Anda di halaman 1dari 10

Pelayanan kesehatan yang diamanatkan dalam UUD 1945 adalah

pelayanan yang mampu diperoleh oleh seluruh lapisan masyarakat secara

adil, demokrasi, terbuka dan partisipatif, pemerintah bertanggung jawab

serta wajib menyediakannya bagi seluruh masyarakat indonesia. Salah satu

prioritas pembangunan nasional adalah pembangunan daerah tertinggal,

perbatasan dan kepulauan, hal ini di dukung oleh berbagai kebijakan

lainnya seperti perpres No 78 tahun 2005 tentang pengelolaan pulau-pulau

kecil terluar, Renstra Kementrian Kesehatan 2015-2019 No

HK.02.02/MENKES/52/2015 dimana salah satu sasaran pokok adalah

meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan

terutama di daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan melalui tiga pilar

utama yaitu pertama pilar paradigma sehat dengan strategi

pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan, penguatan promotif


preventif dan pemberdayaan masyarakat : pilar kedua penguatan

pelayanan kesehatan di lakukan dengan strategi peningkatan Akses

pelayanan kesehatan, optimalisasi sistem rujukan dan peningkatan mutu

pelayanan kesehatan, menggunakan pendekatan continuum of care dan

intervensi berbasis resiko kesehatan; pilar ketiga jaminan kesehatan

nasional dilakukan dengan strategi perluasan sasaran dan benefit serta

kendali mutu dan kendali biaya.

Daerah yang dikategorikan tertinggal yaitu daerah yang kurang

berkembang jika di bandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional

dan berpenduduk relatif tertinggal hal ini secara umum disebabkan karena

letak geografis terlalu sulit dijangkau baik oleh media komunikasi maupun

transportasi. Menurut Kementrian Negara pembangunan daerah tertinggal


kriteria tertinggal dikategorikan melalui pendekatan enam kriteria dasar

yaitu perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan
lokal, aksesibilitas dan karakteristik

daerah serta beberapa kabupaten yang berbatasan dengan negara tetangga,

kepulauan terluar, daerah rawan bencana dan daerah konflik (Keputusan

Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, No 01/KEP/M- PDT/I/2005) Dari 456 kabupaten/kota
dikelompokkan berdasarkan daftar daerah

tertinggal menjadi tertinggal 122 kabupaten ( Perpres 131 tahun 2015), 20

daerah perbatasan dan 19 kepulauan serta 35 daerah terpencil (Kementrian

Negara Percepatan Daerah tertinggal)

PERMENKES RI No 6 tahun 2013, Daerah terpencil adalah daerah

yang sulit dijangkau karena sebab seperti keadaan geografi (Kepulauan,

pegunungan, daratan, hutan dan rawa), transportasi, sosial dan ekonomi.

sedangkan daerah perbatasan adalah kabupaten/wilayah geografis yang

berhadapan dengan negara tetangga, dengan penduduk yang bermukim di


wilayah tersebut disatukan melalui hubungan sosio-ekonomi, dan sosio

budaya dengan cakupan wilayah administratif tertentu setelah ada

kesepakatan antar negara yang berbatasan. Daerah kepulauan yaitu daerah

pulau-pulau kecil berpenduduk termasuk pulau-pulau kecil terluar.

Daerah tertinggal, perbatasan, kepualauan dan terpencil memiliki

wilayah topografi yang ekstrim sehingga pelayanan kesehatan tidak dapat

diperoleh masyarakat secara maksimal, keterbatasan tersebut bukan hanya

karena letak geografis tetapi kekurangan tenaga kesehatan yang ada,

sarana dan prasaran terbatas seperti obat, alat penunjang medis dan

diagnostik. juga infrastruktur yang tertinggal.

Berbagai kebijakan telah diterbitkan dan program pelayanan

kesehatan di DTPK sudah dikembangkan oleh kementrian kesehatan sejak


tahun 1985 melalui program Inpres untuk mendukung percepatan

pembangunan secara khusus kesehatan di daerah tertinggal, perbatasan

dan kepulauan (DTPK) tersebut namun hasil yang di peroleh belum

maksimal. kendala utama adalah letak geografis yang sulit sehingga

berdampak bagi penyediaan pelayanan kesehatan yang bermutu. dalam hal

ini diperlukan kebijakan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperty

approach) dan pendekatan kedaulatan (souvereignity aporoach)

mengingat masalah yang dihadapi bukan hanya terkait kesejahteraan

namun juga masalah yang menyangkut keamanan dan kedaulatan negara.

Pelayanan didaerah tertinggal, perbatasan, kepulauan dan terpencil

di tujukan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan bagi

masyarakat melalui penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dasar. baik

Puskesmas maupun sarana pelayanan kesehatan dasar lainnya seperti


Rumah sakit pemerintah, Rumah sakit swasta, Polindes,

poskesdes/poskestren, praktek dokter/klinik, praktek bidan/klinik bersalin

dengan tujuan masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang di

sesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat, dimana tujuan

akhir (outcome) yang diharapkan adalah meningkatkan kemandirian

masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan, sehingga terjadi

peningkatan indeks pembanguanan manusia (IPM).

Sejak tahun 2009 hingga tahun 2013 telah terjadi peningkatan

jumlah puskesmas di tahun 2009 berjumlah 8.737 buah (3,74 per 100.000

penduduk dan pada tahun 2013 berjumlah 9.655 buah (3,89 per100.000

penduduk), walaupun dengan laju pertambahan setiap tahun tidak lebih

besar dari 3-3,5%. dari jumlah tersebut sebagian adalah puskesmas

perawatan yakni 2.704 buah (2009) menjadi 3.317 buah di tahun 2013.
berdasarkan data Risfaskes 2011 menunjukkan bahwa sebanyak 2.492

puskesmas berada di daerah terpencil yang tersebar pada 353

kabupaten/kota.

Peningkatan jumlah fasilitas kesehatan tersebut tidak seiring

dengan terjadinya peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan hal ini

dilihat dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Andani

2011, pemanfaatan pelayanan KB di rumah sakit pemerintah hanya

sebesar 3,2 %, pemanfaatan puskesmas 12 % pemanfaatan pustu 4,5 %,

polindes dan posksedes 1,5 % (berdasarkan data RISKESDAS 2010).

Rendahnya pemanfaatan fasilitas kesehatan baik milik pemerintah

maupun swasta antara lain karena inefesiensi dan buruknya kualitas sektor

kesehatan, buruknya kualitas infrastruktur dan banyaknya pusat kesehatan


masyarakat yang tidak memiliki perlengkapan yang memadai, jumlah

dokter yang tidak memadai di daerah terpencil dan tingginya

ketidakhadiran dokter di puskesmas, serta kurangnya pendidikan dan

pelatihan bagi tenaga kesehatan dan faktor lain yang mungkin berpengaruh

seperti pendapatan yang meningkat, pengetahuan yang lebih baik berdampak bagi pemilihan fasilitas
pelayanan kesehatan dan

meningkatnya ekspektasi terhadap standar pelayanan (World Bank,2008)

Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut perlu peningkatan

kualitas pelayanan (Quality of care) dan kualitas pelayanan manajemen

(Quality of service) karena mutu pelayanan yang baik akan memberikan

kepuasaan kepada pelanggan dan pelanggan akan memanfaatkan ulang

dan merekomendasikan pelayanan kesehatan kepada orang lain

(Muninjaya,2004)

Lokasi fasilitas kesehatan sangat mempengaruhi akses masyarakat,


sehingga masyarakat mudah menjangkau pelayanan kesehatan tanpa

terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, organisasi dan bahasa,

kemudahan akses ini diasumsikan dengan jarak, lama perjalanan, biaya

perjalanan, jenis transportasi dan hambatan fisik lain yang dapat

menghalangi seseorang untuk mendapatkan layanan kesehatan (Pohan

2007). akses merupakan konsep multidimensi yang menggambarkan

kemampuan masyarakat untuk menjangkau serta menggunakan fasilitas

layanan kesehatan kapan dan dimanapun mereka membutuhkan

(Penchansky at. al, 1981) konsep ini menggambarkan hubungan antara

atribut pelayanan yang diperlukan dan karakteristik pelayanan yang di

sediakan sehingga masyarakat dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Dalam kajian ini bagaimana pola pemanfaatan (utilisasi) sarana


pelayanan kesehatan baik puskesmas maupun non puskesmas didaerah

tertinggal, perbatasan, kepulauan dan terpencil, diharapkan hasil dari

kajian ini dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan baik di tingkat pusat

maupun daerah dalam membuat strategi dan opsi kebijakan yang tepat

terkait pelayanan kesehatan didaerah tertinggal, perbatasan, kepulauan dan

terpencil

Anda mungkin juga menyukai