Membangun Keluarga Sakinah
Membangun Keluarga Sakinah
Hak-hak Suami
1. Suami adalah pemimpin rumah tangga
“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita)..”(An-Nisa’: 34)
2. Suami dipatuhi dan tidak boleh ditentang
3. Tanpa izin suami, isteri tidak boleh
mensedekahkan harta suami, dan tidak boleh
berpuasa sunnah.
4. Suami harus dilayani oleh isteri dalam hubungan
badan kecuali uzur, dan isteri tidak boleh keluar
rumah tanpa izinnya. Rasulullah saw bersabda:
“Isteri harus patuh dan tidak menentangnya. Tidak
mensedekahkan apapun yang ada di rumah suami
tanpa izin sang suami. Tidak boleh berpuasa
sunnah kecuali dengan izin suami. Tidak boleh
menolak jika suaminya menginginkan dirinya
walaupun ia sedang dalam kesulitan. Tidak
diperkenankan keluar rumah kecuali dengan izin
suami.” (Al-Faqih, 3:277)
Hak-Hak Isteri
1. Isteri sebagai sumber sakinah, cinta dan kasih
sayang. Suami harus menjaga
kesuciannya. (QS Ar-Rum: 21)
2. Isteri harus mendapat perlakukan yang baik
“Ciptakan hubungan yang baik dengan isterimu.” (
Al-Nisa’ :19)
3. Mendapat nafkah dari suami
4. Mendapatkan pakaian dari suami
5. Suami tidak boleh menyakiti dan membentaknya
Pada suatu hari Khaulah binti Aswad mendatangi
Rasulullah saw dan bertanya tentang hak seorang
isteri. Beliau menjawab:
“Hak-hakmu atas suamimu adalah ia harus
memberimu makan dengan kwalitas makanan
yang ia makan dan memberimu pakaian seperti
kwalitas yang ia pakai, tidak menampar wajahmu,
dan tidak membentakmu” (Makarim Al-Akhlaq:218)
Rasulullah saw juga bersabda:
“Orang yang bekerja untuk menghidupi
keluarganya sama dengan orang yang pergi
berperang di jalan Allah.”. (Makarim Al-Akhlaq:218)
“Terkutuklah! Terkutuklah orang yang tidak
memberi nafkah kepada mereka yang menjadi
tanggung jawabnya.” (Makarim Al-Akhlaq:218)
6. Suami harus memuliakan dan bersikap lemah
lembut
7. Suami harus memaafkan kesalahannya
Cucu Rasulullah saw Imam Ali Zainal Abidin (sa)
berkata:
“Adapun hak isteri, ketahuilah sesungguhnya Allah
Azza wa Jalla telah menjadikan untukmu dia
sebagai sumber sakinah dan kasih sayang. Maka,
hendaknya kau sadari hal itu sebagai nikmat dari
Allah yang harus kau muliakan dan bersikap
lembut padanya, walaupun hakmu atasnya lebih
wajib baginya. Karena ia adalah keluargamu
Engkau wajib menyayanginya, memberi makan,
memberi pakaian, dan memaafkan kesalahannya.”
Menghindari pertikaian
Rasulullah saw bersabda:
“Laki-laki yang terbaik dari umatku adalah orang
yang tidak menindas keluarganya, menyayangi
dan tidak berlaku zalim pada mereka.” (Makarim
Al-Akhlaq:216-217)
“Barangsiapa yang bersabar atas perlakuan buruk
isterinya, Allah akan memberinya pahala seperti
yang Dia berikan kepada Nabi Ayyub (a.s) yang
tabah dan sabar menghadapi ujian-ujian Allah yang
berat. (Makarim Al-Akhlaq:213)
“Barangsiapa yang menampar pipi isterinya satu
kali, Allah akan memerintahkan malaikat penjaga
neraka untuk membalas tamparan itu dengan tujuh
puluh kali tamparan di neraka jahanam.”
(Mustadrak Al- Wasail 2:550)
Isteri tidak boleh memancing emosi suaminya,
Rasulullah saw bersabda:
مع ن
ماَّن ةاَّ ن
ل ميِ ننزنداتدوا مإي ن ن ممنيِ ن مؤ ن مب ال ن ت
ة مفيِ قتتلوُ م كيِن ن ن
س م
ل ال ت ذيِ أ نن ننز ن هتوُن ال ت م
ت وانل ن
ماَّ ح
ه ع نمليِ ة ن الل ت ت ون ن
كاَّ ن ض
م ر
ن ماَّنوا م نس نجتنوُد ت ال ت م ونل مل تهم ت
ماَّن مهم ن
مإي ن
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke
dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan
mereka bertambah di samping keimanan mereka
(yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara
langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
Di ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai
ketenangan yang sengaja Allah turunkan ke dalam
hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini
merupakan suasana psikologis yang melekat pada
setiap individu yang mampu melakukannya.
Ketenangan adalah suasana batin yang hanya bisa
diciptakan sendiri. Tidak ada jaminan seseorang
dapat menciptakan suasana tenang bagi orang
lain.
Jadi, kata “sakinah” yang digunakan untuk
menyifati kata “keluarga” merupakan tata nilai
yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak
dalam membangun tatanan keluarga yang dapat
memberikan kenyamanan dunia sekaligus
memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah
tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang
bagi setiap anggota keluarga. Keluarga menjadi
tempat kembali ke mana pun anggotanya pergi.
Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh
percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga
yang lainnya dalam masyarakat.
Dengan cara pandang itu, kita bisa pastikan bahwa
akar kasus-kasus yang banyak melilit kehidupan
keluarga di masyarakat kita adalah karena rumah
sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat
kembali. Suami tidak lagi menemukan suasana
nyaman di dalam rumah, demikian pula istri.
Bahkan, anak-anak sekarang lebih mudah
menemukan suasana nyaman di luar rumah. Maka,
sakinah menjadi hajat kita semua. Sebab, sakinah
adalah konsep keluarga yang dapat memberikan
kenyamanan psikologis –meski kadang secara fisik
tampak jauh di bawah standar nyaman.
Membangun Kenyamanan Keluarga
Kenyamanan dalam keluarga hanya dapat
dibangun secara bersama-sama. Tidak bisa
bertepuk sebelah tangan. Melalui proses panjang,
setiap anggota keluarga saling menemukan
kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Penemuan itulah yang harus menjadi ruang untuk
saling mencari keseimbangan. Makanya, keluarga
sekolah yang tiada batas waktu. Di sama terjadi
proses pembelajaran secara terus menerus untuk
menemukan formula yang lebih tepat bagi kedua
belah pihak, baik suami-istri, maupun anak-
orangtua.
Proses belajar itu akan mengungkap berbagai
misteri keluarga. Lebih-lebih ketika kita akan
belajar tentang baik-buruk kehidupan keluarga dan
rumah tangga. Tidak banyak buku yang memberi
solusi jitu atas problema keluarga. Sebab, ilmu
membina keluarga lebih banyak diperoleh dari
pengalaman. Maka tak heran jika keluarga sering
diilustrasikan sebagai perahu yang berlayar
melawan badai samudra. Kita dapat belajar dari
pengalaman siapa pun. Pengalaman pribadi untuk
tidak mengulangi kegagalan, atau juga
pengalaman orang lain selama tidak merugikan
pelaku pengalaman itu.
Masalah demi masalah yang dilalui dalam
perjalanan sejak pertama kali menikah adalah
pelajaran berharga. Kita dapat belajar dari
pengalaman orang tentang memilih pasangan
ideal, menelusuri kewajiban-kewajiban yang
mengikat suami-istri, atau tentang penyelesaian
masalah yang biasa dihadapi keluarga. Semuanya
sulit kita dapat dari buku. Hanya kita temukan
pada buku kehidupan. Bagaimana kita dapat
memahami istri yang gemar buka rahasia, atau
menghadapi suami yang berkemampuan seksual
tidak biasa. Dan masih banyak lagi masalah
keluarga yang seringkali sulit ditemukan jalan
penyelesaiannya. Jadi, memang tepat jika rumah
tangga itu diibaratkan perahu, sebab tak henti-
hentinya menghadapi badai di tengah samudra
luas kehidupan.
Rumah tangga juga dua sisi dari keping uang yang
sama: bisa menjadi tambang derita yang
menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga
yang mencerahkan. Kedua sisi itu rapat
berhimpitan satu sama lain. Sisi yang satu datang
pada waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang
menyusul kemudian. Yang satu membawa petaka,
yang lainnya mengajak tertawa. Tentu saja, siapa
pun berharap rumah tangga yang dijalani adalah
rumah tangga yang memancarkan pantulan cinta
kasih dari setiap sudutnya. Rumah tangga yang
benar-benar menghadirkan atmosfir surga:
keindahan, kedamaian, dan keagungan. Ini adalah
rumah tangga dengan seorang nakhoda yang
pandai menyiasati perubahan.
Rumah menjadi panggung yang menyenangkan
untuk sebuah pentas cinta kasih yang diperankan
oleh setiap penghuninya. Rumah juga menjadi
tempat sentral kembalinya setiap anggota keluarga
setelah melalui pengembaraan panjang di tempat
mengadu nasibnya masing-masing. Hanya ada
satu tempat kembali, baik bagi anak, ibu, maupun
bapak, yaitu rumah yang mereka rasakan sebagai
surga. Bayangkan, setiap hari jatuh cinta. Anak
selalu merindukan orang tua, demikian pula
sebaliknya. Betapa indahnya taman rumah tangga
itu. Sebab, yang ada hanya cinta dan kebaikan.
Kebaikan inilah yang sejatinya menjadi pakaian
sehari-hari keluarga. Dengan pakaian ini pula
rumah tangga akan melaju menempuh badai
sebesar apapun. Betapa indahnya kehidupan
ketika ia hanya berwajah kebaikan. Betapa
bahagianya keluarga ketika ia hanya berwajah
kebahagiaan.
Tetapi, kehidupan rumah tangga acapkali
menghadirkan hal yang sebaliknya. Bukan
kebaikan yang datang berkunjung, melainkan
malapetaka yang kerap merundung. Suami
menjadi bahan gunjingan istri, demikian pula
sebaliknya. Anak tidak lagi merindukan orang tua,
dan orang tua pun tidak lagi peduli akan masa
depan anaknya. Bila sudah demikian halnya, bukan
surga lagi yang datang, melainkan neraka yang
siap untuk membakar. Benar, orang tua tidak
punya hak membesarkan jiwa anak-anaknya, dan
mereka hanya boleh membesarkan raganya. Tapi
raga adalah cermin keharmonisan komunikasi yang
akan berpengaruh pada masa depan jiwa dan
kepribadian mereka.
Lunturnya Semangat Sakinah
Membangun sakinah dalam keluarga, memang
tidak mudah. Ia merupakan bentangan proses yang
sering menemui badai. Untuk menemukan
formulanya pun bukan hal yang sederhana. Kasus-
kasus keluarga yang terjadi di sekitar kita dapat
menjadi pelajaran penting dan menjadi motif bagi
kita untuk berusaha keras mewujudkan indahnya
keluarga sakinah di rumah kita.
Ketika seseorang tersedu mengeluhkan sepenggal
kalimat, “Suami saya akhir-akhir ini jarang pulang”,
tidak sulit kita cerna maksud utama kalimatnya.
Sebab, kita menemukan banyak kasus yang
hampir sama, atau bahkan persis sama, dengan
kasus yang menimpa wanita pengungkap
penggalan kalimat tadi.
Penggalan kalimat di atas bukan satu-satunya
masalah yang banyak dikeluhkan istri. Masih
banyak. Tapi kalau ditelusuri akar masalahnya
sama: “tidak tahan menghadapi godaan”. Godaan
itu bisa datang kepada suami, bisa juga
menggedor jagat batin istri. Karena godaan itu
pula, siapa pun bisa membuat seribu satu alasan.
Ada yang mengatakannya sudah tidak harmonis,
tidak bisa saling memahami, ingin mendapat
keturunan, atau tidak pernah cinta.
Payahnya, semakin hari godaan akibat pergeseran
nilai sosial semakin menggelombang dan
menghantam. Sementara, ketahanan keluarga
semakin rapuh karena ketidakpastian pegangan.
Maka, kita dapati kasus-kasus di mana seorang ibu
kehilangan kepercayaan anak dan suaminya.
Seorang bapak yang tidak lagi berwibawa di
hadapan anak dan istrinya. Anak yang lebih erat
dengan ikatan komunitas sebayanya. Bapak
berebut otoritas dalam keluarga dengan istrinya,
serta istri yang tidak berhenti memperjuangkan
hak kesetaraan di hadapan suami. Semua punya
argumentasi untuk membenarkan posisinya.
Semua tidak merasa ada yang salah dengan
semua kenyataan yang semakin memprihatinkan
itu.
Tapi benarkah perubahan zaman menjadi sebab
utama terjadinya pergeseran nilai dalam rumah
tangga? Lalu, mengapa keluarga kita tidak lagi
sanggup bertahan dengan norma-norma dan jati
diri keluarga kita yang asli? Bukankah orang tua-
orang tua kita telah membuktikan bahwa norma-
norma yang mereka anut telah berhasil
mengantarkan mereka membentuk keluarga
normal dan berbudaya, bahkan berhasil
membentuk diri kita yang seperti sekarang ini?
Lantas, kenapa kita harus larut dengan segala riuh-
gelisah perubahan zaman yang kadang
membingungkan?
Transformasi budaya memang tidak mudah,
bahkan tidak mungkin, kita hindari. Arusnya deras
masuk ke rumah kita lewat media informasi dan
komunikasi. Kini, setiap sajian budaya yang kita
konsumsi dari waktu ke waktu, diam-diam telah
menjadi standar nilai masyarakat kita. Ukuran baik-
buruk tidak lagi bersumber pada moralitas
universal yang berlandaskan agama, tapi lebih
banyak ditentukan oleh nilai-nilai artifisial yang
dibentuk untuk tujuan pragmatis dan bahkan
hedonis. Tanpa kita sadari, nilai-nilai itu kini telah
membentuk perilaku sosial dan menjadi anutan
keluarga dan masyarakat kita. Banyak problema
keluarga yang muncul di sekitar kita umumnya
menggambarkan kegelisahan yang diwarnai oleh
semakin lunturnya nilai-nilai agama dan budaya
masyarakat. Masyarakat kini seolah telah berubah
menjadi “masyarakat baru” dengan wujud yang
semakin kabur.
Gaya hidup remaja yang berujung pada fenomena
MBA (married by accident) telah jadi model terbaru
yang digemari banyak pasangan. Pernikahan yang
dianjurkan Nabi menjadi jalan terakhir setelah
menemukan jalan buntu. Sementara perceraian
yang dibenci Nabi justru menjadi pilihan yang
banyak ditempuh untuk menemukan solusi singkat.
Kenyataan ini merupakan bagian kecil dari proses
modernisasi kehidupan yang berlangsung tanpa
kendali etika. Akibatnya, struktur fungsi yang
sejatinya diperankan oleh masing-masing anggota
keluarga tampak semakin kabur.
Seorang anak kehilangan pegangan. Ibu-bapaknya
terlalu sibuk untuk sekadar menyapa anak-
anaknya. Anak pun dewasa dengan harus
menemukan jalan hidupnya sendiri. Mencari sendiri
ke mana harus memperoleh pengetahuan, dan
harus mendiskusikan sendiri siapa calon
pendampingnya. Semuanya berjalan sendiri-
sendiri. Padahal, jika sendi-sendi keluarga itu telah
kehilangan daya perekatnya dan masing-masing
telah menemukan jalan hidupnya yang berbeda-
beda, maka bangunan “baiti jannati”, rumahku
adalah surgaku, akan semakin menjauh dari
kenyataan. Itu menjadi mimpi yang semakin sulit
terwujud. Bahkan, menjadi mimpi yang tidak
pernah terpikirkan. Yang ada hanyalah “neraka”
yang tidak henti-hentinya membakar suasana
rumah tangga.
Satu lagi yang sering menjadi akar bencana
keluarga, yaitu anak. Dunia anak adalah dunia
yang lebih banyak diwarnai oleh proses pencarian
untuk menemukan apa-apa yang menurut
perasaan dan pikirannya ideal. Dunia ideal sendiri,
baginya, adalah dunia yang ada di depan matanya,
yang karenanya ia akan melakukan pengejaran
atas dasar kehendak pribadi. Akan tetapi, di sisi
lain, perkembangan psikologis yang sedang
dilaluinya juga masih belum mampu memberikan
alternatif secara matang terutama berkaitan
dengan standar nilai yang dikehendakinya. Karena
itu, selama proses yang dilaluinya, hampir selalu
ditemukan berbagai perubahan sesuai dengan
tuntutan lingkungan tempat di mana anak itu
berkembang. Di sinilah proses bimbingan itu
diperlukan, terutama dalam ikut menemukan apa
yang sesungguhnya mereka butuhkan.
Guru di sekolah ataupun orang tua di rumah,
secara tidak sadar, seringkali menjadi sosok yang
begitu dominan dalam menentukan masa depan
anak. Padahal, guru ataupun orang tua bukanlah
segala-galanya bagi perkembangan dan masa
depan anak. Proses pendidikan, dengan demikian,
pada dasarnya merupakan proses bimbingan yang
memerdekakan sekaligus mencerahkan. Proses
seperti itu berlangsung alamiah dalam kehidupan
yang bebas dari ikatan-ikatan yang justru tidak
mendidik. Dalam kerangka seperti inilah, maka
keluarga bisa berperan sebagai lembaga yang
membimbing dan mencerahkan, atau juga
sebaliknya. Jika tidak tepat memainkan peran yang
sesungguhnya, bisa saja berfungsi sebagai penjara
yang hanya mampu menanamkan disiplin semu.
Anak-anak bisa menjadi manusia yang paling
shalih di rumah, tetapi menjadi binatang liar ketika
keluar dari dinding-dinding rumah dan terbebas
dari pengawasan orang tua.
Dalam situasi seperti inilah, anak mulai mencari
kesempatan untuk memenuhi kebuntuan
komunikasi yang dirasakannya semakin kering dan
terbatas. Sebab berkomunikasi untuk saling
menyambungkan rasa antar anggota keluarga
merupakan kebutuhan dasar yang menuntut untuk
selalu dipenuhi. Konsekuensinya, ketidaktersediaan
aspek ini dalam keluarga dapat berakibat pada
munculnya ketidakseimbangan psikologi yang pada
gilirannya dapat saja mengakibatkan terjadinya
penyimpangan-penyimpangan sosial seperti apa
yang terjadi di masyarakat sekitar kita. Inilah di
antara kerusakan akibat lunturnya atmosfir sakinah
dalam keluarga.
Loading ...
NARKOBA
HUKUM MUKHADDIRAT (NARKOTIK)
Oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Pertanyaan :
Al-Qur'anul Karim dan Hadits Syarif menyebutkan
pengharaman khamar, tetapi tidak menyebutkan
keharaman bermacam-macam benda padat yang
memabukkan, seperti ganja dan heroin. Maka
bagaimanakah hokum syara' terhadap penggunaan
benda-benda tersebut, sementara sebagian kaum
muslim tetap mempergunakannya dengan alasan
bahwa agama tidak mengharamkannya ?
Jawaban :
Segala puji kepunyaan Allah, shalawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du :
Ganja, heroin, serta bentuk lainnya baik padat
maupun cair yang terkenal dengan sebutan
mukhaddirat (narkotik) adalah termasuk benda-
benda yang diharamkan syara' tanpa
diperselisihkan lagi di antara ulama. Dalil yang
menunjukkan keharamannya adalah sebagai
berikut:
Beliau menjawab:
"Memakan (mengisap) ganja yang keras ini
terhukum haram, ia termasuk seburuk-buruk
benda kotor yang diharamkan. Sama saja
hukumnya, sedikit atau banyak, tetapi mengisap
dalam jumlah banyak dan memabukkan adalah
haram menurut kesepakatan kaum muslim.
Sedangkan orang yang menganggap bahwa ganja
halal, maka dia terhukum kafir dan diminta agar
bertobat. Jika ia bertobat maka selesailah
urusannya, tetapi jika tidak mau bertobat maka dia
harus dibunuh sebagai orang kafir murtad, yang
tidak perlu dimandikan jenazahnya, tidak perlu
dishalati, dan tidak boleh dikubur di pemakaman
kaum muslim. Hukum orang yang murtad itu lebih
buruk daripada orang Yahudi dan Nasrani, baik ia
beriktikad bahwa hal itu halal bagi masyarakat
umum maupun hanya untuk orang-orang tertentu
yang beranggapan bahwa ganja merupakan
santapan untuk berpikir dan berdzikir serta dapat
membangkitkan kemauan yang beku ke tempat
yang terhormat, dan untuk itulah mereka
mempergunakannya."
SUMBER :
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
www.faktanews.com