Anda di halaman 1dari 18

Penggunaan Sosial Media sebagai Media Pembelajaran Islam

Imam Malik, MA
Surya University
Imam.malik@suryauniversity.ac.id
maliklentera@yahoo.com

Yuni Chairani, M.Pd


Chairani.yuni@gmail.com

Perkembangan teknologi sekarang ini tidak menyisakan ruang untuk mereka


yang tidak ingin mengikuti, salah satu perkembangan teknologi adalah
inovasi dalam interaksi sosial yaitu media sosial. Indonesia menjadi salah satu
Negara dengan tingkat pemakai media sosial terbesar. Penyebaran ajaran
islam seharusnya mempertimbangkan perkembangan teknologi ini, adanya
media sosial menjadi sarana bagi para pendakwah islam untuk
memanfaatkan sebaik-baiknya. Penelitian ini akan mengkaji seberapa sering
generasi muda kali ini memanfaatkan sosial media sebagai media
pembelajaran islam, beberapa kajian akan diungkap melalui angket dan
kuiseioner yang diberikan pada 46 subjek penelitian. Subjek penelitian dalam
penelitian ini adalah mahasiswa di kota-kota besar di Indonesia dari berbagai
fakultas.
Kata kunci : media pembelajaran islam, sosial media

A. Latar Belakang
Di era globalisasi sekarang ini hampir setiap sisi kehidupan bergerak ke arah
digital. Baik itu bidang pendidikan, kesehatan, sosial termasuk bidang keagamaan.
Keuntungan teknologi yang menjadikan hidup manusia menjadi lebih praktis
menjadikan teknologi menjadi sarana yang dapat dipakai untuk mengembangkan
setiap bidang keilmuan, tak terkecuali dalam bidang perkembangan dakwah islam.
Salah satu teknologi yang berkembang pesat adalah teknologi mengenai
media sosial, media dimana manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya melalui
teknologi yang mereka genggam sehari-hari. Media sosial di Indonesia sangat
digandrungi oleh berbagai kalangan dan usia. Indonesia menjadi pemakai facebook
terbanyak ke 4 di dunia, menurut data yang dilansir oleh situs www.portal-
indutri.com, pengguna facebook di Indonesia mencapai 48,8 juta, sebuah angka yang
besar.1

1
http://industri.bisnis.com/read/20140415/105/219583/10-negara-dengan-pengguna-facebook-terbesar-di-
dunia-indonesia-peringkat-berapa
Dari fakta ini, jika kita mngamati lalu-lintas informasi melalui timeline, topik
mengenai agama islam jelas tidak terlepas dari topik perbincangan di media sosial,
muncul beberapa akun berbau islam yang mengatasnamakan pribadi, golongan
ataupun institusi resmi. Setiap perkembangan zaman akan selalu mempunyai sisi
positif dan dampak negatifnya. Begitu pula dengan perkembangan media sosial
sebagai lahan dakwah islam.
Selain berimplikasi positif, pun implikasi negatifnya juga ada, tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa akun terselubung yang disadari atau tidak justru kontra
produktif dengan perjuangan Islam. Akun-akun ini menulis dan meneruskan berita-
berita yang masih diragukan faliditasnya, bahka sebagian aku terkesan melakukan
fitnah, menebar permusuhan terhadap yang lain, juga penyebaran kebencian
terhadap golongan di luar dirinya, meskipun kadang-kadang justru masih sesama
islam. Padahal, jika kita kembali merujuk pada tujuan awal penyebaran islam atau
gerakan dakwah islam, efek negatif tersebut justru menjauhkan dakwah dari tujuan
asalnya.
Pada mulanya, penyebaran atau dakwah islam ditujukan untuk mengubah
attitude atau perilaku manusia, dari yang tidak beradab menjadi beradab, dari yang
tidak manusiawi menjadi manusiawi, dari yang nista menjadi terpuji (akhlaq al
karima). Hal ini merujuk pada salah satu hadist Nabi yang mengatakan bahwa beliau
diutus ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak manusia. Intinya, tujuan utama
dari penyebaran Islam sebetulnya untuk membentuk pribadi yang baik, yang
menyenangkan dan bermanfaat bagi orang lain.
Namun, seriring dengan berjalannya waktu, penyebaran atau dakwah islam
mulai bergeser dan memiliki tujuan-tujuan lain di luar tujuan pembentukan pribadi-
pribadi yang berakhlak baik atau kesalehan personal, motif-motif lain seperti motif
politik, motif ekonomi, dan bahkan menyuburkan kembali politik identitas. Bahkan,
tidak sedikit dalam upaya penyebaran islam ini, semangat utamanya adalah
eksklusivisme, yakni menganggap yang lain diluar kelompoknya adalah musuh dan
harus diperangi. Fenomena ini semakin menunjukkan bahwa semangat awal
penyebaran islam untuk membentuk dan memperbaiki perilaku manusia, sudah
bergeser jauh dan terjerembab dalam kubangan eksklusifisme dan berorientasi pada
motif profan.
Secara garis besar, sebaran demografi juga mempengaruhi corak dan pola
beragama generasi muda islam, yang paling menonjol adalah dari kemampuan
mengakses terhadap sumber informasi, karakter tokoh agama di masing-masing
daerah, dan terakhir struktur sosial masyarakatnya. Pada bagian struktur sosial
masyarakat ini, secara sederhana bermula dari perbedaan struktur pembagian kerja
di daerah perkotaan atau urban dan struktur pembagian kerja di daerah rural atau
pedesaan. Pada wilayah rural, pembagian kerja ditentukan oleh jenis kelamin, strata
sosial atau faktor tradisional lain sedangkan di wilayah urban, pembagian kerja
ditentukan oleh kemampuan atau akses yang dimiliki, tidak terbatas pada jenis
kelamin atau faktor tradisional lain. Dari pembagian demografi seperti itu, ditambah
lagi dengan perbedaan akses informasi, maka kita bisa membedakan arah, pola,
corak,dan semangat keislamannya, diantaranya:

1. Wilayah rural dan semangat asketisisme


Pada wilayah ini, generasi muda Islam cenderung pada pembentukan sikap
asketisisme, hal ini dipengaruhi oleh sumber informasi mengenai islam yang
diperoleh dari guru-guru, dan tokoh agama disekitarnya yang berorientasi
kepada pembentukan pribadi muslim yang baik. Titik tekan asketisisme ini lebih
condong pada nilai-nilai jujur, sabar, dan bisa menerima setiap pemberian dari
tuhan, dalam istilah yang lain, bersyukur atas setiap pemberian tuhan. Dengan
kata lain, di wilayah rural, narasi kecil lebih mudah diterima ketimbang narasi
besar.
Pada wilayah ini, ide-ide mengenai Negara islam, syariatisasi islam, khilafah
dan kepemimpnan islam bukan merupakan isu-isu yang seksi dan mudah
diterima. Selain karena keterbatasan informasi, berbagai macam narasi besar
seperti negara islam merupakan ide yang kerapkali ditampik.

2. Wilayah urban dan semangat Politisasi Islam


Berbeda dengan di wilayah rural, di wilayah urban ini, narasi-narasi besar
seperti isu Negara islam, syariatisasi, dan isu-isu mengenai kepentingan politik
islam merupakan isu yang amat digandrungi. Pada wilayah ini, selain karena
mudahnya mengakses informasi mengenai isu-isu internasional, pun di saat yang
sama, lalu-lintas ide di kawasan urban lebih mudah diakses. Implikasinya,
berbagai narasi besar seperti isu-isu terorisme internasional, Negara islam,
syariatisasi lebih banyak berkembang. Sedangkan pada sisi yang lain, isu-isu yang
bersifat narasi kecil, tidak terlalu berkembang.
Indonesia, sebagai Negara dengan populasi penduduk penganut ajaran islam
terbesar di dunia, tentu saja tidak terpisah dari pengaruh dan isu-isu
internasional yang berkembang di dunia muslim, beberapa diantaranya bisa kita
klasifikasi ke dalam 4 isu besar, diantaranya:
1. Isu Palestina
isu ini tidak hanya populer di Indonesia, di Negara berpenduduk muslim lainnya,
isu ini juga menjadi isu abadi. Perbedaannya, di Indonesia, isu ini kemudian
menjadi komoditas politik beberapa partai politik tertentu yang berafiliasi
dengan gerakan ikhwanul muslimin di timur-tengah.
2. Politik Identitas
Isu mengenai politik identitas ini memang bukan isu yang baru, perbedaan suku,
ras, dan agama ini, dalam beberapa momen tertentu kerapkali menjadi masalah
serius, salah satu contohnya adalah kasus penolakan beberapa ormas islam
terhadap Ahok atau Basuki Tjahaya Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Alasan beberapa ormas Islam ini karena Ahok beretnis tionghoa dan Kristen,
dimana kedua identitas ini merupakan identitas minoritas di Jakarta.
3. Liberalisme
Isu liberalisme ini pertama kali dikemukakan ke ruang publik oleh sekelompok
intelektual muda muslim yang progresif. Digawangi oleh Ulil Abshar-Abdalla,
jaringan yang berawal dari grup diskusi di milis ini kemudian berkembang
menjadi Jaringan Islam Liberal (JIL), beberapa isu sensitif dalam islam seperti
soal teologi, dikritisi oleh kelompok ini. Hal ini menimbulkan reaksi yang cukup
ekstrim dari kalangan yang bertolak belakang. Isu liberalisme ini hingga kini
masih menjadi isu hangat di Indonesia.
4. Purifikasi
Isu purifikasi atau pemurnian dalam islam ini sebetulnya sudah lama masuk ke
Indonesia, isu ini berasal dari pemahaman dan pemikiran islam yang bermazhab
Wahabi di Saudi Arabia. Isu purifikasi ini, selain bertujuan pemurnian ajaran
islam, juga bertujuan untuk penyebaran ajaran Wahabi. Hingga kini, isu purifikasi
ini masih menjadi perbincangan serius di Indonesia.

Dari paparan di atas, maka peneliti akan membuat sebuah kajian tentang
“Penggunaan Sosial Media sebagai Media Pembelajaran Islam”

B. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini akan menjawab pertanyaan
1. Bagaimana frekuensi penggunan sosial media sebagai media pembelajaran islam
di kalangan generasi muda?
2. Bagaimana persepsi generasi muda mengenai pemakaian sosial media sebagai
media dakwah islam?
3. Bagaimana bentuk dakwah yang sebaiknya dilakukan melalui media sosial?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengkaji bagaimana frekuensi penggunan sosial media sebagai media
pembelajaran islam di kalangan generasi muda?
2. Mengkaji bagaimana persepsi generasi muda mengenai pemakaian sosial media
sebagai media dakwah islam?
3. Mengkaji bagaimana bentuk dakwah yang sebaiknya dilakukan melalui media
sosial?

D. Manfaat Penelitian
Setelah data dari penelitian ini dikumpulkan dan dianalisis, hasilnya dapat digunakan
sebagai rujukan bagi para praktisi teknologi maupun para penggiat dakwah islam
atau aktifis dialog antar-agama untuk membuat inovasi dalam hal pembelajaran islam
atau pembelajaran dialog antar agama bagi generasi muda.

E. Tinjauan Pustaka

Perkembangan Dakwah Islam

Informasi mengenai bagaimana pola dan penyebaran Islam di Nusantara (kini


Indonesia), hingga kini masih menjadi topik perdebatan oleh sebagian besar kalangan
akademisi. Hal ini disebabkan oleh langkanya sumber atau catatan sejarah yang
cukup memadai dalam upaya menjelaskan bagaimana pola-pola penyebaran islam
baik sejak awal masuknya ke Indonesia, maupun dalam konteks penyebaran islam
yang paling mutakhir.
Dari sekian banyak teori yang mencoba menjelasakan bagaimana masuk dan
menyebarnya islam di Indonesia, setidaknya ada 3 arus besar pemikiran,
diantaranya: Pertama, penyebaran islam di Indonesia dilakukan oleh para pedagang
yang berasal dari Gujarat, India. Kedua, penyebaran islam di Indonesia dilakukan oleh
para utusan dari kekhalifahan islam di Jazirah Arab, dalam beberapa sumber
disebutkan bahwa penyebaran atau ekspansi dakwah besar-besaran ke asia tenggara
terjadi pada kekhalifahan ke 3 Islam, yakni kekhalifahan Utsman Ibn Affan (644-656),
sekitar abad ke IX. Ketiga, penyebaran islam di Indonesia dilakukan oleh para
pedagang dan utusan dari negeri China, yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho,
pada abad ke X.2
Jika ditilik dari studi literatur atau sisi kajian pustaka, ada 3 sumber informasi
dari buku-buku yang selalu menjadi rujukan utama dalam menjelaskan bagaimana
penyebaran islam di Indonesia, diantaranya: Pertama, buku Hikayat Raja-Raja Pasai,
naskah aslinya berbahasa melayu, kemudian disalin ke dalam bahasa jawa di Demak
pada tahun 1814. Buku ini menceritakan bagaimana masuknya islam ke tanah
Sumatera, selain berisi tentang cerita raja-raja di sumatera, buku ini juga berisi
tentang ramalan nabi Muhammad bahwa akan ada sebuah kota besar di timur
bernama samudera, yang akan menghasilkan banyak orang suci.
Kedua, buku Sejarah Melayu, buku ini Ditulis pada tahun 1021 Hijriah atau
tahun 1612 Masehi, buku ini berisi sebuah kisah masuk islamnya Raja Malaka. Salah
satu kisah dari sekian banyak kisahnya disini, disebutkan bahwa seorang ulama dari
tanah Arab bernama Sayid Abdul Aziz tiba di Malaka dan melakukan sembahyang di
tepi pantai, dari kejadian itulah, kemudian Raja Malaka memutuskan memeluk Islam.

2
RIcklefs.M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta, Penerbit Serambi, 2008, hal 3-26.
Ketiga, buku Babad Tanah Jawi, dalam buku ini disebutkan berbagai informasi
mengenai masuknya Islam di tanah jawa pada abad ke XVII. Naskah ini mengisahkan
pengislaman pertama orang-orang jawa pada kegiatan Sembilan Wali atau lebih
dikenal dengan sebutan “Wali Songo” , dalam pengertian yang lain, wali songo berarti
“Sembilan Orang Suci”. Kesembilan wali ini adalah: Sunan Ampel atau Raden Rahmat,
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, Sunan Bonang atau Maulana Makhdum
Ibrahim, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Muria atau
Raden Umar Said, dan Sunan Gunug Djati atau Syarif Hidayatullah.3
Dari beberapa data dan informasi diatas, kita bisa simpulkan bahwa pola
penyebaran islam awal di Indonesia memiliki 3 jenis pola umum, diantaranya:
Pertama, relasi ekonomi. Dalam hal ini dicontohkan dalam interaksi hubungan jual-
beli dan perniagaan, kemudian terjadi kohesi sosial dan penyebaran agama islam.
Kedua, relasi pernikahan. Dalam pola yang kedua ini, pada mulanya interaksi sosial
hanya berlangsung dalam hubungan jual-beli dan faktor ekonomi saja, kemudian
lambat laun berkembang ke hubungan pernikahan dan penyebaran agama islam.
Ketiga, setelah melakukan perdagangan dan pernikahan, langkah selanjutnya
biasanya melakukan okupasi atau pendudukan kerajaan-kerajaan lokal, yakni dengan
mengislamkan rajanya, lalu menjadikan islam sebagai agama resmi kerajaan.
Pada perkembangan berikutnya, pola penyebaran islam di Indonesia
mempunyai beberapa varian, diantaranya:
1. Pesantren
Setelah pola-pola masuknya islam di Indonesia kita ketahui, maka objek
berikutnya yang penting diketahui adalah media pembelajaran islam. Salah satu
badan atau institusi yang berperan besar dalam penyebaran islam adalah pondok
pesantren. Institusi ini, menurut beberapa sumber, mulai dikenal sejak era maulana
malik Ibrahim atau sunan ampel, di daerah kembang kuning, Surabaya.
Perkembangan berikutnya, institusi ini kemudian meluas hingga ke seluruh
pelosok negeri, beberapa pondok pesantren pelopor pasca era penyebaran islam ini
adalah pondok pesantren Darussalam Gontor Ponorogo, Pondok Pesantren
Tebuireng Jombang, Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pondok Pesantren Lirboyo
Kediri, Pondok Pesantren APIK Kaliwungu Kendal, Pondok Peantren Babakan
Ciwaringin Cirebon, Pondok Pesantren Buntet Pesantren Cirebon, Pondok Pesantren
Cipasung Tasikmalaya, dan Pondok Pesantren Manonjaya Tasikmalaya. Dari
beberapa pesantren inilah kemudian berkembang pondok pesantren lainnya yang
dirintis oleh murid-murid atau santri-santri alumni dari masing-masing pesantren
induk tadi.
Metode yang diajarkan di pesantren merupakan metode Boarding School atau
sistem asrama yang menginap dan diberikan pendidikan 24 jam. Perkembangannya

3
Ibid, halaman 27.
kemudian, pesantren secara garis besar dibagi lagi menjadi 2 kelompok: pertama,
pesantren tradisional/salaf, pada pesantren tradisional ini biasanya sistem
pendidikan belum terlalu solid, masih mengandalkan dan tergantung pada figure
pimpinannya, adapun kurikulum yang digunakan biasanya menggunakan sumber-
sumber atau buku-buku klasik khazanah peradaban islam abad ke 17 ketika
peradaban islam berpusat di Baghdad, Iraq dan dipimpin oleh khalifah Al-Ma’mun
dan HArun Al-Rasyid, kurikulum di pesantren tradisional lebih menekankan pada
kemampuan Tasawuf/kesalehan individu dengan tujuan “taqarrub” atau
mendekatkan diri kepada Tuhan, para lulusannya biasanya dipersiapkan untuk
kembali ke kampong halaman dan menjadi penjaga stabilitas struktur sosial
keagamaan atau pengaman sosial di daerahnya masing-masing. Kedua, pesantren
modern, pada pesantren modern, kurikulum yang digunakan biasanya merupakan
kombinasi dari khazanah klasik peradaban islam dengan interpretasi penulisnya,
disamping itu, pesantren modern juga mengajarkan disiplin ilmu lainnya di luar
disiplin ilmu agama.

2. Tabligh Akbar
Media penyebaran islam yang lain, selain melalui institusi pondok pesantren yang
mengajarkan agama dengan sistem asrama, juga melalui ceramah umum atau tabligh
akbar. Metode ini sebenarnya sudah diterapkan sejak masa-masa awal islam masuk
ke Indonesia, tapi metode ino menjadi sangat popular pada kurun waktu sekitar
1970an hingga tahun 1990an. Pada era ini, muncul mubalig-mubalig legendaris
seperti K.H.Zaenuddin MZ, H.Rhoma Irama, dan K.H.Nur Iskandar SQ.
Konten atau isi dari ceramahnya berkisar seputar pentingnya bersabar, menerima
apapun yang kita alami dan hadapi,serta diselingi humor dan kemampuan berorasi
yang memukau. Belakangan, metode seperti ini juga kerapkali berisi ceramah-
ceramah yang bermuatan kepentingan politis islam, baik dalam bentuk kampanye
sebuah partai politik tertentu, hal ini berbarengan dengan tren menguatnya gerakan
islam politik.

3. Sekolah Formal
Setelah kita membahas mengenai penyebaran islam di sektor informal seperti
pesantren dan tabligh akbar, media lain yang kemudian menjadi sarana bagi
penyebaran islam adalah sekolah-sekolah umum seperti SLTP dan SLTA. Pada
tingkatan ini, penyebaran islam melalui dua jalur, diantaranya: Pertama, melalui mata
pelajaran Agama Islam. Dalam hal ini kurikulum pengajaran islam sudah disusun dan
dirancang oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan. Kedua, melalui lembaga
ekstra kurikuler intra sekolah, yakni Rohis. Dalam hal ini penyebaran dan pengajaran
agama islam tidak menggunakan kurikulum yang standar dan disusun oleh
kementerian terkait, tetapi disusun berdasarkan pengetahuan mentor masing-
masing. Biasanya, mentornya sendiri merupakan alumni dari sekolah tersebut, atau
kakak kelas yang sudah duduk di bangku universitas. Pada jenis yang kedua ini,
menurut survey yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP)
pada tahun 2011, kegiatan Rohis yang tidak memiliki standar dan kurikulum tertentu
justru menyumbang besar terhadap fenomena radikalisasi di kalangan sekolah.4
4. Media Cetak

Ketika arus dan tuntutan gerakan politik untuk reformasi di Indonesia pada tahun
1998 bergemuruh, implikasi berikutnya adalah menguatnya tuntutan kebebasan
pers, salah satunya adalah media cetak. Dalam situasi seperti ini, kebangkitan
islamisme juga beririsan dan berbarengan dengan semangat reformasi. Setelah
reformasi 1998, media-media cetak islam mulai bermunculan, dari mulai yang
berbau mistik seperti majalah Sabili dan Hidayah, juga majalah-majalah yang
disponsori oleh kelompok politik tertentu seperti Hizbut Tahrir Indonesia seperti
majalah Khilafah, atau majalah Syir’ah terbitan anak-anak muda NU.

Media ini lebih pada pertempuran gagasan di ranah publik, perebutan pembaca
dan pasar masyarakat Islam ini juga tidak berhenti di situ saja. Lebih dari itu, dunia
mode pun mulai melirik dan memanfaatkan gejala neo-islamisme setelah orde baru
ini dengan tren Hijab dan kerudung sekaligus busana muslim, baik untuk pasar laki-
laki ataupun untuk pasar perempuan. Salah satu yang paling awal majalah Noor yang
disertai dengan promosi produk baju muslim hasil desainer Itang Yunasz, dengan
merek dagang Preview.

5. Media Elektronik
Metode penyebaran islam berikutnya adalah melalui media elektronik, metode ini
baru populer di Indonesia sejak televisi swasta mulai memperoleh izin yang relatif
mudah pasca-Reformasi 1998. Menggeliatnya industri televisi ini ditandai dari
munculnya stasiun-stasiun televisi swasta seperti Metro TV, RCTI, Indosiar, SCTV,
Indosiar,TV One dan stasiun televisi swasta yang lain dalam kurun satu dasawarsa
terakhir ini.
Varian dari penyebaran islam melalui media elektronik ini cukup beragam,
diantaranya: Pertama, kuliah subuh, metode yang digunakan adalah tausiah atau
ceramah agama, beberapa tokoh yang menggunakan metode ini diantaranya;
Prof.Dr.Quraish Shihab, Prof.Dr.Nasarudin Umar, dan akademisi lainnya. Kedua,
dialog interaktif, biasanya penceramah membuka segmen Tanya jawab dan
membuka layanan curhat (baca:curahan hati), baik melalui sambungan telepon

4
Radicalization on Student (2011), Published By Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian
http://www.tempo.co/read/fokus/2011/04/26/1855/Separuh-Pelajar-Setuju-Aksi-Radikal-Berlabel-Agama
maupun langsung dengan pemirsa di studio, beberapa tokoh yang menggunakan
metode ini diantaranya ; Mamah Dedeh, Alm.Ustadz Jeffry Al-Bukhari, Aa Gym, ustadz
Solmed, dan beberapa tokoh yang lain. Ketiga, metode ensiklopedia, informasi
mengenai islam disampaikan melalui narasi dan disertai dengan gambar visual, salah
satu contohnya adalah acara Khazanah di Trans TV.

6. Sosial Media
Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan situs-situs
jejaring sosial, maka penyebaran islampun berkembang pesat hingga ke ranah sosial
media ini. Biasanya, ada dua situs jejaring sosial yang paling popular dan kemudian
digunakan sebagai media penyebaran islam, diantaranya: Pertama, Facebook. Situs
jejaring sosial yang didirikan oleh Mark Zuckerberg ini kerap dijadikan sebagai media
dakwah, misalnya beberapa fitur pembuatan group, salah satu yang paling popular
adalah grup diskusi “Belajar Islam” di grup ini, informasi mengenai islam cukup kaya
dengan beberapa narasumber yang kompeten. Kedua, Twitter. Situs jejaring sosial
yang satu ini juga menjadi salah satu situs yang kerap digunakan untuk penyebaran
islam. Ada dua jenis akun yang biasanya menjadi rujukan: (a) akun pribadi, seperti
misalnya akun @ShihabAlwi , @Haidar_Bagir dan akun personal lain, (b) akun
kelompok, seperti misalnya @FaktaAgama @Nasehat_Islam atau @Belajar_Islam.

F. Prosedur penelitian
1. Jenis dan langkah Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif dan akan paparkan secara deskriptif. Metode
pengambilan data menggunakan survey online menggunakan perangkat google
survey.
2. Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil 46 subjek dari beberapa kampus yang
berbeda di kota besar Indonesia. Pengambilan subjek dilakukan secara purposive
dengan mengambil mahasiswa yang dianggap dapat merepresentasikan generasi
mahasiswa di kota besar.

Tabel 1. Sebaran Subjek Penelitian


Daerah Asal Jumlah
Bandung 7
Jakarta 22
Pontianak 1
Serang 1
Salatiga 2
Boyolali 1
Malang 2
Jogjakarta 1
Palembang 1
Semarang 1
Tunisia 1
Daerah Lain 6
Total 46

Rentang usia responden adalah 18 sampai 24 tahun, responden merupakan


generasi muda yang masih terdaftar sebagai mahasiswa di universitas-universitas
masing-masing kota. Rasio responden menurut fakultasnya dapat dilihat dalam
tabel berikut:

Diagram 1. Rasio Responden per fakultas

5%

27% MIPA, Teknik, Ilkom

27%
Pendidikan, Psikologi

Sosial Politik, Ekonomi , Agama,


Hukum
Kesehatan

41%

3. Instrumen Penelitian
Data diambil dengan menggunakan angket yang berisi pertanyaan-
pertanyaan terbuka. Pemilihan jenis pertanyaan tersebut karena peneliti ingin
menggali pendapat subjek secara lebih mendalam. Penulisan instrument
penelitian menggunakan fasilitas google survey. Validasi yang digunakan untuk
instrument penelitian adalah validasi isi. Dalam penelitian ini dilakukan analisis
secara kualitatif terhadap seluruh jawaban setiap responden.

G. Temuan Penelitian
Instrumen penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah angket. Angket
berisi 11 pertanyaan dengan pilihan jawaban ya atau tidak, 3 pertanyaan terbuka dan
3 pertanyaan dengan 3 pilihan jawaban. Jenis pilihan pertanyaan disesuaikan dengan
jawaban yang akan diungkap dari responden. Pertanyaan dan persentasi hasil
jawaban responden adalah sebagai berikut:

Tabel. Pertanyaan dan hasil persentase jawaban responden

No Pertanyaan Ya % Tidak %
1 Apakah kamu aktif bersosial media? 44 95.7 2 4.3

2 Apakah kamu setiap hari memposting sesuatu 15 32.6 31 67.4


dalam akun sosial media mu?
3 Dilihat dari interaksi yang kamu lakukan apakah 34 73.9 12 26.1
kamu termasuk pengguna aktif atau pengguna
pasif?
4 Apakah kamu mengikuti akun-akun ustad / 27 58.7 19 41.3
tokoh agama atau akun lain berbau islam?
5 Apakah kamu memfollow mereka karena tau 24 52.2 22 47.8
latar belakang mereka?
6 Apakah kamu mengikuti isu tentang islam yang 38 82.6 8 17.4
terjadi di Indonesia melalui sosial media?
7 Saat kamu membaca berita tentang isu tersebut 38 82.6 8 17.4
apakah kamu mengecek sumber berita
tersebut?
8 Apakah kamu mengomentari atau 17 37.0 29 63.0
mengemukakan pendapatmu mengenai isu
tersebut?
9 Apakah kamu sering mem-posting status yang 13 28.3 33 71.7
berkaitan dengan islam?
10 Apakah kamu sering berdiskusi dengan teman- 15 32.6 31 67.4
temanmu tentang islam di sosial media?
11 Menurutmu, apakah dakwah dapat dilakukan 45 97.8 1 2.2
melalui sosial media?
Menurut hasil di atas 95.7 % responden aktif bersosial media, yang aktif
melakukan posting di dalam akun media sosial dan berinteraksi dengan sesama
pengguna (74%). Sebanyak 58.7% responden mengikuti isu tentang islam yang
terjadi di Indonesia melalui sosial media. Akun sosial media islam yang responden
follow sebanyak 52 akun. Contoh akun yang banyak diikuti oleh responden adalah:
@islamicfreedom, @QURANdanSUNNAH, @felixsiauw, @gadisberjilbabb,
@sabdarosul, @Yusuf_Mansur, @TeladanRasul, @quraishihab, @aagym.

52.2% responden mengatakan bahwa alasan mereka mengikuti aku tersebut


di atas karena mereka memang mengenal tokoh. Sebanyak 82,6% responden
mengatakan bahwa mereka selalu mengikuti isu tentang islam yang sedang
diperbincangkan dan jumlah yang sama menunjukan bahwa saat mereka mendengar
isu islam mereka selalu mencari kebenaran isu tersebut.

Jumlah yang sedikit ditemui saat peneliti menanyakan tentang keterlibatan


langsung mereka. Hanya 28.3% responden yang sering memposting status yang
berkaitan dengan islam dan hanya 32.6% saja responden yang sering berdiskusi
mengenai islam di sosial media. Seluruh responden memiliki akun sosial media yang
membedakan adalah banyak akun media sosial yang mereka miliki. Frekuensi akun
sosial media dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel. Frekuensi Jumlah Akun Media Sosial

20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1–3 4–6 >6

Dari keseluruhan responden, peneliti menanyakan tentang akun islam di media sosial
yang mereka ikuti, lebih dari 50% mengikuti paling tidak satu akun islam. Secara
lebih rinci dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel. Jumlah akun islam yang diikuti di media sosial


18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0 1–3 4–6 >6

Berikut ini adalah salah satu jawaban terbuka dari salah satu responden
mengenai hal di atas: “tidak mengikuti secara sengaja, namun karena ada di
Home/timeline saja”. Hal ini menunjukkan bahwa metode penyebaran islam di dunia
maya sudah sangat popular dan teknologi di dunia maya memungkinkan sesama
muslim berbagi informasi dengan cara yang mudah dan penyebaran informasi dari
satu akun media sosial dapat tersebar secara lebih cepat.
Pertanyaan selanjutnya adalah: “Menurutmu, apakah generasi muda
mempunyai ketertarikan untuk mengikuti akun dakwah?” Hasil dari responden
tampak dari diagram berikut:
Diagram. Ketertarikan responden mengikuti akun dakwah

18%
4%
setuju
kurang setuju
tidak setuju

78%
DarPada diagram di atas 78% setuju bahwa generasi muda sebenarnya
mempunyai ketertarikan untuk mengikuti akun dakwah. Pertanyaan selanjutnya
adalah: “Apakah penggunaan sosial media untuk dakwah islam akan berpengaruh
terhadap sikap generasi muda Indonesia?” Hasil dari responden tampak dari diagram
berikut:

Diagram. Dampak dakwah terhadap sikap generasi muda

15%
setuju
kurang setuju
26%
59% tidak setuju

Dari diagram di atas 59% setuju bahwa generasi muda sebenarnya


mempunyai ketertarikan untuk mengikuti akun dakwah. Pertanyaan selanjutnya
adalah: “Apakah menurutmu akun tersebut efektif untuk menyebarkan dakwah?” Hasil
dari responden tampak dari diagram berikut:
Diagram. Sosial media efektif untuk dakwah islam
4%
4% 7%

sangat setuju
setuju
kurang setuju
tidak setuju

85%

Dari diagram di atas 85% setuju bahwa generasi muda percaya bahwa sosial media
kan efektif untuk menjadi media dakwah. Setelah melakukan pengambilan data,
peneliti menemukan beberapa jawaban menari yang akan diulas secara lebih dalam.
Salah satu responden menyampaikan paparan: “Beberapa teman facebook
sering share isi dakwah dari ustad yang bersosial media. Menurut saya efektif karena
saya yang tidak mengikuti secara sengajapun akhirnya baca juga tanpa harus pergi ke
pengajian atau majlis-majlis dakwah.”. Hal ini menunjukkan bahwa metode
penyebaran islam di dunia maya, khususnya di situs jejaring sosial lebih
memungkinkan untuk diakses oleh umat muslim, terutama bagi mereka yang berusia
muda dan memiliki aktifitas yang padat,tetapi hal ini tidak berarti bahwa metode
dakwah konvensional yang dilakukan di tempat-tempat ibadah seperti masjida dan
mushola tidak lagi menarik.
Saat dilontarkan mengenai pertanyaan ketertarikan generasi muda mengikuti
pembelajaran islam melalui media sosial, salah satu jawaban responden adalah
sebagai berikut:v”Iya, karena dakwah disampaikan secara tidak langsung dan tanpa
paksaan sehingga mudah diterima masyarakat”. Salah satu kelebihan dari metode
pembelajaran islam di situs jejaring sosial mempunyai kelebihan tidak ada unsur
memaksa. hal ini menunjukkan bahwa stigma pemaksaan nilai, indoktrinasi, dan
penanaman dogmatism yang bersifat memaksa tidak terjadi di metode pembelajaran
islam melalui situs jejaring sosial.
Selanjutnya, kesadaran mengenai literasi muncul dari jawaban responden
berikut: “Dakwah bisa dilakukan tidak hanya melalui lisan secara langsung, tetapi juga
tulisan seperti tulisan di sosial media. Dengan peran sosial media, dakwah disampaikan
lebih segar dan tidak memaksakan, serta bisa dibaca sewaktu-waktu, kapanpun tidak
harus datang ke majelis seperti pengajian di masjid. Dakwah di sosial media seharusnya
dijalankan dengan membuat tulisan yang bermutu dan berkualitas dengan
menyertakan sumber-sumber yang akurat”. Temuan yang menarik dari responden
diatas menunjukkan bahwa animo generasi muda muslim yang menggunakan situs
jejaring sosial, dan mempunyai pendidikan lebih baik menginginkan agar
pembelajaran islam di media sosial lebih memperhatikan referensi, dan literasi yang
valid dan bisa dipertanggungjawabkan.
Dengan adanya kemudahan untuk mengakses dan membuat akun di media
sosial harus dibarengi dengan kepintaran literasi, yakni kejelian pengguna untuk
memilah informasi dan akun mana yang seharusnya diikuti dan diserap. Jawaban
salah satu responden mengenai hal ini adalah sebagai berikut: “Apabila akun tersebut
bisa di percaya dan dipertanggung jawabkan kenapa tidak”. Hal ini menunjukkan
bahwa pembelajaran islam melalui situs jejaring sosial juga perlu menyeleksi akun-
akun yang akan dijadikan sebagai rujukan, hal ini untuk menghindari akun-akun
anonim yang kadang-kadang justru hanya menyebarkan virus kebencian.
Adanya resiko penyalahgunaan akun oleh beberapa oknum yang memiliki niat
kurang baik pun harus disadari oleh pengguna media sosial, salah satu responden
mengatakan bahwa: “Generasi muda Indonesia cenderung mengamini apapun yang
dikatakan oleh pemuka agama yang ia percaya tanpa mempertanyakan dan bersikap
kritis akan hal itu”. Jawaban responden diatas menunjukkan bahwa kecenderungan
masyarakat muslim di Indonesia masih mempunyai ketergantungan terhadap
pemimpin agama. Oleh karena itu, para pemuka agama perlu menyesuaikan dengan
kondisi ini sehingga bisa menjadi sosok yang layak menjadi panutan.
Setiap agama sebenarnya berdasar kepada kebaikan dan kedamaian, salah
satu responden mengungkapkan jawaban : “Bagi sebagian generasi muda memiliki
ketertarikan namun saya sendiri lebih kepada kebutuhan akan spiritual. Tidak harus
akun dakwah dari agama Islam namun juga bisa dari agama lain selama itu membuat
saya menjadi pribadi yang baik”. Temuan ini menunjukkan bahwa generasi muda
muslim mempunyai kecenderungan untuk mencari sumber informasi mengenai
relijiusitas tidak terbatas pada agama islam saja. Lebih dari itu, generasi muda
muslim juga sudah mulai berfikir kosmopolit dan lebih terbuka untuk mempelajari
nilai-nilai kebaikan yang terdapat pada agama lain.
Pertanyaan terakhir yang diberikan pada responden adalah “Menurutmu,
bagaimana cara yang efektif dan cocok dengan generasi muda untuk melakukan
dakwah di sosial media?”. Jawaban yang ditemukan sangat beragam. Seluruh
responden mengatakan bahwa dakwah sebaiknya dilakukan dengan cara kreatif
seperti cerpen, video, Kultwit, Gambar, Komik, Meme, Komedi, Forum diskusi online.
Responden mengatakan bahwa sebaiknya kontek dakwah islam bersifat:
 Tidak menggurui
 Tidak terlalu kaku dan baku
 Menggunakan bahasa yang ringan
 Dihubungkan dengan kehidupan sehari hari dan isu yang sedang terjadi
 Mempertimbangkan sisi psikologi generasi muda
 Mementingkan aspek toleransi yakni tidak menyinggung agama lain
 Berisi motivasi dan ajakan pada nilai kebaikan

H. Kesimpulan dan Saran

Dari hasil temuan penelitian, disimpulkan beberapa hal berikut:

1. Seluruh responden memiliki lebih dari 1 akun media sosial dan lebih dari 50%
responden mengikuti akun islam.
2. 59% responden berpendapat bahwa generasi muda tertarik mengikuti akun
medial sosial tentang dakwah islam
3. 85% responden berpendapat bahwa penyebaran dakwah islam akan efektif
melalui sosial media
4. 78% responden berpendapat bahwa secara tidak langsung freuensi
penyebaran dakwah islam melalui sosial media secara rutin akan berdampak
pada sifat generasi muda.
5. Responden memberikan pendapat bahwa sebaiknya dakwah islam melalui
media sosial sebaiknya dikemas dalam konsep yang lebih kreatif seperti
cerpen, komik, gambar, video dan bentuk karya kreatif lainnya. Yang bersifat
sebagai berikut:
 Tidak menggurui
 Tidak terlalu kaku dan baku
 Menggunakan bahasa yang ringan
 Dihubungkan dengan kehidupan sehari hari dan isu yang sedang
terjadi
 Mempertimbangkan sisi psikologi generasi muda
 Mementingkan aspek tolaransi yakni tidak menyinggung agama lain
 Berisi motivasi dan ajakan pada nilai kebaikan
Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti memberikan saran sebagai
berikut:
1. Sosial media dipakai menjadi media dakwah secara lebih efektif dengan
membuat kemasan dakwah melalui karya kreatif seperti video , gambar,
animasi dan bentuk lainnya secara berkelanjutan.
2. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai persepsi generasi muda
setelah diberikan bentuk kreatif dakwah islam

Daftar Pustaka

Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Serambi: Jakarta.


Baso, Ahmad. 2005. Islam Pasca Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan
Lliberalisme. Mizan: Jakarta.

Rahardjo, M.Dawam. 2012. Kritik Nalar Islamisme dan Kebangkitan Islam. Freddom Institute:
Jakarta.

Madjid, Nurcholish. 1992. Islam: Doktrin dan Peradaban. Yayasan Wakaf Paramadina:
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai