Anda di halaman 1dari 5

azas

http://budipratiko9.blogspot.com/2015/04/hukum-perikatan-hukum-perjanjian-dan.html
https://www.academia.edu/28155918/HUKUM_PERIKATAN
https://www.academia.edu/10932226/pengertian_hukum_perikatan
https://www.saplaw.top/asas-asas-hukum-perikatan-yang-harus-diketahui/
wanprestasi
https://litigasi.co.id/wanprestasi-dan-akibat-hukumnya
hapusnya perikatan
https://www.academia.edu/35389101/_Hukum_Perikatan_Hapusnya_Perikatan
https://www.negarahukum.com/hukum/hapusnya-perikatan.html

Contoh:
1. Perikatan yang lahir karena perjanjian misalnya perjanjian jual beli, sewa-menyewa, tukar
menukar, dan perjanjian pijam meminjam.
2. Perikatan yang lahir karena undang-undang saja misalnya kewajiban bagi orang tua untuk
saling memberikan nafkah bagi anaknya.
3. Perikatan yang lahir karena perbuatan manusia yang sesuai hukum misalnya perwakilan
sukarela (zaakwarneming) sebagai mana diatur dalam Pasal 1354 BW “jika seorang dengan
sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau
tanpa sepengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk
meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannnya
dapat mengerjakan urusan itu.
4. Perikatan yang lahir karena perbuatan yang melanggar hukum misalnya perjanjian untung-
untungan seperti perjudian dan pertaruhan (Pasal 1774).
Tidak selamanya suatu perjanjian itu kepentingn para pihak berlawanan melainkan ada yang
searah atau hak-haknya sama tanpa ada timbal balik pemenuhan hak dan kewajiban misalnya
perjanjain pendirian perseroan Terbatas (PT) dimana para pihak mempunyai kehendak yang
sama, yaitu menyetorkan uang sebagai modal saham, dan masing-masing pihak
mengharapkan keutungan dari PT tersebut. Dengan demikian perikatan yang didefeniskan oleh
Subekti tampaknya tidak dapat lagi dipertahankan walaupun pada dasarnya pengertian itu
setidaknya dapat menjadi kerangka awal untuk mengenal unsur –unsur yang terdapat dalam
suatu perikatan.
Akibat wan pretasi
Sumber foto: di sini
Apa akibat hukum yang timbul bila seseorang (debitur) dinyatakan ingkar
janji/wanprestasi? Andi. Bali
Jawaban:
Intisari:
Akibat hukum yang timbul bila seseorang ingkar janji yaitu:
1. Debitur diharuskan membayar ganti rugi.
2. Kreditur dapat minta pembatalan perjanjian melalui pengadilan.
3. Kreditur dapat minta pemenuhan perjanjian, atau pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi dan pembatalan perjanjian
dengan ganti rugi.

Uraian lebih lanjut di bawah ini


Bila seseorang dinyatakan wanprestasi maka ada beberapa akibat hukum yang muncul
yaitu:
1. Debitur diharuskan membayar ganti rugi.
Dasar hukumnya Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), berbunyi:
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan,
bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam
waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
2. Kreditur dapat minta pembatalan perjanjian melalui pengadilan.
Dasar hukumnya Pasal 1266 KUHPer, berbunyi:
“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban
dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim
dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk
memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.”
3. Kreditur dapat minta pemenuhan perjanjian, atau pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi dan
pembatalan perjanjian dengan ganti rugi.
Dasar hukumnya Pasal 1267 KUHPerdata, berbunyi:
“Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk
memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan,
dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.”
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH
Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah
pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar
kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan
Pasal 1237 KUH perdata.
Asas konsekual
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus
saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah
dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan
harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan
terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh
undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
2. Asas Pacta Sunt Servanda
Ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) " KUH
Perdata yang berbunyi : “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Dalam
perkembangannya, asas Pacta Sunt Servanda diberi arti Pactum yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan
dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan Nudus Pactum sudah cukup dengan sepakat
saja.
Asas-asas hukum perjanjian yang dikemukakan meliputi:1.

Asas konsensualisme, d
iatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan: “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”
2.

Asas kebebasan berkontrak, pada dasarnya manusia bebas mengadakan hubungan denganorang lain.
Termasuk di dalamnya adalah hubungan kerja sama maupun mengadakan suatu perjanjian.3.

Asas kekuatan mengikat suatu perjanjian, perjanijan yang telah dibuat dan disepakati oleh para pihak yang
terlibat mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak
Hapusnya perikatan dalam kontrak yang timbul dari persetujuan maupun dari undang-undang diatur dalam
bab ke-IV buku ke-III KUH Perdata,yaitu pasal 1381. Dalam pasaltersebut, terdapat beberapa cara
hapusnya suatu perikatan, yaitu:a.

Pembayaran b.

Penawaran pembayaran diikuti oleh penyimpananc.

Pembaruan utang (inovati)d.

Perjumpaan utang (konvensasi)e.

Percampuran utangf.

Pembebasan utangg.

Musnahnya barang yang terutangh.

Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatani.

Syarat yang membatalkan (diatur dalam BAB I) j.

Kedaluarsaan (diatur dalam buku ke IV, BAB 7)

Perbedaan perikatan dan perjanjian


Sekalipun dalam KHUPerdata definisi dari perikatan tidak dipaparkan secara tegas, akan tetapi
dalam pasal 1233 KUHPerdata ditegaskan bahwa perikatan selain dari Undang-undang,
perikatan dapat juga dilahirkan dari perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu
merupakan perjanjian sedangkan perjanjian merupakan perikatan. Dengan kalimat lain, bila
definisi dari pasal 1313 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan maksud dari pasal 1233
KUHPerdata, maka terlihat bahwa pengertian dari perikatan, karena perikatan tersebut dapat
lahir dari perjanjian itu sendiri.

Sebagai bahan perbandingan untuk membantu memahami perbedaan dua istilah tersebut, perlu
dikutip pendapat Prof Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian mengenai perbedaan
pengertian dari perikatan dengan perjanjian. Beliau memberikan definisi dari perikatan sebagai
berikut:

“Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang
lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”

Sedangkan perjanjian didefinisikan sebagai berikut:

“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”
Hakekat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu merupakan hubungan
hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian perikatan lebih luas dari
perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari
perjanjian tetapi juga dari aturan perundang-undangan. Hal lain yang membedakan keduanya
adalah bahwa perjanjian pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak, jadi
sumbernya benar-benar kebebasan pihak-pihak yang ada untuk diikat dengan perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Sedangkan perikatan selain mengikat
karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh undang undang, contohnya
perikatan antara orangtua dengan anaknya muncul bukan karena adanya kesepakatan dalam
perjanjian diantara ayah dan anak tetapi karena perintah undang-undang.

Selain itu, perbedaan antara perikatan dan perjanjian juga terletak pada konsekuensi hukumnya.
Pada perikatan masing-masing pihak mempunyai hak hukum untuk menuntut pelaksanaan
prestasi dari masing-masing pihak yang telah terikat. Sementara pada perjanjian tidak
ditegaskan tentang hak hukum yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang berjanji apabila
salah satu dari pihak yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji, terlebih karena pengertian
perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menimbulkan kesan seolah-olah hanya merupakan
perjanjian sepihak saja. Definisi dalam pasal tersebut menggambarkan bahwa tindakan dari satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, tidak hanya
merupakan suatu perbuatan hukum yang mengikat tetapi dapat pula merupakan perbuatan
tanpa konsekuensi hukum.

Konsekuensi hukum lain yang muncul dari dua pengertian itu adalah bahwa oleh karena dasar
perjanjian adalah kesepakatan para pihak, maka tidak dipenuhinya prestasi dalam perjanjian
menimbulkan ingkar janji (wanprestasi), sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam
perikatan menimbulkan konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum (PMH).
Berdasarkan pemahaman tersebut jelaslah bahwa adanya perbedaan pengertian antara
perjanjian dan perikatan hanyalah didasarkan karena lebih luasnya pengertian perikatan
dibandingkan perjanjian. Artinya didalam hal pengertian perjanjian sebagai bagian dari perikatan,
maka perikatan akan mempunyai arti sebagai hubungan hukum atau perbuatan hukum yang
mengikat antara dua orang atau lebih, yang salah satu pihak mempunyai kewajiban untuk
memenuhi prestasi tersebut. Bila salah satu pihak yang melakukan perikatan tersebut tidak
melaksanakan atau terlambat melaksanakan prestasi, pihak yang dirugikan akibat dari
perbuatan melawan hukum tersebut berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi atau
penggantian kerugian dalam bentuk biaya, ganti rugi dan bunga.

Uraian diatas memperlihatkan bahwa perikatan dapat meliputi dua arti, yaitu pada satu sisi
sebagai perjanjian yang memang konsekuensi hukumnya sangat tergantung pada pihak-pihak
yang terikat didalamnya, dan pada sisi lain merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi
hukum yang jelas. Sekalipun perjanjian sebagai suatu perikatan muncul bukan dari undang-
udang tetapi memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perikatan yang muncul dari undang-
undang, yaitu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang diikat didalamnya.

Anda mungkin juga menyukai