Anda di halaman 1dari 12

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................... i

KATA PENGANTAR..................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................... iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...............................................................................

B. Rumusan Masalah..........................................................................................

C. Tujuan Pembuatan Makalah ..........................................................................

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian Qashashul Qur’an.........................................................................

B. Macam-macam Qashashul Qur’an.................................................................

C. Karakteristik Qashashul Qur’an ....................................................................

D. Tujuan Qashasul Qur’an............ ....................................................................

E. Faedah Qashashil Al-Quran..........................................................................

F. Hukum Dan Pandangan Para Ulama Terhadap Qashashil Al-Quran...........

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan ........................... …................................................................ 13

B. Saran .......................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT. yang berisi petunjuk bagi manusia. Ajaran-ajarannya
disampaikan secara variatif serta dikemas sedemikian rupa. Ada yang berisi informasi, perintah dan
larangan, dan ada juga yang dimodifikasi dalam bentuk diskriftif kisah-kisah yang
mengandung ibrah yang dikenal dengan kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Tuntunan dalam al-Qur’an
adakalanya disampaikan melalui kisah-kisah dengan tujuan untuk menjelaskan bantahan terhadap
kepercayaan-kepercayaan yang salah dan bantahan terhadap setiap bujukan untuk berbuat ingkar, serta
menerangkan prinsip-prinsip Islamiyah dalam berdakwah.

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT. mempunyai banyak keunikan, salah satu keunikannya
adalah suka mendengar dan mempelajari cerita. Hal tersebut, disebabkan karena kisah dapat menarik
perhatian apabila di dalamnya terselip pesan-pesan dan pelajaran yang dapat menanamkan kesan rasa
ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Nasihat atau pelajaran yang disampaikan tanpa
variasi walau dengan tutur kata yang indah belum tentu dapat menarik perhatian akal. Bahkan isinya pun
belum tentu dapat dipahami. Akan tetapi bila nasehat itu dituangkan dalam bentuk kisah yang
menggambarkan peristiwa dalam realita kehidupan, maka akan terwujudlah dengan jelas tujuannya.
Sehingga akan merasa senang mendengarkan, memperhatikannya dengan penuh kerinduan dan rasa ingin
tahu, dan pada gilirannya ia akan terpengaruh akan nasehat dan pelajaran yang terkandung di dalammya.

Kesusasteraan kisah dewasa ini telah menjadi seni yang khas diantara seni-seni bahasa dan kesusasteraan.
Kisah yang benar telah membuktikan kondisi ini dalam uslub arabi secara jelas dan menggambarkannya
dalam bentuk yang paling tinggi, yaitu kisah-kisah al-Qur’an.[1] Kisah-kisah dalam al-Qur’an tentu saja
berbeda dengan cerita atau dongeng lainnya, karena mempunyai karakteristik di dalamnya. Dalam al-
Qur’an kisah merupakan petikan-petikan dari sejarah sebagai pelajaran bagi umat manusia yang
senantiasa dapat menarik manfaat dari peristiwa-peristiwa itu.

Secara eksplisit al-Qur’an berbicara tentang pentingnya sejarah, hal tersebut tertera dalam QS. Ali
Imran (3):140 berbunyi:

ِ‫ِالقَ ْو َمِقَ ْر ٌحِمثْلُه َُِوت ْل َكِاأليَّا ُمِنُدَاولُ َهاِ َبيْنَ ِالنَّاس‬


ْ ‫س‬ َّ ‫س ْس ُك ْمِقَ ْر ٌحِفَقَدِْ َِم‬
َ ‫إِ ْنِ َي ْم‬
Terjemahnya:

“Dan kamu (pada perang uhud) terkena luka, Maka kaum lainpun (kafir) kena luka pula seperti itu. Dan
hari (kejayanan dan kekalahan) itu akan datang silih berganti.[2]

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian Qashashul Qur’an?

2. Berapa macam Qashashul Qur’an?

3. Bagaimana karakteristik Qashashul Qur’an?

4. Apa tujuan Qashashul Qur’an?

5. Apa faedah Qashashul Qur’an?

C. Tujuanan Masalah

1. Mengetahui pengertian Qashashul Qur’an

2. Mengetahui macam Qashashul Qur’an?

3. Mengetahui karakteristik Qashashul Qur’an?

4. Mengetahui tujuan Qashashul Qur’an?

5. Mengetahui faedah Qashashul Qur’an?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qashashul Qur’an

Kata Qashashul berasal dari bahas Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata Qishash yang
berartitatabbu’ al-atsar (napak tilas/ mengulang kembali masa lalu). Qishash menurut Muhammad
Ismail Ibhrahim yang berarti “hikayat (dalam bentuk) prosa yang panjang”.[3] sedang menurut Manna
Khalil al-Qattan “qashashtu atsarahu” yang berarti “kisah ialah menelusuri jejak”.[4] Kata al-
qashash adalah bentuk masdar seperti dalam firman Allah QS. Al-Kahfi (18): 64 disebutkan:

‫صا‬ َ َ‫علَىِآثَاره َماِق‬


ً ‫ص‬ ْ َ‫ف‬
َ ِ‫ارتَدَّا‬
Terjemahnya:

“Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula”.[5]

Maksudnya kedua orang itu kembali mengikuti jejak darimana keduanya itu datang. Dan firmanNya
melalui lisan ibu Musa, QS. Al-Qashash (28): 11 sebagai berikut: Terjemahnya:

“Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: ikutilah dia”.[6]

Maksudnya ikutilah jejaknya sampai kamu melihat siapa yang mengambilnya. Secara
etimologi (bahasa), al-qashash mempunyai arti urusan (al-amr), berita (al-khabar), perbuatan (al-
sya’an), dan keadaan (al-hal). Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata al-Qashsash diterjemahkan dengan
kisah yang berarti kejadian (riwayat, dan sebagainya).[7] Menurut Al-Raghib al-
Ishfahani, Qashsash adalah akar kata (mashdar) dari qashsha yaqushshu,secara lughawi konotasinya tak
jauh berbeda dari yang disebutkan di atas, yang dipahami sebagai “cerita yang ditelusuri”[8] seperti
dalam firman Allah swt. Qs Yusuf (12): 111:

ْ
ِ‫يِاألل َباب‬‫صصه ْمِعب َْرةٌِألول‬
َ َ‫ل ََقَدِْ َكانَ ِفيِق‬

Terjemahnya:

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang
mempunya akal”.[9]

Dengan melihat beberapa arti Qishshash di atas dapat diambil pengertian bahwa Qishash sama
dengan kisah yang mempunyai arti segala peristiwa, kejadian atau berita yang telah terjadi dari suatu
cerita untuk menelusuri jejaknya.

Adapun yang dimaksud dengan Qashashul Qur’an adalah


.‫إخبارِعنِاألحوالِالماضيةِواألنبياءِالقدماءِواألحداثِالواقعةِفىِالماضى‬
“Pemberitaan mengenai keadaan umat terdahulu, nabi-nabi terdahulu, dan peristiwa yang
pernah terjadi”.[10]

Menurut perspektif al-Qur’an, Allah swt. mengungkapkan diriNya melalui peristiwa-peristwa,


namun wahyuNya menggunakan tema-tema yang sudah terkenal dan dinyatakan kembali sampai orang-
orang beriman meresapinya.[11] Al_Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian pada masa
lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan neger-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Ia
menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik mempesona.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dikatakan, bahwa pada kisah-kisah yang dimuat dalam
al-Qur’an semuanya cerita yang benar-benar terjadi, tidak ada cerita fiksi, khayal, apalagi dongeng. Jadi
bukan seperti tuduhan sebagian orientalis bahwa al Qur’an ada yang tidak cocok dengan fakta
sejarah.[12]

B. Macam-macam Qashashul Qur’an

Kisah-kisah dalam al-Quran di bagi menjadi tiga macam,[13] yaitu:

1. Dilihat dari sisi pelaku

Dilihat dari sisi pelaku, Manna al- Qathtan membagi menjadi tiga macam yaitu:

a) Kisah para nabi

Bagian ini bersikan tentang ajakan para nabi kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat
dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta
akibat yang menimpa orang beriman (mempercayai) dan golongan yang mendustakan para nabi. Misalnya
kisah nabi Nuh as., Ibrahim as., Musa as., Harun as, Isa as., Muhammad saw, dan nabi-nabi serta rasul
lainnya.

b) Kisah yang berhubungan dengan masa lalu dan orang-orang yang tidak disebutkan kenabiannya.

Misalnya kisah orang yang keluar dari kampung halamannya, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut
mati, kisah Talut dan Jalut, dua orang putera Adam, Ashabul Kahfi, Dzul Qarnain, Qarun, Ashabus Sabti
(orang –orang yang menangkap ikan pada hari sabtu), misalnya Maryam, Ashabul ukhdud, Ashabul Fil
dan lain-lain.

c) Kisah yang terjadi pada masa Rasulullah SAW

Seperti perang Badar dan Uhud dalam surah Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surah
al_Taubah, perang al-Akhzab, Hijrah, Isra’ dan lain-lain.

Cerita-cerita mengenai para nabi dalam Al-Qur’an bervariasi sesuai dengan kasus, tetapi mereka
semua adalah pemberi peringatan yang mendapat perlindungan Allah swt. Kepada para hambaNya.
Perlindungan ini adalah salah satu elemen dalam narasi yang dipercepat dengan insiden. Contoh Nabi
Ibrahim AS diselamatkan dari api yang dilempar kedalamnya oleh umatnya setelah dia menghancurkan
patung-patung QS. al Anbiya’ (21): 68-71. Nabi Isa as diselamatkan ketika Allah swt, secara mukjizat
menghalanginya dari orang-orang Yahudi dari menyalibnya QS. an-Nisa (4): 157.[14]

2. Dilihat dari panjang pendeknya

Dilihat dari panjang pendeknya, kisah-kisah al-Qur;an dapat dibagi menjadi tiga,[15] yaitu:

a. Kisah panjang, contohnya kisah nabi Yusuf a.s dalam QS. Yusuf (12) yang hamper seluruh ayatnya
mengungkapkan kehidupan nabi Yusuf, sejak masa kanak-kanak sampai dewasa dan memiliki kekuasaan.

b. Contoh lainnya adalah kisah nabi Musa a.s dalam surah al-Qashash (28), kisah nabi Nuh a.s dan
kaumnya dalam QS Nuh (71), dan lain-lain.

c. Kisah yang lebih pendek dari bagian yang pertama (sedang), seperti kisah Maryam dalam QS
Maryam (19), kisah Ahzab al-Kahfi pada QS al-Kahfi (18), kisah nabi Adam a.s dalam QS al-Baqarah
(2), dan QS Thoha(20), yang terdiri atas sepuluh atau beberapa belas ayat saja.

d. Kisah pendek yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh ayat, misalnya kisah nabi Hud a.s nabi
Luth a.s dalam Qs al-A’raaf (7), kisah nabi Shahih a.s dalam Qs Hud (110), dan lain-lain.

3. Dilihat dari jenisnya

Dilihat dari jenisnya Kisah-kisah dalam al-Quran di bagi menjadi tiga macam,[16] yaitu:

a. Kisah Sejarah (al-qishash al-tarikhiyyah), berkisar tentang kisah-kisah sejarah, seperti para nabi dan
rasul.

b. Kisah sejarah/ perumpamaan (al-qishash al-tamtlisiyah), untuk menerangkan atau memperjelas suatu
pengertian, bahwa peristiwa itu tidak benar terjadi tetapi hanya perkiraan.

c. Kisah asatir, kisah ini untuk mewujudkan tujuan-tujuan ilmiah atau menafsirkan, fenomena yang ada
atau menguraikan masalah yang sulit diterima akal.

Kisah-kisah al-Qur’an pada umumnya mengandung tiga unsur[17] yaitu:

1) Pelaku (al-sakhsiyyat), kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an tidaklah hanya manusia. Dalam
QS an-Naml (27): 23, tetapi juga ada malaikat, dalam QS Hud (11): 69-83, Jin dalam QS saba’ (34):12,
dan binatang (burung, semut, dll), dalam QS An-Naml (27): 18-19.

2) Peristiwa (ahdats), hal ini terbagi menjadi: peristiwa yang berkelanjutan, peristiwa yang dianggap
luar biasa dalam QS Almaidah (5): 110-115, dan peristiwa yang dianggap biasa dalam QS Almaidah
(5):116-118.

3) Dialog (alhiwar), dalam QS Al-A’raf (7):11-25, Thaha (20): 9-99.


C. Karakteristik Qashashul Qur’an

Al-Qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa secara berurutan (kronologis) dan memaparkan
kisah-kisah itu secara panjang lebar. Tetapi terkadang berbagai kisah disebutkan berulang-ulang
dibeberapa tempat, ada pula beberapa kisah disebutkan al-Qur;an dalam bentuk yang berbeda, disatu
tempat ada bagian yang di dahulukan dan ditempat lain diakhirkan. Kadang-kadang pula disajikan secara
ringkas dan kadang secara panjang lebar. Hal tersebut menimbulkan perdebatan diantara kalangan orang
yang meyakini dan orang-orang yang meragukan al-Qur’an. Mereka yang ragu terhadap al-Qur’an sering
mempertanyakan, mengapa kisah-kisah dalam al-Qur’an tidak disusun secara kronologis dan sistematis
sehingga lebih mudah dipahami? Karena hal itu tersebut menurut mereka dipandang tidak efektif dan
efisien.[18]

Menurut Manna Khalil al-Qattan, bahwa penyajian kisah-kisah dalam al-Qur’an begitu rupa mengandung
beberapa hikmah[19] yaitu,

1. Menunjukkan kehebatan mukjizat al-Qur’an

2. Memberi perhatian besar terhadap kisah tersebut untuk menguatkan kesan yang mantap dan melekat
dalam jiwa

3. Memperlihatkan adanya perbedaan tujuan diungkapkannya kisah tersebut.

Sedang faedah Qashashul Qur’an adalah sebagai berikut[20]:

1. Menjelaskan prinsip-prinsip dakwah dan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh setiap nabi, QS. al
Anbiya’ (21):25.

2. Meneguhkan hati Rasulullah dan umatnya dalam menegakkan agama Allah SWT. serta menegakkan
kepercayaan orang-orang yang beriman melalui datangnya pertolongan Allah SWT. dan hancurnya
kebatilan beserta para pendukungnya, QS. Hud (11):120.

3. Membenarkan nabi-nabi terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka.

4. Memperlihatkan kebenaran nabi Muhammad SAW. dalam penuturannya mengenai orang-orang


terdahulu.

5. Membuktikan kekeliruan ahli kitab yang telah menyembunyikan keterangan dan petunjuk, QS. Ali
Imran (3):93

6. Kisah merupakan salah satu bentuk sastera yang menarik bagi setiap pendengarnya dan memberikan
pengajaran yang tertanam dalam jiwa, QS Yusuf (12): 111

D. Tujuan Qashasul Qur’an

Adanya kisah dalam al-Qur’an menjadi bukti kuat bagi umat manusia bahwa al-Qur’an sangat
sesuai dengan kondisi mereka karena sejak kecil sampai dewasa bahkan sampai tua, jarang orang yang tak
suka pada kisah, apalagi bila kisah mempunyai tujuan ganda, yakni disamping pengajaran dan pendidikan
juga berfungsi sebagai hiburan. Al-Qur’an sebagai kitab hidayah mencakup kedua aspek itu, disamping
tujuan yang mulia, juga kisah-kisah tersebut diungkapkan dalam bahasa yang indah dan menarik,
sehingga tak ada orang yang bosan membaca dan mendengarnya. Sejak dahulu sampai sekarang, telah
berlalu empat belas abad, kisah-kisah al-Qur’an yang diungkapkan dalam bahasa Arab itu masih up dated,
mendapat tempat dan hidup di hati umat, padahal bahasa-bahasa lain telah banyak yang masuk museum,
dan tidak terpakai lagi dalam berkomunikasi seperti bahasa Ibrani, Latin dan lain-lain.[21]

Cerita-cerita dalam al-Qur’an bukanlah suatu gubahan yang bernila sastera saja, baik gaya bahasa
maupun cara menggambarkan peristiwa-peristiwa, tetapi merupakan suatu media untuk mewujudkan
tujuan yang asli. Kisah-kisah dalam al-Qur’an secara umum mempunyai tujuan untuk kebenaran dan
semata-mata untuk keagamaan.[22]Adapun tujuan-tujuan kisah dalam secara keseluruhan dapat dirinci
sebagai berikut[23]:

1. Menetapkan adanya wahyu dan kerasulan, QS. Yusuf (12): 2-3, QS. (28):3, QS. (3):44.

2. Menerangkan bahwa agama semuanya dari Allah SWT. QS. (21): 51-92

3. Menerangkan bahwa semua agama itu dasarnya satu dan semuanya dari Tuhan Yang Maha Esa, QS.
Al-A’raf (7):59

4. Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh nabi-nabi dalam berdakwah itu satu dan sambutan
kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa. QS. Hud

5. Menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW. Dengan
agama nabi Ibrahim a.s secara khusus. Dengan agama-agama bangsa Israil pada umumnya dan
menerangkan bahwa hubungan ini lebih erat daripada hugungan umum antara semua agama.

E. Faedah Qashashil Al-Quran

Banyak faedah yang terdapat dalam qashash (kisah-kisah) Al-Quran sebagaimana yang diutarakan Manna
Al-Qaththan berikut ini.

1. Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umatnya dalam menegakkan agama Allah, serta menguatkan
kepercayaan orang-orang yang beriman melalui datangnyabpertolongan Allah dan hancurnya kebatilan
beserta para pendukungnya.

2. Menjelaskan prinsip-prinsip dakwah dan pokok-pokok syariat yang dibawa setiap nabi.

3. Membenarkan nabi-nabi terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka.

4. Memperlihatkan kebenaran Nabi Muhammad dalam penuturannya mengenai orang-orang terdahulu.

5. Membuktikan kekeliruan ahli kitab yang telah menyembunyikan keterangan dan petunjuk. Di
samping itu, kisah-kisah itu memperlihatkan isi kitab suci mereka sesungguhnya, sebelum diubah dan
direduksi.

6. Kisah merupakan salah satu bentuk sastra yang menarik bagi setiap pendengarnya dan memberikan
pengajaran yang tertanam dalam jiwa.
F. Hukum Dan Pandangan Para Ulama Terhadap Qashashil Al-Quran

Berkaitan dengan penuturan nama dan gelar dalam kisah-kisah di dalam Al-Quran, ada sebuah persoalan
penting yang harus dijadikan jawabannya. Misalkan, suatu kisah di dalam Al-Quran yang menyebutkan
nama-nama pelaku khusus, apakah hanya berlaku bagi para pelaku kisah tersebut, ataukah berlaku secara
umum bagi siapa saja? Dengan kata lain, apakah ayat itu berlaku secara khusu atau umum?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal yang harus dijadikan pertimbangan adalah keumuman redaksi,
bukannya kekhususan sebab. As-Suyuthi, memberikan alasan bahwa pertimbangan itulah yang dilakukan
oleh para sahabat dan golonga lain. Ini dapat dibuktikan antara lain pada ayat zhihar dalam kisah Salman
bin Shakhar, ayat li’an dalam kisah Hilal bin Umayyah, dan ayat qadzaf dalam kisah tuduhan terhadap
Aisyah. Penyelesaian terhadap kasus-kasus trsebut diterapkan pula terhadap peristiwa lain yang serupa.

Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan kisah tertentu, bahkan
menunjuk pribadi seseorang namun, berlaku umum. Misalnya, surat Al-Maidah (5) ayat 49 tentang
perintah kepada Nabi untuk mengadili secara adil. Ayat ini sebenarnya diturunkan berkenaan dengan
kasus Bani Quraidzah dan Bani Nadhir. Namun, menurut Ibn Taimiyyah, tidak benar jika dikatakan
bahwa perintah berlaku adil bagi Nabi itu hanya ditujukan terhadap dua kabilah itu.

Penjelasan mengenai penyebutan nama pelaku kisah, atau hakikat kisah itu sendiri, dikemukakan pula
oleh Kuntowijoyo, Thaha Husein, dan Asy-Syarabashi. Kuntowijoyo memandang bahwa pada dasarnya
kandungan Al-Quran itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi konsep-konsep dan bagian
kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amtsal. Bagian pertama dimaksudkan untuk membentuk pemahaman
yang kemprehensif mengenai nilai-nilai ajaran agama islam, sedangkan bagian kedua dimaksudkan
sebagai ajakan melakukan perenungan untuk memperoleh hikmah. Kisah kesabaran Nabi Ayub misalnya,
menggambarkan tipe sempurna mengenai betapa gigihnya kesabaran orang beriman ketika menghadapi
cobaan apapun. Kisah kezaliman Fir’aun menggambarkan archetype mengenai kejahatan tirani pada masa
paling awal yang pernah dikenal manusia. Kisah kaum Tsamud yang membunuh unta milik Nabi Shaleh
lebih menggambarkan archetype mengenai penghianatan masal oleh konspirasi-konspirasi kafir.

Ungkapan yang hampir senada diungkapkan pula oleh Asy-Syarabashi. Ia menjelaskan bahwa kisah-kisah
dalam Al-Quran tidak dimaksudkan sebagai uraian sejarah lengkap tentang kehidupan bangsa atau pribadi
tertentu, tetapi sebagai bahan pelajaran bagi umat manusia.

Thaha Husein, yang terkenal dengan pendapat-pendapatny yang controversial dan sekularistik, lebih
tertarik membahas apakah pelaku-pelaku kisah didalam Al-Quran itu pernah ada atau hanya khayalan
semata. Dengan mengambil contoh kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ia berkesimpulan demikian:

“Taurat telah mengisahkan kepada kita tentang Ibrahim dan Ismail, demikian juga Al-Quran. Akan
tetapi, munculnya kedua nama tokoh itu dalam Tauran dan Al-Quran tidak menjamin keberadaan
keduanya secara historis. Kita terdorong untuk melihat keduanya di dalam sejarah sebagai suatu jalan
untuk menetapkan hubungan antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab di satu pihak, serta
agama Islam dan agama Yahudi, Al-Quran dan Taurat, dipihak yang lain.”

Tidak hanya itu, Thaha Husein pernah mengatakan bahwa hijrahnya Ibrahim ke Mekah yang kemudian
mengembangkan bangsa Arab musta’rabah hanyalah fiksi belaka. Maka, wajarlah jiksa para ulama
konsevatif menganggap gagasan-gagasannya itu sebagai usaha melemparkan keraguan keotentikan Al-
Quran. Bahkan, Rasyid Ridha telah menuduhnya keluar dari Islam.

Benang merah yang dapat ditangkap dari pendapat ketiga orang di atas adalah hal terpenting dari kisah-
kisah yang terdapat Al-Quran bukanlah wacana pelakunya, tetapi drama kehidupan yang mereka
mainkan. Atas dasar ini pulalah, Muhammad Abduh mengkritik habis-habisan kebiasaan ulama tafsir
generasi pertama yang banyak menggunakan Israiliyyat sebagai penafsir Al-Quran, terutama ketika
menjelaskan para pelaku kisah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut istilah, qashshashil qur’an ialah kisah-kisah dalam al-qur’an yang menceritakan ikhwal umat-
umat dahulu dan nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau,masa kini dan
masa yang akan datang. Di dalam al-qur’an banyak diceritakan umat-umat dahulu dan sejarah Nabi
atau para Rasul serta ikhwal Negara dan perilaku bangsa-bangsa kaum dahulu. Macam-macam qashash
yaitu, kisah hal-hal ghaib pada masa lalu, kisah hal-hal ghaib pada masa kini, kisah hal-hal ghaib pada
masa yang akan datang. Beberapa faedah dari qashashil Quran yaitu meneguhkan hati Rasulullah dan hati
umatnya dalam menegakkan agama Allah, serta menguatkan kepercayaan orang-orang yang beriman
melalui datangnyabpertolongan Allah dan hancurnya kebatilan beserta para pendukungnya, menjelaskan
prinsip-prinsip dakwah dan pokok-pokok syariat yang dibawa setiap nabi, membenarkan nabi-nabi
terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka, memperlihatkan kebenaran Nabi Muhammad
dalam penuturannya mengenai orang-orang terdahulu.

B. Saran

Penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekeliruan yang terdapat dalam penyusuanan
makalah ini, baik dari segi penulisan maupun dalam pembasannya. Oleh karena itu, penulis memohon
saran dan kritikannya yang bersifat membangun sehingga dalam penyusunan makalah-makalah
selanjutnya dapat lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon, Ilmu Tafsir, Cet.III; Bandung: Pustaka Setai, 2006

Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Basri, Hasan, Horizon Al-Qur’an, dari judul asli Lea grands themes du Coran oleh Jasques Jomies Cet. I;
Jakarta: Balai Kajian Tafsir Al-Qur’an Pase, 2002

Chitjin, Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an; Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.

Hanafi, Segi-Segi Kesusesteraan pada Kisah-Kisah Al-Qur’an; Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984.

Husayn, Muhammad al-Khidr, Balaghat Al_Qur’an, Ali al-Ridha al-Tunisi, 1971.

Ibrahim, Muhammad Ismail, Mu’jam al-Alfazh waA’lam al-quraniyyat, Dar al-Fikr-al-a’rabi, 1969

Al- Ishfahani, Al-Raghib, al-mufradat fi Gharib al-Qur’an, ed. Muhammad Sayyid Kaylani, Mesir:
musthafa al-Bab al-Halab,t.t.

Poewarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Al-Qattan, Manna khalil, Mahabis fi Ulum al-Qur’an, Mansyurat al-Asr al-Haidis, 1973.

Qutb, Sayyid, Seni Penggambaran dalam Al-Qur’an, terjemah Chadidjah Nasution;

Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981.

Said, M, Tarjamah Al-Qur’an al Karim, Crt.I; Bandung: PT Alma’arif, 1987.

Anda mungkin juga menyukai