Anda di halaman 1dari 39

Membangun Keluarga Sakinah

Posted on February 6, 2008 by Syamsuri Rifai


Keluarga sakinah adalah idaman setiap manusia.
Tapi tidak jarang dari mereka menemukan jalan
buntu, baik yang berkecupan secara materi
maupun yang berkekurangan. Apa sebenarnya
rahasianya?
Mengapa kebanyakan manusia sulit
menemukannya? Mengapa sering terjadi
percekcokan dan pertengkaran di dalam rumah
tangga, yang kadang-kadang akibatnya
meruntuhkan keutuhan rumah tangga?
Padahal Allah swt menyebutkan perjanjian untuk
membangun rumah tangga sebagai perjanjian
yang sangat kuat dan kokoh yaitu “Mîtsâqan
ghalîzhâ. Allah swt menyebutkan kalimat
“Mîtsâqan ghalîzhâ hanya dalam dua hal: dalam
membangun rumah tangga, dan dalam
membangun missi kenabian. Tentang “Mîtsâqan
ghalîzhâ dalam urusan rumah tanggah terdapat
dalam surat An-Nisa’: 21.

Adapun dalam hal missi kenabian terdapat dalam


surat An-Nisa’: 154, tentang perjanjian kaum nabi
Musa (as); dan dalam surat Al-Ahzab: 7, tentang
perjanjian para nabi: Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa
(as).
Bangunan rumah tangga bagaikan bagunan missi
kenabian. Jika bangunan runtuh, maka maka
runtuhlah missi kemanusiaan. Karena itu Rasulullah
saw bersabda: “Perbuatan halal yang paling Allah
murkai adalah perceraian.” Sebenarnya disini ada
suatu yang sangat rahasia. Tidak ada satu pun
perbuatan halal yang Allah murkai kecuali
perceraian. Mengapa ini terjadi dalam perceraian?
Tentu masing-masing kita punya jawaban, paling
tidak di dalam hati dan pikiran. Dan saya tidak
akan menjawab masalah ini, perlu pembahasan
yang cukup rinci dan butuh waktu yang cukup
lama. Tentu perlu farum tersendiri.

Keluarga sakinah sebagai idaman setiap


manusia tidak mudah diwujudkan sebagaimana
tidak mudahnya mewujudkan missi kenabian oleh
setiap manusia. Perlu persyaratan-persyaratan
yang ketat dan berat. Mengapa? Karena dua
persoalan ini bertujuan mewujudkan kesucian.
Kesucian berpikir, mengolah hati, bertindak, dan
gerasi penerus ummat manusia.
Karena itu, dalam bangunan rumah tangga Allah
swt menetapkan hak dan kewajiban. Maaf saya
pinjam istilah AD/ART. Bangunan yang lebih kecil
missinya dari bangunan rumah tangga punya
AD/ART, vissi dan missi. Bagaimana mungkin
bangunan yang lebih besar tidak punya AD/ART,
Visi dan Misi bisa mencapai tujuan? Tentu AD/ART,
Missi dan Missi dalam rumah tangga, menurut
saya, tidak bisa dibuat berdasarkan mu’tamar atau
kongres atau musyawarah seperti layaknya
organisasi umumnya.

Dalam hal rumah tangga kita jangan coba-coba


buat AD/ART sendiri, pasti Allah swt tidak ridha dan
murka. Karena itu Allah swt menetapkan hak dan
kewajiban dalam bangunan rumah tangga.
Tujuannya jelas mengantar manusia pada
kebahagiaan, sakinah, damai dan tenteram sesuai
dengan rambu-rambu yang ditetapkan oleh Allah
dan Rasul-Nya.
Menurut pemahaman saya, tidak cukup AD/ART itu
dalam bentuk tek dan buku, perlu sosok contoh
yang telah mewujudkan AD/ART itu. Siapa mereka?
Ini juga perlu farum khusus untuk membahasnya
secara detail dan rinci.
Tapi sekilas saja saya ingin mengantarkan pada
diskusi contoh tauladan rumah tangga yang telah
mewujudkan keluarga sakinah. Dan ini tidak akan
terbantah oleh semua kaum muslimin. Yaitu rumah
tangga Rasulullah saw dengan Sayyidah Khadijah
Al-Kubra (sa), dan rumah tangga Imam Ali bin Abi
Thalib (sa) dengan Sayyidah Fatimah Az-Zahra’
(sa).

Disini sebenarnya ada hal yang sangat menarik


dikaji, khususnya bagi kaum wanita dan kaum ibu.
Apa itu? Fakta berbicara bahwa Rasulullah saw
banyak dibicarakan oleh kaum laki-laki bahwa
beliau contoh poligami, kemudian mereka
melaksanakan dengan dalil mencontoh Rasulullah
saw. Tapi kita harus ingat kapan Rasulullah saw
berpoligami? Dan mengapa beliau melakukan hal
ini? Pakta sejarah berbicara bahwa Rasulullah saw
tidak melakukan poligami saat beliau
berdampingan dengan Khadijah sampai ia
meninggal. Mengapa? Kalau alasannya perjuangan.
Bukankah di zaman dengan Khadijah beliau tidak
berjuang? Justru saat-saat itu perjuangan beliau
sangat berat. Dimanakah letak persoalannya? Lagi-
lagi menurut saya, pribadi Khadijah yang luar
biasa, sosok seorang isteri yang benar-benar
memahami jiwa dan profesi suaminya. Sehingga
Rasulullah saw tidak pernah melupakan Khadijah
walaupun sudah meninggal, dan disampingnya
telah ada pendamping wanita yang lain bahkan
tidak satu isteri.
Kaum wanita khususnya kaum ibu, kalau ingin
keluarga sakinah harus mempelajari sosok
Khadijah Al-Khubra (sa), supaya suaminya tidak
mudah terpikat hatinya pada perempuan yang lain.
Sekarang tentang keluarga Imam Ali dengan
Fatimah Az-Zahra (sa). Sejarah bercerita pada kita
bahwa Rasulullah saw sangat menyukai rumah
tangga puterinya dengan kehidupan sederhana
bahkan sangat sederhana. Saking sederhananya,
hampir-hampir tidak mampu dijalani oleh
ummatnya, khususnya sekarang. Sama dengan
Rasulullah saw Imam Ali (sa) saat berdampingan
dengan Fatimah puteri Nabi saw beliau tidak
berpoligami. Beliau berpoligami setelah Fatimah
Az-Zahra’ meninggal. Ada apa sebenarnya dengan
dua wanita ini, sepertinya mereka dapat mengikat
laki-laki tidak kawin lagi? Apa Imam Ali takut
dengan Fatimah, atau Rasulullah saw takut dengan
Khadijah? Atau sebaliknya, Khadijah berani dan
menundukkan Rasululah saw, juga Fatimah (sa)
seperti itu terhadap suaminya? Tentu jawabannya
tidak. Lalu mengapa? Jawabannya perlu forum
tersendiri untuk kita diskusikan dan mengambil
pelajaran darinya.
Sebagi konsep dasar diskusi kita: Perempuan
adalah sumber sakinah, bukan laki-laki. Mari kita
perhatikan firman Alla swt:
Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia
menciptakan untuk kalian isteri dari species kalian
agar kalian merasakan sakinah dengannya; Dia
juga menjadikan di antara kalian rasa cinta dan
kasih sayang. Sesungguhnya dalam hal itu
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berpikir.” (Ar-Rûm: 21).
Dalam ayat ini ada kalimat “Litaskunû”, supaya
kalian memperoleh atau merasakan sakinah. Jadi
sakinah itu ada pada diri dan pribadi perempuan.
Laki-laki harus mencarinya di dalam diri dan
pribadi perempuan. Tapi perlu diingat laki-laki
harus menjaga sumber sakinah, tidak mengotori
dan menodainya.
Agar sumber sakinah itu tetap terjaga, jernih dan
suci, dan mengalir tidak hanya pada kaum bapak
tetapi juga anak-anak sebagai anggota rumah
tangga, dan gerasi penerus.
Kita bisa belajar dari fakta dan relialita. Kaum isteri
yang sudah ternoda mata air sakinahnya
berdampak pada anak-anak sebagai penerus
ummat Rasulullah saw. Siapa yang paling berdosa?
Jelas yang mengotori dan menodainya.
Sebagai pengantar untuk membangun keluarga
sakinah baiklah kita pelajari Hak dan Kewajiban
yang buat oleh Allah dan Rasul-Nya, antara lain:

Hak-hak Suami
1. Suami adalah pemimpin rumah tangga
“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita)..”(An-Nisa’: 34)
2. Suami dipatuhi dan tidak boleh ditentang
3. Tanpa izin suami, isteri tidak boleh
mensedekahkan harta suami, dan tidak boleh
berpuasa sunnah.
4. Suami harus dilayani oleh isteri dalam hubungan
badan kecuali uzur, dan isteri tidak boleh keluar
rumah tanpa izinnya. Rasulullah saw bersabda:
“Isteri harus patuh dan tidak menentangnya. Tidak
mensedekahkan apapun yang ada di rumah suami
tanpa izin sang suami. Tidak boleh berpuasa
sunnah kecuali dengan izin suami. Tidak boleh
menolak jika suaminya menginginkan dirinya
walaupun ia sedang dalam kesulitan. Tidak
diperkenankan keluar rumah kecuali dengan izin
suami.” (Al-Faqih, 3:277)

5. Menyalakan lampu dan menyambut suami di


pintu
6. Menyajikan makanan yang baik untuk suami
7. Membawakan untuk suami bejana dan kain sapu
tangan untuk mencuci tangan dan mukanya
8. Tidak menolak keinginan suami hubungan badan
kecuali dalam keadaan sakit
Rasulullah saw juga bersabda:
“Hak suami atas isteri adalah isteri hendaknya
menyalakan lampu untuknya, memasakkan
makanan, menyambutnya di pintu rumah saat ia
datang, membawakan untuknya bejana air dan
kain sapu tangan lalu mencuci tangan dan
mukanya, dan tidak menghindar saat suami
menginginkan dirinya kecuali ia sedang sakit.”
(Makarim Al-Akhlaq: 215)
Rasulullah saw juga bersabda:
“(Ketahuilah) bahwa wanita tidak pernah akan
dikatakan telah menunaikan semua hak Allah
atasnya kecuali jika ia telah menunaikan
kewajibannya kepada suami.” (Makarim Al-
Akhlaq:215)

Hak-Hak Isteri
1. Isteri sebagai sumber sakinah, cinta dan kasih
sayang. Suami harus menjaga
kesuciannya. (QS Ar-Rum: 21)
2. Isteri harus mendapat perlakukan yang baik
“Ciptakan hubungan yang baik dengan isterimu.” (
Al-Nisa’ :19)
3. Mendapat nafkah dari suami
4. Mendapatkan pakaian dari suami
5. Suami tidak boleh menyakiti dan membentaknya
Pada suatu hari Khaulah binti Aswad mendatangi
Rasulullah saw dan bertanya tentang hak seorang
isteri. Beliau menjawab:
“Hak-hakmu atas suamimu adalah ia harus
memberimu makan dengan kwalitas makanan
yang ia makan dan memberimu pakaian seperti
kwalitas yang ia pakai, tidak menampar wajahmu,
dan tidak membentakmu” (Makarim Al-Akhlaq:218)
Rasulullah saw juga bersabda:
“Orang yang bekerja untuk menghidupi
keluarganya sama dengan orang yang pergi
berperang di jalan Allah.”. (Makarim Al-Akhlaq:218)
“Terkutuklah! Terkutuklah orang yang tidak
memberi nafkah kepada mereka yang menjadi
tanggung jawabnya.” (Makarim Al-Akhlaq:218)
6. Suami harus memuliakan dan bersikap lemah
lembut
7. Suami harus memaafkan kesalahannya
Cucu Rasulullah saw Imam Ali Zainal Abidin (sa)
berkata:
“Adapun hak isteri, ketahuilah sesungguhnya Allah
Azza wa Jalla telah menjadikan untukmu dia
sebagai sumber sakinah dan kasih sayang. Maka,
hendaknya kau sadari hal itu sebagai nikmat dari
Allah yang harus kau muliakan dan bersikap
lembut padanya, walaupun hakmu atasnya lebih
wajib baginya. Karena ia adalah keluargamu
Engkau wajib menyayanginya, memberi makan,
memberi pakaian, dan memaafkan kesalahannya.”
Menghindari pertikaian
Rasulullah saw bersabda:
“Laki-laki yang terbaik dari umatku adalah orang
yang tidak menindas keluarganya, menyayangi
dan tidak berlaku zalim pada mereka.” (Makarim
Al-Akhlaq:216-217)
“Barangsiapa yang bersabar atas perlakuan buruk
isterinya, Allah akan memberinya pahala seperti
yang Dia berikan kepada Nabi Ayyub (a.s) yang
tabah dan sabar menghadapi ujian-ujian Allah yang
berat. (Makarim Al-Akhlaq:213)
“Barangsiapa yang menampar pipi isterinya satu
kali, Allah akan memerintahkan malaikat penjaga
neraka untuk membalas tamparan itu dengan tujuh
puluh kali tamparan di neraka jahanam.”
(Mustadrak Al- Wasail 2:550)
Isteri tidak boleh memancing emosi suaminya,
Rasulullah saw bersabda:

“Isteri yang memaksa suaminya untuk


memberikan nafkah di luar batas kemampuannya,
tidak akan diterima Allah swt amal perbuatannya
sampai ia bertaubat dan meminta nafkah
semampu suaminya.” (Makarim Al-Akhlaq: 202)
Ada suatu kisah, pada suatu hari seorang sahabat
mendatangi Rasulullah dan berkata: “Ya Rasulullah,
aku memiliki seorang isteri yang selalu
menyambutku ketika aku datang dan mengantarku
saat aku keluar rumah. Jika ia melihatku
termenung, ia sering menyapaku dengan
mengatakan: Ada apa denganmu? Apa yang kau
risaukan? Jika rizkimu yang kau risaukan,
ketahuilah bahwa rizkimu ada di tangan Allah. Tapi
jika yang kau risaukan adalah urusan akhirat,
semoga Allah menambah rasa risaumu.”
Setelah mendengar cerita sahabatnya Rasulullah
saw bersabda:
“Sampaikan kabar gembira kepadanya tentang
surga yang sedang menunggunya! Dan katakan
padanya, bahwa ia termasuk salah satu pekerja
Allah. Allah swt mencatat baginya setiap hari
pahala tujuh puluh syuhada’.” Kisah ini terdapat
dalam kitab Makarimul Akhlaq: 200.
Wassalam
Syamsuri Rifai
Amalan Praktis, bermacam2 shalat sunnah dan
doa-doa pilihan, klik di sini:
http://shalatdoa.blogspot.com
Keluarga Sakinah Dalam Masalah
Baitul Muslim
17/2/2007 | 28 Muharram 1428 H | Hits: 12.872
Oleh: Mochamad Bugi

Kita saat ini ada di tengah arus deras pergeseran


nilai sosial dalam masyarakat kita. Pergeseran nilai
sosial tampak pada kecenderungan makin
permisifnya keluarga-keluarga di masyarakat kita.
Keluarga tidak lagi dilihat sebagai ikatan spiritual
yang menjadi medium ibadah kepada Sang
Pencipta. Kawin-cerai hanya dilihat sebatas proses
formal sebagai kontrak sosial antara dua insan
yang berbeda jenis. Perkawinan kehilangan makna
sakral dimana Allah menjadi saksi atas ijab-kabul
yang terjadi.
Ini bertolak belakang dengan adagium yang
menyatakan keluarga adalah garda terdepan
dalam membangun masa depan bangsa peradaban
dunia. Dari rahim keluarga lahir berbagai gagasan
perubahan dalam menata tatanan masyarakat
yang lebih baik. Tidak ada satu bangsa pun yang
maju dalam kondisi sosial keluarga yang kering
spiritual, atau bahkan sama sekali sudah tidak lagi
mengindahkan makna religiusitas dalam hidupnya.
Karena itu, Al-Qur’an memuat ajaran tentang
keluarga begitu komprehensif, mulai dari urusan
komunikasi antar individu dalam keluarga hingga
relasi sosial antar keluarga dalam masyarakat.
Banyak memang problema yang biasa dihadapi
keluarga. Tidak sedikit keluarga yang menyerah
atas “derita” yang sebetulnya diciptakannya
sendiri. Di antaranya memilih perceraian sebagai
penyelesaian. Kasus-kasus faktual tentang itu ada
semua di masyarakat kita. Dan, masih banyak lagi
kegelisahan yang melilit keluarga-keluarga di
masyarakat kita. Namun, umumnya kegelisahan itu
diakibatkan oleh menurunnya kemampuan mereka
menemukan alternatif ketika menghadapi masalah
yang tidak dikehendaki. Karena itu, menjadi
penting bagi kita untuk mencari kunci yang bisa
mengokohkan bangun keluarga kita dari hempasan
arus zaman yang serba menggelisahkan. Dan, kata
kunci itu adalah sakinah.
Makna Sakinah
Istilah “sakinah” digunakan Al-Qur’an untuk
menggambarkan kenyamanan keluarga. Istilah ini
memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun”
yang berarti tempat tinggal. Jadi, mudah dipahami
memang jika istilah itu digunakan Al-Qur’an untuk
menyebut tempat berlabuhnya setiap anggota
keluarga dalam suasana yang nyaman dan tenang,
sehingga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya
cinta kasih (mawaddah wa rahmah) di antara
sesama anggotanya.
Di Al-Qur’an ada ayat yang memuat kata
“sakinah”. Pertama, surah Al-Baqarah ayat 248.
‫ن‬ ‫ن‬
‫ن‬
‫م ن‬ ‫ة م‬ ‫كيِن ن ة‬
‫س م‬ ‫ت مفيِهم ن‬ ‫م التتاَّتبوُ ت‬ ‫مل نك مهم أ ن‬
‫ن ي نأت ميِ نك ت ت‬ ‫ة ت‬‫ن آ ني ن ن‬
‫م إم ت‬‫م ن نب ميِ يهت ن‬ ‫ل ل نهت ن‬ ‫وننقاَّ ن‬
‫ن‬‫ة إم ت‬ ‫منلئ مك ن ت‬ ‫ه ال ن ن‬ ‫مل ت ت‬
‫ح م‬‫ن تن ن‬ ‫هاَّترو ن‬ ‫ل ن‬ ‫سىَ ونآ ن ت‬ ‫موُ ن‬‫ل ت‬ ‫ك آن ت‬ ‫ماَّ ت ننر ن‬
‫م ت‬
‫ة م‬ ‫قيِ ت ة‬
‫م ونب ن م‬‫نرب بك ت ن‬
ِ‫ممني‬ ‫مؤ ن م‬ ‫م ت‬ ‫ن ك تن نت ت ن‬‫م إم ن‬‫ة ل نك ت ن‬‫ك نل ني ن ة‬ ‫مفيِ ذ نل م ن‬

Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka:


“Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah
kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat
ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari
peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun;
tabut itu dibawa oleh Malaikat.”
Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat yang
membawa ketenangan bagi mereka. ayat di atas
menyebut, di dalam peti tersebut terdapat
ketenangan –yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut
sakinah. Jadi, menurut ayat itu sakinah adalah
tempat yang tenang, nyaman, aman, kondusif bagi
penyimpanan sesuatu, termasuk tempat tinggal
yang tenang bagi manusia.
Kedua, al-sakinah disebut dalam surah Al-Fath ayat
4.

‫مع ن‬
‫ماَّن ةاَّ ن‬
‫ل ميِ ننزنداتدوا مإي ن‬ ‫ن‬ ‫ممنيِ ن‬ ‫مؤ ن م‬‫ب ال ن ت‬
‫ة مفيِ قتتلوُ م‬ ‫كيِن ن ن‬
‫س م‬
‫ل ال ت‬ ‫ذيِ أ نن ننز ن‬ ‫هتوُن ال ت م‬
‫ت وانل ن‬
‫ماَّ ح‬
‫ه ع نمليِ ة‬ ‫ن الل ت ت‬ ‫ون ن‬
‫كاَّ ن‬ ‫ض‬
‫م‬ ‫ر‬
‫ن‬ ‫ماَّنوا م ن‬‫س ن‬‫جتنوُد ت ال ت‬ ‫م ونل مل تهم ت‬
‫ماَّن مهم ن‬
‫مإي ن‬
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke
dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan
mereka bertambah di samping keimanan mereka
(yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara
langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
Di ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai
ketenangan yang sengaja Allah turunkan ke dalam
hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini
merupakan suasana psikologis yang melekat pada
setiap individu yang mampu melakukannya.
Ketenangan adalah suasana batin yang hanya bisa
diciptakan sendiri. Tidak ada jaminan seseorang
dapat menciptakan suasana tenang bagi orang
lain.
Jadi, kata “sakinah” yang digunakan untuk
menyifati kata “keluarga” merupakan tata nilai
yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak
dalam membangun tatanan keluarga yang dapat
memberikan kenyamanan dunia sekaligus
memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah
tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang
bagi setiap anggota keluarga. Keluarga menjadi
tempat kembali ke mana pun anggotanya pergi.
Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh
percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga
yang lainnya dalam masyarakat.
Dengan cara pandang itu, kita bisa pastikan bahwa
akar kasus-kasus yang banyak melilit kehidupan
keluarga di masyarakat kita adalah karena rumah
sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat
kembali. Suami tidak lagi menemukan suasana
nyaman di dalam rumah, demikian pula istri.
Bahkan, anak-anak sekarang lebih mudah
menemukan suasana nyaman di luar rumah. Maka,
sakinah menjadi hajat kita semua. Sebab, sakinah
adalah konsep keluarga yang dapat memberikan
kenyamanan psikologis –meski kadang secara fisik
tampak jauh di bawah standar nyaman.
Membangun Kenyamanan Keluarga
Kenyamanan dalam keluarga hanya dapat
dibangun secara bersama-sama. Tidak bisa
bertepuk sebelah tangan. Melalui proses panjang,
setiap anggota keluarga saling menemukan
kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Penemuan itulah yang harus menjadi ruang untuk
saling mencari keseimbangan. Makanya, keluarga
sekolah yang tiada batas waktu. Di sama terjadi
proses pembelajaran secara terus menerus untuk
menemukan formula yang lebih tepat bagi kedua
belah pihak, baik suami-istri, maupun anak-
orangtua.
Proses belajar itu akan mengungkap berbagai
misteri keluarga. Lebih-lebih ketika kita akan
belajar tentang baik-buruk kehidupan keluarga dan
rumah tangga. Tidak banyak buku yang memberi
solusi jitu atas problema keluarga. Sebab, ilmu
membina keluarga lebih banyak diperoleh dari
pengalaman. Maka tak heran jika keluarga sering
diilustrasikan sebagai perahu yang berlayar
melawan badai samudra. Kita dapat belajar dari
pengalaman siapa pun. Pengalaman pribadi untuk
tidak mengulangi kegagalan, atau juga
pengalaman orang lain selama tidak merugikan
pelaku pengalaman itu.
Masalah demi masalah yang dilalui dalam
perjalanan sejak pertama kali menikah adalah
pelajaran berharga. Kita dapat belajar dari
pengalaman orang tentang memilih pasangan
ideal, menelusuri kewajiban-kewajiban yang
mengikat suami-istri, atau tentang penyelesaian
masalah yang biasa dihadapi keluarga. Semuanya
sulit kita dapat dari buku. Hanya kita temukan
pada buku kehidupan. Bagaimana kita dapat
memahami istri yang gemar buka rahasia, atau
menghadapi suami yang berkemampuan seksual
tidak biasa. Dan masih banyak lagi masalah
keluarga yang seringkali sulit ditemukan jalan
penyelesaiannya. Jadi, memang tepat jika rumah
tangga itu diibaratkan perahu, sebab tak henti-
hentinya menghadapi badai di tengah samudra
luas kehidupan.
Rumah tangga juga dua sisi dari keping uang yang
sama: bisa menjadi tambang derita yang
menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga
yang mencerahkan. Kedua sisi itu rapat
berhimpitan satu sama lain. Sisi yang satu datang
pada waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang
menyusul kemudian. Yang satu membawa petaka,
yang lainnya mengajak tertawa. Tentu saja, siapa
pun berharap rumah tangga yang dijalani adalah
rumah tangga yang memancarkan pantulan cinta
kasih dari setiap sudutnya. Rumah tangga yang
benar-benar menghadirkan atmosfir surga:
keindahan, kedamaian, dan keagungan. Ini adalah
rumah tangga dengan seorang nakhoda yang
pandai menyiasati perubahan.
Rumah menjadi panggung yang menyenangkan
untuk sebuah pentas cinta kasih yang diperankan
oleh setiap penghuninya. Rumah juga menjadi
tempat sentral kembalinya setiap anggota keluarga
setelah melalui pengembaraan panjang di tempat
mengadu nasibnya masing-masing. Hanya ada
satu tempat kembali, baik bagi anak, ibu, maupun
bapak, yaitu rumah yang mereka rasakan sebagai
surga. Bayangkan, setiap hari jatuh cinta. Anak
selalu merindukan orang tua, demikian pula
sebaliknya. Betapa indahnya taman rumah tangga
itu. Sebab, yang ada hanya cinta dan kebaikan.
Kebaikan inilah yang sejatinya menjadi pakaian
sehari-hari keluarga. Dengan pakaian ini pula
rumah tangga akan melaju menempuh badai
sebesar apapun. Betapa indahnya kehidupan
ketika ia hanya berwajah kebaikan. Betapa
bahagianya keluarga ketika ia hanya berwajah
kebahagiaan.
Tetapi, kehidupan rumah tangga acapkali
menghadirkan hal yang sebaliknya. Bukan
kebaikan yang datang berkunjung, melainkan
malapetaka yang kerap merundung. Suami
menjadi bahan gunjingan istri, demikian pula
sebaliknya. Anak tidak lagi merindukan orang tua,
dan orang tua pun tidak lagi peduli akan masa
depan anaknya. Bila sudah demikian halnya, bukan
surga lagi yang datang, melainkan neraka yang
siap untuk membakar. Benar, orang tua tidak
punya hak membesarkan jiwa anak-anaknya, dan
mereka hanya boleh membesarkan raganya. Tapi
raga adalah cermin keharmonisan komunikasi yang
akan berpengaruh pada masa depan jiwa dan
kepribadian mereka.
Lunturnya Semangat Sakinah
Membangun sakinah dalam keluarga, memang
tidak mudah. Ia merupakan bentangan proses yang
sering menemui badai. Untuk menemukan
formulanya pun bukan hal yang sederhana. Kasus-
kasus keluarga yang terjadi di sekitar kita dapat
menjadi pelajaran penting dan menjadi motif bagi
kita untuk berusaha keras mewujudkan indahnya
keluarga sakinah di rumah kita.
Ketika seseorang tersedu mengeluhkan sepenggal
kalimat, “Suami saya akhir-akhir ini jarang pulang”,
tidak sulit kita cerna maksud utama kalimatnya.
Sebab, kita menemukan banyak kasus yang
hampir sama, atau bahkan persis sama, dengan
kasus yang menimpa wanita pengungkap
penggalan kalimat tadi.
Penggalan kalimat di atas bukan satu-satunya
masalah yang banyak dikeluhkan istri. Masih
banyak. Tapi kalau ditelusuri akar masalahnya
sama: “tidak tahan menghadapi godaan”. Godaan
itu bisa datang kepada suami, bisa juga
menggedor jagat batin istri. Karena godaan itu
pula, siapa pun bisa membuat seribu satu alasan.
Ada yang mengatakannya sudah tidak harmonis,
tidak bisa saling memahami, ingin mendapat
keturunan, atau tidak pernah cinta.
Payahnya, semakin hari godaan akibat pergeseran
nilai sosial semakin menggelombang dan
menghantam. Sementara, ketahanan keluarga
semakin rapuh karena ketidakpastian pegangan.
Maka, kita dapati kasus-kasus di mana seorang ibu
kehilangan kepercayaan anak dan suaminya.
Seorang bapak yang tidak lagi berwibawa di
hadapan anak dan istrinya. Anak yang lebih erat
dengan ikatan komunitas sebayanya. Bapak
berebut otoritas dalam keluarga dengan istrinya,
serta istri yang tidak berhenti memperjuangkan
hak kesetaraan di hadapan suami. Semua punya
argumentasi untuk membenarkan posisinya.
Semua tidak merasa ada yang salah dengan
semua kenyataan yang semakin memprihatinkan
itu.
Tapi benarkah perubahan zaman menjadi sebab
utama terjadinya pergeseran nilai dalam rumah
tangga? Lalu, mengapa keluarga kita tidak lagi
sanggup bertahan dengan norma-norma dan jati
diri keluarga kita yang asli? Bukankah orang tua-
orang tua kita telah membuktikan bahwa norma-
norma yang mereka anut telah berhasil
mengantarkan mereka membentuk keluarga
normal dan berbudaya, bahkan berhasil
membentuk diri kita yang seperti sekarang ini?
Lantas, kenapa kita harus larut dengan segala riuh-
gelisah perubahan zaman yang kadang
membingungkan?
Transformasi budaya memang tidak mudah,
bahkan tidak mungkin, kita hindari. Arusnya deras
masuk ke rumah kita lewat media informasi dan
komunikasi. Kini, setiap sajian budaya yang kita
konsumsi dari waktu ke waktu, diam-diam telah
menjadi standar nilai masyarakat kita. Ukuran baik-
buruk tidak lagi bersumber pada moralitas
universal yang berlandaskan agama, tapi lebih
banyak ditentukan oleh nilai-nilai artifisial yang
dibentuk untuk tujuan pragmatis dan bahkan
hedonis. Tanpa kita sadari, nilai-nilai itu kini telah
membentuk perilaku sosial dan menjadi anutan
keluarga dan masyarakat kita. Banyak problema
keluarga yang muncul di sekitar kita umumnya
menggambarkan kegelisahan yang diwarnai oleh
semakin lunturnya nilai-nilai agama dan budaya
masyarakat. Masyarakat kini seolah telah berubah
menjadi “masyarakat baru” dengan wujud yang
semakin kabur.
Gaya hidup remaja yang berujung pada fenomena
MBA (married by accident) telah jadi model terbaru
yang digemari banyak pasangan. Pernikahan yang
dianjurkan Nabi menjadi jalan terakhir setelah
menemukan jalan buntu. Sementara perceraian
yang dibenci Nabi justru menjadi pilihan yang
banyak ditempuh untuk menemukan solusi singkat.
Kenyataan ini merupakan bagian kecil dari proses
modernisasi kehidupan yang berlangsung tanpa
kendali etika. Akibatnya, struktur fungsi yang
sejatinya diperankan oleh masing-masing anggota
keluarga tampak semakin kabur.
Seorang anak kehilangan pegangan. Ibu-bapaknya
terlalu sibuk untuk sekadar menyapa anak-
anaknya. Anak pun dewasa dengan harus
menemukan jalan hidupnya sendiri. Mencari sendiri
ke mana harus memperoleh pengetahuan, dan
harus mendiskusikan sendiri siapa calon
pendampingnya. Semuanya berjalan sendiri-
sendiri. Padahal, jika sendi-sendi keluarga itu telah
kehilangan daya perekatnya dan masing-masing
telah menemukan jalan hidupnya yang berbeda-
beda, maka bangunan “baiti jannati”, rumahku
adalah surgaku, akan semakin menjauh dari
kenyataan. Itu menjadi mimpi yang semakin sulit
terwujud. Bahkan, menjadi mimpi yang tidak
pernah terpikirkan. Yang ada hanyalah “neraka”
yang tidak henti-hentinya membakar suasana
rumah tangga.
Satu lagi yang sering menjadi akar bencana
keluarga, yaitu anak. Dunia anak adalah dunia
yang lebih banyak diwarnai oleh proses pencarian
untuk menemukan apa-apa yang menurut
perasaan dan pikirannya ideal. Dunia ideal sendiri,
baginya, adalah dunia yang ada di depan matanya,
yang karenanya ia akan melakukan pengejaran
atas dasar kehendak pribadi. Akan tetapi, di sisi
lain, perkembangan psikologis yang sedang
dilaluinya juga masih belum mampu memberikan
alternatif secara matang terutama berkaitan
dengan standar nilai yang dikehendakinya. Karena
itu, selama proses yang dilaluinya, hampir selalu
ditemukan berbagai perubahan sesuai dengan
tuntutan lingkungan tempat di mana anak itu
berkembang. Di sinilah proses bimbingan itu
diperlukan, terutama dalam ikut menemukan apa
yang sesungguhnya mereka butuhkan.
Guru di sekolah ataupun orang tua di rumah,
secara tidak sadar, seringkali menjadi sosok yang
begitu dominan dalam menentukan masa depan
anak. Padahal, guru ataupun orang tua bukanlah
segala-galanya bagi perkembangan dan masa
depan anak. Proses pendidikan, dengan demikian,
pada dasarnya merupakan proses bimbingan yang
memerdekakan sekaligus mencerahkan. Proses
seperti itu berlangsung alamiah dalam kehidupan
yang bebas dari ikatan-ikatan yang justru tidak
mendidik. Dalam kerangka seperti inilah, maka
keluarga bisa berperan sebagai lembaga yang
membimbing dan mencerahkan, atau juga
sebaliknya. Jika tidak tepat memainkan peran yang
sesungguhnya, bisa saja berfungsi sebagai penjara
yang hanya mampu menanamkan disiplin semu.
Anak-anak bisa menjadi manusia yang paling
shalih di rumah, tetapi menjadi binatang liar ketika
keluar dari dinding-dinding rumah dan terbebas
dari pengawasan orang tua.
Dalam situasi seperti inilah, anak mulai mencari
kesempatan untuk memenuhi kebuntuan
komunikasi yang dirasakannya semakin kering dan
terbatas. Sebab berkomunikasi untuk saling
menyambungkan rasa antar anggota keluarga
merupakan kebutuhan dasar yang menuntut untuk
selalu dipenuhi. Konsekuensinya, ketidaktersediaan
aspek ini dalam keluarga dapat berakibat pada
munculnya ketidakseimbangan psikologi yang pada
gilirannya dapat saja mengakibatkan terjadinya
penyimpangan-penyimpangan sosial seperti apa
yang terjadi di masyarakat sekitar kita. Inilah di
antara kerusakan akibat lunturnya atmosfir sakinah
dalam keluarga.

Beri Nilai Naskah Ini:


(10 orang menilai, rata-rata: 8,90
dalam skala 10)

Loading ...

Empat Kunci Rumah Tangga Harmonis


Baitul Muslim
29/1/2007 | 10 Muharram 1428 H | Hits: 25.826
Oleh: Mochamad Bugi
dakwatuna.com – Harmonis adalah perpaduan
dari berbagai warna karakter yang membentuk
kekuatan eksistensi sebuah benda. Perpaduan
inilah yang membuat warna apa pun bisa cocok
menjadi rangkaian yang indah dan serasi.
Warna hitam, misalnya, kalau berdiri sendiri akan
menimbulkan kesan suram dan dingin. Jarang
orang menyukai warna hitam secara berdiri sendiri.
Tapi, jika berpadu dengan warna putih, akan
memberikan corak tersendiri yang bisa
menghilangkan kesan suram dan dingin tadi.
Perpaduan hitam-putih jika ditata secara apik, akan
menimbulkan kesan dinamis, gairah, dan hangat.
Seperti itulah seharusnya rumah tangga dikelola.
Rumah tangga merupakan perpaduan antara
berbagai warna karakter. Ada karakter pria, wanita,
anak-anak, bahkan mertua. Dan tak ada satu pun
manusia di dunia ini yang bisa menjamin bahwa
semua karakter itu serba sempurna. Pasti ada
kelebihan dan kekurangan.
Nah, di situlah letak keharmonisan. Tidak akan
terbentuk irama yang indah tanpa adanya
keharmonisan antara nada rendah dan tinggi.
Tinggi rendah nada ternyata mampu melahirkan
berjuta-juta lagu yang indah.
Dalam rumah tangga, segala kekurangan dan
kelebihan saling berpadu. Kadang pihak suami
yang bernada rendah, kadang isteri bernada tinggi.
Di sinilah suami-isteri dituntut untuk menciptakan
keharmonisan dengan mengisi kekosongan-
kekosongan yang ada di antar mereka.
Ada empat hal yang mesti diperhatikan untuk
menciptakan keharmonisan rumah
tangga.keempatnya adalah:
1. Jangan melihat ke belakang
Jangan pernah mengungkit-ungkit alasan saat awal
menikah. “Kenapa saya waktu itu mau nerima aja,
ya? Kenapa nggak saya tolak?” Buang jauh-jauh
lintasan pikiran ini.
Langkah itu sama sekali tidak akan menghasilkan
perubahan. Justru, akan menyeret
ketidakharmonisan yang bermula dari masalah
sepele menjadi pelik dan kusut. Jika rasa
penyesalan berlarut, tidak tertutup kemungkinan
ketidakharmonisan berujung pada perceraian.
Karena itu, hadapilah kenyataan yang saat ini kita
hadapi. Inilah masalah kita. Jangan lari dari
masalah dengan melongkok ke belakang. Atau,
na’udzubillah, membayangkan sosok lain di luar
pasangan kita. Hal ini akan membuka pintu setan
sehingga kian meracuni pikiran kita.
2. Berpikir objektif
Kadang, konflik bisa menyeret hal lain yang
sebetulnya tidak terlibat. Ini terjadi karena konflik
disikapi dengan emosional. Apalagi sudah
melibatkan pihak ketiga yang mengetahui masalah
internal rumah tangga tidak secara utuh.
Jadi, cobalah lokalisir masalah pada pagarnya.
Lebih bagus lagi jika dalam memetakan masalah
ini dilakukan dengan kerjasama dua belah pihak
yang bersengketa. Tentu akan ada inti masalah
yang perlu dibenahi.
Misalnya, masalah kurang penghasilan dari pihak
suami. Jangan disikapi emosional sehingga
menyeret masalah lain. Misalnya, suami yang tidak
becus mencari duit atau suami dituduh sebagai
pemalas. Kalau ini terjadi, reaksi balik pun terjadi.
Suami akan berteriak bahwa si isteri bawel,
materialistis, dan kurang pengertian.
Padahal kalau mau objektif, masalah kurang
penghasilan bisa disiasati dengan kerjasama
semua pihak dalam rumah tangga. Tidak tertutup
kemungkinan, isteri pun ikut mencari penghasilan,
bahkan bisa sekaligus melatih kemandirian anak-
anak.
3. Lihat kelebihan pasangan, jangan sebaliknya
Untuk menumbuhkan rasa optimistis, lihatlah
kelebihan pasangan kita. Jangan sebaliknya,
mengungkit-ungkit kekurangan yang dimiliki.
Imajinasi dari sebuah benda, bergantung pada
bagaimana kita meletakkan sudut pandangnya.
Mungkin secara materi dan fisik, pasangan kita
mempunyai banyak kekurangan. Rasanya sulit
sekali mencari kelebihannya. Tapi, di sinilah
uniknya berumah tangga. Bagaimana mungkin
sebuah pasangan suami isteri yang tidak saling
cinta bisa punya anak lebih dari satu.
Berarti, ada satu atau dua kelebihan yang kita
sembunyikan dari pasangan kita. Paling tidak, niat
ikhlas dia dalam mendampingi kita karena Allah
sudah merupakan kelebihan yang tiada tara. Luar
biasa nilainya di sisi Allah. Nah, dari situlah kita
memandang. Sambil jalan, segala kekurangan
pasangan kita itu dilengkapi dengan kelebihan
yang kita miliki. Bukan malah menjatuhkan atau
melemahkan semangat untuk berubah.
4. Sertakan sakralitas berumah tangga
Salah satu pijakan yang paling utama seorang rela
berumah tangga adalah karena adanya ketaatan
pada syariat Allah. Padahal, kalau menurut hitung-
hitungan materi, berumah tangga itu melelahkan.
Justru di situlah nilai pahala yang Allah janjikan.
Ketika masalah nyaris tidak menemui ujung
pangkalnya, kembalikanlah itu kepada sang pemilik
masalah, Allah swt. Pasangkan rasa baik sangka
kepada Allah swt. Tataplah hikmah di balik
masalah. Insya Allah, ada kebaikan dari semua
masalah yang kita hadapi.
Lakukanlah pendekatan ubudiyah. Jangan bosan
dengan doa. Bisa jadi, dengan taqarrub pada Allah,
masalah yang berat bisa terlihat ringan. Dan
secara otomatis, solusi akan terlihat di depan
mata. Insya Allah!

NARKOBA
HUKUM MUKHADDIRAT (NARKOTIK)
Oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Pertanyaan :
Al-Qur'anul Karim dan Hadits Syarif menyebutkan
pengharaman khamar, tetapi tidak menyebutkan
keharaman bermacam-macam benda padat yang
memabukkan, seperti ganja dan heroin. Maka
bagaimanakah hokum syara' terhadap penggunaan
benda-benda tersebut, sementara sebagian kaum
muslim tetap mempergunakannya dengan alasan
bahwa agama tidak mengharamkannya ?

Jawaban :
Segala puji kepunyaan Allah, shalawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du :
Ganja, heroin, serta bentuk lainnya baik padat
maupun cair yang terkenal dengan sebutan
mukhaddirat (narkotik) adalah termasuk benda-
benda yang diharamkan syara' tanpa
diperselisihkan lagi di antara ulama. Dalil yang
menunjukkan keharamannya adalah sebagai
berikut:

1. Ia termasuk kategori khamar menurut batasan


yang dikemukakan Amirul Mukminin Umar bin
Khattab r.a.:

"Khamar ialah segala sesuatu yang menutup akal."

Yakni yang mengacaukan, menutup, dan


mengeluarkan akal dari tabiatnya yang dapat
membedakan antar sesuatu dan mampu
menetapkan sesuatu. Benda-benda ini akan
mempengaruhi akal dalam menghukumi atau
menetapkan sesuatu, sehingga terjadi kekacauan
dan ketidaktentuan, yang jauh dipandang dekat
dan yang dekat dipandang jauh. Karena itu sering
kali terjadi kecelakaan lalu lintas sebagai akibat
dari pengaruh benda-benda memabukkan itu.

2. Barang-barang tersebut, seandainya tidak


termasuk dalam kategori khamar atau
"memabukkan," maka ia tetap haram dari segi
"melemahkan" (menjadikan loyo). Imam Abu Daud
meriwayatkan dari Ummu Salamah.

"Bahwa Nabi saw. melarang segala sesuatu yang


memabukkan dan melemahkan (menjadikan
lemah)."

Larangan dalam hadits ini adalah untuk


mengharamkan, karena itulah hukum asal bagi
suatu larangan, selain itu juga disebabkan
dirangkaikannya antara yang memabukkan yang
sudah disepakati haramnya dengan mufattir

3. Bahwa benda-benda tersebut seandainya tidak


termasuk dalam kategori memabukkan dan
melemahkan, maka ia termasuk dalam jenis
khabaits (sesuatu yang buruk) dan
membahayakan, sedangkan diantara ketetapan
syara': bahwa lslam mengharamkan memakan
sesuatu yang buruk dan membahayakan,
sebagaimana firman Allah dalam menyifati Rasul-
Nya a.s. di dalam kitab-kitab Ahli Kitab :

"... dan menghalalkan bagi mereka segala yang


baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk ..."(al-A'raf : 157)

Dan Rasulullah saw. Bersabda :


"Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak
boleh memberi bahaya (mudarat) kepada orang
lain."

Segala sesuatu yang membahayakan manusia


adalah haram :
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu." (an-Nisa': 29)
"... dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri kedalam kebinasaan..." (al-Baqarah: 195)

Dalil lainnya mengenai persoalan itu ialah bahwa


seluruh pemerintahan (negara) memerangi
narkotik dan menjatuhkan hukuman yang sangat
berat kepada yang mengusahakan dan
mengedarkannya. Sehingga pemerintahan suatu
negara yang memperbolehkan khamar dan
minuman keras lainnya sekalipun, tetap
memberikan hukuman berat kepada siapa saja
yang terlibat narkotik. Bahkan sebagian negara
menjatuhkan hukuman mati kepada pedagang dan
pengedarnya. Hukuman ini memang tepat dan
benar, karena pada hakikatnya para pengedar itu
membunuh bangsa-bangsa demi mengeruk
kekayaan. Oleh karena itu, mereka lebih layak
mendapatkan hukuman qishash dibandingkan
orangyang membunuh seorang atau dua orang
manusia.

Syekhul lslam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah


ditanya mengenai apa yang wajib diberlakukan
terhadap orang yang mengisap ganja dan orang
yang mendakwakan bahwa semua itu jaiz, halal,
dan mubah?

Beliau menjawab:
"Memakan (mengisap) ganja yang keras ini
terhukum haram, ia termasuk seburuk-buruk
benda kotor yang diharamkan. Sama saja
hukumnya, sedikit atau banyak, tetapi mengisap
dalam jumlah banyak dan memabukkan adalah
haram menurut kesepakatan kaum muslim.
Sedangkan orang yang menganggap bahwa ganja
halal, maka dia terhukum kafir dan diminta agar
bertobat. Jika ia bertobat maka selesailah
urusannya, tetapi jika tidak mau bertobat maka dia
harus dibunuh sebagai orang kafir murtad, yang
tidak perlu dimandikan jenazahnya, tidak perlu
dishalati, dan tidak boleh dikubur di pemakaman
kaum muslim. Hukum orang yang murtad itu lebih
buruk daripada orang Yahudi dan Nasrani, baik ia
beriktikad bahwa hal itu halal bagi masyarakat
umum maupun hanya untuk orang-orang tertentu
yang beranggapan bahwa ganja merupakan
santapan untuk berpikir dan berdzikir serta dapat
membangkitkan kemauan yang beku ke tempat
yang terhormat, dan untuk itulah mereka
mempergunakannya."

Sebagian orang salaf pernah ada yang


berprasangka bahwa khamar Itu mubah bagi
orang-orang tertentu, karena menakwilkan firman
Allah Ta'ala:
"Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh karena memakan
makanan yang telah mereka makan dahulu,
apabila mereka bertakwa serta beriman dan
mengerjakan amalan-amalan yang saleh,
kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman,
kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan
berbuat kebajikan ..." (al-Ma'idah 93)

Ketika kasus ini dibawa kepada Umar bin Khattab


dan dimusyawarahkan dengan beberapa orang
sahabat, maka sepakatlah Umar dengan Ali dan
para sahabat lainnya bahwa apabila yang
meminum khamar masih mengakui sebagai
perbuatan haram, mereka dijatuhi hukuman dera,
tetapi jika mereka terus saja meminumnya karena
menganggapnya halal, maka mereka dijatuhi
hukuman mati. Demikian pula dengan ganja,
barangsiapa yang berkeyakinan bahwa ganja
haram tetapi ia mengisapnya, maka ia dijatuhi
hukuman dera dengan cemeti sebanyak delapan
puluh kali atau empat puluh kali, dan ini
merupakan hukuman yang tepat. Sebagian fuqaha
memang tidak menetapkan hukuman dera, karena
mereka mengira bahwa ganja dapat
menghilangkan akal tetapi tidak memabukkan,
seperti al-banj (Ienis tumbuh-tumbuhan yang dapat
membius) dan sejenisnya yang dapat menutup
akal tetapi tidak memabukkan. Namun demikian,
semua itu adalah haram menurut kesepakatan
kaum muslim. Barangsiapa mengisapnya dan
memabukkan maka ia dijatuhi hukuman dera
seperti meminum khamar, tetapi jika tidak
memabukkan maka pengisapnya dijatuhi hukuman
ta'zir yang lebih ringan daripada hukuman jald
(dera). Tetapi orang yang menganggap hal itu
halal, maka dia adalah kafir dan harus dijatuhi
hukuman mati. Yang benar, ganja itu memabukkan
seperti minuman keras, karena pengisapnya
menjadi kecanduan terhadapnya dan terus
memperbanyak (mengisapnya banyak-banyak).
Berbeda dengan al-banj dan lainnya yang tidak
menjadikan kecanduan dan tidak digemari. Kaidah
syariat menetapkan bahwa barang-barang haram
yang digemari nafsu seperti khamar dan zina,
maka pelakunya dikenai hukum had, sedangkan
yang tidak digemari oleh nafsu, seperti bangkai,
maka pelakunya dikenai hukum ta'zir. Ganja ini
termasuk barang haram yang digemari oleh
pengisapnya dan sulit untuk ditinggalkan. Nash-
nash Al Kitab dan As Sunnah mengharamkan atas
orang yang berusaha memperoleh sesuatu yang
haram sebagaimana terhadap barang lainnya. Dan
munculnya kebiasaan memakan atau mengisap
ganja ini di kalangan masyarakat hampir
bersamaan dengan munculnya pasukan Tatar.
Karena ganja ini muncul lantas muncul pula
pedang pasukan Tatar."

Maksudnya, kemunculan atau kedatangan serbuan


pasukan Tatar sebagai hukuman dari Allah karena
telah merajalelanya kemunkaran di kalangan umat
Islam, diantaranya adalah merajalelanya ganja
terkutuk ini. Di tempat lain beliau (Ibnu Taimiyah)
berkata pula :

"Ada juga orang yang mengatakan bahwa ganja


hanya mengubah akal tetapi tidak memabukkan
seperti al-banj, padahal sebenarnya tidak
demikian, bahkan ganja itu menimbulkan
kecanduan dan kelezatan serta kebingungan
(karena gembira atau susah), dan inilah yang
mendorong seseorang untuk mendapatkan dan
merasakannya. Mengisap ganja sedikit akan
mendorong si pengisap untuk meraih lebih banyak
lagi seperti halnya minuman yang memabukkan,
dan orang yang sudah terbiasa mengisap ganja
akan sangat sulit untuk meninggalkannya, bahkan
lebih sulit daripada meninggalkan khamar. Karena
itu, bahaya ganja dari satu segi lebih besar
daripada bahaya khamar. Maka para fuqaha
bersepakat bahwa pengisap ganja wajib dijatuhi
hukum had(hukuman yang pasti bentuk dan
bilangannya) sebagaimana halnya khamar.

Adapun orang yang mengatakan bahwa masalah


ganja ini tidak terdapat ketentuan hukumnya
dalam Al-Qur'an dan hadits, maka pendapatnya ini
hanyalah disebabkan kebodohannya. Sebab di
dalam Al-Qur'an dan hadits terdapat kalimat-
kalimat yang simpel yang merupakan kaidah
umum dan ketentuan global, yang mencakup
segala kandungannya. Hal ini disebutkan dalam Al-
Qur'an dan al-hadits dengan istilah 'aam (umum).
Sebab tidak mungkin menyebutkan setiap hal
secara khusus (kasus perkasus).

Dengan demikian, nyatalah bagi kita bahwa ganja,


opium,Mheroin, morfin, dan sebagainya yang
termasuk makhaddirat (narkotik) --khususnya jenis-
jenis membahayakan yang sekarang mereka
istilahkan dengan racun putih-- adalah haram dan
sangat haram menurut kesepakatan kaum muslim,
termasuk dosa besar yang membinasakan,
pengisapnya wajib dikenakan hukuman, dan
pengedar atau pedagangnya harus dijatuhi
hukuman mati, karena ia memperdagangkan ruh
umat untuk memperkaya dirinya sendiri. Maka
orang-orang seperti inilah yang lebih utama untuk
dijatuhi hukuman seperti yang tertera dalam
firman Allah:

"Dan dalam qishash itu ada (jaminan


kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orangyang
berakal, supaya kamu bertakwa." (al-Baqarah: 179)

Adapun hukuman ta'zir menurut para fuqaha


muhaqqiq (ahli membuat keputusan) bisa saja
berupa hukuman mati, tergantung kepada
mafsadat yang ditimbulkan pelakunya. Selain itu,
orang-orang yang menggunakan kekayaan dan
jabatannya untuk membantu orang yang terlibat
narkotik ini, maka mereka termasuk golongan :

"... orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-


Nya dan membuat kerusakan di muka bumi ..." (al-
Ma'idah: 33)

Bahkan kenyataannya, kejahatan dan kerusakan


mereka melebihi perampok dan penyamun, karena
itu tidak mengherankan jika mereka dijatuhi
hukuman seperti perampok dan penyamun :

"... Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan


untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka
memperoleh siksaan yang beraL" (al-Ma'idah: 33)

SUMBER :
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
www.faktanews.com

Anda mungkin juga menyukai