Anda di halaman 1dari 9

Tugas Mata Kuliah

Pengendalian Bising dan Bau

Mengikuti Bau Tubuh dan CO2: Pola Terbang (Nyamuk) Mengungkap


Bagaimana Nyamuk Menemukan Sasaran Gigitan Guna Menularkan
Penyakit Mematikan
(Follow the Odor and CO2: Flight Patterns Reveal How Mosquitoes Find Hosts
to Transmit Deadly Diseases)

Disusun Oleh:
Nureka Yuliani L2J008050

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2011
Mengikuti Bau Tubuh dan CO2: Pola Terbang (Nyamuk) Mengungkap
Bagaimana Nyamuk Menemukan Sasaran Gigitan Guna Menularkan
Penyakit Mematikan

(Follow the Odor and CO2: Flight Patterns Reveal How Mosquitoes Find Hosts to
Transmit Deadly Diseases)

Dua entomologis dari Universitas California (University of California),


Riverside mempublikasikan penelitian yang mempelajari bagaimana nyamuk
betina Aedes aegepty – yang menularkan penyakit kuning dan demam berdarah
dengue -- merespon terhadap karbon dioksida dan bau tubuh manusia.

Peneliti melaporkan pada 15 Oktober pada Jurnal Percobaan Biologi


(Journal of Experimental Biology) bahwa hembusan karbondioksida menarik
minat nyamuk ini yang kemudian terproses dan nyamuk akan mengikuti bau
tubuh yang khas, tersebut yang kemudian secepatnya mendarat pada manusia
yang akan dijadikan obyek gigitan.

Hasil dari studi yang dilakukan oleh Ring Carde, seorang professor
entimologi di Universitas California (University of California), Riverside, dan
Teun Dekker, mahasiswa yang telah lulus dari laboratorium Carde dan sekarang
menjadi asisten profesor di Universitas Swedia bidang Penelitian Agricultural
(Swedish University of Agricultural Research), memberi petunjuk kepada
ilmuwan bagaiman bau dapat dipakai sebagai jebakan guna menangkap nyamuk
ini.

Penyakit kuning adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang


menyebabkan 30.000 kematian diseluruh penjuru dunia setiap tahunnya. Demam
berdarah dengue, penyakit lainnya yang disebabkan oleh virus, menginfeksi 50
hingga 100 juta manusia diseluruh penjuru dunia per tahunnya, membuat setengah
juta manusia masuk rumah sakit, dan 12.500.000 jiwa meninggal.
Dalam laboratorium, peneliti melepas nyamuk betina untuk masuk
kedalam terowongan yang telah mereka buat, dan memfilmkan pola terbang
nyamuk tersebut. Mereka menemukan bahwa:

 Kepala nyamuk bergerak melawan arah angin sesaat saat mereka


menemukan bau karbon dioksida namun diproses secara terus menerus
dengan melawan arah angin saat aliran karbon dioksida bergerak turbulen
dan konsentrasi fluktuatif
 Orientasi nyamuk terhadap bau kulit manusia adalah berbanding terbalik.
Orientasi optimal saat bau kulit tidak berubah ubah intensitasnya, seperti
yang terjadi saat nyamuk menetapkan sumber makanannya pada sasaran
yang telah ditetapkan

“Karbon dioksida mempengaruhi secara cepat dan dengan orientasi


berlawanan arah secara langsung terhadap bau kulit,” kata Carde, yang memegang
kursi Alfred M. Boyce di Entomology. “Penelitian kami menunjukkan bahwa
respon dari nyamuk penyakit kuning terhadap bau kulit membutuhkan
pencahayaan yang lebih kuat daripada karbon dioksida untuk mempertahankan
terbang dengan berlawanan arah.”

Dekker dan Carde juga melaporkan bahwa dinamik – waktu respon,


durasi, dan kecepatan dari karbon dioksida mempengaruhi gelombang yang
berlawanan arah yang sama sepanjang rentang konsentrasi karbon dioksida, dari
100 hingga 0,05 persen (sedikit diatas level atmosfer).

Reseptor karbon dioksida pada nyamuk memberi peluang pada serangga


tersebut untuk merespon secara cepat bahkan pada jumlah gas yang paling
sedikitpun,” ujar Carde. “Karbon dioksida menarik minat nyamuk ini dan tidak
membutuhkan bantuan dari bau yang lainnya. Bagaimanapun juga, bau tubuh
manusia menjadi penting saat nyamuk berada didekat sumber bau tersebut
sehingga nyamuk tersebut mampu selektif dalam memilih obyek gigitan. Lebih
jauh terungkap bahwa tingkat sensitivitas nyamuk meningkat 5 -25 kali lipat
setelah mendeteksi bau karbon dioksida.”

Proyek penelitian didukung oleh bantuan Carde dari Program Penelitian


Nyamuk Sistem Lebar Universitas California (University of California
Systemwide Mosquito Research Program) dan Kantor Penelitian Naval (The
Office of Naval Research) – DARPA Plume Tracing Program; Dekker, penulis
penelitian paper pertama, dari Evolusi, Etologi, dan Ekologi Kimia Serangga
Linnaeus (Insect Chemical Ecology, Ethology, and Evolution Linnaeus), serta
Dewan Penelitian Swedia FORMAS (Swedish Research Council FORMAS).

(Diambil dari www.sciencedaily.com dengan publikasi tertanggal 30 September


2011)
Follow the Odor and CO2: Flight Patterns Reveal How Mosquitoes Find
Hosts to Transmit Deadly Diseases

ScienceDaily (Sep. 30, 2011) — The carbon dioxide we exhale and the
odors our skins emanate serve as crucial cues to female mosquitoes on the hunt
for human hosts to bite and spread diseases such as malaria, dengue and yellow
fever.

Two entomologists at the University of California, Riverside have now


performed experiments to study how female Aedes aegypti -- mosquitoes that
transmit yellow fever and dengue -- respond to plumes of carbon dioxide and
human odor.

The researchers report in the Oct. 15 issue of the Journal of Experimental


Biology that puffs of exhaled carbon dioxide first attract these mosquitoes, which
then proceed to follow a broad skin odor plume, eventually landing on a human
host.

The results from the study by Ring Cardé, a distinguished professor of


entomology at the University of California, Riverside, and Teun Dekker, formerly
a graduate student in Cardé's lab and now an assistant professor at the Swedish
University of Agricultural Research, could clue scientists on how odors can be
used in traps for intercepting and capturing host-seeking mosquitoes.

Yellow fever is a viral disease that causes 30,000 deaths worldwide each
year. Dengue, another viral disease, infects 50 to 100 million people worldwide a
year, leading to half a million hospitalizations, and 12,500,000 deaths.

In the lab, the researchers released female yellow fever mosquitoes into a
wind tunnel they built, and filmed their flight paths. They found that:

 Mosquitoes head upwind only briefly when they encounter just a whiff of
carbon dioxide but proceed continuously upwind when the carbon dioxide
plume is turbulent, fluctuating in concentration and mimicking the
presence of a live host.
 Mosquitoes' orientation to human skin odor, in contrast, is optimal when
the plume of skin odor is broad and unvarying in its intensity, as would
occur when a mosquito closes in on a potential host.

"Carbon dioxide induces a faster and more direct upwind orientation than
skin odor," said Cardé, who holds the Alfred M. Boyce Chair in Entomology.
"Our experiments show that the response of yellow fever mosquitoes to skin odor
requires an exposure longer than that of carbon dioxide to induce upwind flight."

Dekker and Cardé also report that the dynamics -- response time, duration
and speed -- of carbon dioxide-induced upwind surging were very similar across a
wide range of carbon dioxide concentrations, from 100 to 0.05 percent (barely
above atmospheric levels).

"The mosquitoes' carbon dioxide receptors allow the insects to respond


almost instantly to even the slightest amount of the gas," Cardé said. "Carbon
dioxide alone attracts these mosquitoes and does not require assistance from other
odors. Skin odors, however, become important when the mosquito is near the
host, selecting biting sites. Further, the mosquitoes' sensitivity to skin odors
increases 5- to 25-fold after 'priming' with a whiff of carbon dioxide."

The research project was supported by grants to Cardé from the University
of California Systemwide Mosquito Research Program and the Office of Naval
Research -- DARPA Plume Tracing Program; to Dekker, the research paper's first
author, from Insect Chemical Ecology, Ethology and Evolution (ICE3) Linnaeus
and the Swedish Research Council FORMAS.
Bau Tubuh, Rahasia Dibalik Gigitan Nyamuk

Tempo Interaktif – Jakarta (28 Maret 2011). Studi-studi tentang rahasia


dibalik gigitan nyamuk banyak dilakukan. Tentang kenapa nyamuk lebih suka
memilih menggigit kulit seseorang, sementara ogah menggigit kulit orang yang
lain. Apakah terkait dengan rasa kulit masing-masing orang yang berbeda, jenis
kelamin, jenis darah, warna kulit, atau bau tubuh. Bahkan ada juga riset yang
dikaitkan dengan modulasi suara untuk menghalau nyamuk.

Para peneliti dari Rothamsted Research, London, menemukan bau tubuh


manusia tampaknya yang paling kuat mempengaruhi nyamuk memilih menggigit
seseorang. Apalagi bau tubuh pada setiap orang selalu tipikal, sehingga ada orang
yang disukai digigit nyamuk dan ada yang tidak. Para peneliti pun sekarang
memfokuskan, yang manakah diantara 300 sampai 400 ragam bau tubuh manusia,
yang disukai atau ditolak oleh nyamuk. “Nyamuk akan menggigit pada kulit yang
berbau disukai,” ujar James Logan, Peneliti Rothamsted, sebuah biro penelitian
agriculture tertua di dunia.

Peneliti kimia, Ulrich Bernier, dari U.S Agriculture, tahun 1990-an sudah
memfokuskan studinya untuk mencari senyawa ajaib yang disukai oleh nyamuk
itu. Risetnya menunjukkan nyamuk tertarik menggigit akibat campuran bahan
kimia yang keluar bersama karbon dioksida dan asam laktat yang dilepaskan kulit
sewaktu terjadi respirasi. Ini diperkuat bukti, pada orang yang sedang aktif atau
stress, sehingga respirasi kulit akan lebih besar, pada saat itu nyamuk lebih ramai
menyerangnya, dibanding orang yang pasif.

Riset Ulrich Bernie ini kemudian menjadi dasar riset selanjutnya untuk
menemukan ramuan senyawa kimia yang bisa secara efektif bisa menghalau
gigitan nyamuk. Riset ini penting, karena gigitan nyamuk tak hanya
menjengkelkan, tapi juga banyak yang berujung pada kematian. Data
menunjukkan sekitar 500 juta gigitan nyamuk malaria, Anopheles sp., terjadi di
seluruh dunia setiap tahun. Dan lebih dari satu juta orang per tahun, tewas akibat
serangan nyamuk ini. Nyamuk juga menjadi vektor penyebaran virus Nile West
yang menyebabkan penyakit demam berdarah.

Selama ini, obat anti nyamuk dalam bentuk ‘lotion’ menggunakan DEET
(N-Diethyl-meta-toluamide) sebagai pestisida. Pestisida ini merupakan senyawa
kimia yang dikembangkan militer Amerika Serikat semasa terlibat dalam berbagai
zona perang di medan tropis 1946, dalam Perang Dunia II. Dalam bentuk ‘lotion’
zat ini digunakan tentara Amerika untuk menghindari gigitan nyamuk di medan
perang. Baru pada tahun 1957, senyawa ini diperbolehkan digunakan untuk
kepentingan sipil. Namun riset menunjukkan bahwa pestisida ini rawan
menyebabkan penggunanya terserang penyakit kanker atau terserang Sindrom
Perang Teluk. Ini senyawa kimia kuat, yang bahkan bisa menghancurkan plastik.
Dinas Keamanan dan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat, mewanti-wanti
bahwa penggunaan zat ini harus dalam komposisi yang terkontrol ketat, agar
aman bagi penggunanya.

Karena pestisida ini tidak sepenuhnya aman bagi tubuh, membuat para
peneliti mencari senyawa kimia efektif yang bisa mengusir nyamuk dengan
cara manawarkan bau yang tak disukai nyamuk. Untuk menemukannya, para
peneliti Rothamsted, melakukan riset dengan cara; dua grup sukarelawan manusia
yang disukai nyamuk dan yang tidak. Kemudian pada masing-masing orang
diminta untuk memakau baju dari kertas foil (kertas aluminium) selama dua jam,
untuk menyerap dan mengumpulkan bau tubuhnya. Dengan teknik Kromatografi,
para peneliti kemudian menganalisis kandungan kimiawinya. Hasil temuan
senyawa kimia kemudian dibuat lagi, dan diuji ulang untuk melihat bagaimana
nyamuk menanggapi. Untuk mengetahui seberapa kuat impuls dari nyamuk
terhadap setiap senyawa kimia, diletakkan microeletroda halus pada materi yang
akan dihinggapi nyamuk, sehingga menghasilkan impuls-impuls listrik yang bisa
diukur, ketika nyamuk menggigit materi berbau senyawa kimia itu.

Hasilnya, Dr James Logan, menemukan sekitar tujuh sampai delapan


tubuh yang mempunyai bau yang disukai atau tidak oleh nyamuk. Logan
kemudian melanjutkan penelitian dengan menggunakan alat yang disebut Y-tube
olfactometer, yang memungkinkan nyamuk terbang dan memilih bau pada tangan
yang disukai atau ditolak. Senyawa kimia temuan itu kemudian diuji lebih praktis,
yaitu satu tangan diolesi senyawa kimia pembasmi, dan tangan yang lain diolesi
senyawa kimia yang disukai, dan dimasukkan kedalam kotak berisi ribuan
nyamuk. Sehingga dapat dilihat nyamuk bener-benar menghindari tangan yang
berbau senyawa kimia yang tidak disukai.

Dalam publikasinya di Jurnal Medical Entomology edisi bulan Maret, para


peneliti mengungkapkan salah satu senyawa kimia yang tidak disukai nyamuk
adalah 6-methyl-5-hepten-2-one, atau disebut Methylheptenone. Senyawa yang
lain adalah Geranylacetone, yang memiliki bau menyenangkan. Yang kemudian
menjadi pertanyaan dari para peneliti apakah senyawa-senyawa kimia ini
dihasilkan oleh tubuh manusia atau diproduksi alam dan kemudian menempel
pada tubuh manusia. Dari literatur, Methylheptone biasanya diproduksi oleh jamur
sehingga senyawa ini kemungkinan merupakan bau yang muncul dari interaksi
dengan lingkungan.

Dr James Logan tidak mau banyak berkomentar tentang dua senyawa


kimia bau yang berpotensi menjadi obat anti nyamuk ini, karena terikat kerjasama
dengan perusahaan komersial untuk mengembangkannya sebagai produk di pasar.
“Kami berharap dapat memproduksinya ke pasar dalam dua tahun kedepan,” ujar
James Logan.

Dengan hasil penelitian ini, menjadi semakin kuat tesis yang mengatakan
bahwa bau menjadi penentu nyamuk berminat menghinggapi seseorang atau tidak.
Nyamuk biasanya menggigit untuk menghisap darah, dimana kandungan protein
dalam darah penting bagi produksi telur nyamuk betina.

Dari penelitian ini, secara praktis, kalau Anda rajin mandi, sehingga bau
tubuh Anda netral, tampaknya bisa menjadi kiat jitu untuk menghindari gigitan
nyamuk.

Anda mungkin juga menyukai