Anda di halaman 1dari 12

1.

MacKenzie MJ, Gearing RE, Schwalbe CG, Ibrahim RW, Brewer KB, Al-Sharaihah

R. Child mental health in Jordanian orphanages: effect of placement change on

behavior and caregiving. BMC Pediatrics (2014) 14:316


 Meskipun dewasa ini sudah terdapat semakin banyak literatur internasional

yang menekankan defisit kesehatan dan perkembangan mental pada anak yang

diasuh oleh orangtua di keluarga asuh maupun institusi besar, banyak negara-

negara berkembang yang masih mengandalkan panti asuhan sebagai model

utama untuk merawat anak-anak di luar keluarga kandung mereka.


 Alasan utama anak dirawat di panti asuhan dapat dibagi menjadi tiga

kelompok utama : adanya tindak kekerasan pada anak (penelentaran,

kekerasan fisik, maupun seksual), keretakan rumah tangga (perceraian,

orangtua yang harus dipenjara) dan pembiaran atau anak yatim piatu.
2. Bettmann JE, Mortensen JM, Akuoko KO. Orphanage caregivers' perceptions of

children's emotional needs. Children and Youth Services Review 49 (2015) 71–79
 Anak yang terlantar atau tinggal di panti asuhan secara signifikan beresiko

karena beban psikologis yang mereka alami lebih besar. Bayi dan anak yang

tinggal di institusi seperti panti asuhan atau rumah asuh lebih rentan

mengalami masalah perkembangan emosional, seperti gangguan kelekatan,

keterlambatan dan gangguan belajar maupun kemampuan kognitif.


 Anak yatim adalah anak yang sudah kehilangan salah satu atau kedua

orangtuanya. Orphans and vulnerable children (OVC) atau kelompok anak

yatim dan anak yang rentan merupaknh istilah yang dipakai oleh World Bank

(2004) untuk mendeskripsikan kelompok anak yang mengalami dampak

negatif – akibat tidak memiliki akses kesempatan pendidikan yang layak atau

mengalami morbiditas secara fisik seperti malnutrisi dibandingkan kelompok

anak sebayanya.
 Pengalaman anak yang dialaminya sejak usia dini memiliki dampak jangka

panjang terhadap perkembangan fungsi kepribadian, intelektual maupun


kemampuan sosialnya. Anak yang diasuh di lingkungan panti yang kurang

memadai menunjukkan sejumlah keterlambatan perkembangan. Jika mereka

memiliki akses terhadap kebutuhan materi dan suplai makanan yang baik,

bagaimana lingkungan panti dapat mempengaruhi perkembangan anak?

Penelitian membuktikan bahwa anak yang diasuh di panti yang mengalami

penelantaran baik secara sosial dan emosional mengalami keterlambatan

psikososial maupun pertumbuhan secara fisik.


 John Bowlby, penemu teori kelekatan, mengemukakan bahwa kelekatan

(attachment) yang sehat dengan pengasuh utama merupakan tonggak utama

dalam perkembangan hubungan sosial anak. Penelitian terbaru telah

membuktikan hubungan antara kelekatan anak secara dini dan perjalanan

perkembangan mental anak, termasuk kemampuannya mengendalikan emosi,

fungsi sosial, penyesuaian dan juga timbulnya psikopatologi. Hubungan

kelekatan ini haruslah stabil dan konsisten, tapi juga membutuhkan

tanggungjawab dan kepercayaan, serta perilaku pengasuh yang sesuai.


 Bayi tampaknya secara biologis terdorong untuk membentuk sebuah hubungan

kelekatan tanpa memandang asal budaya mereka. Kedekatan dengan seorang

pengasuh dan membentuk kelekatan dengan mereka membuat anak merasa

diri mereka aman (sense of security). Bayi kemudian akan percaya dan

menjadikan pengasuh utama mereka sebagai sebuah pelindung yang aman

ketika mereka mengeksplorasi dunia sosial maupun fisik di sekitar mereka.

Perpisahan dengan pengasuh utama dimana anak telah membentuk hubungan

kelekatan dengannya dapat menjadi sebuah distres bagi anak. Perpisahan

tersebut mengancam perkembangan hubungan emosioanl maupun kelekatan

yang sehat. Distres, gejala kecemasan, depresi maupun psikopatologi lain

sering terlihat pada perpisahan seorang bayi dengan pengasuh utamanya.


Tanpa seorang pengasuh utama yang ramah dang bertanggungjawab ditambah

dengan kurangnya interaksi yang terus-menerus antara seorang bayi dan

pengasuhnya, berdampak negatif terhadap perkembangan bayi. Hubungan

kelekatan yang sehat memungkinkan anak untuk mengembangkan

kemampuan kognitif, sosial emosional maupun mentalnya dengan baik.


 Sejumlah penelitian yang meneliti kelekatan antara anak dan pengasuh di

beberapa rumah asuh atau institusi sejenisnya, seperti panti asuhan

menunjukkan suatu “defisit” dalam hal stabilitas dan konsistensi kelekatan

pengasuh dan anak, maupun tanggungjawab dan respons emosional mereka.

Rasio jumlah pengasuh panti dan anak yang kurang sistem kerja mereka yang

berupa rotasi shift, membuat anak yang dirawat di panti asuhan sering

mengalami suatu perpisahan berulang dengan pengasuh mereka. Dampak

negatif akibat perpisahan ini terhadap anak adalah munculnya gejala seperti

agitasi, depresi, dan gangguan tidur.


 Penelitian yang dilakukan di beberapa panti asuhan di Rumania membuktikan

bahwa interaksi sosial antara anak dan pengasuhnya merupakan faktor utama

yang mempengaruhi perkembangan kognitif maupun fisik anak. Dalam sebuah

penelitian, pengasuh panti, - sebelum mereka dilatih menjadi pengasuh yang

ramah dan bertanggungjawab, menunjukkan tingkat kecemasan dan jarang

berkomunikasi dengan anak yang mereka asuh. Selain itu, anak akan

cenderung berespons dengan berlaku kurang ramah, jarang berkontak mata,

maupun perilaku yang agresif dan impulsif. Namun setelah dilakukan

pelatihan, dan intervensi seperti pengaturan kembali staf pengasuh panti,

pengasuh menjadi lebih responsif secara emosional dan kemampuan

interpersonal anak membaik seiring pertumbuhan dan perkembangan mereka

baik dalam aspek fisik, motorik, kognisi maupun bahasa.


 Beberapa penelitian menunjukkan meskipun kebutuhan material dan jasmani

anak-anak panti terpenuhi, anak panti asuhan cenderung mengalami defisit

dalam hal pemenuhan kebutuhan emosional, termasuk hubungan interpersonal

dengan staf panti asuhan. Beberapa studi longitudinal mendukung pendapat

bahwa dengan menciptakan interaksi sosial yang baik dan berkualitas antara

anak dan pengasuh panti melalui pelatihan dan keterlibatan emosional dan

pengasuhan berkelompok menghasilkan dampak yang positif terhadap

pertumbuhan dan perkembangan anak.


 Penelitian ini menilai persepsi partisipan yang bekerja di panti asuhan

termasuk pengasuh panti, tenaga administrasi dan staf lainnya terhadap

kebutuhan emosional. Hanya setengah dari partisipan penelitian ini yang

merupakan pengasuh panti dan kurang dari setengah kelompok ini yang

menerima pelatihan formal terkait praktek mengasuh anak. Staf pengasuh

yang lebih terlatih dapat memahami kebutuhan sosio-emosional anak dan

lebih mungkin untuk mengimplementasikan pemahaman ini dalam praktek.

Tanpa dasar pengetahuan tersebut, pengasuh sulit menyadari tahapan apa yang

penting untuk diberikan pada anak panti asuhannya.


 Tanpa melakukan pengamatan secara langsung interaksi antara anak panti dan

pengasuhnya sangat sulit untuk memastikan bagaimana persepsi pengasuh

panti terkait kebutuhan emosional dan relasi diimplementasikan dalam

perilaku. Selain itu masih terdapat kesenjangan antara persepsi pengasuh panti

terhadap kebutuhan emosional anak (waktu, perhatian, cinta kasih) dan

ketersediaan waktu dan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.


 Perilaku pengasuh panti secara signifikan dipengaruhi oleh makrosistem dan

lingkungan dimana mereka bekerja. Struktur organisasi panti asuhan

berdampak besar pada kualitas pelayanan yang diberikan. Pengasuh panti

asuhan mungkin tidak dapat memenuhi semua kebutuhan emosional dan


relasional anak akibat kurangnya pelatihan terkait kelekatan dalam

pengasuhan, waktu, jumlah staf dan kapasitas panti. Pelatihan terhadap

pengasuh panti agar memberikan asuhan yang ramah, konsisten dan responsif

dapat menjadi faktor proteksi terhadap kejadian-kejadian buruk atau tidak

mengenakan yang dialami oleh anak panti maupun terhadap keterlmabatan

perkembangan mereka baik sosial maupun fisik.


 Selain itu, perubahan struktural di dalam organisasi panti sendiri untuk

memperbanyak jumlah pegawai agar anak panti dapat menerima asuhan yang

efektif. Anak membutuhkan hubungan yang stabil dan jangka panjang dengan

pengasuhnya. Di beberapa panti asuhan, beberapa anak ditetapkan untuk

diasuh atau diperhatikan oleh pengasuh tertentu yang dapat berfungsi sebagai

pengasuh utama anak. Cara seperti ini, dibandingkan dengan satu pengasuh

bertanggung jawab untuk beberapa anak panti sekaligus, dapat menjadi

langkah awal memperbaiki layanan dalam panti. Hal ini sejalan dengan teori

kelekatan menurut Bowlby, dimana anak membutuhkan asuhan yang menetap

dan stabil dari satu orang pengasuh yang ramah, perhatian dan selalu ingin

terlibat dalam interaksi dengan anak asuhannya.


 Sejalan dengan teori kelekatan, penelitian menyarankan bahwa anak yang

tinggal dalam institusi seperti panti asuhan, membangun hubungan yang erat

dengan pengasuh dan menjadi faktor proteksi dan membantu perkembangan

anak.
3. Smyke AT, Koga SF, Johnson DE, Fox NA, Marshall PJ, Nelson CA. The caregiving

context in institution-reared and family-reared infants and toddlers in Romania.

Journal of Child Psychology and Psychiatry 48:2 (2007), pp 210–218


 Pada penelitian yang membandingkan antara anak yang dibesarkan di panti

asuhan di Rumania dibandingkan anak yang dibesarkan di dalam lingkungan

keluarga (baik keluarga asuh maupun keluarga kandung)


4. Sanou D, Turgeon-O’Brien H, Ouedraogo S, Desrosiers T. Caring for orphans and

vulnerable children in a context of poverty and cultural Transition: A case study of a

group foster homes program in Burkina Faso. Journal of Children and Poverty Vol.

14, No. 2, September 2008, 139 155


 Lebih dari 200 juta anak balita di dunia gagal mencapai potensi

perkembangannya yang normal, menimbulkan risiko kerentanan yang tinggi

antar generasi. Anak yatim atau terlantar sangat beresiko terkena dampak

kesehatan yang buruk maupun distres psikologis.


 Masih terdapat kontradiksi terkait pengasuhan anak yatim piatu di beberapa

negara. Tren terbaru mengatakan bahwa perawatan di panti asuhan seharusnya

tidak dipertimbangkan karena masih ada pilihan layanan lain yang tersedia.

Salah satu kekurangan panti asuhan adalah biayanya yang lebih tinggi

dibandingkan dengan perawatan anak oleh orangtua asuh. Selain itu beberapa

teori psikoanalitik lebih menekankan pada pentingnya kelekatan ibu-anak pada

perkembangan anak. Sebaliknya, tren yang kedua cenderung lebih pesimistis,

ahli dari kelompok ini memandangan bahwa menitipkan anak di keluarga asuh

telah gagal. Mereka mengutip beberapa fakta-fakta yang mendukung situasi

ini, dimana banyak anak yatim dalam keluarga asuh mengalami diskriminasi,

haknya merasa dirampas, pengucilan, perlakuan semena-mena dan bahkan

mengalami sakit fisik bila dibandingkan anak fisiologis mereka. Namun hal ini

tidak boleh digeneralisasi sepenuhnya, karena situasi dan kondisi pasti

berbeda-beda antar negara. Sebagai contoh, Zimmermann (2005) yang

melaporkan perawatan anak di panti asuhan merupakan cara terbaik untuk

memenuhi kebutuhan sekelompok anak yatim piatu di Malawi dengan cara

yang lebih efektif. McKenzie (1997) menunjukkan bahwa individu yang

dibesarkan di panti asuhan mengalami luaran yang positif bila dipandang dari
status sosioekonomi bila dibandingkan populasi umum, yang menunjukkan

bahwa merawat anak di panti asuhan tidak selalu berdampak negatif.


 Teori sistem bioekologis menurut Bronfenbrenner, merupakan suatu kerangka

teori yang sering digunakan dalam teknik pengasuhandan pendidikan anak

untuk menganalisis tahap perkembangan anak. Teori ini berpendapat bahwa

perkembangan anak bersifat dinamis dan melibatkan proses interaksi yang

timbal-balik antar individu dan faktor lingkungan, baik yang bersifat konkrit

maupun abstrak. Kerangka Bronfenbrenner mencakup empat tingkatan

ekologis, dengan hubungan dua arah dan timbal balik antar tingkatan ini:
a. Mikrosistem: hubungan interpersonal antar anak dan lingkungan terdekatnya

(keluarga, sekolah, teman sebaya, lingkungan perawatan anak seperti panti

asuhan, dan lain-lain)


b. Mesositem : hubungan antar relasi dari dua atau lebih kondisi/tempat dimana

anak tinggal/hidup (rumah, pusat perawatan anak, sekolah)


c. Eksosistem : lingkungan eksternal yang berdampak tidak langsung terhadap

perkembangan anak (tempat kerja orangtua, pimpinan sekolah, agen/tempat

pengasuhan anak, dinas sosial, dan lain-lain)


d. Makrosistem : konteks budaya dan sosial yang lebih besar (budaya,

subbudaya, ekonomi, peperangan, kemajuan teknologi maupun konteks sosial

lain yang lebih besar)


5. Ismail LB, Hindawi H, Awamleh W, Alawamleh M. The key to successful

management of child care centres in Jordan. International Journal of Child and

Education Policy (2018)12:3


 Definisi anak yatim piatu
Menurut UNICEF (2015), anak yatim dan/atau piatu dipahami secara

tradisional sebagai anak yang telah kehilangan salah satu atau kedua orangtua;

meski demikian, menurut pengalaman dan studi lanjut, seorang anak yatim

piatu dapat juga dipahami dari sudut pandang faktor lain, seperti tingkat

kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, tanpa harsu memandang apakah


orangtuanya masih hidup atau sudah meninggal dunia; meskipun konsep

kehilangan orangtua ini masih menjadi faktor penentu utama seorang anak

bisa disebut anak yatim dan/atau piatu, dan Faith to Action (2014)

mengklasifikasi orphans (anak yatim dan/atau piatu) apakah mereka telah

kehilangan salah satu orangtua (anak yatim atau piatu – single orphan) atau

telah kehilangan kedua orangtua mereka (anak yatim dan piatu – double

orphan). Diperkirakan terdapat sekitar 153 juta anak (dibawah usia 16 tahun)

telah kehilangan salah satu orangtuanya, dan 17,8 juta telah kehilangan

keduanya.

Alasan anak tinggal di panti asuhan


 Terdapat beberapa alasan di balik penitipan anak di panti asuhan, menurut

Faith to Action (2014) dan UNICEF (2015), alasan utama adalah bukan karena

anak telah kehilangan orangtuanya, melainkan kemiskinan. Analisis yang lebih

mendetail menunjukkan betapa kompleksnya dampak kemiskinan, bahkan

sampai harus dilakukan intervensi eksternal pada beberapa kasus (dimana

anak secara paksa ditempatkan di panti asuhan oleh pemerintah akibat dugaan

atau telah terbukti terjadi tindak kekerasan terhadap anak, pembiaran,

eksploitasi, konflik, maupun gangguan mental yang diidap orangtua kandung,

maupun gangguan seperti penyalahgunaan obat dan alkoholisme). Intervensi

internal lebih sering menjadi alasan, dimana anak dititipkan di panti asuhan

karena salah seorang atau kedua orangtuanya telah meninggal dunia, atau

ketika orangtua kandungnya yang masih hidup menginginkan anaknya hidup

dengan standar kehidupan yang lebih baik karena kemiskinan, tunawisma,

disabilitas, penyakit kronis maupun bencana alam.


Klasifikasi anak yatim dan/atau piatu
 Anak yatim dan/atau piatu dikategorikan menurut informasi terkait keberadaan

orangtua kandungnya: (1) anak yang diketahui orang tuanya, dan (a) telah
kehilangan ayah, atau (b) ibunya, atau (c) kedua-duanya; (2) anak yang telah

terpisah dari kedua orantua biologisnya karena tindak kekerasan, perceraian,

atau kurungan penjara – kasus lain yang termasuk dalam kelompok ini juga

mencakup anak yang berasal dari keluarga broken home; dan (3) anak yang

lahir di luar ikatan pernikahan yang sah.


Pengasuhan anak di panti asuhan
Intinya, masing-masing panti asuhan pasti memiliki tata kelola yang berbeda;

bergantung pada konteks budaya dimana sebuah panti asuhan berada, sehingga

sangat sulit untuk membuat sebuah kebijakan universal karena terminologi

berbeda yang digunakan dalam mengurus perawatan anak-anak panti yang

cenderung rentan (Ainsworth dan Toburn 2014; MSD 2015).


Meskipun demikian, beberapa masalah juga ikut dialami oleh kelompok anak-

anak ini didunia dimana Siyavora (2012) melaporkan beberapa di antaranya:

seperti masalah fisik, psikologis, ekonomi termasuk bekerja di usia anak,

eksploitasi, manipulasi, perlakuan semena-mena dan bahkan prostitusi

(UNICEF 2003). Beberapa penulis lain menekankan dampak fisik, mental dan

psikologis yang dialami anak selama tinggal di panti asuhan, seperti rasa tdiak

berdaya, rasa tidak aman, stigmatisasi dan gangguan kelekatan (Nowak-

Fabrykowski dan Piver 2008). Anak-anak yang tinggal di panti asuhan secara

intrinsik lebih rentan karena mereka telah kehilangan orantuanya dan telah

mengalami pembiaran, tindak semena-mena dan kemiskinan (Hearst et al.

2014). Semua anak berhak mendapatkan perawatan, perhatian dan cinta kasih

yang sama sebagai bagian dari hak asasi mereka. (UNICEF 2015)
 Seorang pengasuh panti haruslah memiliki kualifikasi yang memadai termasuk

pengalaman dalam mengasuh anak. Nupponen (2005) menganalisis tujuan

manajemen panti asuhan dan menekankan pentignya dekstripsi tugas dan

kewajiban pengasuh panti termasuk kepala pengurus panti terkait manajemen


secara keseluruhan, karena hal tersebut nantinya akan berdampak pada

kesejahteraan emosional maupun pencapaian akademik anak-anak panti.

Menurut Nupponen, seorang kepala panti asuhan harus menjalani pelatihan

khusus, memiliki kemampuan manajerial bisnis serta kepemimpinan yang baik

sehingga dapat memberikan jalan keluar bagi setiap masalah yang dialami

oleh anak panti dalam konteks pengaruh lingkungan makro-atau mikro

terhadap manajemen dan operasional panti.


 Di sisi lain, para pengasuh panti merupakan orang-orang yang sangat

berpengaruh bagi kehidupan anak-anak, karena merekalah yang akan

berinteraksi langsung dengan anak setiap harinya. Meskipun pada beberapa

konteks, terlihat bahwa para pengasuh ini telah memahami dengan baik peran

dan tanggungjawabnya, dalam membangun hubungan jangka panjang dengan

anak asuhnya dan mengakui bahwa anak merasa ingin dicintai dan diterima,

beberapa penelitian menujukkan justru banyak para pengasuh panti asuhan

memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan pengalaman yang terbatas.

Selain itu, menurut penelitian Siyavora (2010) menggunakan kuesioner yang

diberikan pada pengasuh panti tentang pengalaman mereka dengan anak

asuhannya dengan hasil hanya satu responden yang memiliki pengalaman

sebelumnya dengan anak yatim piatu.


 Banyak peneliti yang menekankan dampak baik secara fisik, mental, maupun

psikologis pada anak yang hidup di panti asuhan, seperti rasa

ketidakberdayaan, rasa tidak aman, stigmatisasi maupun gangguan kelekatan.

Selain itu, Makame dan Grantham-Mcgregor (2002) serta Hearst et al. (2014)

menyatakan bahwa perilaku negatif anak dapat disebabkan oleh karena

penempatan mereka di panti asuahn atau karena perpisahan dengan orangtua

biologis mereka, serta perubahan lingkungan dan perpindahan anak dari satu
panti ke panti lainnya juga ikut berpengaruh pada perilaku anak. Menurut

Ismail, et al (2018) dalam penelitiaanya terhadap para pengasuh panti asuhan,

ketika ditanyakan apakah anak asuhannya menunjukkan perilaku negatif dan

apa kemungkinan penyebabnya, 28 dari 30 responden percaya bahwa anak

asuhan mereka menunjukkan perilaku negatif, dan 17 di antaranya yakin

perilaku tersebut disebabkan oleh karena masalah di lingkungan anak

sebelumnya. Hanya tujuh responden yang meyakini bahwa perilaku negatif

anak adalah normal untuk anak seusianya. Dan hanya dua responden yang

menyatakan bahwa perubahan pengasuh dapat mempengaruhi anak untuk

berperilaku negatif.
 Dalam penelitian yang sama, ketika responden ditanyakan tentang apa

perannya sebagai pengasuh panti asuhan, 12 dari 30 responden menjawab

bahwa peran mereka adalah sama seperti seorang ibu, tiga di antaranya

menjawab bahwa tugas mereka sudah merupakan “pekerjaan” mereka, karena

mereka percaya bahwa menjadi ibu bukanlah suatu pekerjaan tapi kodrat. Di

sisi lain, sembilan responden berpendapat pekerjaan mereka adalah

menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti menyiapkan makanan,

mengecek kerapihan kamar, memantau higiene serta memberikan edukasi

pada anak. Hal ini sangat jelas menunjukkan kurangnya profesionalitas

pengasuh panti dalam memahami kebutuhan emosional anak yang kompleks,

termasuk rasa ingin dicintai dan dimiliki. Meski demikian, konselor dan

psikologis mendeskripsikan peran mereka adalah merancang suatu program

pengasuhan anak melalui kegiatan ekstrakurikuler agar anak bisa bermain

sambil belajar.
 Pengasuh panti merupakan bagian penting dari kehidupan anak panti sehingga

mereka wajib mengetahui apa yang menjadi kebutuhan anak. Dalam studi
Ismail et al pada pengasuh anak panti, 25 dari 30 responden menjawab bahwa

anak membutuhkan cinta kasih, kepedulian, perhatian dan rasa aman.

Responden lain percaya bahwa anak membutuhkan suatu atmosfir keluarga,

dan juga seorang figur ayah, karena mayoritas pengasuh panti pada studi ini

adalah perempuan. Ketika peneliti menanyakan responden apa yang akan

mereka lakukan untuk mengatasi masalah yang dialami oleh anak asuhannya,

13 dari 30 responden menjawab hal tersebut bergantung pada masing-masing

anak dan masalah apa yang mereka hadapi, karena kasus untuk masing-masing

anak pasti berbeda. Empat responden menjawab akan berusaha membangun

komunikasi yang baik dengan anak; sementara empat responden lain

menjawab akan langsung menginformasikan masalah anak tersebut ke

psikolog atau psikiater. Selain itu, lima responden menyatakan akan mengatasi

masalah anak dengan pendekatan “punishment and reward”. Hal yang

mengejutkan adalah tiga responden menyatakan tidak akan ikut campur bila

anak asuhannya mengalami masalah, dan hanya satu responden yang akan

berusaha mencari akar penyebab masalah pada anak asuhnya.

Anda mungkin juga menyukai