Balita yang lahir dengan berat badan lahir rendah berhubungan dengan kejadian
stunting pada balita. Penelitian di Nepal tahun 2012 menunjukan bahwa berat badan
lahir yang rendah memiliki resiko stunting 4,47 kali lebih besar daripada balita
dengan berat badan lahir normal. Berat badan lahir merupakan salah satu indikator
kesehatan pada bayi yang baru lahir. Berat badan lahir sering digunakan sebagai
parameter yang sering dipakai untuk menggambarkan pertumbuhan janin pada masa
kehamilan. Bayi dengan berat badanlahir rendah akan lebih rentan terhadap pengaruh
lingkungan yang kurang baik dimasa mendatang.Akan tetapi, efek berat badan paling
besar terdapat pada usia 6 bulan pertama. Jika pada 6 bulan pertama balita dapat
memperbaiki status gizinya, maka terdapat kemungkinan bahwa tinggi badan balita
dapat tumbuh dengan normal dan terhindar dari kejadian stunting di usia
selanjutnya.1,2
Panjang badan lahir juga merupakan faktor resiko terjadinya stunting dimasa
mendatang. Penelitian menenunjukan bahwa terdapat hubungan bermakna antara
panjang badan lahir dengan kejadian balita stunting.3 Resiko untuk terjadinya
gangguan tumbuh (growth faltering) lebih besar pada bayi yang telah mengalamni
falter sebelumnya yaitu keadaan pada masa hamil dan prematuritas. Artinya, panjang
badan yang jauh dibawah rata rata lahir disebabkan kerena sudah mengalami retardasi
pertumbuhan saat dalam kandungan. Retardasi pertumbuhan saat dalam kandungan
menunjukan kurangnya status gizi dan kesehatan ibu pada saat hamil sehingga
menyebabkan anak lahir dengan panjang badan yang kurang.4
Tingkat pendidikan ayah tidak berpengaruh akan kejadian stunting, akan tetapi
pendidikan ibu berpengaruh akan kejadian stunting. Hal ini disebabkan karena peran
pengasuhan lebih besar dilakukan oleh ibu sedangkan ayah lebih banyak bekerja
sehingga waktu dengan anaknya akan lebih berkurang. Ibu dengan pendidikan tinggi
memounyai pengetahuan yang lebih luas tentang praktik perawatan anak serta mampu
menjaga dan merawat lingkunganya agar tetap bersih. Tingkat pendidikan ibu turut
menentukan mudah tidaknya seseuorang dalam menyerap dan memahami
pengetahuan gizi yang didapatkan. Pendidikan diperlukan agar seseorang terutama ibu
lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan diharapkan bisa
7
mengambil tindakan yang tepat sesegera mungkin. Hal ini sejalan dengan anak
stuntung memiliki ibu dengan oengetahuan gizi yang rendah. Penyediaan bahan dan
menu makanan yang tepat untuk balita dalam upaya peningkatan status gizi akan
dapat terwujud bila ibu mempunyai tingkat pengetahuan gizi yang lebih baik.
Ketidaktahuan tentang informasi mengenai gizi dapat menyebabkan kurangnya mutu
atau kualitas gizi makanan khususnya yang dikonsumsi balita. Tingkat pengetahuan
gizi ibu memoengaruhi sikap dan perilaku dalam memilih bahan makanan, yang lebih
lanjut akan mempengaruhi keadaan gizi.7
Daftar Pustaka
1. Ni’mah K, Nadhiroh SR. Faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting
pada balita, Media Gizi Indonesia. 2015; hlm 13-19
2. Umboh,A. Berat lahir rendah dan tekanan darah pada anak, Sagung Seto.
Jakarta. 2013
3. Meilyasari, F & Isnawati, M. Faktor resiko kejadian stunting pada balita usia
12 bulan di Desa Purwekerto Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal. Journal of
Nutrition College.2014;3(2), 16-25
8. Anindita P. Hubungan tingkat pendidikan ibu, protein dan zink dengan stunting
pada balita usia 6-35 bulan di Kecamatan Tembalang Kota Semarang. JKM. 2012:
Vol (1): 17-26