Disusun Oleh:
Nureka Yuliani L2J008050
(Follow the Odor and CO2: Flight Patterns Reveal How Mosquitoes Find Hosts to
Transmit Deadly Diseases)
Hasil dari studi yang dilakukan oleh Ring Carde, seorang professor
entimologi di Universitas California (University of California), Riverside, dan
Teun Dekker, mahasiswa yang telah lulus dari laboratorium Carde dan sekarang
menjadi asisten profesor di Universitas Swedia bidang Penelitian Agricultural
(Swedish University of Agricultural Research), memberi petunjuk kepada
ilmuwan bagaiman bau dapat dipakai sebagai jebakan guna menangkap nyamuk
ini.
ScienceDaily (Sep. 30, 2011) — The carbon dioxide we exhale and the
odors our skins emanate serve as crucial cues to female mosquitoes on the hunt
for human hosts to bite and spread diseases such as malaria, dengue and yellow
fever.
Yellow fever is a viral disease that causes 30,000 deaths worldwide each
year. Dengue, another viral disease, infects 50 to 100 million people worldwide a
year, leading to half a million hospitalizations, and 12,500,000 deaths.
In the lab, the researchers released female yellow fever mosquitoes into a
wind tunnel they built, and filmed their flight paths. They found that:
Mosquitoes head upwind only briefly when they encounter just a whiff of
carbon dioxide but proceed continuously upwind when the carbon dioxide
plume is turbulent, fluctuating in concentration and mimicking the
presence of a live host.
Mosquitoes' orientation to human skin odor, in contrast, is optimal when
the plume of skin odor is broad and unvarying in its intensity, as would
occur when a mosquito closes in on a potential host.
"Carbon dioxide induces a faster and more direct upwind orientation than
skin odor," said Cardé, who holds the Alfred M. Boyce Chair in Entomology.
"Our experiments show that the response of yellow fever mosquitoes to skin odor
requires an exposure longer than that of carbon dioxide to induce upwind flight."
Dekker and Cardé also report that the dynamics -- response time, duration
and speed -- of carbon dioxide-induced upwind surging were very similar across a
wide range of carbon dioxide concentrations, from 100 to 0.05 percent (barely
above atmospheric levels).
The research project was supported by grants to Cardé from the University
of California Systemwide Mosquito Research Program and the Office of Naval
Research -- DARPA Plume Tracing Program; to Dekker, the research paper's first
author, from Insect Chemical Ecology, Ethology and Evolution (ICE3) Linnaeus
and the Swedish Research Council FORMAS.
Bau Tubuh, Rahasia Dibalik Gigitan Nyamuk
Peneliti kimia, Ulrich Bernier, dari U.S Agriculture, tahun 1990-an sudah
memfokuskan studinya untuk mencari senyawa ajaib yang disukai oleh nyamuk
itu. Risetnya menunjukkan nyamuk tertarik menggigit akibat campuran bahan
kimia yang keluar bersama karbon dioksida dan asam laktat yang dilepaskan kulit
sewaktu terjadi respirasi. Ini diperkuat bukti, pada orang yang sedang aktif atau
stress, sehingga respirasi kulit akan lebih besar, pada saat itu nyamuk lebih ramai
menyerangnya, dibanding orang yang pasif.
Riset Ulrich Bernie ini kemudian menjadi dasar riset selanjutnya untuk
menemukan ramuan senyawa kimia yang bisa secara efektif bisa menghalau
gigitan nyamuk. Riset ini penting, karena gigitan nyamuk tak hanya
menjengkelkan, tapi juga banyak yang berujung pada kematian. Data
menunjukkan sekitar 500 juta gigitan nyamuk malaria, Anopheles sp., terjadi di
seluruh dunia setiap tahun. Dan lebih dari satu juta orang per tahun, tewas akibat
serangan nyamuk ini. Nyamuk juga menjadi vektor penyebaran virus Nile West
yang menyebabkan penyakit demam berdarah.
Selama ini, obat anti nyamuk dalam bentuk ‘lotion’ menggunakan DEET
(N-Diethyl-meta-toluamide) sebagai pestisida. Pestisida ini merupakan senyawa
kimia yang dikembangkan militer Amerika Serikat semasa terlibat dalam berbagai
zona perang di medan tropis 1946, dalam Perang Dunia II. Dalam bentuk ‘lotion’
zat ini digunakan tentara Amerika untuk menghindari gigitan nyamuk di medan
perang. Baru pada tahun 1957, senyawa ini diperbolehkan digunakan untuk
kepentingan sipil. Namun riset menunjukkan bahwa pestisida ini rawan
menyebabkan penggunanya terserang penyakit kanker atau terserang Sindrom
Perang Teluk. Ini senyawa kimia kuat, yang bahkan bisa menghancurkan plastik.
Dinas Keamanan dan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat, mewanti-wanti
bahwa penggunaan zat ini harus dalam komposisi yang terkontrol ketat, agar
aman bagi penggunanya.
Karena pestisida ini tidak sepenuhnya aman bagi tubuh, membuat para
peneliti mencari senyawa kimia efektif yang bisa mengusir nyamuk dengan
cara manawarkan bau yang tak disukai nyamuk. Untuk menemukannya, para
peneliti Rothamsted, melakukan riset dengan cara; dua grup sukarelawan manusia
yang disukai nyamuk dan yang tidak. Kemudian pada masing-masing orang
diminta untuk memakau baju dari kertas foil (kertas aluminium) selama dua jam,
untuk menyerap dan mengumpulkan bau tubuhnya. Dengan teknik Kromatografi,
para peneliti kemudian menganalisis kandungan kimiawinya. Hasil temuan
senyawa kimia kemudian dibuat lagi, dan diuji ulang untuk melihat bagaimana
nyamuk menanggapi. Untuk mengetahui seberapa kuat impuls dari nyamuk
terhadap setiap senyawa kimia, diletakkan microeletroda halus pada materi yang
akan dihinggapi nyamuk, sehingga menghasilkan impuls-impuls listrik yang bisa
diukur, ketika nyamuk menggigit materi berbau senyawa kimia itu.
Dengan hasil penelitian ini, menjadi semakin kuat tesis yang mengatakan
bahwa bau menjadi penentu nyamuk berminat menghinggapi seseorang atau tidak.
Nyamuk biasanya menggigit untuk menghisap darah, dimana kandungan protein
dalam darah penting bagi produksi telur nyamuk betina.
Dari penelitian ini, secara praktis, kalau Anda rajin mandi, sehingga bau
tubuh Anda netral, tampaknya bisa menjadi kiat jitu untuk menghindari gigitan
nyamuk.