Anda di halaman 1dari 5

1.

STREPTOMISIN

Streptomisin, suatu aminoglikosida, diperoleh dari Streptomyces griseus (1944).Streptomisin


merupakan antituberkulosis pertama yang secara klinik dinilai efektif. Namun seabgai obat
tunggal bukan obat yang ideal. Senyawa ini berkhasiat bakterisid terhadap banyak kuman
Gram-negatif dan Gram-positif. Termasuk M. tuberculosa dan beberapa M.atipis.
Streptomisin khusus aktif terhadap mycobacteria ekstraseluler yang sedang membelah aktif
dan pesat.

RESISTENSI. Pada beberapa pasien resistensi ini terjadi dalam satu bulan, setelah 4 bulan,
80%kuman tuberkulosis tidak sensitif lagi. Setengahnya tidak dapat dihambat dengan kadar
1000µg/ml. Bila kavitas tidak menutup atau sputum tidak menjadi streil dalam waktu 2-3
bulan,bakteri yang tertinggal telah resisten dan pengobatan tidak efektif lagi. Penggunaan
streptomisin bersama antituberkulosis lain menghambat terjadinya resistensi. Tetapi hal ini
tidak mutlak,pada pengobatan jangka lama dapat juga terjadi resistensi kuman terhadap kedua
obat itu.

Farmakokinetik. Setelah diserap dari tempat suntikan,hampir semua streptomisin berada


dalam plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk kedalam eritrosit. Streptomisin kemudian
menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Kira-kira sepertiga streptomisin yang berada dalam
plasma,terikat protein plasma. Streptomisin diekskresi melalui filtrasi glomerulus. Kira-kira
50-60% dosis streptomisin yang diberikan secara parenteral dieksresi dalam waktu 12 jam.
Masa paruh obat ini pada orang dewasa normal antara 2-3 jam, dan dapat sangat memanjang
pada gagal ginjal. Ototoksisitas lebih sering terjadi pada pasien yang fungsi ginjalnya
terganggu.

EFEK SAMPING. Umumnya streptomisin dapat diterima dengan baik. Kadang-kadang


terjadi sakit kepala sebentar dan malaise. Parastesi dimuka terutama disekitar mulut serta rasa
kesemutan ditangan tidak mempunyai arti klinik yang penting. Reaksi hipersensitivitas
biasanya terjadi dalam minggu-minggu pertama pengobatan. Streptomisin bersifat
neurotoksik pada saraf kranlian ke VIII, bila diberika dengan dosisi besar dan dalam jangka
waktu lama. Walaupun demikian beberapa pasien yang baru mendapatkan dosis total 10-12
gram dapat mengalami gangguan tersebut. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
audiometrik basal dan berkala pada mereka yang mendapatkan streptomisin. Seperti
aminoglikosida lainnya, obat ini juga bersifat nefrotoksik. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas
ini sangat tinggi kejadiannya pada kelompok usia diatas 65 tahun, oleh karena itu obat ini
tidak boleh diberikan pada kelompok usia tersebut. Efek samping lain ialah reaksi anafilaktik,
agranulositas,anemia aplastik, dan demam obat. Belum ada data tentang efek teratogenik,
tetapi pemberian obat pada trimester pertama kehamilan tidak dianjurkan. Selain itu dosis
total tidak boleh melebihi 20 gram dalam 5 bulan terakhir kehamilan untuk mencegah
ketulian pada bayi.

INTERAKSI. Interaksi dapat terjadi dengan obat penghambat neuromuskular berupa


potensial penghambat. Selain itu interaksi juga terjadi dengan obat lain yang juga bersifat
ototoksik (misalnya asal etakrinat dan furosemid) dan yang bersifat nefrotoksik
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Streptomisin terdapat dalm bentuk bubuk injeksi dalam vial
1 dan 5 gram. Dosisnya 20 mg/kg BB secara IM, maksimum 1 gram/hari selama 2 sampai 3
minggu. Kemudian frekuensi pemberian dikurangi menjadi 2-3 kali seminggu. Pasien dengan
fungsi ginjal normal dapat menerima paduan ini untuk beberapa bulan. Dosis harus dikurangi
untuk pasien usia lanjut,anak-anak, orang dewasa yang badannya kecil, dan pasien dengan
gangguan fungsi ginjal lanjut.

PENGARUH TERHADAP KEHAMILAN: Meningkatkan efek/toksisitas; peningkatan/


perpanjangan efek dengan senyawa depolarisasi dan nondepolarisasi neuromuscular
blocking. Penggunaan bersama dengan amfoterisin dan diuretic loop dapat meningkatkan
nefrotoksisitas. Terhadap ibu menyusui: Streptomisin terdistribusi ke dalam air susu ibu.

PERINGATAN: Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat vertigo,tinnitus,


hilang pendengaran, gangguan neuromuscular, atau kerusakan ginjal ; penyesuaian dosis pada
pasien dengan kerusakan ginjal;aminoglikosida terkait secara signifikan dengan nefrotoksik
atau ototoksik ; reaksi ototoksik proporsional dengan jumlah obat yang diberikan dan durasi
pengobatan; tinitus atau merupakan tanda dari kerusakan vestibular dan akan terjadi
kerusakan irreversibel bilateral ; kerusakan ginjal biasanya reversibel.

2. TETRASIKLIN
Tetrasiklin yang pertama ditemukan adalah klortetrasiklin kemudian ditemukan
oksitetrasiklin. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi juga
dapat diperoleh dari species Streptomyces lain. Demeklosiklin, doksisiklin dan minosiklin
juga termasuk antibiotik golongan tetrasiklin.
Farmakodinamik golongan tetrasiklin adalah menghambat sintesis protein bakteri pada
ribosomnya. Paling sedikit terjadi dua proses dalam masuknya antimikroba ke dalam ribosom
bakteri gram negatif yakni proses pertama yang disebut difusi pasif melalui kanal hidrofilik
dan proses kedua yakni sistem transport aktif. Setelah masuk maka antibiotik berikatan
dengan ribosom 30S dan menghalangi masuknya tRNA-asam amino pada lokasi asam amino.
Efek Antimikroba golongan tetrasiklin pada umumnya sama (sebab mekanismenya sama),
namun terdapat perbedaan kuantitatif dan aktivitas masing- masing derivat terhadap kuman
tertentu. Hanya mikroba yang cepat membelah yang dipengaruhi obat ini.

EFEK ANTIMIKROBA. Golongan tetrasiklin termasuk antibiotik yang terutama bersifat


bakteriostatik dan bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Spektrum
antimikroba Tetrasiklin memperlihatkan spektrum antibakteri luas yang meliputi kuman
gram-positif dan negatif, aerobik dan anaerobik. Selain aktif terhadap bakteri juga aktif
terhadap mikoplasma, riketsia, klamidia dan protozoa tertentu. Pada umunya tetrasiklin tidak
digunakan untuk pengobatan infeksi oleh Streptokokus karena lebih efektif dengan penisilin
G, eritromisin, sefalosporin; kecuali doksisiklin yang digunakan untuk pengobatan sinusitis
pada orang dewasa yang disebabkan oleh S. pneumoniae dan S. pyogenes. banyak strain S.
aureus yang resisten terhadap tetrasiklin. 19 Tetrasiklin dapat digunakan sebagai pengganti
penisilin dalam pengobatan infeksi batang gram-positif seperti B. anthracis, Erysipelas,
Clostridium tetani dan Listeria monocytogenes. Kebanyakan strain N. gonorrhoeae sensitif
terhadap tetrasiklin, tetapi N. gonorrhoeae penghasil penisilinase (PPNG) biasanya resisten
terhadap tetrasiklin. Efektivitas tetrasiklin tinggi pada infeksi bakteri batang gram-negatif
seperti Brucella, Francisella tularensis, Pseudomonas mallei, Pseudomonas pseudomallei,
Vibrio cholorae, Campylobacter fetus, Haemophyllus ducreyi, dan Calymmatobacterium
granulomatis, Yersinia pestis, Pasteurella multocida, Spirillum minor, Leptotrichia buccalis,
Bordetella pertusis, Acinetobacter dan Fusobacterium. Strain tertentu H. influenza diketahui
sensitif namun E. coli, klebsiella, enterobacter, Proteus indol positif dan Pseudomonas
umumnya resisten. Tetrasiklin merupakan obat yang sangat efektif untuk infeksi Mycoplasma
pneumoniae, Ureaplasma urealyticum, Chlamydia trachomatis, Chlamydia psittaci dan
berbagai riketsia. Selain itu juga aktif terhadap Borrelia recurrentis, Treponema pertenue,
Actinomyces israelii, dalam kadar tinggi aktif menghambat Entamoeba histolytica. Resistensi
tetrasiklin terhadap beberapa spesies kuman terutama Streptokokus beta hemolotikus, E. coli,
Pseudomonas aeruginosa, Str. pneumoniae, N. gonorrhoeae, Bacteroides, Shigella, dan S.
aureus. Resistensi terhadap satu jenis tetrasiklin biasanya disertai resistensi terhadap semua
tetrasiklin lainnya, kecuali minosiklin pada resistensi S.aureus dan doksisiklin pada resistensi
B. fragilis.

Farmakokinetik
ABSORBSI.tetrasiklin sekitar 30-80% tetrasiklin diserap dalam saluran cerna. Absorpsi
sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus. Adanya makanan dalam lambung
menghambat penyerapan. Absorpsi dihambat pada derajat tertentu oleh pH tinggi dan
pembentukan kelat yaitu kompleks tetrasiklin dengan suatu zat lain yang sukar diserap seperti
aluminium hidroksid, garam kalsium dan magnesium yang biasanya terdapat dalam antasida,
dan juga ferum. Tetrasiklin diberikan sebelum makan atau 2 jam sesudah makan.
DISTRIBUSI. Untuk distribusi dalam plasma, semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein
plasma dalam jumlah yang bervariasi. Dalam cairan cerebro spinal (CSS) kadar golongan
tetrasiklin hanya 10-20% kadar 20 dalam serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari
adanya meningitis. Penetrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh cukup baik.
Metabolisme dalam tubuh obat golongan tetrasiklin disimpan di hati, limpa dan sumsum
tulang serta di dentin dan email gigi yang belum bererupsi. Golongan tetrasiklin dapat
menembus sawar urin dan terdapat dalam ASI dalam kadar yang relatif tinggi. Dibandingkan
dengan tetrasiklin lainnya, doksisiklin dan minosiklin daya penetrasinya ke jaringan lebih
baik.
EKSKRESI. Golongan tetrasiklin di ekskresi melalui urin dengan filtrasi glomerolus dan
melalui empedu. Pemberiaan per oral kira-kira 20- 55% golongan tetrasiklin diekskresi
melalui urin. Golongan tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke dalam empedu mencapai
kadar 10 kali kadar dalam serum. Sebagian besar obat yang diekskresi ke dalam lumen usus
ini mengalami sirkulasi enterohepatik; maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk waktu
lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal
hati obat ini akan mengalami kumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap diekskresi
melalui tinja.

Efek samping penggunaan tetrasiklin yaitu :


1) Reaksi kepekaan: reaksi kulit yang mungkin timbul akibat pemberian golongan
tetrasiklin adalah erupsi mobiliformis, urtikaria, dan dermatitis eksfoliatif. Reaksi
yang lebih hebat adalah edema angioneurotik dan reaksi anafilaksis. Demam dan
eosinofilia dapat terjadi pada waktu terapi berlangsung. Sensitisasi silang antara
berbagai derivat tetrasiklin sering terjadi
2) Reaksi toksik dan iritatif: iritasi lambung paling sering terjadi pada pemberian
tetrasiklin per oral. Makin besar dosis yang diberikan, makin sering terjadi reaksi ini.
Keadaan ini dapat diatasi dengan mengurangi dosis untuk sementara waktu atau
memberikan golongan tetrasiklin bersama dengan makanan, tetapi jangan dengan
susu atau antasid yang mengandung alumunium, magnesium atau kalsium. Diare
seringkali timbul akibat iritasi dan harus dibedakan dengan diare akibat superinfeksi
staphylococcus sp. atau Clostridium difficile yang sangat berbahaya. Manifestasi
reaksi iritatif yang lain adalah terjadinya tromboflebitis pada pemberian IV dan rasa
nyeri setempat bila golongan tetrasiklin disuntikkan IM tanpa anestetik lokal. Terapi
dalam waktu lama dapat menimbulkan kelainan darah tepi seperti leukositosis,
limfosit atipik, granulasi toksik pada granulosit dan trombositopenia.
3) Hepatotoksik dapat terjadi pada pemberian golongan tetrasiklin dosis tinggi (lebih
dari 2 gram sehari) dan paling sering terjadi setelah pemberian parenteral. Sifat
hepatotoksik oksitetrasiklin dan tetrasiklin lemah dibandingkan dengan tetrasiklin
lainnya. Wanita hamil atau masa nifas dengan pielonefritis atau gangguan fungsi
ginjal lain cenderung menderita kerusakan hati akibat pemberian golongan
tetrasiklin. Karena itu tetrasiklin jangan diberikan pada wanita hamil kecuali
bila tidak ada terapi pilihan lain. Kecuali doksisiklin, golongan tetrasiklin bersifat
kumulatif pada tubuh, karena itu dikontraindikasikan pada gagal ginjal. Efek
samping yang paling sering timbul biasanya berupa azotemia, hiperfosfatemia dan
penurunan berat badan.
4) Efek samping akibat perubahan biologik: Seperti antibiotik lain yang berspektrum
luas, pemberian golongan tetrasiklin kadang-kadang diikuti oleh terjadinya
superinfeksi oleh kuman resisten dan jamur. Superinfeksi kandida biasanya terjadi
dalam rongga mulut, faring, bahkan kadangkadang menyebabkan infeksi sistemik.
Faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya superinfeksi ini adalah diabetes
melitus, leukimia, lupus eritematosus diseminata, daya tahan tubuh yang lemah dan
pasien yang mendapat terapi kortikosteroid dalam waktu lama
Sediaan dan Posologi. Untuk pemberian oral tetrasiklin tersedia dalam bentuk kapsul
dan tablet. Untuk pemberian parenteral tersedia dalam bentuk larutan obat suntik
(oksitetrasiklin) atau bubuk yang harus dilarutkan lebih dulu (tetrasiklin HCL, tigesiklin,
doksisiklin, minosiklin). Posologi golongan tetrasiklin dapat dilihat pada tabel berikut.

Interaksi tetrasiklin Tetrasiklin membentuk kompleks tak larut dengan sediaan besi,
aluminium, magnesium, dan kalsium, sehingga resorpsinya dari usus gagal. Oleh karena
itu, tetrasiklin tidak boleh diminum bersamaan dengan makanan (khususnya susu) atau
antasida

Anda mungkin juga menyukai