Banjir adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan.
[1]
Pengarahan banjir Uni Eropa mengartikan banjir sebagai perendaman sementara oleh air pada
daratan yang biasanya tidak terendam air.[2] Dalam arti "air mengalir", kata ini juga dapat berarti
masuknya pasang laut. Banjir diakibatkan oleh volume air di suatu badan air
seperti sungai atau danau yang meluap atau melimpah dari bendungan sehingga air keluar dari
sungai itu..[3]
Ukuran danau atau badan air terus berubah-ubah sesuai perubahan curah hujan dan pencairan
salju musiman, namun banjir yang terjadi tidak besar kecuali jika air mencapai daerah yang
dimanfaatkan manusia seperti desa, kota, dan permukiman lain.
Banjir juga dapat terjadi di sungai, ketika alirannya melebihi kapasitas saluran air, terutama di
kelokan sungai. Banjir sering mengakibatkan kerusakan rumah dan pertokoan yang dibangun di
dataran banjir sungai alami. Meski kerusakan akibat banjir dapat dihindari dengan pindah menjauh
dari sungai dan badan air yang lain, orang-orang menetap dan bekerja dekat air untuk mencari
nafkah dan memanfaatkan biaya murah serta perjalanan dan perdagangan yang lancar dekat
perairan. Manusia terus menetap di wilayah rawan banjir adalah bukti bahwa nilai menetap dekat air
lebih besar daripada biaya kerusakan akibat banjir periodik.
Beberapa faktor yang mempengaruhi banjir sebenarnya berasal dari dua sisi, yaitu
alam dan manusia sendiri. Faktor alam seperti gunung meletus misalnya, yang
mengakibatkan banjir lahar. Sedangkan faktor lainnya seperti penebangan hutan liar
misalnya, tak lain merupakan kesalahan dan keserakahan manusia sendiri.
Banjir pada akhir-akhir ini memang akrab sekali dikategorikan sebagai bencana alam
karena merugikan masyarakat. Dari merusak bangunan tempat tinggal, mengganggu
aktivitas sehari-hari hingga mendatangkan penyakit dan mendatangkan korban
jiwa. Penyakit yang menjangkit masyarakat karena adanya banjir biasanya
disebabkan karena air banjir sudah terkontaminasi atau tercampur dengan sampah,
kotoran hewan dan juga manusia. Penyakit yang menjadi tren biasanya adalah diare,
kolera, tipus, dan lainnya.
Jenis-Jenis Banjir
Peristiwa banjir yang terjadi tentunya bermacam-macam tergantung pada
penyebabnya. Oleh karena itu, terjadinya banjir dilihat dari penyebabnya terbagi
menjadi beberapa jenis, antara lain:
1. Banjir Air
Banjir air merupakan banjir yang sering sekali terjadi saat ini. Penyebab dari banjir
ini adalah kondisi air yang meluap di beberapa tempat, seperti sungai, danau maupun
selokan. Meluapnya air dari tempat-tempat tersebut yang biasanya menjadi tempat
penampungan dan sirkulasinya membuat daratan yang ada di sekitarnya akan
tergenang air. Banjir ini biasanya terjadi karena hujan yang begitu lama sehingga
sungai, danau maupun selokan tidak lagi cukup untuk menampung semua air hujan
tersebut.
2. Banjir Cileuncang
Banjir ini sebenarnya hampir sama dengan banjir air. Tetapi banjir cileuncang ini
terjadi karena hujan yang derat dengan debit/aliran air yang begitu besar. Sedemikian
sehingga air hujan yang sangat banyak ini tidak mampu mengalir melalu saluran air
(drainase) sehingga air pun meluap dan menggenangi daratan
Banjir laut pasang atau dikenal dengan sebutan banjir rob merupakan jenis banjir
yang disebabkan oleh naiknya atau pasangnya air laut sehingga menuju ke daratan
sekitarnya. Banjir jenis ini biasanya sering menimpa pemukiman bahkan kota-kota
yang berada di pinggir laut, seperti daerah Muara Baru di ibukota Jakarta. Terjadinya
air pasang ini di laut akan menahan aliran air sungai yang seharusnya menuju ke
laut. Karena tumpukan air sungai tersebutlah yang menyebabkan tanggul jebol dan
air menggenangi daratan.
4. Banjir Bandang
Banjir bandang merupakan banjir yang tidak hanya membawa air saja tapi material-
material lainnya seperti sampah dan lumpur. Biasanya banjir ini disebabkan karena
bendungan air yang jebol. Sehingga banjir ini memiliki tingkat bahaya yang lebih
tinggi daripada banjir air. Bukan hanya karena mengangkut material-material lain di
dalamnya yang tidak memungkinkan manusia berenang dengan mudah, tetapi juga
arus air yang terdakang sangat deras.
5. Banjir Lahar
Banjir lahar merupakan jenis banjir yang disebabkan oleh lahar gunung berapi yang
masih aktif saat mengalami erupsi atau meletus. Dari proses erupsi inilah nantinya
gunung akan mengeluarkan lahar dingin yang akan menyebar ke lingkungan
sekitarnya. Air dalam sungai akan mengalami pendangkalan sehingga juga akan ikut
meluap merendam daratan.
6. Banjir Lumpur
Banjir ini merupakan jenis banjir yang disebabkan oleh lumpur. Salah satu contoh
identic yang masih terjadi sampai saat ini adalah banjir lumpur Lapindo di Sidoarjo,
Jawa Timur. Banjir lumpur ini hampir menyerupai banjir bandang, tetapi lebih
disebabkan karena keluarnya lumpur dari dalam bumi yang kemudian menggenangi
daratan. Tentu lumpur yang keluar dari dalam bumi tersebut berbeda dengan lumpur-
lumpur yang ada di permukaan. Hal ini bisa dianalisa dari kandungan yang
dimilikinya, seperti gas-gas kimia yang berbahaya.
Penyebab banjir
Saat bencana banjir terjadi, banyak orang yang kehilangan harta benda. Bahkan hingga
menimbulkan korban jiwa. Oleh sebab itu, alangkah baiknya untuk mengetahui penyebab
banjir supaya dapat mengambil langkah tepat guna mencegah bencana banjir tersebut.
Berikut penyebab banjir yang harus Anda ketahui.
Meluapnya air sungai yang terjadi merupakan salah satu faktor yang bisa
menyebabkan terjadinya banjir. Meluapnya air sungai ini bisa saja disebabkan karena
adanya pengendapan di dasar sungai. Endapan yang terjadi bisa disebabkan karena
turunnya hujan dalam waktu yang cukup lama sehingga sungai kehilangan daya
tampung terhadap air tersebut. Selainnya itu, bisa juga disebabkan karena adanya
penyempitan permukaan aliran sangai sehingga air yang mengalir semakin terbatas.
Banjir ini terjadi di bagian muara yang biasanya disebabkan oleh perubahan cuaca. Di
mana pada keadaan tersebut terjadi proses naiknya/pasangnya air laut yang
terkadang memancing terjadinya badai di lautan. Faktor badai inilah yang menjadi
penyebab utama terjadinya banjir di kawasan muara. Badai tersebut biasanya adalah
badai jenis siklon tropis atau siklon ekstratropis.
3. Bencana alam
Banjir juga bisa terjadi karena adanya bencana alam. Sehingga banjir ini biasanya
akan datang secara tiba-tiba tanpa bisa diprediksi sebelumnya. Bencana alam yang
bisa saja menyebabkan terjadinya banjir ini, antara lain gempa bumi, gunung meletus
hingga menyebabkan banjir lahar maupun karena adanya tanggul yang jebol, seperti
yang terjadi pada tahun 2009 di Situ Gintung.
Meluapnya air laut yang terjadi sehingga menyebabkan banjir biasanya terjadi karena
ada beberapa faktor yang mendahuluinya terlebih dahulu. Contohnya dengan adanya
pasang air laut sehingga air laut tersebut meluap ke daratan yang ada di sekitarnya,
adanya gempa bumi sehingga menyebabkan tsunami, seperti yang terjadi di Aceh,
dan berbagai kejadian lainnya, seperti badai.
Ada dua peristiwa yang terjadi sehingga menyebabkan air laut meluap dari terjadi
tingginya air pasang (spring tide), antara lain:
Suatu kekuatan gravitasi sebuah benda selalu ditentukan oleh jarak. Begitu pula
gaya gravitasi bulan, besar gravitasinya bergantung pada jarak dari bulan (orbit
bulan) ke pusat inti bumi. Di mana jarak antara bulan dan bumi selalu berubah karena
orbit bulan yang berbentuk elips. Jarak terjauh antara bulan dan pusat bumi saat
melakukan revolusi mengelilingi bumi pada orbitnya inilah yang disebut apogee.
Sedangkan jarak terdekatnya yang disebut perigee.
Ketika posisi bulan berada di titik perigee, maka efek gaya gravitasi bulan di bumi
akan sangat besar. Sebaliknya, ketika posisi bulan berada di titil apogee, maka efek
gaya gravitasi bulan di bumiakan sangat kecil. Sedangkan apabila
kondisi perigee tersebut bersamaan dengan situasi bulan dan matahari berada dalam
keadaan satu garis lurus, maka akan terjadi pembentukan pasang laut yang sangat
tinggi, yang disebut perigean spring tide. Inilah pasang laut yang sangat berbahaya
bagi warga yang bermukim di sekitar laut. Apalagi saat kejadian tersebut juga diiringi
dengan tiupan angina kencang yang cukup lama, maka bisa saja terjadi gelombang
pasang, yang semakin memperparah suasana.
Prediksi terjadinya perigee dan apogee yang berulang dalam 28 hari, akan sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan bulan untuk kembali pada posisi/titik semula (360 o).
Kemunculan perigee dan apogee dalam bulan-bulan selama setahun akan berbeda
beda. Hal ini dikarenakan waktu revolusi bulan tidak sama waktunya dengan satu
bulan dalam tahun atau kalender Masehi.
Faktor lainnya adalah apakah kawasan tersebut berada tepat di bawah lintasan bulan
atau tidak. Di mana orbit bulan selalu tetap atau ber- inklinasi terhadap bidang orbit
bumi dengan besar sudut 5o8’. Oleh sebab itu, suatu waktu bulan akan berada tepat
di bidang orbit bumi ketika sedang berevolusi.
5. Rusaknya hutan
Sebagaimana kita ketahui bahwa hutan memiliki sifat vital sebagai tempat resapan
air terbesar yang bisa diandalkan di muka bumi. Hujan yang mampu menyerap air
tanah sehingga menjadi cadangan juga bagi manusia yang dialirkan melalui air tanah
sangatlah penting untuk tetap dijaga keberlangsungannya (baca : jenis jenis hujan).
Apabila hutan sudah rusak ataupun dirusak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab,
tentu tidak aka nada lagi yang mampu untuk melakukan resapan air dalam jumlah
besar dan mampu menyimpannya sebagai cadangan kebutuhan air. Dengan kondisi
gundulnya hutan, maka peristiwa banjir tidak akan bisa terelakkan terutama di
kawasan perkotaan yang sudah sangat jarang pepohonan.
6. Lumpur
Lumpur bisa saja menjadi penyebab terjadinya banjir karena adanya endapan yang
menumpuk pada kawasan pertanian. Sehingga memicu sedimen yang terkumpul
dalam endapan tersebut untuk terpisah dan larut dalam air yang bisa menjadi
penumpukan di dasar sungai. Hal ini bisa kita lihat apabila terjadi banjir akibat
sungai yang meluap, di mana air membawa partikel lumpur di dalamnya. Penyebab
lainnya bisa saja karena paksaan manusia untuk mengeluarkan lumpur dari dalam
perut bumi melalui proses pengeboran yang berlebihan, seperti banjir lumpur lapindo
di Sidoarjo, Jawa Timur. Yang mana peristiwa tersebut sejatinya terjadi karena
adanya kesalahan manusia atau faktor human error.
7. Perilaku manusia
Perilaku manusia inilah yang sering kali menjadi faktor dominan penyebab banjir
yang terjadi di masyarakat saat ini. Perilaku tersebut dimulai dengan kebiasaan
buruk yang membuang sampah sembarangan terutama di sungai sehingga
menghambat laju aliran airnya, kemudian terjadi luapan air menuju daratan.
Perilaku lainnya yang memprihatinkan hingga saat ini adalah menebang hutan
sembarangan sehingga hutan-hutan menjadi gundul dan tidak ada lagi yang memiliki
kemampuan untuk melakukan resapan air dalam jumlah besar serta menyimpannya
sebagai cadangan ketersediaan air di muka bumi.
Perubahan iklim dan cuaca yang tak menentu juga bisa menjadi faktor yang tidak
akan terduga, terutama dalam kondiri saat ini. Curah hujan yang berlebihan bisa saja
akan menyebabkan banjir meskipun tempat yang dihujani sudah memiliki
kemampuan yang cukup mumpuni untuk melakukan resapan air. Sebaliknya, apabila
yang terjadi adalah kemarau berkepanjangan, maka justru ketersediaan air akan
kurang bahkan menimbulkan kekeringan. Apalagi di tengah isu global warning yang
semakin marak seperti saat ini.
Saluran air atau drainase merupakan tempat untuk mengalirnya aliran air. Saluran air
yang buruk tentunya akan menghambat mengalirnya air sebagaimana mestinya.
Sedemikian sehingga saat hujan turun atau limpahan air yang datang dari suatu
tempat akan terhambat proses mengalirnya. Oleh karena itu, saluran drainase harus
dalam kondisi baik dan rutin dibersihkan hingga tidak terjadi sumbatan.
Penyebab lain yang dapat memicu terjadinya banjir adalah ketika terjadi luapan air di
kawasan kedap air, dalam artian kawasan tersebut tidak memiliki kemampuan untuk
menyerap air dalam waktu singkat. Kejadian ini biasanya banyak terjadi ke kawasan
perkotaan yang hampir semua dasar tanahnya sudah memakai aspal dan beton.
Pemukiman modern ala perkotaan yang alas tanahnya sudah disulap menjadi paving-
paving cantik dengan berbagai macam motif sehingga menyisakan kawasan
pertanahan yang sangat sedikit sekali.
Selain itu juga bisa disebabkan karena terjadinya badai menuju arah yang sama dan
pembangunan bendungan yang sembarangan tanpa memperhitungkan keadaan
sekitarnya, yang mungkin padat pemukiman. Sehingga apabila air dalam bendungan
meluap akan mengenai pemukiman tersebut.
Dampak terjadinyabanjir
Bancana alam apapun yang terjadi pasti menimbulkan dampak bagi kehidupan
sekitar, baik dari segi materi maupun non-materi, begitu pula untuk bencan ini.
Berikut ini beberapa dampak yang disebabkan oleh bencana banjir:
Selain itu pakaian dan perabotan rumah tangga yang hanyut terbawa banjir
menimbulkan kerugian bagi warga dan bisa menghentikan akitifitas sehari hari
misalnya memasak. Untuk itulah di tempat pengungsian banjir, warga
membutuhkan pakaian ganti dan alat masak jika diperlukan.
2. Kerugian Ekonomi
Jika dilihat secara materi, para korban banjir banyak kehilangan aset mereka.
Contohnya adalah televisi, kulkas dan perabotan elektronik lain yang dapat
rusak jika terendam air. Selain itu aktifitas warga untuk bekerja pun ikut
terganggu dan akhirnya mereka banyak mengalami kerugian dalam
hal ekonomi.
Kerugian dalam hal Ekonomi membuat masyarakat sekitar wilayah yang sering
terkena banjir akan susah berkembang lebih maju dan produktif. Oleh sebab itu
penghambatan peningkatan kesejahtraan yang diakibatkan karena banjir yang
tidak segera ditangani justru malah bisa membuat meningkatnya
jumlah kemiskinan warga sekitar terjadi bencana karena harus selalu
mengeluarkan biaya baik untuk perbaikan rumah, kesehatan dan lain lain dari
hal yang disebabkan oleh Banjir.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara tropis yang memiliki wilayah hutan terluas di dunia setelah
Brazil dan Zaire. Hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia, karena dilihat dari
manfaatnya sebagai paru-paru dunia, pengatur aliran air, pencegah erosi dan banjir serta dapat
menjaga kesuburan tanah. Selain itu, hutan dapat memberikan manfaat ekonomis sebagai
penyumbang devisa bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia. Karena itu pemanfaatan hutan
dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU
No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta
beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan.
Hutan yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan aspek
kelestarian kini telah mengalami degradasi dan deforestasi yang cukup mencenangkan bagi dunia
Internasional, faktanya Indonesia mendapatkan rekor dunia guiness yang dirilis oleh Greenpeace
sebagai negara yang mempunyai tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia, Sebanyak 72
persen dari hutan asli Indonesia telah musnah dengan 1.8 juta hektar hutan dirusakan per tahun
antara tahun 2000 hingga 2005, sebuah tingkat kerusakan hutan sebesar 2% setiap tahunnya.
Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan selama ini tidak memperhatikan manfaat
yang akan diperoleh dari keberadaan hutan tersebut, sehingga kelestarian lingkungan hidup
menjadi terganggu. Penyebab utama kerusakan hutan adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan
terjadi karena manusia yang menggunakan api dalam upaya pembukaan hutan untuk Hutan
Tanaman Industri (HTI), perkebunan, dan pertanian. selain itu, kebakaran didukung oleh
pemanasan global, kemarau ekstrim yang seringkali dikaitkan dengan pengaruh iklim memberikan
kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran hutan.
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hutan
Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya
tidak dapat dipisahkan (Undang undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Sedangkan
menurut Ensiklopedia Indonesia, hutan adalah suatu areal yang dikelola untuk produksi kayu dan
hasil hutan lainnya dipelihara bagi keuntungan tidak langsung atau dapat pula bahwa hutan
sekumpulan tumbuhan yang tumbuh bersama.
Pemanfaatan sekaligus perlindungan hutan di Indonesia diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun
1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan
Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Menurut
beberapa peraturan tersebut,hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena
didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan
kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah,
perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata
dan sebagainya.
Luas hutan di Indonesia berkisar 122 juta hektar, yang persebarannya di Pulau Jawa hanya sekitar
3 juta Ha, terdiri atas 55% hutan produksi dan 45% hutan lindung. Persebaran hutan di Indonesia
kebanyakan berjenis hutan hujan tropis yang luasnnya mencapai 89 juta hektar. Daerah-daerah
hutan hujan tropis antara lain terdapat di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa Barat, Sulawesi
Utara, dan Irian. Hutan hujan tropis anggotanya tidak pernah menggugurkan daun, liananya
berkayu, pohon-pohonnya lurus dapat mencapai rata-rata 30 meter.
Penguapan air ke udara hingga terjadi kondensasi di atas tanah yang berhutan antara lain
disebabkan oleh adanya air hujan, dengan ditahannya (intersepsi) air hujan tersbut oleh tajuk
pohon yang terdiri dari lapisan daun, dan diuapkan kembali ke udara. Sebagian lagi menembus
lapisan tajuk dan menetes serta mengalir melalui batang ke atas permukaan serasah di hutan.
Erosi dan banjir adalah akibat langsung dari pembukaan dan pengolahan tanah terutama di daerah
yang mempunyai kemiringan permukaan bumi atau disebut juga kontur yang curam. Keduanya
dapat bersumber dari kawasan hutan maupun dari luar kawasan hutan, misalnya perkebunan,
tegalan, dan kebun milik rakyat.
Kesuburan tanah sebagian besar dalam bentuk mineral, seperti unsur-unsur Ca, K, N, P, dan
lainnya, disimpan pada bagian dari vegetasi yang ada di atas tanah, misalnya pada batang, dahan,
ranting, daun, bunga, buah, dan lain-lain. Dengan demikian dengan adanya kerapatan hutan pada
hutan tropika dapat menjaga kesuburan tanah.
Kerusakan hutan (deforestasi) masih tetap menjadi ancaman di Indonesia. Menurut data laju
deforestasi (kerusakan hutan) periode 2003-2006 yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan,
laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,17 juta hektar pertahun.Bahkan jika melihat data yang
dikeluarkan oleh State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture
Organization (FAO), angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun.
Laju deforestasi hutan di Indonesia ini membuat Guiness Book of The Record memberikan ‘gelar
kehormatan’ bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia.
Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, menurut Menteri Kehutanan
Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan sebelumnya menyebutkan angka 135 juta hektar) sebanyak 21
persen atau setara dengan 26 juta hektar telah dijarah total sehingga tidak memiliki tegakan
pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar hutan di Indonesia telah musnah. Selain itu, 25 persen lainnya
atau setara dengan 48 juta hektar juga mengalami deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat
bekas area HPH (Hak Penguasaan Hutan). Dari total luas hutan di Indonesia hanya sekitar 23
persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas dari deforestasi (kerusakan
hutan) sehingga masih terjaga dan berupa hutan primer.
Laju deforestasi hutan di Indonesia paling besar disumbang oleh kegiatan industri, terutama
industri kayu, yang telah menyalahgunakan HPH yang diberikan sehingga mengarah pada
pembalakan liar. Penebangan hutan di Indonesia mencapai 40 juta meter kubik per tahun,
sedangkan laju penebangan yang sustainable (lestari berkelanjutan) sebagaimana
direkomendasikan oleh Departemen Kehutanan menurut World Bank adalah 22 juta meter kubik
meter per tahun. Penyebab deforestasi terbesar kedua di Indonesia, disumbang oleh pengalihan
fungsi hutan (konversi hutan) menjadi perkebunan. Konversi hutan menjadi area perkebunan
(seperti kelapa sawit), telah merusak lebih dari 7 juta ha hutan sampai akhir 1997.
Deforestasi (kerusakan hutan) memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat dan
lingkungan alam di Indonesia. Kegiatan penebangan yang mengesampingkan konversi hutan
mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan yang pada akhirnya meningkatkan peristiwa
bencana alam, seperti tanah longsor dan banjir.
Dampak buruk lain akibat kerusakan hutan adalah terancamnya kelestarian satwa dan flora di
Indonesia utamanya flora dan fauna endemik. Satwa-satwa endemik yang semakin terancam
kepunahan akibat deforestasi hutan misalnya lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan merak
(Pavo muticus), owa jawa (Hylobates moloch), macan tutul (Panthera pardus), elang jawa
(Spizaetus bartelsi), merpati hutan perak (Columba argentina), dan gajah sumatera (Elephant
maximus sumatranus).
2.5 Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan yang memiliki dampak negatif.
Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang
terjadi di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian
disekitarnya. Selain itu, kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagai pembakaran yang tidak
tertahan dan menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan,antara
lain terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, dan lain-lain. Istilah Kebakaran
hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan Indonesia disebut juga Api Hutan. Selanjutnya dijelaskan
bahwa Kebakaran Hutan atau Api Hutan adalah Api Liar yang terjadi di dalam hutan, yang
membakar sebagian atau seluruh komponen hutan. Dikenal ada 3 macam kebakaran hutan, Jenis-
jenis kebakaran hutan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Api Permukaan atau Kebakaran Permukaan yaitu kebakaran yang terjadi pada lantai hutan
dan membakar seresah, kayu-kayu kering dan tanaman bawah. Sifat api permukaan cepat
merambat, nyalanya besar dan panas, namun cepat padam. Dalam kenyataannya semua tipe
kebakaran berasal dari api permukaan.
2. Api Tajuk atau Kebakaran Tajuk yaitu kebakaran yang membakar seluruh tajuk tanaman
pokok terutama pada jenis-jenis hutan yang daunnya mudah terbakar. Apabila tajuk hutan cukup
rapat, maka api yang terjadi cepat merambat dari satu tajuk ke tajuk yang lain. Hal ini tidak
terjadi apabila tajuk-tajuk pohon penyusun tidak saling bersentuhan.
3. Api Tanah adalah api yang membakar lapisan organik yang dibawah lantai hutan. Oleh karena
sedikit udara dan bahan organik ini, kebakaran yang terjadi tidak ditandai dengan adanya nyala
api. Penyebaran api juga sangat lambat, bahan api tertahan dalam waktu yang lama pada suatu
tempat.
2.6 Kebakaran dan Pembakaran
Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang sama tetapi
mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian yang tidak disengaja
sedangkan pembakaran identik dengan kejadian yang sengaja diinginkan tetapi tindakan
pembakaran dapat juga menimbulkan terjadinya suatu kebakaran. Penggunaan istilah kebakaran
hutan dengan pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang berbeda. Penggunaan istilah
ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah terhadap dampak yang
ditimbulkannya.
Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:
1. Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.
1. Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan dan lupa mematikan
api di perkemahan.
2. Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi.
3. Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka lahan
pertanian baru dan tindakan vandalisme.
4. Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat menyulut
kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.
2.8 Kerugian yang ditimbulkannya
Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan
ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun 1997/98 yang
menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi
hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat
pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran
hutantersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagikegiatan
bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon kemungkinan
mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).
Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan bahwa
kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar sampai US $ 4,86
milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan
uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu,
kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang
terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.
Kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian spesies dan merusak kesimbangan alam sehingga
spesies-spesies yang berpotensi menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu, terbakarnya hutan akan
membuat Hilangnya sejumlah spesies; selain membakar aneka flora, kebakaran hutan juga
mengancam kelangsungan hidup sejumlah binatang. Berbagai spesies endemik (tumbuhan maupun
hewan) terancam punah akibat kebakaran hutan. Selain itu, kebakaran hutan dapat
mengakibatkan terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman baik karena kebakaran, terjebak
asap atau rusaknya habitat. Kebakaran juga dapat menyebabkan banyak spesies endemik/khas di
suatu daerah turut punah sebelum sempat dikenali/diteliti.
Beberapa dampak kebakaran tehadap hewan dan tumbuhan antara lain sebagai berikut:
– BANGSA BINATANG
Kebakaran hutan akan mengakibatkan banyak binatang yang akan kehilangan tempat tinggal yang
digunakan untuk berlindung serta tempat untuk mencarimakan. Dengan demikian, hewan yang
tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan baru setelah terjadinya kebakaran tersebut akan
mengalami penurunan jumlah bahkan dapat mengalami kepunahan.
Contoh dampak kebakaran hutan bagi beberapa hewan antara lain sebagai berikut:
Geobin : seluruh daur hidupnya di dalam tubuh tanah (Ciliophora, Rhizopoda & Mastigophora,
dll)
Geofil : sebagian daur hidupnya di dalam tubuh tanah (serangga)
– BANGSA TUMBUHAN
Kehidupan tumbuhan berhubungan erat dengan hutan yang merupakan tempat hidupnya.
Kebakaran hutan dapat mengakibatkan berkurangnya vegetasi tertentu.
Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas tanah, sehingga apabila terjadi
hujan maka hujan akan langsung mengenai permukaan atas tanah, sehingga mendapatkan energi
pukulan hujan lebih besar, karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi penutup tanah. Kondisi ini
akan menyebabkan rusaknya struktur tanah
Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman hayati. Hutan yang terbakar
berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-
tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan
banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di
berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit
diperhitungkan.
1. Terhadap mikroorganisme
Kebakaran hutan dapat membunuh organisme (makroorganisme dan mikroorganisme) tanah yang
bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan tanah. Makroorganisme tanah misalnya: cacing tanah
yang dapat meningkatkan aerasi dan drainase tanah, dan mikroorganisme tanah misalnya:
mikorisa yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, Cu, Ca, Mg, dan Fe akan
terbunuh. Selain itu, bakteri penambat (fiksasi) nitrogen pada bintil-bintil akar tumbuhan
Leguminosae juga akan mati sehingga laju fiksasi ntrogen akan menurun. Mikroorganisme, seperti
bakteri dekomposer yang ada pada lapisan serasah saat kebakaran pasti akan mati. Dengan
temperatur yang melebihi normal akan membuat mikroorganisma mati, karena sebagian besar
mikroorganisma tanah memiliki adaptasi suhu yang sempit. Namun demikian, apabila
mikroorganisme tanah tersebut mampu bertahan hidup, maka ancaman berikutnya adalah
terjadinya perubahan iklim mikro yang juga dapat membunuhnya. Dengan terbunuhnya
mikroorganisme tanah dan dekomposer seperti telah dijelaskan di atas, maka akan mengakibatkan
proses humifikasi dan dekomposisi menjadi terhenti.
Kebakaran hutan biasanya menimbulkan dampak langsung terhadap kematian populasi dan
organisme tanah serta dampak yang lebih signifikan lagi yaitu merusak habitat dari organisme itu
sendiri. Perubahan suhu tanah dan hilangnya lapisan serasah, juga bisa menyebabkan perubahan
terhadap karakteristik habitat dan iklim mikro. Kebakaran hutan menyebabkan bahan makanan
untuk organisme menjadi sedikit, kebanyakan organisme tanah mudah mati oleh api dan hal itu
dengan segera menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan menyebabkan
penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat. Efek negatif ini biasanya
bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya kembali menjadi banyak lagi dalam
beberapa tahun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisika, kimia dan biologi tanah pada hutan dan
hutan yang sudah dibuka pada daerah Buffer Zone dan Resort Sei Betung pada Taman Nasional
Gunung Leuser Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Yang dimulai
pada bulan April hingga Mei 2011. Penelitian ini mengambil 12 titik sampel tanah sebagai bahan
penelitian, yaitu 6 sampel pada hutan asli dan 6 sampel pada hutan yang sudah dibuka untuk lahan
pertanian. Metode yang digunakan adalah Survei Bebas tingkat survei semi detail dan analisis data
kandungan bahan organik tanah dengan metode Walkley and Black, hara Nitrogen total tanah
dengan metode Kjeldhalterm, Tekstur tanah dengan metode Hidrometer, pH tanah dengan
metode Elektrometri, Kapasitas Tukar Kation (KTK) dengan metode Ekstraksi NH4OAc pH 7 serta
nisbah C/N tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan bahan organik digolongkan
dalam 4 kriteria, yakni sangat rendah dan rendah (pada tanah hutan yang sudah dibuka untuk
lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan), sedang dan tinggi (pada tanah hutan alami). N-
total tanah digolongkan dalam 3 kriteria, yakni rendah (pada tanah hutan alami), sedang dan
tinggi (pada tanah hutan alami dan hutan yang sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman
musiman dan tahunan). Rasio C/N tanah digolongkan dalam 4 kriteria, yakni sangat rendah (pada
tanah hutan yang sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan), rendah,
sedang dan tinggi (pada tanah hutan alami). pH tanah digolongkan dalam 3 kriteria, yakni sangat
masam, masam dan agak masam. Tekstur tanah lebih dominan lempung berpasir. Kapasitas Tukar
Kation tanah digolongkan dalam 1 kriteria, yakni rendah (pada tanah hutan alami dan hutan yang
sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan)
2.9.2 Menteri Kesehatan RI, 2003 menyatakan bahwa kebakaran hutan menimbulkan polutan
udara yang dapat menyebabkan penyakit dan membahayakan kesehatan manusia. Berbagai
pencemar udara yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan, misalnya : debu dengan ukuran
partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi
kulit, iritasi mata, dan lain-lain.
Selain itu juga dapat menimbulkan gangguan jarak pandang/ penglihatan, sehingga dapat
menganggu semua bentuk kegiatan di luar rumah. Gumpalan asap yang pedas akibat kebakaran
yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998 meliputi wilayah Sumatra dan Kalimantan, juga
Singapura dan sebagian dari Malaysia dan Thailand. Sekitar 75 juta orang terkena gangguan
kesehatan yang disebabkan oleh asap. (Cifor,2001).
Gambut yang terbakar di Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir daripada yang
dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu membuat Indonesia menjadi salah satu
pencemar lingkungan terburuk di dunia pada periode tersebut (Applegate, G. dalam CIFOR, 2001).
Dampak kebakaran hutan 1997/98 bagi ekosistem direvisi karena perubahan perhitungan luas
kebakaran yang ditemukan. Taconi, 2003 menyebutkan bahwa kebakaran yang mengakibatkan
degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar 1,62-2,7 miliar dolar. Biaya akibat
pencemaran kabut asap sekitar 674-799 juta dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi karena
perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang
terkait dengan emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan biayanyamencapai2,8 miliar dolar.
2.10 Pencegahan Kebakaran Hutan di Indonesia
Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan yang bersifat represif
dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran hutan yang bersifat represif
adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah
kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses
peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-
lain.
Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha, tindakan atau kegiatan
yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran
hutan. Jadi penanganan yang bersifat preventif ini ada dan dilaksanakan sebelum kebakaran
terjadi. Selama ini, penanganan yang dilakukan pemerintah dalam kasus kebakaran hutan, baik
yang disengaja maupun tidak disengaja, lebih banyak didominasi oleh penanganan yang sifatnya
represif. Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya represif ini tidak efektif dalam
mengatasi kebakaran hutan di Indonesia.
Hal ini terbukti dari pembakaran hutan yang terjadi secara terus menerus. Sebagai contoh : pada
bulan Juli 1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya pemadaman sudah dijalankan, namun
karena banyaknya kendala, penanganan menjadi lambat dan efek yang muncul (seperti : kabut
asap) sudah sampai ke Singapura dan Malaysia. Sejumlah pihak didakwa sebagai pelaku telah
diproses, meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak membuat mereka jera. Ketidakefektifan
penanganan ini juga terlihat dari masih terus terjadinya kebakaran di hutan Indonesia, bahkan
pada tahun 2008 ini.
Oleh karena itu, berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa menghasilkan upaya
pengendalian kebakaran hutan yang efektif.
Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu dari
tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada kesamaan bentuk
pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu penanggungjawab di setiap tingkat harus
mengupayakan terbentuknya fungsi-fungsi berikut ini :
1. Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing. Fungsi ini
bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim digunakan adalah 3 cara berikut:
pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu
maupun hasil prediksi.
pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa (Partisipatory Rural
Appraisal)
pemetaan daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning System atau citra satelit
2. Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.
Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap
tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :
Pembinaan merupakan kegiatan yang mengajak masyarakat untuk dapat meminimalkan intensitas
terjadinya kebakaran hutan.
Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk, khususnya data yang
berkaitan dengan kebakaran hutan, harus diterapkan sistem pelaporan yang sederhana dan mudah
dimengerti masyarakat. Ketika data yang masuk sudah lancar, diperlukan analisis yang tepat
sehingga bisa dijadikan sebuah dasar untuk kebijakan yang tepat.
Peralatan
Standar minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa diterapkan oleh
pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali sehubungan dengan potensi terjadinya
kebakaran hutan, fasilitas pendukung, dan sumber daya manusia yang tersedia di daerah.
Standardisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan kebakaran yang efisien
dan efektif dalam mencegah maupun menangani kebakaran hutan yang terjadi. Adanya
standardisasi ini akan memudahkan petugas penanganan kebakaran untuk segera mengambil
inisiatif yang tepat dan jelas ketika terjadi kasus kebakaran hutan
5. Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan
hutan. Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya perusakan
lingkungan, sedangkan pengawasan adalah tindak lanjut dari hasil analisis pemantauan. Jadi,
pemantauan berkaitan langsung dengan penyediaan data,kemudian pengawasan merupakan
respon dari hasil olah data tersebut. Pemantauan, menurut kementerian lingkungan hidup,
dibagi menjadi empat, yaitu :
Pemantauan terbuka : Pemantauan dengan cara mengamati langsung objek yang diamati.
Contoh : patroli hutan
Pemantauan tertutup (intelejen) : Pemantauan yang dilakukan dengan cara penyelidikan yang
hanya diketahui oleh aparat tertentu.
Pemantauan pasif : Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan
keterangan dari data-data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup.
Pemantauan aktif : Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun data di
lapangan secara primer. Contohnya : melakukan survei ke daerah-daerah rawan kebakaran
hutan. Sedangkan, pengawasan dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu :
o Represif : kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk menanggulangi perusakan yang sedang
terjadi atau telah terjadi serta akibat-akibatnya sesudah terjadinya kerusakan lingkungan.
Untuk mendukung keberhasilan, upaya pencegahan yang sudah dikemukakan diatas, diperlukan
berbagai pengembangan fasilitas pendukung yang meliputi :
Upaya penanggulangan kebakaran hutan ini tentunya harus sinkron dengan upaya pencegahan.
Sebab walau bagaimanapun, pencegahan jauh lebih baik dari memanggulangi. Ada beragam cara
yang bisa dilakukan dalam rangka mencegah kebakaran hutan khususnya yang disebabkan oleh
perbuatan manusia seperti membuang punting rokok di wilayah yang kering, kegiatan pembukaan
lahan dan juga api unggun yang lupa dimatikan. Upaya pencegahannya adalah dengan
meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya mereka yang berhubungan langsung dengan hutan.
Masyarakat ini biasanya tinggal di wilayah hutan dan memperluas area pertaniannya dengan
membakar. Pemerintah harus serius mengadakan sosialisi agar hal ini bisa dicegah.
Pada dasarnya upaya penanggulangan kebakaran hutan juga bisa disempurnakan jika pemerintah
mau memanfaatkan teknologi semacam bom air. Atau bisa juga lebih lanjut ditemukan metode
yang lebih efisien dan ampuh menaklukkan kobaran api di hutan. Langkah yang paling baik adalah
dengan mengikutsertakan para perangkat pendidikan agar merancang teknologi maupun metode
yang membantu pemerintah di level praktis. Sokongan dana dari pemerintah akan membuat
program tersebut lebih baik dan terarah.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kembali menangkap seorang petani saat
membersihkan lahan dengan cara membakar di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Penangkapan
dilakukan saat BNPB melakukan patroli.
“Kejadiannya beberapa hari lalu saat tim melakukan patroli udara dan darat,” kata Humas BNPB
Agus Wibowo di Pekanbaru, Minggu (21/7) seperti dikutip Antara.
Dia menjelaskan, pelaku yang teriindikasi sebagai petani pemilik lahan di Kabupaten Siak ini
diamankan oleh tim pemantau yang terdiri atas pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI),
masyarakat dan Polri.
“Sampai saat ini patroli masih terus berjalan dengan dikoordinir Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Riau,” katanya
Dengan tertangkapnya seorang pelaku pembakar hutan ini, maka total jumlah pembakar lahan
perorangan ada sebanyak 25 orang. Saat ini Polda Riau juga tengah melakukan penyelidikan
terhadap 12 kasus dan 5 kasus penyidikan dengan tersangka 24 orang dan satu korporasi.
Sebanyak 24 tersangka tersebut merupakan pelaku pembakar hutan maupun individu yang memang
ingin memperluas lahan dengan menyuruh membakar hutan.
Hingga saat ini dilaporkan situasi di Riau semakin kondusif meskipun pada peristiwa pembakaran
hutan tersebut dua orang dicatat meninggal yang mana satu orang bahkan turut terbakar.
Sementara untuk kasus pembakaran hutan yang melibatkan perusahaan perkebunan di Provinsi
Riau masih ‘menggantung’. Sejauh ini Polda Riau belum juga menetapkan tersangka pada kasus
yang terindikasi melibatkan sebuah perusahaan perkebunan, PT Adei Plantation (AP). Untuk
memperkuat dugaan itu, Polda Riau berencana mengambil keterangan saksi ahli.
Saksi ahli yang rencana didatangkan ada beberapa, di mana menurut informasi kepolisian saksi
tersebut dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan akademisi.
Polda Riau sebelumnya juga telah memeriksa sebanyak 16 saksi dari kalangan karyawan dan
pejabat perusahaan diduga pembakar lahan.
Langit di atas pelabuhan kota Sydney berubah menjadi memerah pada Kamis kemarin akibat
kebakaran hutan di sebagian besar area di negara bagian New South Wales (NSW), Australia.
Menurut laporan petugas pemadam kebakaran, terdapat hampir 100 titik api yang ada di Australia
bagian tenggara itu.
Kantor berita BBC, Kamis 17 Oktober 2013, melansir, sebanyak 200 rumah diperkirakan ikut
terbakar dalam insiden tersebut. Jumlah itu masih dapat terus bertambah, karena petugas
pemadam kebakaran hingga kini masih menghitung.
Akibat kebakaran tersebut, satu orang dilaporkan tewas saat sedang berusaha melindungi
rumahnya di Danau Munmorah di Central Coast agar tidak ikut terbakar. Korban tewas adalah pria
berusia 63 tahun dan meregang nyawa akibat serangan jantung pada Kamis sore waktu setempat.
Tiga pemadam kebakaran terluka.
Dugaan sementara, kebakaran disebabkan suhu udara yang sangat panas dan angin kencang.
Kendati suhu udara dan kecepatan angin sudah mulai menurun, namun kebakaran masih terus
terjadi di pinggiran kota Sydney.
Menurut laporan BBC, sekitar dua ribu petugas pemadam kebakaran dikerahkan ke seluruh negara
bagian untuk mengendalikan si jago merah. Namun, masih banyak titik api yang di luar kendali
mereka.
Wakil Kepala Layanan Pemadam Kebakaran Pedesaan NSW, Rob Rogers, mengatakan ini
merupakan kondisi kebakaran terparah yang pernah dia lihat dalam satu dekade terakhir. “Ada
ribuan kilometer area yang terbakar api dan harus kami padamkan,” ujar Rogers.
Hal serupa turut diperkuat kesaksian petugas pemadam kebakaran lainnya yang menyebut
ketinggian api mencapai 20 hingga 30 meter.
Perdana Menteri, Tony Abbott, yang mengetahui soal bencana ini, berkunjung ke daerah Blue
Mountain, area terparah yang terkena bencana. Abbott mengaku salut terhadap upaya para
petugas pemadam kebakaran.
“Orang-orang ini adalah sosok yang pada hari biasa bersama-sama mendukung dan melindungi
sesama warga Australia,” ungkap Abbott.
Untuk sementara ini, api memang dapat dikendalikan, namun suhu panas diprediksi akan kembali
melanda NSW mulai pekan depan. Menurut laporan Dailymail, kebakaran hutan kerap terjadi di
Negeri Kangguru saat suhu udara tinggi.
Aksi kebakaran terparah lainnya pernah terjadi di tahun 2009 silam yang menyebabkan 173 orang
tewas dan melalap dua ribu rumah di Negara Bagian Victoria.
Kebakaran hutan di California telah menghanguskan lebih dari 100 bangunan, termasuk 11 rumah,
dan menghanguskan areal hutan seluas 155 kilometer persegi.
Petugas pemadam kebakaran yang berjuang mengatasi kebakaran besar di negara bagian
California yang telah menghanguskan hutan luas di salah satu taman nasional terkenal mengatakan
mereka seharusnya akan memadamkan kebakaran itu sepenuhnya minggu ini.
Dinas Kehutanan Amerika memperkirakan yang disebut Lingkar Kebakaran di Taman Nasional
Yosemite dan sekitarnya akan dipadamkan 100 persen hari Jumat. Hingga Kamis tengah hari,
kebakaran itu 84 persen dipadamkan dan telah menghanguskan 104.000 hektar lahan.
Jay Millier, ekolog senior kebakaran hutan hari Kamis memberitahu Associated Press kebakaran
besar itu telah membuat wilayah mirip permukaan bulan yang “dinuklir” di pegunungan Sierra
Nevada yang lebih besar dari wilayah manapun yang pernah terbakar dalam ratusan tahun. Dia
mengatakan tidak ada lagi yang tersisa di hampir 40 persen wilayah lokasi kebakaran kecuali lahan
hangus.
Pemerintah Amerika pekan lalu mengatakan Lingkar Api itu disebabkan oleh seorang pemburu
yang tidak dapat mengendalikan api unggun ilegal yang dinyalakannya pada tanggal 17 Agustus.
Dinas Kehutanan Amerika mengatakan belum ada orang yang ditahan dalam kasus itu.
Kebakaran itu telah menghanguskan lebih dari 100 bangunan, termasuk 11 rumah, dan membuat
area seluas 155 kilometer persegi dalam keadaan mati semuanya.
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Upaya ini dapat dilakukan dengan cara memanajemen bahan bakar yaitu :
1) Modifikasi bahan bakar
merupakan usaha untuk merubah satu atau beberapa macam karakteristik bahan bakar. Tujuannya adalah agar
bahan bakar tidak mudah terbakar, atau kalau terjadi kebakaran penjalaran apinya lambat, sehingga mudah
dipadamkan. Bahan bakar dapat dimodifikasi dengan berbagai cara:
a.) Memotong-motong dahan dan ranting pohon yang berupa limbah penebangan menjadi potongan-potongan
yang lebih kecil dan pendek.
b.) Merubah kayu-kayu limbah penebangan menjadi tepung kayu (seperti bubuk gergaji), dengan menggunakan
mesin penghancur kayu (powder machine). Serbuk yang dihasilkan dapat ditebarkan di lantai hutan sehingga
akan cepat terdekomposisi.
c.) Menebas tumbuhan bawah di lantai hutan secara periodik, dilakukan pada musim hujan
2) Pengurangan Bahan Bakar
Pengurangan bahan bakar hutan dilakukan dengan tujuan agar bahan bakar hutan berkurang jumlahnya,
sehingga bila terjadi kebakaran hutan, besarnya nyala api, kecepatan penjalaran dan lamanya kebakaran dapat
dikurangi. Pengurangan bahan bakar dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan kayu-kayu atau ranting-
ranting dihutan untuk berbagai keperluan.
3) Isolasi Bahan Bakar
Isolasi bahan bakar adalah kegiatan memisahkan suatu kawasan hutan dari kawasan di
luarnya, dan atau membagi kawasan hutan tersebut menjadi bagian-bagian kawasan hutan
yang lebih kecil, oleh suatu penyekat yang disebut jalur isolasi.
2. Penanganan Yang Bersifat Represif
Penanganan kebakaran hutan yang bersifat represif adalah upaya yang dilakukan oleh
berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi.
Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-pihak yang
diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain.
F. Keterkaitan Dengan 4 Pilar Pelaksanaan PLH
Empat pilar utama dalam mendukung pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup
1. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang membina pendidikan lingkungan hidup bagi
masyarakat luas.
a. Mengembangkan PLH melalui kegiatan seminar, sarasehan, lokakarya, pengembangan
sarana Pendidikan seperti penyusunan modul-modul integrasi terkait dengan masalah
lingkungan.
b. meningkatkan kesadaran masyarakat akan kegiatan yang berhubungan langsung dengan
hutan dan kebiasaannya memperluas area pertaniannya dengan membakar
c. Melakukan Sosialisasi dengan pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada
masyarakat
2. Pemerintah Dan Dinas-Dinas Yang Terkait
a. Mengadakan sosialisi pencegahan
b. Memberikan sokongan dana untuk mendukung upaya penemuan metode pencegahan
kebakaran hutan
c. Mengembangkan Sistem komunikasi seoptimal mungkin sehingga koordinasi antar
tingkatan (daerah sampai pusat) maupun antar daerah bisa berjalan cepat guna mendukung
kelancaran early warning system, transfer data, dan sosialisasi kebijakan yang berkaitan
dengan kebakaran hutan.
d. Menyediakan sistem informasi kebakaran hutan, dengan pembuatan sistem deteksi dini
(early warning system), serta pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang
berkaitan langsung dengan hutan.
3. Lembaga Pendidikan
a. Memasukan kurikulum pendidikan lingkungan hidup dari tingkat sekolah dasar sampai
dengan pendidikan tinggi
b. mengikutsertakan para perangkat pendidikan agar merancang teknologi maupun metode
yang membantu pemerintah di level praktis.
4. Lembaga hukum yang membuat dan menerapkan sangsi secara hukum pelanggaran terhadap
pelaku kerusakan dan pencemaran lingkungan.
a. Membuat peraturan dan undang-undang tentang kebakaran hutan
b. Menegakkan hukum yang melanggar maupun yang bisa menimbulkan kebakaran hutan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebakaran Hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga berakibat
timbulnya kerugian ekosistem dan terancamnya kelestarian lingkungan . Pada dasarnya,
peristiwa ini memberi dampak negatif maupun positif. Namun, jika dicermati, dampak
negatif kebakaran hutan jauh lebih mendominasi ketimbang dampak positifnya. Oleh sebab
itu hal ini penting untuk dicegah agar dampak negatifnya tidak merugikan manusia terlalu
banyak. Salah satu upaya pencegahan yang paling mendasar adalah dengan memahami
penyebab terjadinya kebakaran hutan di Indonesia.
B. Saran
Melalui pembahasan dalam paper ini diharapkan mahasiswa, maupun para pembaca
mampu dan mau mengetahui dan memahami tentang kebakaran hutan, proses
terjadinyakebakaran hutan, penyebab terjadinya kebakaran hutan, akibat yang ditimbulkan,
dan solusi dalam menanggulangi dampaknya.
https://id.wikipedia.org/wiki/Banjir
https://pemkomedan.go.id/artikel-18051-beberapa-dampak-banjir-bagi-masyarakat.html
https://kanalispolban.wordpress.com/chemlib/makalah/makalah-kebakaran-hutan/
http://kuliahmanajemensdm.blogspot.com/2016/08/bab-i-pendahuluan-a.html