12 • Kesadaran • Diagnosis • Pasien masih merasa ➢ Rekomendasi
penuh DPJP: CPA mual namun belum pemberian
setelah op Tumor, Post diterapi terapi
• Pusing craniotomy ondansentron
• Mual TM Cerebri untuk
• Keadaan • Terapi sesuai mengatasi mual
lemah instruksi DPJP pasien
2/1 • Jika batuk • Diagnosis ➢ Pasien ➢ Rekomendasi
kepala DPJP: CPA mengalami pemberian
terasa Tumor, Post konstipasi terapi
kompolax sirup
pusing craniotomy namun belum
untuk
• Kedua kaki eksisi tumor diatasi mengatasi
lemas CPA kanan konstipasi
• Belum BAB • Terapi sesuai
selama 2 hari instruksi DPJP
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Pasien Tn. Wajimun usia 61 tahun masuk RSUD Margono Soekarjo pada
tanggal 28 desember 2019 melalui poli dengan keluhan utama nyeri kepala dan
pusing. Berdasarkan hasil dari pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai APTT
pasien diatas normal. Hal ini dikarenakan sel hati tidak dapat mensintesis
protombrin. Pemanjangan protombrin dapat dikarenakan obat-obatan seperti
antibiotik, kekurangan vitamin K, kekurangan faktor pembekuan darah, sirosis hati,
kanker darah, dan terapi anti pembekuan oral/heparin. Farmasis perlu melakukan
pemantauan ada atau tidaknya pengaruh pengobatan tersebut pada nilai APTT
pasien yang diatas normal. Data laboratorium juga menunjukan kreatinin darah
pasien diatas normal, hal ini menandakan terjadi penurunan fungsi ginjal, sehingga
perlu dilakukan monitoring terkait fungsi ginjal dan obat yang digunakan pasien.
Pasien didiagnosa dokter mengalami CPA tumor sehingga dilakukan tindakan
operasi pembedahan Craniotomy Eksisi tumor pada tanggal 30 desember 2019 di
IBS. Tindakan anestesi yang diberikan sebagai premedikasi ialah dexalon,
preemtive analgesia menggunakan fentanyl 100 µ/g, induksi menggunakan
isoflurane, dan menggunakan IV propofol 100 mg sebelum operasi dilakukan.
Tindakan anestesi dilakukan mulai pukul 09.00 dan selesai pada pukul 12.40, dan
tindakan operasi mulai dilakukan pada pukul 09.45 kemudian tindakan operasi
selesai pada pukul 12.30. Craniotomy ialah metode pembedahan yang
menyebabkan lebih banyak defisit neurologis dan jarang dilakukan, keuntungan
dibandingkan dengan drainase adalah lesi jarang timbul kembali. Perlu adanya
monitoring tanda-tanda terjadinya kelainan neurologis pasca operasi. Terapi
farmakologi yang digunakan pasca operasi sesuai instruksi anestesi dan instruksi
bedah yaitu:
a. Morfin
Sebagai analgetik untuk menekan nyeri pasca operasi. Morfin
merupakan analgetik agonis reseptor opioid µ dan k pada sistem saraf pusat
yang menimbulkan efek analgesia, sedasi, euphoria dan depresi pernapasan.
Morfin memiliki metabolit aktif morphine-6-glukonida yang eliminasinya
bergantung terutama pada ekskresi ginjal. Dosis morfin untuk nyeri hebat
pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yang diperlukan
(Neal, 2006; Schmitz et al, 2007) Pada farmakokinetik obat efek puncak
terjadi dalam waktu 2-3 jam namun penyerapan mungkin akan
diperlambatoleh efek farmakologi pada motilitas gastrointestinal. Kebanyak
obat memiliki volume distribusi yang besar (3-5 L/kg). Tingkat
eliminasinya bervariasi dari 1-2 jam untuk turunan fentanyl lawan 15-30
jam untuk metadon (Schmitz et al, 2007).
b. Seftriakson
Injeksi seftriakson digunakan sebagai antibiotik profilaksis yang telah
diberikan 1 jam sebelum operasi dengan dosis 2 x 1 gram. Diindikasikan
untuk mengurangi resiko infeksi luka operasi (Kanji dan Devlin, 2008).
Sefalosporin dipilih karena memiliki spektrum aktivitas yang luas, rasio
dosis terapeutik dan dosis toksiknya yang baik, respon alergi yang rendah,
mudah untuk diadministrasikan dan menguntungkan dari segi biaya
(Meakins, 2008). Sefalosporin generasi ketiga sangat ampuh membunuh
gram negative dan juga dapat menembus CSF dengan baik. Sefalosporin
generasi ketiga diantaranya adalah cefotaxim, ceftriaxone, dan ceftazidim.
Efek samping yang dimiliki serupa dengan penisilin, yang paling banyak
adalah alergi dan neutropenia. Sefalosporin generasi ketiga telah menjadi
drug of choice dari gram negative penyebab meningitis (Narrayan, 1996).
c. Inj. Dexamethasone
Dexamethason digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial.
Dapat mengurangi peradangan dengan menekan migrasi leukosit
polimorfonuklear dan membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler
(Medscape).
d. Inj. Ranitidin
Untuk pengobatan saluran cerna (Widyawati, 2015). Stress ulcer
merupakan ulser pada lambung dan atau duodenum yang biasanya muncul
dalam konteks trauma atau penyakit sistemik atau SSP yang hebat.
Pemberian ranitidin injeksi 2 x 50 mg pada pasien Tn. Wajimun tetap
dilanjutkan karena untuk mengatasi stress ulcer, hal ini disebabkan karena
pasien menerima banyak obat yang harus dikonsumsi. Ranitidin adalah
kelompok obat yang disebut histamin-2 blocker. Obat ini bekerja untuk
mengurangi jumlah asam yang dihasilkan lambung. Ranitidin digunakan
untuk mengobati dan mencegah terjadinya gangguan di saluran pencernaan
dan menurunkan asam di lambung (MIMS, 2019).
e. Inf. Asering
Cairan infus asering diindikasikan untuk dehidrasi (syok
hipovolemik dan asidosis) pada kondisi gastroenteritis akut, demam
berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat, dan
trauma. Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien
yang mengalami gangguan hati, pada kasus bedah asetat dapat
mempertahankan suhu tubuh sentral pada anestesi dengan isoflurane.
f. Inf. Kalbamin
Kalbamin adalah larutan infus yang digunakan sebagai nutrisi
parenteral (nutrisi yang diberikan melalui pembuluh darah). Kalbamin
mengandung asam amino esensial dan non-esensial yang berfungsi untuk
mengatasi permasalahan malnutrisi, membantu proses pemulihan cedera
atau trauma sebelum dan sesudah terapi, membantu mengatasi
hipoprtoeinemia (kondisi ketika cairan akan berpindah dari intravascular
kompatemen ke rongga interstitial yang kemudian menyebabkan asites).
Dosis untuk kalbamin 1-1,5 g/kg BB/hari diberikan secara infus intravena
lambat. Efek samping yang mungkin terjadi selama penggunaan kalbamin
yaitu, reaksi alergi pada pasien yang hipersensitif terhadap komponen ini,
demam, mual, muntah, asidosis, sakit kepala. Dikontraindikasikan pada
pasien gagal ginjal, gagal hati, dan gangguan metabolism protein.
Terapi farmakologi setelah operasi, yaitu:
a. Inj. Antrain
Rangsangan nyeri dapat memicu peningkatan Tekanan Intra Kranial dan
harus ditangani. Pada pasien cedera otak terjadi peningkatan kadar
Prostaglandin dimana Prostaglandin berperan dalam proses rasa nyeri.
NSAID seperti ketorolac, metamizol dan ketoprofen bermanfaat
mengurangi nyeri dengan menghambat sintesa prostaglandin melalui
blokade enzim Cyclooxigenase (COX). Dosis yang dianjurkan untuk
penggunaan Metamizol adalah 500-1000 mg/ 6 jam (Tim Neurotrauma,
2014). Sehingga penggunaan Antrain 3x1 gram (metamizol) pada kasus ini
sudah tepat.
b. N-Acetylsistein
Acetylsistein adalah obat golongan mukolitik yang berfungsi untuk
mengencerkan dahak yang menghalangi saluran pernafasan. Obat ini
bekerja dengan cara mengencerkan dahak dan sekaligus membantu untuk
melancarkan saluran pernapasan. Indikasi acetylsistein yaitu terapi
hipersekresi mucus kental dan tebal pada saluran pernapasan. Dosis oral
untuk dewasa dan anak usia >7 tahun yaitu 600 mg/hari sebagai dosis
tunggal atau dibagi menjadi tiga dosis (Team Medical Mini Notes, 2017).
c. Nebu Combivent
Combivent adalah obat yang digunakan untuk mengatasi penyakit
saluran pernapasan, seperti PPOK atau asma. Diindikasikan untuk
perawatan penyumbatan hidung, radang selaput lender dan bronkospasme,
memiliki cara kerja dengan membuka saluran udara ke paru-paru serta
melakukan relaksasi atau mengendurkan otot-otot pada saluran napas.
BAB IV
PENUTUP

Pasien Tn. Wajimun didiagnosa CPA Tumoor. Pasien mendapatkan


terapi non farmakologi yaitu pembedahan kraniotomi dan juga terapi
farmakologi antara lain injeksi seftriakson, injeksi dexametason, injeksi
ranitidine, infus asering, infus kalbamin, injeksi antrain, nebu combivent,
acetylsistein p.o. Pemantauan selama 3hari pasien mengalami perbaikan
kondisi. Farmasis memberikan edukasi untuk patuh dalam pengobatan agar
outcome yang diinginkan dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Anwer H, Elsery T.H, Elmola S, Fayed Z.Y. 2013. Evaluation of stereotactic
radiosurgery For Cerebellopontin Angle (CPA) Meningioma and
Shwannoma after Mikrosurgical Decompression. Egyptian Journal of
neurosurgery. Vol.28. No.4. 13-20.

Cross J and Coles A. 2002. The Cerebello-pontin Angle. ACNR.Vol.2 No. 3. P.16-
17

Holman M.A, Schmitt W.R, Carlson M.L, Driscoll C.L.W, Beatty C.W, Link M.J.
2013. Pediatric cerebellopontine Angle and internal auditory canal
tumor. Journal Neurosurgery Pediatric 12; p.317-324.

Kanji S, and Devlin J.W. 2008. Antimicrobial Prophylaxis in Surgery In


Dipiro J.T. (eds), Talbert, R (eds), Yee, G. (eds), Matzke, G
(eds), Wells, B (eds), Posey, M (eds). Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach Seventh Edition. McGraw-Hill
Companies. United States.

Kim L.J, Klopfenstein J.D, Porter R.W, Simp M.J. 2004. Acoustic
Neuromas : Symptoms and Diagnosis. Barrow Quarterfly.
Vol.20.N0.4.p.7-13

Meakin J.L. 2008. Prevention of Postoperative Infectio, ACS Surgery :


Princple and Practice, BC Decker Inc.

Medscape, diakses pada Januari 2020

MIMS Indonesia, diakses pada Januari 2020

Moosa S, Ding D. 2015. Role of Stereotactic Radiosurgery in the Management of


Cerebellopontin Angle Tumors. Austin Journal of Radiation Oncologi
And Cancer. Vol.1.1-2.

Narrayan. 1996. Neurotrauma Chapter 48: Infectious Complication After Head


Injury. Mc Graw Hill. Newyork.

Neal M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi ke-5. Erlangga. Jakarta.
P. Kleihues and WK. Cavenee. 2000. Tumors of the Nervus System’. Lyon; IARC
Press.

Schmitz G, Lepper H, Heidrich M. 2008. Farmakologi dan Toksikologi. Edisi ke-


3. EGC. Jakarta.

Shohet J.A. Skull base Tumor and other CPA Tumor. Diunduh dari
www.emedicine.medscape.com/article.883090-overview. tanggal 7
September 2015
Springborg JB, Poulsgaard L, Thomsen J. 2008. Nonvestibular Schwannoma
Tumors in the Cerebellopontin Angle: A structured Approach and
Management Guideline. Skull Base / Vol. 18. No.4.p.217-227

Team Medical Mini Notes. 2017. Basic Pharmacology & Drug Notes. MMN
Publishing. Makassar.

Tim Neurotrauma RSUD dr. Soetomo. 2014. Pedoman Tatalaksana Cedera


Otak.Surabaya: Universitas Airlangga.

Widyawati E. 2015 Pemberian Tehnik Relaksasi Genggam Jari Terhadap


Penurunan Intensitas Nyeri pada Asuhan Keperawatan An. A
dengan Post Operasi Apendistis Laparatomi di Ruang Kantil 2
RSUD Karanganyar, Skripsi, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Kusuma Husada. Surakarta.

Yang D, Zhao Y, Song L, Guo F. 2013. A rare case of Pediatric cerebellopontin


angle meningoma presenting seizure. Life Science Journal ; 10(3),
p.1307-1309 .

Anda mungkin juga menyukai