Anda di halaman 1dari 6

Empat Belas Tahun Meninggalnya Munir: Pembunuhnya Bebas, Dalang Pembunuhannya Belum

Terungkap

Tepat pada 7 September 2018 yang lalu, kita memeringati empat belas tahun meninggalnya Munir Said
Thalib, aktivis Hak Asasi Manusia yang kiprahnya sudah diakui dunia internasional. Empat belas tahun
yang lalu, Munir meninggal di dalam pesawat Garuda Indonesia dalam penerbangan menuju Belanda
guna melanjutkan pendidikannya di Utrecht Universiteit. Temuan dari hasil otopsi yang dilakukan oleh
pihak pemerintah Belanda menemukan adanya racun arsenik dalam makanan yang diberikan kepada
Munir di penerbangan tersebut. Munir tewas diracun.

Menyikapi pembunuhan tersebut, lewat Keppres No. 111 Tahun 2004, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menetapkan pembentukan Tim Pencari Fakta untuk mengusut meninggalnya Munir (TPF
Munir) pada 23 Desember 2004. TPF tersebut diketuai oleh Brigjen. Pol. Marsudi Hanafi dengan
wakilnya Asmara Nababan, serta anggota berjumlah dua belas orang. Dalam Keppres tersebut,
disebutkan bahwa TPF bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan selanjutnya pemerintahlah
yang akan mengumumkan hasil temuan TPF kepada publik. Nyatanya, hingga saat ini, pemerintah belum
juga mengumumkan hasil temuan TPF Munir tersebut. Empat belas tahun berselang, dokumen TPF
Munir masih dinyatakan hilang.

Tak hanya sekadar masih hilangnya dokumen TPF Munir, empat belas tahun meninggalnya Munir karena
diracun juga diwarnai dengan habisnya masa hukuman Pollycarpus Budihari Priyanto pada akhir Agustus
yang lalu. Sebelumnya, Pollycarpus divonis hukuman penjara selama 14 tahun pada tahun 2005 yang
lalu. Lalu pada 2007, MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan kejaksaan
terkait pembunuhan aktivis HAM Munir. Lantas, Polly divonis 20 tahun penjara. Ia dihukum karena
keterlibatannya dalam pembunuhan Munir. Pada 2014 yang lalu, Polly juga telah menerima putusan
bebas bersyarat sebelum akhirnya pada Agustus 2018 yang lalu ia dinyatakan bebas.

Selain Pollycarpus, Direktur Utama Garuda Indonesia kala itu, Indra Setiawan, juga divonis satu tahun
penjara karena dianggap memberikan kesempatan dengan menerbitkan surat tugas No. GA/DZ-2270/04
pada 11 Agustus 2004 kepada Pollycarpus. Berbekal surat tugas, Pollycarpus dengan status sebagai
staf Aviation Security kemudian bisa berada satu pesawat dengan Munir dalam penerbangan GA-974
rute Jakarta-Singapura.

Selain Pollycarpus dan Indra Setiawan, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Prawiro
Pranjono (Muchdi Pr) juga sempat dibawa ke meja hijau. Namun, melalui putusan majelis hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 31 Desember 2008. Muchdi sendiri diduga kuat terlibat sebagai
otak di balik pembunuhan Munir karena sebelumnya telah berhasil ditemukan call data record antara
nomor telepon Muchdi dengan nomor telepon Pollycarpus sebanyak sekurang-kurangnya 41 kali. Di
dalam persidangan, Muchdi menyangkal mengenal Pollycarpus. Menurut Muchdi, adanya hubungan
telepon antara nomornya dan nomor Pollycarpus tidak berarti membuatnya mengenal Polly.
Menurutnya, bisa saja teleponnya dipakai ajudannya.
Komisioner Komnas HAM yang juga mantan Sekretaris Eksekutif Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir
(KASUM) Chairul Anam menilai alasan bebasnya Muchdi kala itu hanya semata-mata karena ketakutan
dari majelis hakim yang menyidang perkara itu. Pasalnya, menurutnya bukti-bukti yang ada di
persidangan dinilai sangat kuat. Ia juga menilai alasan Muchdi tidak masuk akal.

“Ya masa teleponnya jenderal dipinjam ajudannya untuk nelpon orang, atau orang nelpon ajudannya ke
nomor telpon bosnya, kan nggak mungkin. Orang awam pun juga tahu itu, nggak mungkin. Digampar lah
sama bosnya, hahaha” ujar Anam sembari tertawa.

Anam juga menilai bebasnya Pollycarpus tidak serta-merta menihilkan keberlanjutan penuntasan kasus
Munir. Menurut Anam, bebasnya Polly justru menegaskan bahwa pembunuhan Munir benar terjadi.

“Bebasnya Polly bisa dimaknai begini, bebasnya Polly malah mempertegas pembunuhan Munir benar
terjadi. Munir mati bukan karena kecelakaan atau karena sebab-sebab yang lain,” kata Anam saat
ditemui di Komnas HAM pada Jumat, 14 September 2018 yang lalu.

Menurutnya lagi, dalam berkas Pollycarpus di pengadilan sendiri disebutkan bahwa pembunuhan
terhadap Munir adalah pembunuhan berencana dan terdapat pemufakatan jahat di dalamnya.

“Ada fakta-fakta yang dibeberkan dalam kasusnya Pollycarpus. Artinya fakta-fakta itu menjadi fakta yang
benar, nggak terbantahkan. Jadi pembunuhan Munir adalah pembunuhan dari pemufakatan jahat.
Disebutkan bahwa Pollycarpus dalam pengadilannya, dia bukan intelektualnya. Jadi (bebasnya Polly) itu
mempertegas dua hal itu: pembunuhan Munir adalah pemufakatan jahat, yang kedua adalah bahwa
Pollycarpus dan Indra Setiawan bukan pelaku intelektualnya. Jadi Negara ini masih punya hutang untuk
mengungkapkan siapa dalang di balik pembunuhan Munir berdasarkan fakta tak terbantahkan yang
sudah in kracht dalam kasus Polly,” ujarnya lagi.

Hal ini juga diamini oleh Yati Andriani, Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(KontraS). Dalam jumpa pers yang diselenggarakan KontraS di kantornya pada 07 September 2018 yang
lalu, Yati mengungkapkan bahwa bebasnya Pollycarpus adalah penegasan bahwa masih ada pekerjaan
rumah (PR) yang belum diselesaikan oleh Negara dalam hal pengungkapan kasus kematian Munir.
Pasalnya, di dalam amar putusan yang dibacakan oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dalam sidang Pollycarpus, disebutkan bahwa keterlibatan Pollycarpus dalam pembunuhan Munir ada
dalam kapasitas turut serta, yang berarti di dalamnya ada banyak pihak yang terlibat. Di samping fakta-
fakta tersebut, kenyataan bahwa belum terungkapnya kasus setelah empat belas tahun ini adalah bukti
kegagalan Negara.

“Dan kejahatan ini dilakukan secara berkomplot. Majelis hakim menyebutnya demikian dalam
pertimbangan putusannya. Artinya kejahatan ini dilakukan secara konspiratif. Dan sampai saat ini,
kejahatan konspiratif ini tidak mampu diungkap oleh Negara,” ujarnya.

Bebasnya Pollycarpus Budihari Priyanto memang sah secara hukum. Namun menurut Anam, hal ini
bukan berarti tidak meninggalkan kesan yang menggelitik rasa keadilan. Pasalnya, bebasnya Pollycarpus
tak dapat dilepaskan dari remisi-remisi yang ia dapatkan sebelumnya. Padahal, menurutnya, Pollycarpus
seharusnya dianggap tidak layak untuk menerima remisi karena tidak bersikap kooperatif dalam
pengungkapan aktor intelektual di balik pembunuhan Munir. Hal serupa juga dikatakan oleh Yati.
Menurutnya, hukum masih tumpul membebaskan Pollycarpus dan Pollycarpus dibiarkan untuk menutup
rapat-rapat pihak yang terlibat dalam kejahatan ini. Apalagi, menurutnya, Pollycarpus mengetahui
kebenaran-kebenaran terkait kasus ini.

“Majelis hakim sudah memandatkan dalam pertimbangan hukumnya bahwa sikap Pollycarpus yang
tidak terus terang dalam memberikan keterangan, berbelit-belit dalam memberikan keterangan,
menunjukkan yang bersangkutan menyimpan kebenaran yang ia ketahui,” ujar Yati.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Usman Hamid, mantan Anggota TPF Munir yang kini menjabat
sebagai Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. Menurutnya, pembebasan Pollycarpus
hanya berdasarkan alasan yang tidak esensial.

“Orang sudah dihukum, namun diberi keringanan hanya karena dia rajin membersihkan Lapas, atau
karena dia aktif dalam kegiatan di Lapas. Tetapi esensi kebenaran yang ada dalam kasus ini, bahwa yang
bersangkutan tidak mengungkap atau menyembunyikan kebenaran itu tidak menjadi pertimbangan,”
ujarnya saat ditemui di kantor Amnesty International di kawasan Menteng, Senin, 17 September 2018
yang lalu.

Seperti Anam dan juga Yati, Usman juga sepakat bahwa dalam banyak proses hukum terkait Pollycarpus
ditemukan banyak kejanggalan. Lagi-lagi terkait Pollycarpus yang dalam putusan persidangannya
disebutkan bahwa ia tidak bekerja sendirian, melainkan berkomplot. Namun, hingga saat ini, belum ada
upaya dari pemerintah untuk mengungkap siapa orang-orang lain yang terlibat, juga yang berperan
sebagai otak intelektual di balik pembunuhan Munir.

“Nah, pertimbangan-pertimbangan hukum janggal semacam itu membuat orang seperti Suciwati, istri
Munir, dan teman-teman aktivis yang memperjuangkan kasus pembunuhan Munir, tampaknya
diabaikan oleh pemerintah,” ujarnya.

Kapolri Tito Karnavian memerintahkan Kabareskrim yang baru dilantik, Irjen Arief Sulistyanto untuk
meneliti kembali kasus Munir. Hal ini ditanggapi positif oleh banyak pihak, terlebih karena keterlibatan
Arief sendiri dalam tim Munir pada masa lalu.

“Langkah yang diambil oleh kepolisian, Kapolri memerintahkan pak Kabareskrim, harus dipandang
sebagai hal yang positif,” kata Anam.

Menurutnya, langkah awal yang dapat dilakukan oleh kepolisian adalah dengan membuka kembali
berkas-berkas yang dimiliki kepolisian itu sendiri. Ia menilai, masih hilangnya dokumen TPF Munir tidak
menjadi hal yang krusial dalam keberlanjutan pengungkapan kasus ini, karena apa yang telah berhasil
didapatkan dan diungkap selama proses peradilan telah lebih variatif dan telah cukup untuk membuka
kembali kasus ini.
“Kalau dokumen TPF ditemukan, bagus. Kalau enggak, bukan berarti nggak berjalan. Semua nama yang
ada di TPF pernah disebutin dalam persidangannya Muchdi, dalam persidangannya Pollycarpus. Jadi,
tanpa menunggu dokumen TPF, kasus ini bisa jalan,” tuturnya.

Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri bila ada semacam kecemasan di kalangan pegiat isu HAM. Yati,
misalnya. Ia tak memungkiri bahwa dirinya merasa skeptis terkait rencana dibukanya kembali kasus
Munir. Ia masih belum yakin apakah ini pernyataan yang serius, sungguh-sungguh, atau ini hanya
pernyataan untuk meredam tuntutan publik, untuk menghibur publik dan hanya untuk perubahan citra
presiden jokowi yang akan segera berakhir periode pemerintahannya.

“Polri segera membentuk tim yang kredibel, berintyegritas agar kasus ini bisa ditangani secara serius,
focus dan professional. 14 tahun tidak terungkap karena Negara ini memang belum mau mengungkap,”
ujarnya.

Terkait proses pengungkapan kasus Munir, Usman Hamid menilai dalam proses pengungkapan
pembunuhan Munir ini, pembuktian yang dilakukan harusnya tidak melihat hal ini secara tradisional
yang di dalamnya terdapat unsur ‘siapa melihat siapa melakukan apa terhadap siapa dan apa buktinya’.
Menurutnya, kasus pembunuhan dengan racun memang penuh perencanaan dan kerahasiaan dan tidak
mungkin hanya melibatkan satu orang, sehingga pembuktian yang sifatnya tradisional seperti yang
disebutkan di atas tidak wajib harus dapat dijawab.

“Pembuktian-pembuktian yang sifatnya tradisional, siapa melakukan apa terhadap siapa, itu tidak harus
bisa ada. Bisa aja hanya berdasarkan kondisi-kondisi yang memungkinkan itu terjadi,” ujarnya, “kasus
Munir ada dalam skala itu.”

Pihak kepolisian ketika dikonfirmasi mengenai keberlanjutan kasus Munir ini mengatakan bahwa sampai
saat ini belum ditemukan novum tentang kasus tersebut. Di sisi lain, Chairul Anam menyebut bahwa ada
satu hal yang masih luput dan belum juga dibawa ke persidangan sampai detik ini, yakni rekaman suara
antara nomor telepon Muchdi Pr dan Pollycarpus.

Rekaman suara itu, menurutnya, adalah hasil penyelidikan tim Munir yang kala itu dipimpin oleh
Bambang Hendarso Danuri setelah Bambang pergi ke Seattle guna melakukan uji forensik. Rekaman
suara itu merupakan penegasan atas call data record yang menunjukkan adanya hubungan telepon
sebanyak 41 kali antara nomor telepon Muchdi dan Pollycarpus. Menurut pengakuannya, sebagai
Sekretaris Eksekutif KASUM kala itu, ia sendiri telah mendengarkan rekaman suara itu.

“Suara-suara itu yang ‘siap, selesai, laksanakan’. Pendek-pendek begitu memang. Saya mendengarkan
itu dari pak Bambang Danuri Hendarso, juga mendengarkan dari pihak kejaksaan,” ujarnya.

Namun, sampai saat ini, nyatanya rekaman suara itu belum pernah sekalipun dibawa dan dipakai di
persidangan.

Dalam kesempatan itu, Anam juga menolak kasus ini dibawa ke dalam ranah politik praktis.
Menurutnya, kalau kasus ini terus menerus dilihat dari perspektif politik praktis, maka kasus ini tak akan
pernah selesai. Dan apabila itu terjadi, hanya akan membawa kerugian bagi korban dan keuntungan bagi
pelaku kejahatan HAM.

“Kalau semua ikut kerangka politik, jadinya adalah, mau sampai kapan kasus ini akan digarap. Mau
sampai kapan mereka menunggu lagi. ‘Jangan deh, presidennya gak baik. Terus ganti presiden baru, duh
jangan deh, presidennya kayak begini.’ Terus mau sampai kapan? Hukum ditaruh di spektrum politik,
gak boleh. Yang rugi korbannya, yang senang pelaku,”

Di sisi lain, katanya, kalau memang ada yang mencoba mengeksploitasi kasus ini, maka itu artinya
memang kasus ini memiliki bukti yang kuat.

“Kasus itu tidak mungkin bisa digoreng macam-macam kalau tidak ada buktinya. Hanya kasus yang ada
buktinya lah yang bisa digoreng dan sebagainya. Nah, dalam kerangka keadilan, apalagi suaranya
korban, korban nggak peduli begituan,” ujarnya.

Hal senada juga dikatakan oleh Usman. Menurutnya, apabila ada isu-isu HAM diangkat dalam masa-
masa menjelang politik elektoral, itu adalah hal yang wajar dan bukan berarti ingin dijadikan komoditas
politik oleh siapapun. Itu hanyalah semata-mata tuntutan pertanggungjawaban Negara.

“Karena esensinya pemilu itu adalah bagian dari accountability procces, proses pertanggungjawaban
dari wakil yang kita pilih,” katanya.

Anam dan Usman secara terpisah sepakat bahwa penuntasan kasus Munir dan kasus pelanggaran HAM
yang lainnya memiliki dimensi tersendiri yang tak boleh hanya dikaitkan dengan dimensi politik elektoral
semata. Kasus Munir, misalnya, adalah suatu hal yang harus dipertanggungkan oleh Negara.
Permasalahannya adalah semata-mata terletak pada perkara kemauan semata.

“Kasus ini sebenarnya dari konstruksi kasus mudah. Dari pembuktian juga nggak susah. Semuanya
tersedia. Tinggal apakah mau ataukah tidak,“ tutup Anam.

Anda mungkin juga menyukai