Anda di halaman 1dari 6

Pusat Penelitian BIDANG HUKUM

Badan Keahlian DPR RI


Gd. Nusantara I Lt. 2
Jl. Jend. Gatot Subroto
Jakarta Pusat - 10270
c 5715409 d 5715245
m infosingkat@gmail.com KAJIAN SINGKAT TERHADAP ISU AKTUAL DAN STRATEGIS Vol. XI, No.15/II/Puslit/Agustus/2019

PENGATURAN LARANGAN IMPOR


LIMBAH BAHAN BERBAHAYA BERACUN (B3)
Harris Y.P Sibuea
1
Abstrak
Persoalan penegakan hukum tindak pidana impor limbah bahan berbahaya beracun
(B3) kembali menjadi perhatian dengan ditemukannya dua kasus terkait impor limbah
plastik mengandung B3 di Surabaya dan Pulau Batam belum lama ini. Tindakan
pemerintah yang mereekspor kembali B3 ke negara asalnya menimbulkan pertanyaan
mengenai penegakan hukum tindak pidana tersebut. Artikel ini menganalisis
persoalan penegakan hukum dari sudut pandang pengaturan hukum yang mengatur
impor limbah B3. Dari hasil analisis diketahui masih ada celah hukum yang perlu
dibenahi dalam aturan tersebut. Perlu aturan yang lebih jelas mengenai prosedur
untuk memastikan bahwa barang yang akan diimpor ialah barang yang memenuhi
syarat sesuai ketentuan pembatasan barang impor. Aturan Permendag No. 31 Tahun
2016 perlu diperketat dan disesuaikan dengan Konvensi Basel mengenai ketentuan
terkait kategori baru “plastik terkontaminasi”, baik dalam hal konsentrasi maupun
persentase volumenya. Hal ini harus dilakukan agar tidak terjadi lagi modus impor
limbah non-B3 namun sebenarnya terkontaminasi dengan limbah B3.

Pendahuluan dari negara-negara maju seperti


Direktorat Jenderal Bea Cukai Amerika Serikat (AS), Australia,
Kementerian Keuangan mencatat Prancis, Jerman, dan Hong Kong.
setidaknya ada 4 (empat) kasus Kasus yang baru terungkap yakni
impor limbah sampah plastik temuan limbah plastik di Surabaya,
ke tanah air sejak Januari 2018 Jawa Timur pada 17 Juni 2019.
hingga Juni 2019 (tempo.co, 17 Bea Cukai menemukan 5 (lima)
Juni 2019). Catatan tersebut akan kontainer yang semestinya berisi
bertambah panjang jika ditarik skrap kertas dari Amerika Serikat.
hingga 10 tahun sebelumnya. Pada Namun ternyata, kertas bekas
2009 misalnya pernah ditemukan impor itu dicampur sampah plastik
timbunan sebanyak 3.800 ton ampas dan mengandung limbah bahan
PUSLIT BKD tembaga di Batam yang diimpor berbahaya dan beracun atau B3
dari Korea Selatan (kemenperin. (cnbcindonesia.com, 6 Juli 2019).
go.id, 2019). Indonesia memang Kasus lainnya terjadi di
sering menerima limbah impor Batam, Kepulauan Riau. Pada 5
Juli 2019 Bea Cukai menemukan sisi peraturan hukum, penegak
65 kontainer skrap plastik asal hukum, kewenangan institusi, dan
Amerika Serikat dan Eropa yang lain-lain. Namun dalam tulisan ini,
dicampur dengan limbah plastik. penulis bermaksud menelaah secara
Ada pula kasus impor limbah khusus apa yang menjadi persoalan
kertas yang terjadi di Pelabuhan dari sisi peraturan hukum yang
Tanjung Emas, Semarang, Jawa mengatur tentang persoalan impor
Tengah. Yang terakhir yakni kasus limbah B3.
impor waste paper di Tanjung Priok,
DKI Jakarta, ada 16 kontainer berisi Pengaturan Larangan Impor
kertas bekas asal Amerika Serikat Limbah B3
(tempo.co, 17 Juni 2019). Satjipto Raharjo menyatakan
Dari sisi pengaturan hukum, bahwa, “Penegakan hukum adalah
mengimpor limbah B3 merupakan suatu proses untuk mewujudkan
tindak pidana. Pemerintah secara
tegas sudah mengaturnya melalui
keinginan-keinginan hukum 2
menjadi kenyataan” Keinginan
Undang-Undang Nomor 32 hukum maksudnya tidak lain
tahun 2009 tentang Perlindungan adalah pikiran-pikiran badan
dan Pengelolaan Lingkungan pembuat undang-undang yang
Hidup (UU PPLH) dan Undang- dirumuskan dalam peraturan
Undang Nomor 18 Tahun 2008 hukum. Perumusan pemikiran
tentang Pengelolaan Sampah (UU pembuat hukum yang dituangkan
Pengelolaan Sampah). Namun dalam peraturan hukum akan turut
ironisnya, hingga saat ini masih menentukan bagaimana penegakan
terjadi berbagai kasus terkait impor hukum itu dijalankan” (Sajipto
limbah B3. Selain itu, dalam proses Raharjo, 2009). Kerangka berpikir
penanggulangannya, pemerintah demikian menjelaskan bahwa
sering dipandang tidak konsisten baik buruknya penegakan hukum
dan cenderung tidak tegas. terhadap suatu perbuatan pidana
Inkonsistensi ini perlu yang diatur dalam suatu peraturan
dianalisis lebih lanjut. Contoh hukum itu sangat ditentukan oleh
kasus temuan limbah plastik seberapa baik peraturan hukum
mengandung B3 di Pelabuhan tersebut dirumuskan oleh para
Kargo Batu Ampar pada 5 Juli perumus aturan itu.
2019. Dari 65 kontainer impor Dalam konteks ini, akan
plastik yang diduga mengandung ditelaah terlebih dahulu mengenai
B3, 38 di antaranya positif pengaturan larangan impor
mengandung B3, 11 kontainer limbah B3. Selama ini, UU PPLH
limbah plastik tercampur sampah, sebenarnya secara tegas telah
dan 16 kontainer lainnya tidak menentukan larangan memasukkan
mengandung B3 dan tidak limbah B3 ke wilayah Negara
tercampur sampah (Buletin Kesatuan Republik Indonesia
Parlementaria, 2019). (NKRI), demikian pula UU
Dari sisi penegakan hukum, Pengelolaan Sampah.
persoalan larangan impor limbah Pasal 39 ayat (2) UU
B3 sebenarnya dapat ditelaah dari Pengelolaan Sampah mengatur
berbagai prespektif, mulai dari bahwa setiap orang yang secara
melawan hukum memasukkan peraturan lain. Pengaturan lain di
dan/atau mengimpor sampah sini yaitu pengaturan dalam bidang
spesifik ke wilayah NKRI diancam perdagangan.
dengan pidana penjara paling
singkat 4 tahun dan paling lama 12 Persoalan Pengaturan Impor
tahun dan denda paling sedikit dua Limbah Di Peraturan Bidang
ratus juta rupiah dan paling banyak Perdagangan
lima miliar rupiah. Mengenai Undang-Undang Nomor 7
limbah spesifik ini dalam Pasal 2 Tahun 2014 tentang Perdagangan
ayat (4) huruf b nya diatur bahwa (UU Perdagangan) pada hakikatnya
limbah spesifik salah satunya yaitu sejalan dengan tujuan aturan terkait
“sampah yang mengandung limbah pelarangan impor limbah B3.
bahan berbahaya dan beracun”. Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 50 ayat
Demikian pula UU PPLH, (2) UU tersebut pada pokoknya
3 Pasal 69 ayat (1) huruf c secara menentukan bahwa “Semua Barang
tegas telah melarang setiap orang dapat diekspor atau diimpor,
untuk memasukkan limbah kecuali yang dilarang, dibatasi,
yang berasal dari luar wilayah atau ditentukan lain oleh undang-
NKRI ke media lingkungan undang”, dan bahwa pemerintah
hidup NKRI. Tindak pidana ini melarang impor atau ekspor
merupakan tindak pidana formil barang untuk kepentingan nasional
yang diancam dengan pidana dengan alasan salah satunya yakni
penjara paling singkat 5 (lima) “untuk melindungi kesehatan dan
tahun dan paling lama 15 (lima keselamatan manusia, hewan, ikan,
belas) tahun dan denda paling tumbuhan, dan lingkungan hidup”.
sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima Namun yang perlu dicermati
miliar rupiah) dan paling banyak pengaturan dalam Pasal 51 ayat (2)
Rp15.000.000.000,00 (lima belas dan Pasal 52 ayat (2) UU tersebut.
miliar rupiah). Hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat (2) UU
Pasal 105 UU tersebut. Perdagangan menentukan bahwa
Secara substansi norma, “Importir dilarang mengimpor
pengaturan larangan dan sanksi Barang yang ditetapkan sebagai
pidana yang terdapat dalam 2 Barang yang dilarang untuk
pasal undang-undang tersebut diimpor”. Sementara Pasal 52
nampaknya sudah tidak ada ayat (2) menentukan bahwa
persoalan. Namun ternyata jika “Importir dilarang mengimpor
dicermati, masih ada hal yang Barang yang tidak sesuai dengan
menjadi persoalan, khususnya ketentuan pembatasan Barang
yang diatur dalam UU PPLH. untuk diimpor”. Kedua aturan
Dalam penjelasan pasal 69 ayat ini menimbulkan konsekuensi
(1) huruf c UU PPLH tersebut yang berbeda mengenai sanksi
dijelaskan bahwa “Larangan hukumnya. Untuk larangan Pasal
dalam ketentuan ini dikecualikan 51 ayat (2) diancam dengan pidana
bagi yang diatur dalam peraturan penjara paling lama 5 (lima) tahun
perundang-undangan”. Artinya dan/atau pidana denda paling
pasal ini telah membuka celah banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
pengaturan pengecualian di miliar rupiah) sebagaimana diatur
dalam Pasal 112 ayat (2). Sementara Perdagangan yang mengizinkan
larangan Pasal 52 ayat (2) diancam impor terhadap limbah non-B3,
dengan sanksi administratif dan/ yaitu Permendag No. 31/M-DAG/
atau sanksi lainnya yang diatur PER/5/2016 tentang Ketentuan
dalam peraturan perundang- Impor Limbah non-B3. Permendag
undangan (termasuk kewajiban ini mengizinkan impor limbah
reekspor) yang ditegaskan dalam non-B3 berupa “sisa, reja, dan
Pasal 52 ayat (5). skrap”, sepanjang digunakan
Dua pasal ini menimbulkan untuk bahan baku dan/atau bahan
multiinterpretasi dalam penerapan penolong industri.
hukumnya di lapangan, karena Impor limbah non-B3 ini
menjadi celah yang bisa menjadi hanya dapat dilakukan oleh
“modus” bagi pelaku importir yang perusahaan yang memiliki Angka
melanggar ketentuan larangan Pengenal Importir Produsen dengan
impor limbah B3. Modusnya
dengan mengimpor limbah B3
kualifikasi: (a) memiliki fasilitas
pengelolaan sisa proses produksi
4
dalam bentuk campuran limbah/ yang menghasilkan buangan
sampah B3 dan non-B3. Dengan yang ramah lingkungan; dan (b)
hanya melanggar batasan barang fasilitas pengolahan lanjutan,
yang diimpor, maka hanya akan dalam hal limbah non-B3 dimaksud
dikenakan sanksi administratif dan merupakan sisa, reja, dan skrap
kewajiban reekspor. “plastik” [Pasal 3 ayat (1) huruf a
Persoalannya, dalam dan c Permendag No. 31/M-DAG/
aturan di bidang perdagangan, PER/5/2016 tentang Ketentuan
impor limbah bahan baku plastik Impor Limbah non-B3].
dibolehkan dengan pembatasan. Tidak ada definisi “sisa,
Impor bahan baku plastik diatur reja, dan skrap” dalam ketentuan
dalam Permendag No. 36/MDAG/ tersebut. Sementara jenis, sisa, reja,
PER/7/2013 tentang Ketentuan dan skrap yang dapat diimpor
Impor Bahan Baku Plastik beserta dirinci dalam lampiran peraturan
perubahannya. Pasal 2 Permendag ini. Sisa, reja, dan skrap dari
ini membatasi jenis bahan baku plastik termasuk dalam Kelompok
plastik yang diatur impornya, B limbah non-B3 yang “boleh
berikut pos tarif / kode HS-nya, diimpor”. Jenis sisa, reja, dan skrap
yakni: (a) gas petroleum dan plastik terdiri dari: (a) sisa, reja, dan
gas hidrokarbon lainnya berupa skrap plastik dari polimer etilena;
etilena yang dicairkan, dengan (b) sisa, reja, dan skrap plastik dari
tingkat kemurnian kurang dari polimer stirena; (c) sisa, reja, dan
95%; (b) hidrokarbon asiklik tidak skrap plastik dari polimer vinil
jenuh berupa etilena, dengan klorida; dan (d) sisa, reja, dan skrap
kemurnian tidak kurang dari 95%; plastik “dari jenis plastik lainnya”
(c) kopolimer propilena berbentuk (icel.or.id, 2019).
butiran; (d) kopolimer propilena Pendetailan untuk jenis sisa,
selain dalam bentuk cair atau pasta. reja, dan skrap plastik di atas
Permasalahannya, impor masih menimbulkan ruang multi-
bahan baku plastik ini tidak harus interpretasi. Pendetailan pada poin
dalam keadaan baru. Mengenai hal a-c hanya merinci “dari produk
ini ada aturan Peraturan Menteri
seluler yang tidak kaku” dan “lain- ketentuan pembatasan dalam
lain.” Sementara, untuk sisa, reja, Permendag tersebut. Pengaturan
dan skrap plastik “dari jenis plastik mengenai hal ini diharapkan dapat
lainnya” tidak ada perinciannya mencegah praktik impor limbah
sehingga hal tersebut menimbulkan plastik yang menyalahi ketentuan
celah hukum pada saat dilakukan impor.
penyelidikan hukum. Permendag No. 31 Tahun
Meskipun dalam Pasal 4 2016 perlu diperketat dengan
Permendag tersebut ditegaskan cara direvisi agar sesuai dengan
bahwa sisa, reja, dan skrap Konvensi Basel mengenai ketentuan
plastik tersebut dapat diimpor terkait kategori baru “plastik
hanya apabila tidak berasal dari terkontaminasi”, baik dalam hal
kegiatan landfill atau tidak berupa konsentrasi maupun persentase
sampah, tidak terkontaminasi B3 volumenya. Hal ini harus dilakukan
5 dan/atau limbah B3, dan/atau
tidak bercampur limbah lainnya.
agar tidak terjadi lagi modus impor
limbah non-B3 namun sebenarnya
Namun Permendag ini tidak terkontaminasi dengan limbah B3.
menjelaskan sama sekali mengenai Sementara untuk impor limbah B3
apa yang dimaksud dengan “tidak yang dilakukan tanpa izin sudah
berupa sampah”, atau “tidak tidak perlu diperdebatkan lagi,
terkontaminasi B3 dan/atau limbah karena memang telah jelas dan
B3” dan/atau “tidak bercampur tegas merupakan tindak pidana.
limbah lainnya”. Atas dasar itu, DPR RI dalam
melaksanakan fungsi pengawasan
Penutup perlu segera membentuk tim untuk
Berbagai persoalan dalam melakukan pengawasan atas impor
peraturan yang terkait limbah B3 limbah B3 yang masih saja masuk
berimplikasi pada masih terjadinya ke Indonesia. Selain itu, dalam
berbagai kasus impor limbah rangka pelaksanaan fungsi legislasi,
“terkontaminasi B3”. Persoalan DPR RI perlu segera melakukan
tersebut oleh karenanya perlu harmonisasi antara UU PPLH,
ditindaklanjuti dengan cara revisi UU Pengelolaan Sampah, dan UU
atau penyempurnaan regulasi agar Perdagangan terkait definisi limbah
lebih memberikan kejelasan dan B3 dan larangan impor limbah B3
tidak menimbulkan celah hukum dalam bentuk apapun sehingga
dan multi-interpretasi dalam tidak ada celah hukum yang
penegakan hukumnya, terutama memungkinkan masuknya limbah
regulasi soal perizinan limbah B3 ke wilayah Indonesia
non-B3. Celah tersebut nampaknya
yang selama ini dijadikan modus Referensi
bagi para importir yang tidak Akbar, Caesar. (2019). ”Sejak Januari
bertanggung jawab. 2018, Bea Cukai Catat 4 Kasus
Lebih jauh lagi, perlu aturan Impor Sampah Plastik”, https://
yang lebih jelas mengenai prosedur bisnis.tempo.co/read/1215523/
untuk memastikan bahwa barang sejak-januari-2018-bea-cukai-
yang akan diimpor ialah barang catat-4-kasus-impor-sampah-
yang memenuhi syarat sesuai plastik, diakses 5 Agustus 2019.
“Harus Ada Koordinasi dengan Siregar, Efrem Limsan. (2019).
Kepolisian Tangani Impor “Kenapa Indonesia Impor
Plastik Limbah B3”, Buletin Sampah?”, https://www.
Parlementaria Nomor 1063/V/ cnbcindonesia.com/
VII/2019, Juli 2019, hal. 8. news/20190706182210-4-83157/
”Ribuan Ton Limbah Berisiko”, kenapa-indonesia-impor-sampah,
https://kemenperin.go.id/ diaskes 5 Agustus 2019.
artikel/3185/Ribuan-Ton- Quina, Margaretha dkk. (2019).
LimbahBerisiko, diakses 5 “Kerangka Hukum Perdagangan
Agustus 2019. Limbah Plastik: Pengaturan
Raharjo, Satjipto. (2009). Penegakan Global dan Nasional”, https://
Hukum Sebagai Tinjauan icel.or.id/wp-content/uploads/
Sosiologis. Yogyakarta: Genta Kerangka-Hukum-Perdagangan-
Publishing. Limbah-Plastik-Pengaturan-
Global-dan-Nasional.pdf, diaskes
5 Agustus 2019.
6

Harris Y. P. Sibuea
harris.sibuea@dpr.go.id

Harris Yonatan Parmahan Sibuea, S.H., M.Kn., menyelesaikan pendidikan S1


Jurusan Hukum Perdata - Universitas Trisakti pada tahun 2007 dan pendidikan S2
Magister Kenotariatan - Universitas Indonesia pada tahun 2009. Saat ini menjabat
sebagai Peneliti Muda Ilmu Hukum pada Pusat Penelitian - Badan Keahlian
DPR RI. Beberapa karya tulis ilmiah yang telah dipublikasikan melalui jurnal
dan buku antara lain: “Tinjauan Yuridis atas Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah”
(2013), “Kedudukan Pengguna Narkotika dan Kesiapan Fasilitas Rehabilitasi
Penyalahguna Narkotika berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”
(2015), dan “Penegakan Hukum Pengaturan Minuman Beralkohol” (2016).

Info Singkat
© 2009, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang
http://puslit.dpr.go.id mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
ISSN 2088-2351 isi tulisan ini tanpa izin penerbit.

Anda mungkin juga menyukai