Anda di halaman 1dari 38

TUGAS PSIKOLOGI ABNORMAL II

SEXUAL DYSFUNCTION, GENDER DYSPHORIA, DAN


PARAPHILIC DISORDERS

OLEH:
(Kelas A)
Adinda Hapsari 7103018082
Dewi Yemima 7103018101
Earlene Benedicta 7103018127
Florence Thie T 7103018129

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA
SURABAYA
2020
1. SEXUAL DYSFUNCTION (DISFUNGSI SEKSUAL)

Disfungsi seksual merupakan kelompok gangguan yang heterogen yang


biasanya ditandai dengan gangguan signifikan secara klinis pada kemampuan
seseorang untuk merespon secara seksual atau untuk mengalami kepuasan
seksual. Seorang individu dapat memiliki beberapa disfungsi seksual dalam
waktu bersamaan. Dalam kasus seperti ini, semua disfungsi harus
didiagnosis.
Penilaian klinis harus digunakan untuk menentukan jika kesulitan
seksual adalah hasil dari stimulasi seksual yang tidak memadai; dalam kasus
ini, mungkin masih butuh perawatan, namun diagnosis disfungsi seksual
tidak dapat dibuat. Kasus ini dapat termasuk, namun tapi tidak terbatas pada,
kondisi dimana kurangnya pengetahuan tentang stimulasi yang efektif
mencegah pengalaman gairah atau orgasme.
Penilaian klinis tentang diagnosis disfungsi seksual harus
mempertimbangkan faktor budaya yang mungkin mempengaruhi ekspektasi
atau menimbulkan larangan tentang pengalaman kepuasan seksual. Penuaan
dapat dikaitkan dengan penurunan normatif dalam respon seksual.
Dalam DSM-V, terdapat beberapa jenis gangguan yang termasuk
kedalam gangguan disfungsi seksual:
1. Delayed Ejaculation 6. Male Hypoactive Sexual
2. Erectile Disorder Desire Disorder
3. Female Orgasmic 7. Premature (Early)
Disorder Ejaculation
4. Female Sexual 8. Substance/Medication-
Interest/Arousal Induced Sexual
Disorder Dysfunction
5. Genito-Pelvic 9. Other Specified Sexual
Pain/Penetration Dysfunction
Disorder 10. Unspecified Sexual
Dysfunction
1.1.Delayed Ejaculation
Delayed ejaculation merupakan suatu keadaan dimana seorang individu
mengalami keterlambatan atau ketidakmampuan untuk mencapai ejakulasi
(Kriteria A).
Kriteria Diagnosis:
A. Salah satu dari gejala berikut harus dialami pada hampir semua atau semua
kesempatan (sekitar 75%-100%) aktivitas seksual berpasangan (dalam
konteks situasional yang teridentifikasi atau, jika digeneralisasi, dalam
semua konteks), dan tanpa individu yang menginginkan penundaan:

1. Keterlambatan dalam ejakulasi


2. Jarang terjadi atau tidak adanya ejakulasi
B. Gejala dalam Kriteria A sudah bertahan untuk durasi minimum sekitar 6
bulan.
C. Gejala dalam Kriteria A menyebabkan distress signifikan secara klinis pada
individu.
D. Disfungsi seksual tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental
nonseksual atau sebagai akibat dari konsekuensi dari distress hubungan yang
parah atau stresor signifikan lainnya dan tidak disebabkan oleh efek zat/obat
atau kondisi medis lain.
Tentukan apakah:
Lifelong: gangguan telah ada sejak individu menjadi aktive secara
seksual
Acquired: gangguan dimulai setelah periode fungsi seksual relatif
normal.
Tentukan apakah:
Generalized: tidak terbatas untuk jenis stimulasi, situasi, atau pasangan
tertentu.
Situational: hanya terjadi dengan jenis stimulasi, situasi, dan pasangan
tertentu.
Tentukan kuparahannya:
Mild: Bukti distress ringan atas gejala dalam Kriteria A.
Moderate: Bukti distress sedang atas gejala dalam Kriteria A.
Severe: Bukti distress ekstrim atas gejala dalam Kriteria A.
Etiologi
• Pasangan • Budaya atau agama
• Hubungan • Faktor medis yang
• Kerentanan individu, berkaitan dengan
komorbiditas kejiwaan, prognosis, perjalanan,
atau stresor atau perawatan.

1.2. Erectile Disorder


Erectile disorder adalah suatu kondisi dimana terjadi kegagalan
berulang untuk mendapat atau mempertahankan ereksi selama aktivitas
seksual berpasangan (Kriteria A). Sebuah riwayat seksual yang cermat
dibutuhkan untuk memastikan bahwa masalah yang muncul telah ada untuk
durasi waktu yang signifikan (paling tidak sekitar 6 bulan) dan terjadi pada
mayoritas kesempatan seksual (paling tidak 75% waktu). Gejala
kemungkinan terjadi hanya dalam situasi spesifik termasuk jenis stimulasi
atau pasangan tertentu, atau mereka kemungkinan terjadi secara umum di
semua jenis situasi, stimulasi, atau pasangan.

Kriteria Diagnosis
A. Paling tidak satu dari gejala berikut harus dialami pada hampir semua atau
semua (sekitar 75%-100%) kesempatan aktivitas seksual (dalam konteks
situasional yang teridentifikasi atau, jika digeneralisasi, dalam semua
konteks):
1. Ditandai dengan kesulitan mendapat ereksi selama aktivitas seksual.
2. Ditandai dengan kesulitan dalam mempertahankan ereksi hingga
penyelesaian aktivitas seksual.
3. Ditandai dengan penurunan kekakuan ereksi.
B. Gejala pada Kriteria A sudah bertahan untuk durasi minimum sekitar 6 bulan.
C. Gejala pada Kriteria A menyebabkan distress signifikan secara klinis pada
individu.
D. Disfungsi seksual tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental
nonseksual atau sebagai akibat dari konsekuensi dari distress hubungan yang
parah atau stresor signifikan lainnya dan tidak disebabkan oleh efek zat/obat
atau kondisi medis lain.
Tentukan apakah:
Lifelong: gangguan telah ada sejak individu menjadi aktive secara
seksual.
Acquired: gangguan dimulai setelah periode fungsi seksual relatif
normal.
Tentukan apakah:
Generalized: tidak terbatas pada jenis stimulasi, situasi, atau pasangan
tertentu.
Situational: hanya terjadi dengan jenis stimulasi, situasi, dan pasangan
tertentu.
Tentukan kuparahannya:
Mild: Bukti distress ringan atas gejala dalam Kriteria A.
Moderate: Bukti distress sedang atas gejala dalam Kriteria A.
Severe: Bukti distress ekstrim atas gejala dalam Kriteria A.

Etiologi
• Pasangan • Budaya atau agama
• Hubungan • Faktor medis yang
• Kerentanan individu, berkaitan dengan
komorbiditas kejiwaan, prognosis, perjalanan,
atau stresor atau perawatan.

1.3. Female Orgasmic Disorder


Female orgasmic disorder merupakan suatu gangguan disfungsi seksual
yang ditandai dengan sulitnya mengalami orgasme dan/atau berkurangnya
intensitas sensasi orgasmik (Kriteria A). Wanita menunjukkan variabilitas
luas dalam jenis atau intensitas stimulasi yang menimbulkan orgasme.
Kriteria Diagnosis
A. Salah satu dari gejala berikut harus dialami pada hampir semua atau semua
kesempatan (sekitar 75%-100%) aktivitas seksual berpasangan (dalam
konteks situasional yang teridentifikasi atau, jika digeneralisasi, dalam
semua konteks):
1. Ditandai keterlambatan, jarang terjadi, atau tidak adanya orgasme.
2. Intensitas sensasi orgasmik yang sangat berkurang.
B. Gejala pada Kriteria A sudah bertahan untuk durasi minimum sekitar 6 bulan.
C. Gejala pada Kriteria A menyebabkan distress signifikan secara klinis pada
individu.
D. Disfungsi seksual tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental
nonseksual atau sebagai akibat dari konsekuensi dari distress hubungan yang
parah atau stresor signifikan lainnya dan tidak disebabkan oleh efek zat/obat
atau kondisi medis lain.
Tentukan apakah:
Lifelong: gangguan telah ada sejak individu menjadi aktive secara
seksual.
Acquired: gangguan dimulai setelah periode fungsi seksual relatif
normal.
Tentukan apakah:
Generalized: tidak terbatas pada jenis stimulasi, situasi, atau pasangan
tertentu.
Situational: hanya terjadi dengan jenis stimulasi, situasi, dan pasangan
tertentu.
Tentukan kuparahannya:
Mild: Bukti distress ringan atas gejala dalam Kriteria A.
Moderate: Bukti distress sedang atas gejala dalam Kriteria A.
Severe: Bukti distress ekstrim atas gejala dalam Kriteria A.

Etiologi
• Pasangan • Budaya atau agama
• Hubungan • Faktor medis yang
• Kerentanan individu, berkaitan dengan
komorbiditas kejiwaan, prognosis, perjalanan,
atau stresor atau perawatan.
1.4. Female Sexual Interest/Arousal Disorder
Dalam menilai Female Sexual Interest/Arousal Disorder, konteks
interpersonal harus diperhitungkan. “Perbedaan keinginan”, dimana seorang
wanita memiliki keinginan yang lebih rendah untuk aktivitas seksual
daripada pasangannya, tidak cukup untuk mendiagnosis Female
Sexual Interest/Arousal Disorder.
Kriteria Diagnosis
A. Kurangnya, atau berkurang secara signifikan, minat seksual/gairah,
sebagaimana diwujudkan oleh paling tidak tiga dari gejala berikut:
1. Tidak ada/berkurangnya minat dalam aktivitas seksual.
2. Tidak ada/berkurangnya pemikiran atau fantasi seksual/erotis.
3. Tidak ada/berkurangnya inisiasi aktivitas seksual, dan biasanya tidak
menerima upaya pasangan untuk memulai.
4. Tidak ada/berkurangnya gairah seksual/kesenangan selama aktivitas seksual
pada hampir semua atau semua (sekitar 75%-100%) pengalaman seksual
(dalam konteks situasional yang teridentifikasi atau, jika digeneralisasi,
dalam semua konteks).
5. Tidak ada/berkurangnya minat seksual/gairah dalam respon terhadap isyarat
seksual/erotis internal atau eksternal.
6. Tidak ada/berkurangnya sensasi genital atau nongenital selama aktivitas
seksual pada hampir semua atau semua (sekitar 75%-100%) pengalaman
seksual (dalam konteks situasional yang teridentifikasi atau, jika
digeneralisasi, dalam semua konteks).
B. Gejala pada Kriteria A sudah bertahan untuk durasi minimum sekitar 6 bulan.
C. Gejala pada Kriteria A menyebabkan distress signifikan secara klinis pada
individu.
D. Disfungsi seksual tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental
nonseksual atau sebagai akibat dari konsekuensi dari distress hubungan yang
parah atau stresor signifikan lainnya dan tidak disebabkan oleh efek zat/obat
atau kondisi medis lain.
Tentukan apakah:
Lifelong: gangguan telah ada sejak individu menjadi aktive secara
seksual.
Acquired: gangguan dimulai setelah periode fungsi seksual relatif
normal.
Tentukan apakah:
Generalized: tidak terbatas pada jenis stimulasi, situasi, atau pasangan
tertentu.
Situational: hanya terjadi dengan jenis stimulasi, situasi, dan pasangan
tertentu.
Tentukan kuparahannya:
Mild: Bukti distress ringan atas gejala dalam Kriteria A.
Moderate: Bukti distress sedang atas gejala dalam Kriteria A.
Severe: Bukti distress ekstrim atas gejala dalam Kriteria A.

Etiologi
• Pasangan • Budaya atau agama
• Hubungan • Faktor medis yang
• Kerentanan individu, berkaitan dengan
komorbiditas kejiwaan, prognosis, perjalanan,
atau stresor atau perawatan.

1.5. Genito-Pelvic Pain/Penetration Disorder


Genito-palvic pain/peetration disorder mengacu pada empat dimensi
gejala komorbid secara umum: 1) Kesulitan melakukan hubungan, 2) Genito-
pelvic-pain, 3) Takut akan rasa sakit atau penetrasi vagina, dan 4)
Ketegangan otot-otot dasar panggul (Kriteria A).
Kriteria Diagnosis
A. Kesulitan persisten atau berulang dengan satu (atau lebih) dari hal berikut:
1. Penetrasi vagina selama hubungan.
2. Ditandai dengan nyeri vulvovaginal atau panggul selama hubungan vaginal
atau upaya penetrasi.
3. Ditandai dengan rasa takut atau cemas tentang nyeri vulvovaginal atau
panggul sebagai antisipasi, selama, atau sebagai akibat dari penetrasi vagina.
4. Ditandai dengan menegangkan atau mengeratkan otot-otot dasar panggul
selama upaya penetrasi vagina.
B. Gejala pada Kriteria A sudah bertahan untuk durasi minimum sekitar 6 bulan.
C. Gejala pada Kriteria A menyebabkan distress signifikan secara klinis pada
individu.
D. Disfungsi seksual tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental
nonseksual atau sebagai akibat dari konsekuensi dari distress hubungan yang
parah atau stresor signifikan lainnya dan tidak disebabkan oleh efek zat/obat
atau kondisi medis lain.
Tentukan apakah:
Lifelong: gangguan telah ada sejak individu menjadi aktive secara
seksual.
Acquired: gangguan dimulai setelah periode fungsi seksual relatif
normal.
Tentukan apakah:
Generalized: tidak terbatas pada jenis stimulasi, situasi, atau pasangan
tertentu.
Situational: hanya terjadi dengan jenis stimulasi, situasi, dan pasangan
tertentu.

Tentukan kuparahannya:
Mild: Bukti distress ringan atas gejala dalam Kriteria A.
Moderate: Bukti distress sedang atas gejala dalam Kriteria A.
Severe: Bukti distress ekstrim atas gejala dalam Kriteria A.

Etiologi
• Pasangan • Budaya atau agama
• Hubungan • Faktor medis yang
• Kerentanan individu, berkaitan dengan
komorbiditas kejiwaan, prognosis, perjalanan,
atau stresor atau perawatan.
1.6. Male Hypoactive Sexual Desire Disorder
Saat penilaian untuk male hypoactive sexual disorder dibuat, konteks
interpersonal harus diperhitungkan. “Perbedaan keinginan”, dimana seorang
pria memiliki keinginan yang lebih rendah untuk aktivitas seksual daripada
pasangannya, tidak cukup untuk mendiagnosis male hypoactive sexual
disorder. Rendahnya/tidak adanya minat untuk seks dan kurang/tidak adanya
pemikiran atau fantasi seksual dibutuhkan untuk mendiagnosis gangguan.
Mungkin terdapat variasi di antara pria dalam bagaimana mengungkapkan
hasrat seksualnya.
Kriteria Diagnosis
A. Terus-menerus atau berulang kali mengalami kekurangan (atau tidak ada)
pemikiran atau fantasi dan hasrat seksual/erotis untuk melakukan aktivitas
seksual. Penilaian kekurangan dilakukan oleh dokter, dengan
memperhitungkan faktor yang mempengaruhi fungsi seksual, seperti umur
dan umum dan konteks sosial budaya dari kehidupan individu.
B. Gejala pada Kriteria A sudah bertahan untuk durasi minimum sekitar 6 bulan.
C. Gejala pada Kriteria A menyebabkan distress signifikan secara klinis pada
individu.
D. Disfungsi seksual tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental
nonseksual atau sebagai akibat dari konsekuensi dari distress hubungan yang
parah atau stresor signifikan lainnya dan tidak disebabkan oleh efek zat/obat
atau kondisi medis lain.
Tentukan apakah:
Lifelong: gangguan telah ada sejak individu menjadi aktive secara
seksual.
Acquired: gangguan dimulai setelah periode fungsi seksual relatif
normal.

Tentukan apakah:
Generalized: tidak terbatas pada jenis stimulasi, situasi, atau pasangan
tertentu.
Situational: hanya terjadi dengan jenis stimulasi, situasi, dan pasangan
tertentu.
Tentukan kuparahannya:
Mild: Bukti distress ringan atas gejala dalam Kriteria A.
Moderate: Bukti distress sedang atas gejala dalam Kriteria A.
Severe: Bukti distress ekstrim atas gejala dalam Kriteria A.

Etiologi
• Pasangan • Budaya atau agama
• Hubungan • Faktor medis yang
• Kerentanan individu, berkaitan dengan
komorbiditas kejiwaan, prognosis, perjalanan,
atau stresor atau perawatan.

1.7. Premature (Early) Ejaculation


Premature (early) ejaculation diwujudkan oleh ejakulasi yang terjadi
sebelum atau sesaat setelah penetrasi vagina, dioperasionalkan dengan
estimasi latensi ejakulasi individu setelah penetrasi vagina.
Kriteria Diagnosis
A. Pola ejakulasi secara terus-menerus atau berulang yang terjadi selama
aktivitas seksual berpasangan dalam jangka waktu sekitar 1 menit setelah
penetrasi vagina dan sebelum individu mengharapkannya.
Note: walaupun diagnosis premature (early) ejaculation mungkin dapat
diterapkan pada individu yang terlibat dalam aktivitas seksual nonvaginal,
kriteria durasi spesifik belum ditetapkan untuk aktivitas ini.
B. Gejala pada Kriteria A sudah muncul paling tidak 6 bulan dan harus
mengalami hampir semua atau semua (sekitar 75%-100%) kesempatan
aktivitas seksual (dalam konteks situasional yang teridentifikasi atau, jika
digeneralisasi, dalam semua konteks).
C. Gejala pada Kriteria A menyebabkan distress signifikan secara klinis pada
individu.
D. Disfungsi seksual tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental
nonseksual atau sebagai akibat dari konsekuensi dari distress hubungan yang
parah atau stresor signifikan lainnya dan tidak disebabkan oleh efek zat/obat
atau kondisi medis lain.
Tentukan apakah:
Lifelong: gangguan telah ada sejak individu menjadi aktive secara
seksual.
Acquired: gangguan dimulai setelah periode fungsi seksual relatif
normal.
Tentukan apakah:
Generalized: tidak terbatas pada jenis stimulasi, situasi, atau pasangan
tertentu.
Situational: hanya terjadi dengan jenis stimulasi, situasi, dan pasangan
tertentu.
Tentukan kuparahannya:
Mild: Bukti distress ringan atas gejala dalam Kriteria A.
Moderate: Bukti distress sedang atas gejala dalam Kriteria A.
Severe: Bukti distress ekstrim atas gejala dalam Kriteria A.

Etiologi
• Pasangan • Budaya atau agama
• Hubungan • Faktor medis yang
• Kerentanan individu, berkaitan dengan
komorbiditas kejiwaan, prognosis, perjalanan,
atau stresor atau perawatan

1.8. Substance/Medication-Induced Sexual Dysfunction


Ciri utama pada gangguan ini adalah gangguan fungsi seksual yang
memiliki hubungan temporal dengan inisiasi zat/obat, peningkatan dosis
obat, atau penghentian zat/obat.
Kriteria Diagnosis
A. Gangguan klinis secara signifikan dalam fungsi seksual dominan dalam
gambaran klinis.
B. Terdapat bukti riwayat, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium baik (1)
dan (2):
1. Gangguan pada Kriteria A berkembang selama atau segera setelah
keracunan zat atau penolakan atau setelah paparan obat.
2. Zat/obat terkait mampu memproduksi gangguan pada Kriteria A.
C. Gangguan tidak dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh seorang disfungsi
seksual yang tidak diinduksi zat/obat.
D. Gangguan tidak terjadi secara khusus selama delirium.
E. Gangguan menyebabkan distres klinis secara signifikan pada individu.
Tentukan keparahannya:
Mild: terjadi pada 25%-50% kesempatan aktivitas seksual.
Moderate: terjadi pada 50%-75% kesempatan aktivitas seksual.
Severe: terjadi pada 75%-100% kesempatan aktivitas seksual.

1.9. Other Specified Sexual Dysfunction


Kategori ini berlaku untuk menunjukkan dimana gejala karakteristik
disfungsi seksual yang menyebabkan distres signifikan secara klinis pada
individu mendominasi tatapi tidak sepenuhnya memenuhi kriteria pada
gangguan manapun dalam kelas diagnostik disfungsi seksual.
Kategori disfungsi seksual spesifik lainnya digunakan dalam situasi
dimana dokter memilih untuk mengkomunikasikan alasan spesifik bahwa
presentasi tidak memenuhi kriteria untuk disfungsi seksual spesifik apa pun.
Ini dilakukan dengan merekam “disfungsi seksual spesifik lainnya” diikuti
oleh alasan spesifik.

1.10. Unspecified Sexual Dysfunction


Kategori ini berlaku untuk menunjukkan dimana gejala karakteristik
disfungsi seksual yang menyebabkan distres signifikan secara klinis pada
individu mendominasi tatapi tidak sepenuhnya memenuhi kriteria pada
gangguan manapun dalam kelas diagnostik disfungsi seksual.
Kategori disfungsi seksual yang tidak ditentukan digunakan dalam
situasi dimana dokter memilih untuk tidak menentukan alasan bahwa kriteria
tidak terpenuhi untuk disfungsi seksual tertentu, dan termasuk presentasi
dimana terdapat informasi yang tidak mencukupi untuk membuat diagnosis
yang lebih spesifik.
2. PARAPHILIC DISORDER

Paraphilic disorder atau parafilia (berasal dari kata para berarti salah
atau abnormal dan philia berarti ketertarikan) berarti penyimpangan yang
melibatkan objek daya tarik seksual manusia. Parafilia merupakan gangguan
yang menyebabkan individu memiliki fantasi hasrat seksual yang berulang
dan intens, dorongan seksual, atau perilaku yang melibatkan objek bukan
manusia, anak-anak atau orag yang tidak diizinkan, atau penyiksaan atau
penghinaan terhadap seseorang atau pasangan.

Dalam DSM-V, Paraphilic disorder digolongkan menjadi 8 bagian yaitu ;


1. Voyeuristic disorder 5. Sexual sadism disorder
2. Frotteuristic disorder 6. Fetishistic disorder
3. Exhibitionist disorder 7. Transvestic disorder
4. Sexual masochism 8. Pedophilic Disorder
disorder

2.1. Voyeuristic disorder


Voyeurism adalah suatu gangguan seksual ketika individu memiliki
dorongan untuk mendapatkan pemuasan seksual dari mengobservasi atau
mengamati ketelanjangan atau aktivitas seksual orang lain.
Individu yang mengalami gangguan ini berbeda dengan mereka yang
pada umumnya mengalami hasrat seksual ketika melihat partner seksual
dalam keadaan telanjang atau seseorang yang tampil dalam suatu film
bertema seksual, para voyeur memiliki hasrat yang intens dan berulang untuk
mengobservasi.
Para voyeur merasa tidak mampu membangun suatu hubungan
seksual yang normal dengan orang yang diobservasinya. Ia lebih memilih
melakukan masturbasi, baik pada saat ia sedang mengobservasi ataupun
setelah mengobservasi. Kegiatan mengintip merupakan bentuk pengganti
dari pemuasan seksual mereka.
Kriteria diagnostik :
• Selama periode setidaknya 6 bulan, gairah seksual berulang dan intens dari
mengamati orang yang tidak curiga yang telanjang, dalam proses lepas jubah,
atau terlibat dalam aktivitas seksual, sebagaimana dimanifestasikan oleh
fantasi, keinginan, atau perilaku.
• Individu telah bertindak atas dorongan seksual ini dengan orang yang tidak
menyetujuinya, atau dorongan seksual atau fantasi seksual tersebut
menyebabkan tekanan atau gangguan signifikan secara klinis dalam bidang
sosial, pekerjaan, atau bidang fungsi penting lainnya.
• Individu yang mengalami rangsangan dan/atau bertindak atas dorongan
setidaknya berusia 18 tahun.

2.2. Frotteuristic disorder


Froteurisme berasal dari Bahasa Prancis yaitu frotter (menggosok-
gosok) dan mengacu pada masturbasi yang melibatkan orang lain. Seseorang
dengan froteurisme memiliki dorongan seksual yang intens dan berulang
serta fantasi seksual terhadap menggosok-gosokan dirinya pada orang lain
atau memegang orang lain. Saat menggosok-gosokan atau menyentuh orang
lain, orang froteurisme dapat berfantasi seolah ia sedang melakukan
hubungan intim.
Orang dengan froteurisme biasanya mencari tempat yang ramai seperti
bus atau kereta yang penuh sesak, tempat ia dapat memilih korban yang tidak
menaruh curiga kepadanya dan kemudian menggosok-gosokan dirinya ke
korban tersebut hingga mengalami ejakulasi. Biasanya hal tersebut terjadi
sebentar saja dan korban tidak dapat menyadari apa yang telah terjadi.
Targetnya bukan pada pasangannya yang resmi melainkan orang asing.

Kriteria diagnostik :
• Selama periode setidaknya 6 bulan, gairah seksual berulang dan intens dari
menyentuh atau menggosok terhadap orang yang tidak menyetujuinya,
sebagaimana dimanifestasikan oleh fantasi, dorongan, atau perilaku.
• Individu telah bertindak atas dorongan seksual ini dengan orang yang tidak
menyetujuinya, atau dorongan atau fantasi seksual tersebut menyebabkan
tekanan atau gangguan signifikan secara klinis dalam bidang sosial,
pekerjaan, atau bidang fungsi penting lainnya.

2.3. Exhibitionist disorder


Ekshibionisme yaitu seseorang yang memiliki dorongan seksual yang
intens dan fantasi yang menggairahkan dengan memperlihatkan alat kelamin
kepada orang asing. Ekshibionis tidak mengharapkan reaksi seksual dari
orang lain, namun hal yang diharapkan adalah keterkejutan atau ketakutan
dari orang yang melihat hal tersebut. Beberapa ekshibionis memiliki fantasi
bahwa orang yang melihat akan terangsang secara seksual.

Kriteria diagnostik :
• Selama periode setidaknya 6 bulan, gairah seksual berulang dan intens dari
memperlihatkan alat kelamin seseorang kepada orang yang tidak curiga,
keinginan, atau perilaku.
• Individu telah bertindak atas dorongan seksual ini dengan orang yang tidak
menyetujui, atau dorongan atau fantasi seksual tersebut menyebabkan
tekanan atau gangguan signifikan secara klinis dalam bidang sosial,
pekerjaan, atau bidang fungsi penting lainnya.

Tentukan apakah:
• Terangsang secara seksual dengan mengekspos alat kelamin kepada anak-
anak prapubertas.
• Terangsang secara seksual dengan mengekspos alat kelamin pada individu
yang matang secara fisik.
• Terangsang secara seksual dengan mengekspos alat kelamin untuk anak-anak
prapubertas dan individu yang secara fisik matang

2.4. Sexual Masochism disorder


Masokhisme seksual merupakan gangguan yang ditandai dengan
ketertarikan mendapatkan kepuasan seksual dari stimulasi yang menyakitkan
yang dikenakan pada tubuhnya sendiri, baik sendirian maupun bersama
pasangan. Mereka yang memiliki gangguan ini mencapai kepuasan seksual
dengan cara-cara, seperti diikat dengan pakaian atau tali, melukai kulit, atau
memberikan kejutan listrik.

Kriteria diagnostik :
• Selama periode setidaknya 6 bulan, gairah seksual yang berulang dan intens
dari tindakan dihina, dipukuli, diikat, atau dengan cara lain dibuat untuk
menderita, dorongan, atau perilaku
• Fantasi, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan tekanan signifikan
secara klinis atau penurunan fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting
lainnya.
Tetapkan jika:
Dengan asfiksiofilia: Jika individu tersebut terlibat dalam praktik mencapai
gairah seksual terkait dengan pembatasan pernapasan.

2.5. Sexual Sadism Disorder


Sadisme seksual adalah kebalikan dari masokhisme seksual yang
mendapatkan kepuasan seksual dari melakukan aktivitas atau dorongan
untuk melukai orang lain. Orang dengan gangguan ini dapat bergantian
memerankan peran sadis dan masokhis. Dalam beberapa aktivitas seksual,
salah satu partner memainkan peranan si patuh dan memohon untuk disakiti
dan disiksa.

Kriteria diagnostik :
• Selama periode setidaknya 6 bulan, gairah seksual berulang dan intens dari
penderitaan fisik atau psikologis orang lain, sebagaimana diwujudkan oleh
fantasi, dorongan, atau perilaku.
• Individu telah bertindak atas dorongan seksual ini dengan orang yang tidak
menyetujuinya, atau dorongan atau fantasi seksual tersebut menyebabkan
tekanan atau gangguan signifikan secara klinis dalam bidang sosial,
pekerjaan, atau bidang fungsi penting lainnya.
2.6. Fetishistic disorder
Fetis adalah ketertarikan seksual yang kuat dan berulang terhadap objek
yang tidak hidup. Individu dengan parafilia fetisisme terkuasai oleh suatu
objek dan mereka menjadi bergantung pada objek ini untuk mencapai
kepuasan seksual, lebih menyukai objek tersebut daripada memiliki intimasi
seksual dengan pasangan.

Kriteria diagnostik:
• Selama periode setidaknya 6 bulan, gairah seksual berulang dan intens baik
dari penggunaan benda mati atau fokus yang sangat spesifik pada bagian
tubuh nongenital, yang dimanifestasikan oleh fantasi, dorongan, atau
perilaku.
• Fantasi, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan tekanan signifikan
secara klinis atau penurunan fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting
lainnya.
• Objek fetis tidak terbatas pada barang-barang pakaian yang digunakan
(seperti pada gangguan transvestik) atau perangkat yang dirancang khusus
untuk tujuan stimulasi genital (mis., vibrator).

Lebih spesifik :
Bagian tubuh
Benda yang tidak hidup
Lainnya

Spesifik jika :
Dengan fetisisme: Jika terangsang secara seksual oleh kain, bahan, atau
pakaian.
Dengan autogynephiiia: Jika terangsang secara seksual oleh pikiran atau
gambar diri sebagai wanita.

2.7. Transvestic Disorder


Transvetik merupakan gangguan ketika individu memliki dorongan
yang tidak terkontrol untuk menggunakan pakaian lawan jenis (cross-
dressing) sebagai upaya untuk mencapai kepuasan hasrat seksual. Perilaku
ini sering disertai dengan mastubasi atau fantasi-fantasi. Ketika tidak sedang
berada dalam kondisi cross-dressed, individu pengidap kelainan ini tampak
seperti orang normal lainnya.

Diagnosis gangguan transvestik tidak berlaku untuk semua individu


yang berpakaian sebagai lawan jenis, bahkan mereka yang melakukannya
dengan kebiasaan. Ini berlaku untuk individu yang melakukan cross-dressing
atau pemikiran mengenai cross-dressing selalu atau sering disertai dengan
gairah seksual (Kriteria A) dan yang secara emosional tertekan oleh pola ini
atau merasa itu merusak fungsi sosial atau interpersonal (Kriteria B).

Kriteria diagnostik :
• Selama setidaknya 6 bulan, gairah seksual berulang dan intens dari
crossdressing, seperti yang dimanifestasikan oleh fantasi, dorongan, atau
perilaku.
• Fantasi, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan tekanan signifikan
secara klinis atau penurunan fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting
lainnya.

2.8. Pedophilic Disorder


Pedofilia merupakan sebuah parafilia yang dimiliku oleh orang dewasa
(16 tahun ke atas) yang tidak mempu mengontrol dorongan seksual terhadap
anak-anak yang belum matang secara seksual. Hebephilia adalah orang
dewasa yang memiliki dorongan seksual yang tidak terkontrol untuk
menjalin hubungan seksual dengan remaja. Ephebophilia adalah orang
dewasa yang memiliki dorongan seksual atau ketertarikan terhadap remaja
pria (Wolak, Finkelhor, Mitchell, & Ybarra, 2008).

Kriteria diagnostik :
• Selama periode setidaknya 6 bulan, fantasi seksual yang muncul berulang,
intens, dorongan seksual, atau perilaku yang melibatkan aktivitas seksual
dengan anak atau anak praremaja (umumnya berusia 13 tahun atau lebih
muda).
• Individu telah bertindak atas dorongan seksual ini, atau dorongan seksual
atau fantasi menyebabkan kesulitan yang nyata atau kesulitan antarpribadi.
• Individu setidaknya berusia 16 tahun dan setidaknya 5 tahun lebih tua dari
anak atau anak-anak dalam kriteria A.
Catatan: Jangan menyertakan individu pada remaja akhir yang terlibat dalam
hubungan seksual yang berkelanjutan dengan usia 12 atau 13 tahun.

Lebih spesifik :
• Tertarik secara seksual kepada laki-laki
• Tertarik secara seksual kepada perempuan
• Tertarik secara seksual kepada laki-laki dan perempuan (keduanya)

Treatment:
• Intervensi medis, seperti memberikan obat-obatan antidepresi, atau obat
untuk menurunkan hormone
• Psikoterapi
• Penghilangan asosiasi-asosiasi melalui extinction dan pengondisian terbuka
3. Gender Dysphoria

Pengertian Gender Dysphoria

Gender dysphoria dalam istilah umum merujuk pada ketidakpuasan


afektif / kognitif seorang individu terhadap jenis kelamin yang telah
ditetapkan sebelumnya, namun didefinisikan secara lebih khusus bila
digunakan sebagai kategori diagnostic (Mantasari, 2014). Adapun pengertian
lain dari Gender dysphoria merupakan tekanan yang mungkin menyertai
ketidaksesuaian antara pengalaman atau ekspresi jenis kelamin seseorang
dengan jenis kelamin yang sudah ditentukan sebelumnya (jenis kelamin
bawaan sejak lahir) (DSM-V, 2013).

Gejala, Simton, dan Bentuk Perilaku

A. Pada Anak-Anak
Adanya inkongruensi yang jelas antara jenis kelamin yang dirasakan
dan diekspresikan dengan jenis kelamin yang telah ditetapkan sebelumnya,
Durasi minimal selama 6 bulan, dan memenuhi setidaknya enam dari kriteria
berikut (salah satunya harus kriteria A1):
1. Keinginan kuat untuk menjadi jenis kelamin yang lain atau desakan bahwa
ia memiliki jenis kelamin yang lain.
2. Pada anak laki-laki (jenis kelamin yang telah ditetapkan), kecenderungan
yang kuat untuk berpakaian atau meniru pakaian perempuan; atau pada anak
perempuan (jenis kelamin yang ditetapkan), kecenderungan yang kuat untuk
hanya mengenakan pakaian maskulin dan penolakan yang kuat untuk
mengenakan pakaian feminin.
3. Kecenderungan yang kuat untuk berperan memiliki jenis kelamin lain (cross-
gender) dalam permainan pura-pura atau permainan fantasi.
4. Kecenderungan yang kuat dalam pemilihan mainan, permainan, atau
kegiatan yang digunakan atau terikat secara stereotipik pada jenis kelamin
lain.
5. Kecenderungan yang kuat untuk teman bermain dari jenis kelamin lainnya.
6. Pada anak laki-laki (jenis kelamin yang telah ditetapkan), penolakan yang
kuat terhadap mainan, permainan, dan kegiatan yang maskulin serta
penghindaran yang kuat terhadap permainan kasar; atau pada anak
perempuan (jenis kelamin yang telah ditetapkan), penolakan yang kuat
terhadap mainan, permainan, dan kegiatan yang feminin.
7. Rasa tidak suka yang kuat terhadap anatomi kelaminnya.
8. Keinginan yang kuat terhadap ciri seks primer dan atau sekunder yang sesuai
dengan jenis kelamin yang ia rasakan.

Kondisi ini berkaitan dengan tekanan yang signifikan secara klinis


atau adanya gangguan fungsi sosial, sekolah, atau area-area fungsional
penting lainnya.
Dikhususkan apabila disertai dengan gangguan perkembangan
seksual (misalnya berupa gangguan androgenital congenital seperti pada
255.2 [E25.0] hiperplasia adrenal kongenital atau 259.50 [E34.50] sindrom
insensitivitas androgen.
B. Pada Remaja dan Orang Dewasa
Adanya inkongruensi yang jelas pengalaman atau ekspresi jenis
kelamin seseorang dengan jenis kelamin yang telah ditetapkan sebelumnya
(jenis kelamin bawaan saat lahir), durasi minimal selama 6 bulan, dan
memenuhi setidaknya dua dari kriteria berikut:
1. Inkongruensi yang jelas antara jenis kelamin yang dirasakan/diekspresikan
dengan ciri seks primer dan atau sekunder (atau ciri seks sekunder yang akan
muncul pada remaja muda).
2. Keinginan yang kuat untuk terbebas dari ciri seks primer dan atau
sekundernya karena terdapat ketidaksesuaian yang jelas dengan
pengalaman/ekspresi jenis kelaminnya (atau keinginan untuk mencegah
perkembangan ciri seks sekunder yang akan muncul pada remaja muda).
3. Keinginan yang kuat terhadap ciri seks primer dan atau sekunder dari jenis
kelamin lainnya.
4. Keinginan yang kuat untuk menjadi jenis kelamin lain (atau beberapa
alternatif jenis kelamin lainnya yang berbeda dari jenis kelamin yang telah
ditetapkan sebelumnya).
5. Keinginan yang kuat untuk diperlakukan sebagai jenis kelamin lainnya (atau
beberapa alternatif jenis kelamin lainnya yang berbeda dari jenis kelamin
yang telah ditetapkan sebelumnya).
6. Keyakinan yang kuat bahwa ia memiliki perasaan dan reaksi yang khas dari
jenis kelamin lainnya (atau beberapa alternatif jenis kelamin lainnya yang
berbeda dari jenis kelamin yang telah ditetapkan sebelumnya).
Kondisi ini berkaitan dengan tekanan yang signifikan secara klinis
atau adanya gangguan fungsi sosial, sekolah, atau area-area fungsional
penting lainnya.
Dikususkan apabila disertai dengan gangguan perkembangan seksual
(misalnya berupa gangguan androgenital congenital seperti pada 255.2
[E25.0] hiperplasia adrenal kongenital atau 259.50 [E34.50] sindrom
insensitivitas androgen. Posttransttion: individu tersebut telah beralih secara
penuh ke jenis kelamin yang diinginkan (dengan atau tanpa legalisasi
perubahan jenis kelamin) dan telah mengalami (atau sedang bersiap-siap
untuk menjalani) setidaknya satu prosedur medis cross-sex atau pengobatan–
yaitu, terapi hormone cross-sex atau operasi pergantian kelamin ke jenis
kelamin yang diinginkan (misalnya penectomy, vaginoplasty pada individu
yang terlahir sebagai laki-laki; mastektomi atau phalloplasty dalam individu
yang terlahir sebagai perempuan).
Beberapa contoh bentuk perilaku:
- Perempuan lebih memilih pakaian dan gaya rambut anak laki-laki, sehingga
sering dianggap sebagai anak laki-laki oleh orang asing, dan bisa saja
meminta untuk dipanggil dengan nama anak laki-laki.
- Laki-laki mengungkapkan keinginan untuk menjadi seorang anak perempuan
atau menegaskan bahwa mereka adalah seorang anak perempuan atau bahwa
mereka akan tumbuh menjadi seorang wanita.
- Laki-laki menjepit (bind) alat kelamin mereka agar ereksi tidak terlihat jelas.
- Perempuan dapat membebat payudara mereka, berjalan dengan
membungkuk, atau menggunakan sweater longgar untuk membuat payudara
kurang terlihat.
- Orang yang memiliki genser dysphoria saat melakukan aktivitas seksual
memilih untuk tidak memperlihatkan dan tidak mengizinkan pasangan
mereka menyentuh alat kelamin mereka.
Etiologi
Tanpa gangguan perkembangan seksual:
1. Memiliki Saudara lebih tua yang mengalami gender dysphoria
2. kebiasaan transvestisme fetihistik yang berkembang menjadi autogynephilia
(yaitu gairah seksual yang berhubungan dengan pikiran atau citra dirinya
sebagai seorang wanita)
3. Adanya transseksualisme dalam keluarga, antara saudara kandung yang tidak
kembar, peningkatan kesesuaian untuk transseksualisme pada monozigot
dibandingkan dengan kembar dizigot yang berjenis kelamis sama, dan
beberapa derajat heritabilitas gender dysphoria.
Dengan gangguan perkembangan seksual:
1. Kemungkinan terjadi gender dysphoria di kemudian hari meningkat jika
produksi dan pemanfaatan androgen prenatal (melalui sensitivitas reseptor)
yang lebih atipikal secara relatif terhadap yang biasanya terlihat pada
individu dengan jenis kelamin yang sama (genetis).
2. Namun, individu yang mengalami gangguan perkembangan seksual belum
tentu akan menderita gender dysphoria

Intervensi
1. Psikoterapi, contohnya psikoterapi elektik
2. Terapi hormonal
Contoh Kasus Gender Dysphoria
(sumber:https://akurat.co/news/id-973524-read-dipecat-karena-jadi-
transgender-tentara-korsel-ini-tempuh-langkah-hukum)

AKURAT.CO, Seorang Tentara Transgender di Korea


Selatan mengatakan ia akan menempuh langkah hukum atas pemecatan
dirinya. Byun Hui-soo, 22, bergabung dengan Tentara sebagai seorang lelaki
tetapi menjalani operasi kelamin tahun lalu setelah menderita disforia gender
dan masalah kesehatan mental.
Dia menuduh militer bertindak intoleran terhadap kelompok minoritas
seksual.
"Saya akan terus berjuang sampai hari saya dapat tetap bertugas
di Tentara. Saya akan menantang keputusan sampai akhir, ke Mahkamah
Agung," katanya dalam pernyataan, dilansir dari laman BBC, Kamis (23/1).
Menurut pengakuannya tidak berencana menjalani operasi penggantian
kelamin, tetapi direkomendasikan untuk melakukannya oleh dokter di rumah
sakit militer di mana dia dikirim setelah menderita disforia gender - suatu
keadaan yang didefinisikan sebagai tekanan dari konflik internal antara
gender fisik dan identitas gender.
"Saya pikir saya akan menyelesaikan tugas di ketentaraan dan kemudian
menjalani operasi transisi dan kemudian masuk kembali ke ketentaraan
sebagai Tentara wanita. Tetapi depresi saya menjadi terlalu parah," terang
Byun.
Ia mengaku tidak menyangka dirinya dipecat dari militer pasca operasi.
"Terlepas dari identitas gender saya, saya ingin menunjukkan kepada
semua orang bahwa saya juga bisa menjadi salah satu prajurit hebat yang
melindungi negara ini," tambahnya.
Sementara militer dalam pernyataannya mengatakan bahwa keadaan
Byun adalah keadaan di mana ia tidak dapat melanjutkan dinas militer.
Seorang juru bicara kementerian pertahanan mengatakan bahwa hilangnya
alat kelamin pria dianggap sebagai cacat mental atau fisik.
Militer Korea Selatan sendiri tidak memiliki peraturan yang
mengatur Tentara Transgender. Di sisi lain, militer mengatakan akan
membentuk panel untuk meninjau kembali kasus Byun dan menegaskan
untuk menghindari diskriminasi dan perlakuan tidak adil lainnya.
Namun Lim Tae-hoon dari Pusat Hak Asasi Manusia Militer
mengatakan pemecatan Byun tidak biasa karena efektif sehari setelah
keputusan dibuat di mana biasanya pemecatan efektif setelah periode hingga
tiga bulan.
Seorang pejabat militer lainnya yang mengetahui kasus ini mengatakan
bahwa seharusnya tidak ada alasan bagi militer untuk menyangkal Byun jika
dia mengajukan permohonan kembali untuk bertugas di korps wanita setelah
secara hukum menjadi seorang wanita.
Pembahasan Etika Gender Dysphoria
• Beneficence and Nonmaleficence
Dalam menangani kasus gender dysphoria, psikolog diharapkan dapat
membantu menangani klien dari gangguan yang dihadapi Byun Hui-Soo,
serta mengatasi rasa cemas dan konflik dalam dirinya yang malah
menimbulkan masalah baru bagi dirinya, yaitu depresi.

• Fidelity and Responsibility


Psikolog hendaknya mampu untuk menanamkan rasa percaya dan
aman pada diri klien. Pada kasus ini, psikolog dapat membangun komunikasi
yang baik sehingga diharapkan mampu membuat Byun terbuka atas
permasalahan seksual yang dihadapinya sehingga mempermudah psikolog
dalam proses pemulihan.

• Respect for People's Rights and Dignity


Psikolog mampu untuk menghormati martabat dan nilai dari setiap
kliennya, dimana dalam hal ini psikolog tidak diperkenankan meremehkan
klien atas latar belakang dirinya. Menanggapi kasus Byun, psikolog
hendaknya menerima Byun tanpa memandang gender hingga ganggguan
yang dihadapinya.

• Integrity
Selama proses konseling dan pemulihan berlangsung, psikolog
diwajibkan menyampaikan hal yang terkait dengan kondisi dan gangguan
yang dialami oleh klien secara akurat, jujur, dan berdasarkan fakta yang ada,
sehingga dapat mengambil langkah selanjutnya dengan benar.

• Justice
Pada saat melakukan proses penyembuhan pada klien, psikolog wajib
untuk mampu bersifat adil pada setiap kliennya agar menghindari adanya
bias dalam menjalani proses konseling. Psikolog hendaknya mampu bersikap
netral pada kasus Byun sehingga pengobatan dapat berlangsung dengan baik
dan mengurangi Byun dari rasa terkucilkan.
Contoh Kasus Sexual Dysfunction

(sumber: https://www.bbc.com/indonesia/majalah-43664703)

Saya berusia 16 tahun saat pertama kali menyadari bahwa penis saya tak bisa
berdiri tegak atau ereksi sempurna selama masturbasi.

Lantas penis saya pun tidak pernah lagi mengalami ereksi di pagi hari seperti
biasanya. Itu adalah tanda-tanda awal bahwa ada sesuatu yang salah.

Selama satu tahun, keadaan semakin memburuk. Aktivitas masturbasi dan


hubungan seksual menjadi semakin sulit - saat saya berhenti melakukan
rangsangan, penis saya menjadi lembek. Saya yakin saat itu pacar saya
menyadari ada sesuatu yang salah, namun dia canggung untuk
membicarakannya.

Tak ada orang yang bisa saya ajak bicara - saya tumbuh tanpa ayah dan
terlalu malu untuk membicarakan hal ini dengan teman-teman sekolah saya.
Mereka akan mengejek saya. Malah akan mengolok-olok kehidupan seks
saya.

Hidup dengan keadaan seperti ini membuat saya tertekan. Saya tadinya
menyangka impotensi adalah sesuatu yang hanya akan menimpa para laki-
laki yang lebih tua.

Namun hal ini ternyata semakin banyak terjadi di kalangan remaja pria.
Menurut sebuah penelitian baru-baru ini, satu dari setiap empat pasien
disfungsi ereksi belum lagi berusia 40 tahun. Dokter saya saat ini mengatakan
bahwa satu dari 10 laki-laki suatu saat akan mengalami gejala ini pada tahap
tertentu dalam kehidupannya - tetapi masih merupakan hal yang tabu.

BANYAK MENONTON FILM PORNO

Saya banyak menghabiskan waktu untuk menonton film-film porno sewaktu


remaja - kadang bisa beberapa kali dalam sehari - sehingga sulit bagi saya
untuk terangsang dalam kehidupan nyata. Banyak laki-laki yang memiliki
pengalaman serupa.

Kini usia saya 25 tahun. Pernah saya berkonsultasi dengan dokter, tapi malah
membuat keadaan saya semakin buruk. Dia menyepelekan masalah dengan
mengatakan mungkin saya terlalu banyak melakukan masturbasi. Saya
merasa semakin kesal dan cemas.

Diam-diam saya mulai memesan Viagra secara daring dari India. Saya
menyelinap masuk ke kamar mandi untuk minum pil itu sebelum
berhubungan seks. Kemudian saya melakukan seks oral terhadap pasangan
saya selama 20 menit hingga penis saya terasa cukup keras untuk penetrasi.
Pil yang saya beli harganya £1,50 (lebih Rp25.000) per butir dan harus dibeli
dalam kemasan 20 butir. Saya harus menghabiskan ratusan pound (jutaan
rupiah) selama bertahun-tahun. Kalau kebanyakan laki-laki menyimpan
kondom di dompet mereka, maka saya menyimpan Viagra. Saya tidak
mengerti mengapa hal ini terjadi pada saya ketika saya masih sangat muda -
itu membuat saya sangat frustrasi.

Jika persediaan pil saya habis, saya pasti panik dan mencari-cari alasan untuk
tidak berhubungan seks. Bahkan ketika saya sudah mengonsumsi pil pun,
saya masih belum bisa menikmati hubungan seks.

Saya takut bila tiba-tiba penis saya lembek saat tengah berhubungan seks.

Suatu hari, pacar saya menemukan pil-pil tersebut dan bertanya apa itu. Saya
merasa canggung dan pura-pura tidak mendengarnya. Terbongkarnya rahasia
itu membuat hubungan kami tegang dan akhirnya kami putus.

Saya berharap bisa membicarakan masalah saya dengannya namun saya


merasa malu.

INGIN MENGAKHIRI HIDUP

Setelah beberapa tahun, saya hampir bunuh diri. Sulit bagi saya untuk
memulai hubungan romantis dengan serius - bagaimana hubungan itu bisa
bertahan jika penis saya tidak berfungsi dengan baik? Saya merasa sepertinya
saya tidak akan pernah dapat menemukan cinta dan membina sebuah
keluarga jika penis saya mengalami disfungsi, jadi apa gunanya mencoba?

Saya bisa menangis mengkhawatirkan penis sampai tertidur. Saya lalu mulai
menggunakan narkoba. Saya hanya berpikir, toh tubuh saya juga sudah
berantakan - mengapa saya harus peduli bila narkoba itu merusak lebih jauh?

Suatu hari, diri saya benar-benar sudah hancur lebur dan akhirnya
memberitahu ibu saya tentang semua yang saya alami. Sambil duduk di dapur
saya katakan kepadanya bahwa jika saya sampai usia ke 30 ini masalah saya
belum terselesaikan, saya akan bunuh diri. Dia terkejut, namun dia
membantu saya dengan langsung membuatkan janji dengan seorang dokter
lain.

Saya dirujuk ke seorang ahli urologi yang merekomendasikan banyak


pengobatan baru. Saya mencoba segalanya: pil, jeli, bahkan suntikan.
Suntikan adalah yang terburuk dari semua itu. Rupanya, para bintang porno
menggunakannya agar penis mereka tetap tegak selama syuting film
berlangsung.

Tangan saya bergetar setiap kali jarum suntik dimasukkan ke penis. Memang
metode suntik itu berhasil, tapi saya menghentikannya setelah 6 minggu
menjalaninya; karena terlalu mengerikan. Saya tidak mengerti mengapa ada
orang yang mau memasukkan jarum ke penis mereka.
Saya mengunjungi seorang konsultan juga dan mulai mengamati faktor
kecemasan yang menyebabkan disfungsi ereksi. Saya menyadari bahwa saya
sudah lama tak membicarakannya, dan hal itun menambah kekuatiran saya
dan memperburuk keadaan.

Sungguh melegakan saat saya tidak usah lagi menyembunyikannya - saya


akhirnya melakukan sesuatu yang membuat beban saya terangkat.

Saya menjalani berbagai tes dan akhirnya saya didiagnosis mengalami


kebocoran vena. Ini pada dasarnya berarti darah tidak mengalir dengan baik
di sekitar penis, tetapi ada kerumitan tentang apa yang menyebabkannya dan
seberapa lazimnya itu.

Hal itu bisa dipicu oleh penyakit vaskular, cedera seksual dan masturbasi
berlebihan yang merusak jaringan penis. Itu yang kemudian dapat
menyebabkan depresi dan kecemasan.

Sepertinya tidak ada perbaikan jangka panjang untuk masalah ereksi saya.
Saya akan mencoba obat-obatan baru dan itu akan berguna selama beberapa
bulan. Tapi kemudian kekuatiran itu datang kembali dan ereksi saya akan
menghilang lagi.

Operasi implan penis

Akhirnya, dokter saya menyarankan melakukan operasi implan penis. Ini


terdiri dari dua batang plastik yang masuk ke dalam penis dan kantong
larutan garam yang akan ditaruh di dalam perut saya.

Plastik itu bekerja dengan pompa tersembunyi di dalam buah zakar. Sebelum
berhubungan seks, saya memencetnya sekitar 10 kali dan alat itu akan
membuat arteri mengembang hingga penis saya bisa tegak. Penis akan
lembek ketika saya menekan tombol untuk lepas. Saya masih bisa mengalami
ejakulasi seperti biasa.

Pacar saya sekarang, yang baru saya kenal tiga bulan setelah operasi implan,
sudah tahu semuanya. Saya menjelaskannya sambil berkelakar, bahwa penis
saya yang tadinya manual sekarang otomatis.

Dia sangat pengertian, itu membuat saya berpikir bahwa jika saya bertemu
dengannya sebelumnya mungkin saya tidak akan memiliki masalah yang
membuat saya begitu cemas.

Teman-teman saya juga sudah tahu. Saya memberitahu mereka dengan


menyebut diri saya sebagai 'manusia robot'. Saya sedang mengerjakan
sebuah situs saat itu dan semua orang terus meminta saya untuk
menunjukkan kepada mereka bagaimana cara kerjanya. Rasanya seperti
memamerkan gawai baru.

Teman-teman dekat saya sangat mendukung. Saya sangat terkejut - selama


bertahun-tahun saya membayangkan mereka hanya akan mengejek saya-
tetapi sebenarnya mereka sedih karena saya tidak memberi tahu mereka sejak
awal.

Mampu menikmati seks tanpa khawatir kehilangan ereksi saya adalah


sesuatu yang luar biasa. Tetapi terkadang saya mempertanyakan apakah
melakukan operasi implan ini adalah keputusan yang tepat. Ini sesuatu yang
tak dapat dibalikkan, jadi jika obat untuk disfungsi ereksi muncul dalam
waktu 20 tahun, tida ada gunanya untuk saya: saya sudah terjebak di dalam
yang satu ini.

Saran saya kepada siapa pun yang memiliki masalah ini adalah menemukan
seseorang yang dapat Anda ajak bicara secara jujur tentang hal itu sebelum
menjalani perawatan apa pun. Dan, jika bisa, temukanlah pasangan yang
mendukung dan membuat Anda merasa nyaman. Yang jelas, janganlah
menyelinap diam-diam mengonsumsi Viagra seperti yang saya lakukan.
Pembahasan Etika Sexual Dysfunction

• Beneficence and Nonmaleficence


Dalam kasus tersebut, seorang psikolog hendaknya mampu memberikan
bantuan kepada klien terkait disfungsi seksual yang dialaminya, dimana hal
tersebut membawa dampak pada kehidiupan sosial klien hingga perasaan
bersalah yang sempat membawanya ingin melakukan tindakan bunuh diri.
Psikolog dapat memberikan bantuan berupa diagnosis yang tepat dan
penanganan apa yang sesuai dengan kebutuhan pasien.

• Fidelity and Responsibility


Psikolog hendaknya mampu membangun rasa percaya, aman, dan
tanggung jawab kepada setiap klien selama berlangsungnya proses
penyembuhan. Psikolog dapat memberikan perilaku yang sekiranya mampu
membuat klien merasa nyaman dan tidak memojokkannya, serta membuat
klien merasa percaya kepada psikolog.

• Respect for People's Rights and Dignity


Psikolog mampu untuk menghormati martabat dan nilai dari setiap
kliennya, dimana psikolog harus dapat menghindari adanya sikap
meremehkan atas permasalahan yang dialami klien karena dapat
menimbulkan rasa cemas pada diri klien

• Integrity
Selama proses konseling dan pemulihan berlangsung, psikolog
diwajibkan menyampaikan hal yang terkait dengan kondisi dan gangguan
yang dialami oleh klien secara akurat, jujur, dan berdasarkan fakta yang ada,
sehingga dapat mengambil langkah selanjutnya dengan benar. Psikolog tidak
diperkenankan untuk menyimpulkan diagnosa secara cepat dan tidak akurat
atas sekilas penympaian keluhan yang diderita oleh kliennya tanpa
mempertimbangkan faktor lain yang juga berpengaruh.
• Justice
Pada saat melakukan proses penyembuhan pada klien, psikolog wajib
untuk mampu bersifat adil pada setiap kliennya. Psikolog hendaknya mampu
bersikap netral pada kasus ini sehingga pengobatan dapat berlangsung
dengan baik.
Contoh Kasus Paraphilic Disorder

Sumber: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4819071/obsesi-pada-
robot-seks-sampai-ingin-menikahinya-tanda-gangguan-jiwa)

Jakarta - Pengakuan binaragawan yang jatuh cinta dan ingin menikahi


pasangannya yang adalah robot seks, menimbulkan banyak perbincangan
dan kontroversi.

Penggunaan robot seks belakangan ini memang meningkat di kalangan kaum


adam. Tidak sedikit juga yang akhirnya terobsesi pada robot seks mereka dan
menjadikannya teman hidup.

Bahkan beberapa robot seks dilengkapi dengan kecerdasan buatan sehingga


mampu melakukan percakapan sederhana. Di samping klaim manfaatnya,
banyak yang menyatakan robot seks dapat menyebabkan gangguan
jiwa terlebih jika digunakan secara tidak wajar.

"Untuk memastikan dia gangguan mental atau tidak memang harus ada
pemeriksaan lengkap. Tapi dari fenomena yang ada, sampai mau menikahi
robot seksnya, nggak suka sama manusia asli, itu kan termasuk gangguan
parafilia," kata seksolog dr Heru Oentoeng, MRepro, SpAnd dari RS Siloam
Kebon Jeruk saat dihubungi detikcom, Rabu (11/12/2019).

Parafilia adalah jenis gangguan kejiwaan yang ditandai dorongan seks tidak
normal yang melibatkan objek, aktivitas atau situasi tidak biasa. Ketertarikan
seks pada benda-benda tertentu seperti robot seks juga disebut sebagai
gangguan parafilia.

Obsesi pada robot seks sampai ingin menikahi memang akan dianggap tidak
wajar bagi lingkungan sosialnya. Dalam kebanyakan kasus, mereka yang
memiliki parafilia biasanya tidak memiliki masalah dalam interaksi sosial
namun akan berbeda cerita jika hanya berdua dalam satu ruangan bersama
robot seksnya.

"Kalau kita ngomong ke gangguan jiwa kan ada kaitannya dengan hubungan
dan interaksi sosial. Bisa saja dia tidak anti sosial. Bisa saja masih normal
tapi objek seksual dia adalah benda mati walau terlihat hidup. Itu sudah
masuk dalam kategori gangguan objek seksual," pungkas dr Heru.
Pembahasan Etika Paraphilic Disorder

• Beneficence and Nonmaleficence


Dalam menangani kasus paraphilic disorder, psikolog dapat membantu
menangani klien dari gangguan yang dihadapi oleh seorang binaragawan
yang berniat untuk menikahi boneka seks dengan memberikan diagnosis
yang tepat, sehingga mampu untuk memberikan penanganan yang sesuai
kebutuhan klien.

• Fidelity and Responsibility


Psikolog hendaknya mampu untuk menanamkan rasa percaya dan
aman pada diri klien. Pada kasus ini, psikolog dapat membangun komunikasi
yang nyaman, aman, serta bertanggung jawab terhadap klien, sehingga klien
mampu untuk bersikap terbuka pada psikolog dan mempermudah psikolog
dalam melakukan penanganan yang tepat

• Respect for People's Rights and Dignity


Psikolog mampu untuk menghormati martabat dan nilai dari setiap
kliennya, dimana dalam hal ini psikolog tidak diperkenankan meremehkan
klien atas latar belakang dirinya, baik itu gender, status pekerjaan, usia, dan
lain sebagainya. Psikolog juga hendaknya tidak memunculkan respon
maupun sifat yang sekiranya membuat klien merasa tidak nyaman, seperti
ekspresi terkejut.

• Integrity
Selama proses konseling dan pemulihan berlangsung, psikolog
diwajibkan menyampaikan hal yang terkait dengan kondisi dan gangguan
yang dialami oleh klien secara akurat, jujur, dan berdasarkan fakta yang ada,
sehingga dapat mengambil langkah selanjutnya dengan benar.

• Justice
Pada saat melakukan proses penyembuhan pada klien, psikolog wajib
untuk mampu bersifat adil pada setiap kliennya. Psikolog hendaknya mampu
bersikap netral pada kasus ini sehingga pengobatan dapat berlangsung
dengan baik
Pengaplikasian Dalam Bidang Minat Psikologi

• Bidang minat Psikologi Klinis


Psikolog dapat berperan dengan memberikan intervensi ataupun
asesmen terkait dengan gangguan seksual yang dialami oleh klien, baik
kepada klien maupun pihak lain yang berkaitan dengan klien untuk
membantu klien pada masa penyembuhan/ pemulihan.

• Bidang minat Psikologi Sosial


Psikolog dapat mempelajari pola perilaku yang terjadi dalam
suatu masyarakat apakah berpotensi dalam menimbulkan gangguan seksual,
serta membantu untuk mengatasi permasalahan yang mungkin terjadi pada
individu terkait gangguan seksual dengan lingkungannya.

• Bidang minat Psikologi Perkembangan


Psikolog dapat menelaah apakah gangguan seksual pada
individu merupakan dampak dari pengalaman terdahulunya, serta pengaruh
apa yang kemungkinan dapat timbul pada masa-masa perkembangan
selanjutnya.

• Bidang minat Psikologi Pendidikan


Psikolog dapat memberikan bimbingan konseling pada individu
dengan gangguan seksual, seperti apa yang melatarbelakangi timbulnya
perilaku gangguan pada klien. Psikolog juga dapat memberikan gambaran-
gambaran serta penjelasan mengenai seksual sebagai upaya meminimalkan
timbulnya gan
DAFTAR PUSTAKA
American Psychological Association. “Ethical Principles of Psychologists and
Code of Conduct.” American Psychological Association, 2020.
http://www.apa.org/ethics/code/ diakses 28 Januari 2020.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM-V). Washington DC: American Psychiatric
Publishing.
Azizah, Khadijah Nur. “Obsesi Pada Robot Seks Sampai Ingin Menikahinya, Tanda
Gangguan Jiwa?” (online) https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-
4819071/obsesi-pada-robot-seks-sampai-ingin-menikahinya-tanda-
gangguan-jiwa Diakses pada 29 Januari 2020.

BBC Indonesia. “Cerita Pria yang Ingin Mengakhiri Hidupnya karena Disfungsi
Ereksi.” (online) https://www.bbc.com/indonesia/majalah-43664703
Diakses pada 29 Januari 2020.

Dhanes, Sahistya. “Dipecat karena Jadi Transgender, Tentara Korsel ini Tempuh
Langkah Hukum.” (online) https://akurat.co/news/id-973524-read-dipecat-
karena-jadi-transgender-tentara-korsel-ini-tempuh-langkah-hukum Diakses
pada 29 Januari 2020.

Halgin, Richard P. Whitbourne, Susan Krauss (2010) Psikologi Abnormal


“Perspektif Klinis pada Gangguan Psikologis”. Jakarta : Salemba Humanika.

Himpsi. 2010. “Kode Etik Psikologi Indonesia”. Jakarta. Pengurus Pusat


Himpunan Psikologi Indonesia

Anda mungkin juga menyukai